BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di Indonesia, merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional. Sapi bermanfaat menyediakan bahan pangan, kulit dan pupuk kandang. Selain itu juga di beberapa daerah, sapi di manfaatkan sebagai sumber tenaga untuk kegiatan pertanian ; sehingga peternakan sapi berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sampai saat ini baru beberapa peternak menerapkan manajemen pemeliharaan sapi secara intensif dan masih banyak yang beternak secara semi intensif dan tradisional (Jusmaldi dan Yuliwan,2009). Beternak secara tradisional sering menemukan hambatan, salah satunya adalah gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak, yang di sebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Munadi, 2011). Salah satu penyakit endoparasit yang menyerang ternak sapi dan belum terkendali dan sangat merugikan peternak adalah fascioliosis. Fascioliosis di sebabkan oleh cacing Fasciola spp. Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh Fasciola gigantica (F. gigantica) yang bersifat kronis. Cacing mudanya berpredileksi dan memakan sel-sel hati, sedangkan cacing dewasanya berpredileksi pada saluran empedu dan atau kantung empedu. Beberapa daerah di Bali seperti Kab. Bangli, Badung, dan Singaraja memiliki prevalensi infeksi berkisar 50-75%. Dampak yang di timbulkan oleh penyakit ini adalah anemia 1

2 2 berat, penurunan berat badan, dan gangguan pertumbuhan pada pedet sehingga sangat merugikan peternak (Sugama dan Suyasa, 2012). Pengobatan terhadap fascioliosis menggunakan Albendazole, Nitroxynile, Meniclopholan, Carbontetrachlorida, dan Bithionol. Pemberian Nitroxynil dengan dosis 10mg/Kg berat badan dan Carbontetrachlorida dengan dosis 50mg/Kg berat badan secara subcutan, Sedangkan Meniclopholan dengan dosis 50mg/Kg berat badandan Albendazole dalam bentuk bolus yang pada berat badan tertentu (< 150 Kg: 1,5 bolus, Kg: 3 bolus, Kg: 4 bolus, dan >400: 5,5 bolus) di berikan secara oral (BPTP NTB, 2001 ; Kurniasih, 2007). Menurut Widjajanti et al., (2001) pengobatan fasciol iosis dapat juga menggunakan Triclabendazole (TCBZ) dengan dosis 5 ml/ 50kg BB/ekor sapi yang diberikan secara peroral. Obat yang tersebut terdahulu sulit di dapatkan dan harga obat mejadi mahal karena terkait dengan tubuh sapi yang besar sehingga dalam pengobatannya membutuhkan jumlah obat yang lebih banyak; sehingga tidak terjangkau oleh para peternak di pedesaan. Selain itu juga, pemberian obat anthelmintik sintetis dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Kondisi ini menyebabkan kejadian fascioliosis tetap tinggi (Kurniasih, 2007). Peternak banyak menggunakan obat bahan alam yang ada di pedesaan, seperti Carica papaya, bangle, mengkudu, biji pinang tetapi khasiat dan hasilnya belum banyak terbukti secara ilmiah (Beriajaya dan Priyanto, 20 04). Tanaman biduri ( Calotropis spp) juga di gunakan sebagai obat tradisional, yang telah terbukti memiliki aktivitas anthelmintik terhadap infeksi cacing Haemonchus

3 3 contortus, Ostertagia, Nematodirus, Dictyocaulis, Taenia, Ascaris, dan Fasciola (Mali dan Mehta, 2008). Pada bagian tanaman biduri berupa daun, bunga, akar, kulit, batang, dan getah banyak mengandung fitokimia, seperti flavonoid, triterpenoid, alkaloid, steroid, glikosida, saponin, terpen, enzim, alkohol, tannin, resin, asam lemak dan ester. Salah satu bagian yang mempunyai aktivitas untuk anthelmintik adalah daun. Jumlah daun pada tanaman banyak sehingga mudah di peroleh dan diolah dalam penelitian (Kumar et al., 2013). Bedasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai vermisidal dan ovisidal daun biduri terhadap cacing F. gigantica, sehingga dapat menjadi salah satu obat alternatif bagi peternak yang ada di pedesaan untuk mengendalikan fascioliosis. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah daun biduri bersifat vermisidal terhadap cacing F. gigantica? 2. Apakah daun biduri bersifat ovisidal terhadap cacing F. gigantica? 3. Berapakah konsentrasi efektiv daun biduri terhadap vermisidal dan ovisidal cacing F. gigantica?

4 4 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1. Vermisidal daun biduri terhadap cacing F. gigantica. 2. Ovisidal daun biduri terhadap cacing F. gigantica. 3. Konsentrasi efektiv daun biduri terhadap vermisidal dan ovisidal cacing F. gigantica. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai daun biduri bersifat vermisidal dan ovisidal terhadap cacing F. gigantica secara in-vitro. Diharapkan bermanfaat dalam upaya pengendalian fascioliosis pada ternak, khususnya ternak sapi. 1.5 Kerangka Konsep Fascioliosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh F. gigantica dan umumnya menyerang ternak ruminansia terutama sapi. Penyakit ini menimbulkan kerugian yang tidak sedikit karena merusak organ hati sehingga tidak layak untuk dikonsumsi dan harus di afkir. Selain itu juga menyebabkan penurunan berat badan, penurunan kualitas reproduksi, gangguan pertumbuhan dan produktivitas pada sapi sehingga menimbulkan kerugian pada peternak (Widjajanti et al., 2001). Tanaman biduri mempunyai efek anthelmintik terhadap cacing Ostertagia, Nematodirus, Dictyocaulis, Taenia, Ascaris, dan Fasciola, karena pada bagian daunnya mengandung flavonoid, alkaloid, glikosida, resin, enzim proteolitik, dan tanin yang memiliki aktivitas anthelmintik (Sharmaet al., 2012 ; Kumar et al., 2013). Alkaloid menghambat kerja enzim asetilkolinesterase pada tubuh cacing sehingga menyebabkan paralisis (kelumpuhan) dan kematian cacing (Henry,

5 5 1949). Glikosida dan resin yang terkandung pada daun biduri mempunyai efek yang sama seperti anthelmintik sintetis yaitu bithionol. Aktivitas anthelmintik pada glikosida adalah menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan tubuh cacing sehingga dapat menyebabkan kematian pada cacing. Flavonoid yang terkandung pada daun biduri dapat juga menimbulkan kelumpuhan dan kematian pada cacing, karena fenol yang terdapat pada flavonoid menyebabkan denaturasi protein dalam jaringan tubuh cacing (Bhadoriya et al., 2011 ; Lohare et al., 2011 ; Faradila, 2013). Di jelaskan juga oleh Min dan Hart (2003) bahwa tannin juga memiliki aktivitas anthelmintik, dapat menghambat perkembangan telur cacing. Protein yang terdapat pada lapisan luar telur cacing akan terikat sehingga pembelahan telur tidak berlangsung dan perkembangan larva terhambat. Selain itu juga, daun biduri memiliki kandungan aktif berupa enzim proteolitik yang bersifat anthelmintik (Tand on et al., 2011 ; Faradila, 2013). Penelitian ini di lakukan untuk mengetahui vermesidal dan ovisidal fitokimia dan biduri. 1.6 Hipotesis 1. Daun Biduri mempunyai efek vermisidal terhadap cacing F. gigantica 2. Daun Biduri mempunyai efek ovisidal terhadap cacing F. gigantica 3. Makin tinggi konsentrasi daun biduri maka dapat meningkatkan efek vermisidal dan ovisidal terhadap cacing F. gigantica