IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
III. METODOLOGI PENELITIAN

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

III. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

CONTOH TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN PADA KELOMPOK BAHAN PANGAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

III. METODE PELAKSANAAN. bulan April 2013 sampai dengan pertengahan Juni 2013.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai bulan Mei 2011 bertempat

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri. Berdasarkan data dari Wardhana (2013) dalam Majalah Tempo

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG. Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F

PENGARUH PENGGUNAAN PEWARNA ALAMI, WAKTU PENGUKUSAN DAN SUHU TERHADAP PEMBUATAN SNACK MIE KERING RAINBOW

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Proses penggerusan merupakan dasar operasional penting dalam teknologi farmasi. Proses ini melibatkan perusakan dan penghalusan materi dengan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

PEMANFAATAN LIMBAH PASAR SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA SAPI DAN KAMBING DI DKI JAKARTA

METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN MAKANAN SETENGAH JADI

MINYAK KELAPA. Minyak diambil dari daging buah kelapa dengan salah satu cara berikut, yaitu: 1) Cara basah 2) Cara pres 3) Cara ekstraksi pelarut

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

BAB III METODE PENELITIAN

12/17/2012 SIZE REDUCTION (PENGECILAN UKURAN) Karakteristik Ukuran. Ukuran yang digunakan dinyatakan dengan mesh maupun mm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya

BAB III MATERI DAN METODE. substitusi tepung biji alpukat dilaksanakan pada bulan November 2016 di

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata)

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Konsumen. nilai-nilai perusahaan. Menurut Kuswadi (2004), Kepuasan pelanggan

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Rekayasa

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

III. BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari Maret 2017 di

ANALISIS PROSES PEMBUATAN PATI JAGUNG (MAIZENA) BERBASIS NERACA MASSA

METODOLOGI PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Februari

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. biji durian dengan suhu pengeringan yang berbeda dilaksanakan pada bulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada proses penggolahan stick singkong, singkong yang digunakan yaitu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel

STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL PENANGANAN PASCA PANEN KUNYIT. Feri Manoi

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

BAHAN DAN METODE. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAB III METODE PENELITIAN

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2016 Agustus 2016 di. Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro, Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Metodelogi penelitian dilakukan dengan cara membuat benda uji (sampel) di

OLEH: YULFINA HAYATI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

Lampiran 1. Hasil-hasil Penelitian Mi Jagung No. Produk Bahan Proses Parameter Mutu Keterangan 1. Mie jagung basah

KAJIAN PENERAPAN ALAT PENEPUNG PISANG UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Jurusan

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

Pengumpulan daun apu-apu

III BAHAN, ALAT DAN METODE PENELITIAN. dan penelitian utama dengan rancangan perlakuan konsentrasi koji Bacillus

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan mi jagung basah dan instan berskala laboratorium dengan berbagai formula dan bahan baku. Rianto (2006) telah berhasil melakukan formulasi dan desain proses pembuatan mi jagung basah dengan menggunakan bahan baku dari tepung jagung. Namun agar dapat diaplikasikan dalam skala industri kecil, maka diperlukan beberapa modifikasi dan desain proses. Langkah pertama yang dilakukan yaitu pembuatan mi jagung basah skala laboratorium dengan formulasi yang terbaik. Kemudian formulasi skala laboratorium ditingkatkan beberapa kali lipat dengan bahan yang sama. Maka akan dihasilkan mi jagung basah yang berbeda dengan skala kecil, terutama dari karakteristik fisik. Hal ini didukung oleh Scott (2007) yang menyatakan bahwa proses skala yang lebih besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, akan tetapi akan menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya. Untuk memperbaiki karakteristik mi jagung basah harus dilakukan modifikasi terhadap bahan baku terutama dalam hal penambahan bahan tambahan. Diharapkan dengan penambahan bahan tambahan ini dapat memperbaiki atau minimal mempertahankan karakteristik mi jagung dalam skala yang lebih besar. Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing, slitting, dan cutting) dan perebusan. Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mi. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk banyak gumpalan. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. Setiap pembuatan mi jagung basah dalam skala formulasi yang lebih besar hasilnya akan dianalisis untuk melihat sifat fisik yang terbentuk. Sebagian besar dari beberapa formulasi tanpa bahan tambahan menghasilkan mi jagung yang

mempunyai adonan yang masih patah-patah. Hal ini dikarenakan kurangnya proses gelatinisasi dalam proses pengukusan. Hal yang perlu diperhatikan juga dalam pembuatan mi jagung basah adalah masa simpannya. Mi jagung basah mempunyai masa simpan yang tidak lebih dari dua hari. Hal ini dikarenakan kadar air mi jagung basah yang tinggi, dan kondisi inilah yang mempersingkat masa simpan mi basah. Dengan alasan itu, pembuatan mi jagung basah skala besar dilanjutkan dengan pembuatan mi jagung kering yang mempunyai masa simpan lebih lama. Untuk mendukung tujuan dari penelitian ini, yaitu merumuskan paket teknologi mi jagung dalam rangka penggandaan skala, maka perlu diperhatikan dan dilakukan pengujian terhadap setiap proses pembuatan mi jagung mulai dari penepungan hingga pembuatan mi jagung. Sehingga hal ini akan memberikan keluaran berupa spesifikasi aspek bahan, proses dan alat yang sesuai dengan rencana penggandaan skala. A. Penggandaan Skala Produksi Tepung Jagung 1. Penggandaan Skala Penggilingan Teknik Kering Pembuatan tepung dengan metode penggilingan kering mengacu pada metode penepungan jagung yang telah dilakukan oleh Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan multi mill yang dilanjutkan dengan pencucian dengan tujuan untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap. Grits jagung hasil pencucian dikeringkan agar lebih mudah digiling kedalam bentuk tepung. Penggilingan kedua menggunakan disc mill yang bertujuan untuk memperkecil ukuran grits jagung menjadi tepung. Pengayakan dengan ukuran 80-100 mesh bertujuan untuk menyeragamkan ukuran tepung jagung. Tahap pertama jagung pipil yang digunakan adalah jagung varietas Pioneer 13 yang diperoleh dari Departemen Agronomi, IPB. Proses penggandaan skala ini dilakukan terhadap peningkatan berat biji jagung yang menjadi bahan dasar. Sebanyak 25 kg jagung Pioneer 13, melalui

proses penepungan dihasilkan tepung jagung sebesar 4.4485 kg. Hal ini menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan hanya 17.79% dari keseluruhan bahan baku. Sedangkan tahap kedua jagung yang digunakan adalah jagung varietas Srikandi. Jagung varietas Srikandi merupakan jagung jenis QPM (Quality Protein Maize). Jenis jagung QPM ini adalah jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2. Gen ini dapat meningkatkan kualitas protein jagung dengan menekan produksi zein pada jagung sehingga meningkatkan kandungan lisin dan triptofan (Bressani, 1972). Dengan berat awal yang sama dengan jagung varietas Pioneer 13 sebanyak 25 kg dan ukuran tepung 100 mesh, jagung varietas Srikandi hanya menghasilkan tepung jagung sebesar 3.9717 kg. Untuk lebih jelasnya tentang perbedaan rendemen dari berbagai varietas, dapat dilihat Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Hasil Pengamatan Rendemen dari Varietas Jagung yang Berbeda Varietas Berat awal (kg) Berat akhir (kg) Rendemen (%) Pioneer 13 25 4.4485 17.79 Srikandi 25 3.9717 15.89 Perbedaan varietas jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung ternyata akan menghasilkan rendemen tepung jagung yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh komponen dari masingmasing jagung yang berbeda. Jagung varietas Pioneer 13 merupakan jenis jagung semi mutiara, sedangkan jagung varietas Srikandi termasuk kedalam kategori jagung mutiara. Menurut Hoseney (1998), jagung mutiara memiliki kandungan endosperma keras yang lebih banyak dibandingkan jenis jagung lain sehingga akan lebih sulit dijadikan tepung dan bentuk biji mutiara berukuran sedang dengan bagian bulat yang tidak berlekuk, karena hampir keseluruhan bijinya mengandung lapisan pati keras. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), endosperma keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat satu sama lain.

a. Penggilingan Pertama Penggilingan merupakan proses pertama dari kegiatan penepungan jagung. Penggilingan merupakan proses pengecilan ukuran dari bahan padat/butiran dengan gaya mekanis sehingga menjadi berbagai fraksi ukuran yang lebih kecil. Dengan pengecilan ukuran ini, bahan dapat dipisahkan berdasarkan keperluan dan meningkatkan daya reaktifitas. Pada penggilingan serealia dan bijibijian dilakukan proses penekanan/penghancuran, pemukulan dan penggosokan (Brennan et al., 1990). Penggilingan pertama pada proses penepungan jagung bertujuan untuk memisahkan bagian endosperm jagung dengan lembaga, kulit dan tip cap. Penggilingan pertama yang menggunakan multi mill merupakan salah satu titik kritis dalam proses penepungan dalam skala yang lebih besar. Hal ini dikarenakan oleh hasil penggilingan yang akan mempengaruhi terhadap keefektifitasan waktu yang digunakan dalam proses penepungan. Penggilingan terhadap jagung Pioneer 13 menggunakan multi mill dengan memakai ukuran saringan sebesar 7 mm. Penggilingan pertama ini menghasilkan grits jagung. Grits merupakan bubuk jagung dengan ukuran kira-kira seperti beras. Grits jagung Pioneer 13 yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih menyisakan jagung pipil kering dalam keadaan utuh. Hal ini dikarenakan ukuran saringan pada multi mill yang digunakan masih terlalu besar daripada ukuran jagung pipil, sehingga masih terdapatnya jagung pipil yang melewati lubang saringan. Ukuran saringan pada multi mill yang digunakan harus dilakukan modifikasi untuk mencegah terjadinya jagung pipil yang tidak tergiling. Salah satu caranya dengan memperkecil ukuran saringan yang akan digunakan. Apabila tetap dibiarkan dengan ukuran saringan yang masih besar dan masih adanya jagung pipil yang utuh, hal ini akan menyebabkan proses penggilingan kedua yang menggunakan alat disc mill akan memakai waktu yang lama. Hal ini dikarenakan fungsi khusus disc mill untuk memperhalus ukuran grits. Hasil modifikasi

ukuran saringan menggunakan ukuran 5 mm, sehingga jagung pipil yang digiling akan menjadi grits dan tidak ada jagung pipil yang masih dalam keadaan utuh. Ukuran saringan multi mill berukuran 7 mm dan 5 mm dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini. Gambar 5. Ukuran Saringan Multi mill (kiri : ukuran saringan 7 mm, kanan : ukuran saringan 5 mm) Disc mill juga dapat digunakan sebagai alat penggilingan pertama untuk menghasilkan grits jagung. Namun akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan grits. Hal ini disebabkan oleh kapasitas dan ukuran ruang penggiling disc mill yang terlalu kecil dibandingkan ruang penggiling multi mill. Dari hasil identifikasi, diperoleh kecepatan penggilingan dari multi mill sebesar 25 kg/5 menit atau 300 kg/jam. Data ini lebih besar bila dibandingkan dengan kecepatan penggilingan disc mill sebesar 50 kg/jam. Sehingga untuk melakukan proses penggilingan jagung pipil kedalam bentuk grits dalam skala atau jumlah yang besar lebih sesuai menggunakan multi mill, dikarenakan laju penggilingan yang relatif lebih cepat. Untuk lebih jelasnya, kapasitas alat penggiling dari masing-masing alat ditunjukkan dalam Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Kapasitas Alat Penggiling Alat Penggiling Kapasitas Multi mill 300 kg/jam Disc mill 50 kg/jam

Grits jagung yang dihasilkan dari penggilingan pertama masih bercampur dengan kotoran, kulit, tepung kasar dan komponen lain yang tidak diinginkan. Proses yang dilakukan untuk memisahkan grits dari semua campuran tersebut yaitu dengan mencuci dan merendam didalam air. Selain untuk memisahkan bagian endosperm (grits jagung) dengan lembaga, kulit dan tip cap dan memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi, proses pencucian dan perendaman ini juga bertujuan untuk memperlunak jaringan jagung yang masih keras sehingga ketika digiling dengan disc mill akan lebih mudah, yang sebelumnya dilakukan proses pengeringan terlebih dahulu. Pencucian akan membersihkan grits dari kotoran yang akan mengkontaminasi, sedangkan perendaman akan membuat kulit dan lembaga terangkat ke permukaan air. Hal ini disebabkan didalam lembaga terdapat banyak kandungan lemak yang mempunyai massa jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air. Proses pengadukan dilakukan selama pencucian agar bahan campuran yang akan dibuang tidak terendap didalam tumpukan grits. Pencucian dan perendaman ini dilakukan kurang lebih selama 2 jam. Kernel jagung selama perendaman akan menyerap air dan kadar airnya akan meningkat dari 15% menjadi 45% atau lebih sampai biji jagung membengkak dua kali ukuran semula. Jagung akan melunak dan membengkak, pada kondisi keasaman yang rendah pada air perendam, maka jagung akan melepas ikatan gluten sehingga pati dapat keluar. Air rendaman bila dikondensasikan akan menghasilkan air limbah yang bernutrisi yang nantinya dapat digunakan untuk pakan hewan atau sebagai media fermentasi (Corn Refiner Association, 2007). Selain air rendaman yang dapat digunakan untuk keperluan pakan hewan, lembaganya pun dapat dimanfaatkan sebagai pakan hewan. Pengeringan merupakan cara untuk menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan bantuan energi panas dari sumber

alami (sinar matahari) atau buatan (alat pengering). Pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengeringan buatan yang menggunakan alat pengering. Pengering buatan merupakan tindak pengeringan dengan alat pengering pada kondisi suhu, kelembaban udara, kecepatan pengaliran udara dan waktu pengeringan yang dapat dikontrol. Pengeringan dilakukan untuk mengeringkan grits jagung yang pada proses sebelumnya telah mengalami pencucian dan perendaman. Alat pengering yang digunakan pada penelitian ini termasuk kedalam jenis tray dryer. Pengering ini terdiri dari rak-rak yang disusun bertingkat untuk meletakan nampan pengering, elemen listrik/pemanas, dan kipas angin atau blower. Pada alat ini bahan yang ditempatkan dalam nampan akan dikeringkan dengan udara panas kering dari pemanas yang dialirkan oleh kipas angin atau blower. Waktu pengeringan yang digunakan untuk proses ini selama 2 jam dengan suhu 60 0 C sampai kadar air jagung kurang lebih 10-12%. Waktu pengeringan yang lebih lama akan mengakibatkan grits jagung menjadi lebih keras sehingga akan menyulitkan penggilingan kedua yang menggunakan disc mill. Tempat penampungan grits (tray) yang digunakan sebaiknya yang mempunyai permukaan berlubang bagian bawahnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh sirkulasi udara panas didalam oven terdistribusi cepat dan cukup merata. Sehingga dengan adanya distribusi udara panas yang merata akan diperoleh jagung kering yang merata juga. Alternatif lain untuk mengetahui kecukupan proses pengeringan terhadap grits jagung dapat dilakukan dengan cara memegang jagung sampai tidak ada atau sedikit menempel pada telapak tangan. Akan tetapi cara ini masih memberikan jagung yang belum kering. Sehingga ketika jagung kering digiling dengan menggunakan disc mill akan diperoleh tepung jagung yang masih basah dan apabila disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan tepung menjadi tengik. Hal ini dapat

dibuktikan dengan melihat hasil penggilingan yang masih berembun dan menghasilkan uap air yang cukup banyak ketika disimpan didalam kantung plastik bening. Apabila hal ini terjadi, maka harus dilakukan pengeringan kedua sampai tepung jagung tidak berembun. Hal ini akan mengakibatkan ketidakefektifan waktu yang digunakan karena harus dilakukan dua kali pengeringan. b. Penggilingan Kedua Penggilingan kedua dalam proses penepungan jagung menggunakan alat disc mill. Tujuan dari penggilingan kedua ini untuk memperhalus ukuran jagung menjadi tepung. Hasil dari penggilingan kedua masih berupa tepung kasar yang belum terpisahkan berdasarkan ukurannya. Maka daripada itu tepung yang dihasilkan masih perlu diayak supaya dihasilkan tepung yang lebih homogen. Penggilingan kedua ini termasuk titik kritis yang perlu diperhatikan apabila akan dilakukan proses penepungan dalam skala besar. Penggilingan kedua juga dapat menggunakan multi mill. Namun posisi saringan dengan tempat penampung sementara hasil penggilingan berada dalam keadaan horizontal dengan sumbu tegak. Keadaan ini memungkinkan grits jagung yang tidak tergiling akan tertumpuk pada penampung sementara. Apabila dibiarkan lebih lanjut akan mengakibatkan lempengan pisau penggiling akan tersendat pergerakannya sehingga lebih lambat dan bahkan dapat berhenti. Pengamatan terhadap proses penggilingan kedua ini difokuskan pada dua alat disc mill yang tersedia, yaitu disc mill tipe lama dan tipe baru. Penggilingan dengan disc mill ini dilakukan sebanyak empat tahap. Setiap tahapnya menggunakan berat awal biji jagung yang sama sehingga akan terlihat pengaruh penggunaan alat terhadap rendemen yang dihasilkan. Proses penggilingan tahap pertama menggunakan dua jenis disc mill yaitu tipe baru yang dilanjutkan dengan penggunaan tipe lama. Hal ini dikarenakan penggilingan pertama dengan disc mill tipe baru masih menghasilkan tepung jagung yang berukuran besar, sehingga

masih memungkinkan untuk dilakukan penggilingan kedua. Penggunaan disc mill tipe baru ini menempuh waktu yang relatif singkat, kurang lebih 15 menit untuk satu kali penggilingan dengan berat kurang lebih 12.5 kg grits. Kapasitas alat disc mill tipe baru dalam pemasukan bahan yang akan digiling relatif besar. Hal ini didukung dengan desain alat yang hanya mempunyai dua buah cakram untuk memecah grits jagung dan tidak mempunyai saringan yang berfungsi untuk menyaring ukuran tepung yang diinginkan, sehingga grits yang telah digiling dengan dua cakram langsung turun ke dalam wadah penampung tanpa ada seleksi ukuran tepung yang diinginkan. Kelebihan disc mill tipe baru ini dalam hal waktu tidak diimbangi dengan hasil yang diberikan, sehingga tepung yang dihasilkan harus digiling lagi menggunakan disc mill tipe lama. Kerja alat ini didasarkan pergerakan dua cakram yang berputar dengan kecepatan konstan, sehingga bahan dihancurkan di dalam celah antar cakram untuk menjadi produk yang lebih halus. Penggiling disc mill tipe baru terdiri dari sepasang cakram yang berputar pada sumbu putar horizontal. Dua cakram pada alat ini dapat dilihat pada Gambar 6. Jenis penggiling ini merupakan tipe single runner mill atau single disc mill yang artinya mempunyai satu cakram tetap dan satu cakram berputar (Brennan et al., 1990). Cakram yang berputar yaitu cakram yang menempel pada mesin, sedangkan cakram yang tidak berputar/tetap adalah cakram yang dapat dilepas dari mesin dan biasanya menyatu dengan lubang pemasukan bahan. Tepung hasil dari dua kali penggilingan dengan menggunakan dua disc mill yang berbeda harus dilakukan proses pengayakan, sehingga akan dihasilkan tepung jagung yang diinginkan, yaitu tepung jagung dengan ukuran 100 mesh. Tepung jagung yang dihasilkan mulai dari proses penggilingan dengan multi mill sampai proses pengayakan dihasilkan tepung jagung sebanyak 3.9717 kg.

Gambar 6. Dua Buah Cakram Disc mill Tipe Baru (kiri : cakram dinamis, kanan : cakram statis) Penggilingan tahap kedua menggunakan disc mill tipe baru dan penggilingan tahap ketiga menggunakan disc mill tipe lama. Tepung jagung yang dihasilkan dari penggilingan tahap kedua (disc mill tipe baru) hanya sebanyak 1.8942 kg, sedangkan penggilingan tahap ketiga (disc mill tipe lama) menghasilkan tepung jagung sebanyak 6.2008 kg dari grits jagung yang mempunyai bobot yang sama. Berat tepung jagung yang dihasilkan dari penggilingan disc mill tipe lama jauh lebih besar dibandingkan dengan tepung jagung hasil dari penggilingan disc mill tipe baru. Gambar 7 di bawah menunjukkan cakram berputar dinamis dan lingkaran saringan pada disc mill tipe lama. Gambar 7. Disc mill Tipe Lama (kiri : lingkaran saringan terpasang, kanan : lingkaran saringan) Kapasitas pemasukan bahan kedalam disc mill tipe lama memang relatif kecil, tapi hasil penggilingannya berupa tepung berukuran lebih halus, sehingga hal ini memungkinkan untuk mendapatkan tepung jagung yang berukuran 100 mesh lebih banyak. Dikarenakan kapasitas

pemasukan bahan yang relatif kecil, maka penggunaan disc mill tipe lama ini memakan waktu yang relatif lama. Apabila pemasukan grits jagung terlalu banyak dan cepat, hal ini akan menyebabkan alat terhenti karena tersendatnya penggiling akibat tumpukan grits yang tidak turun kedalam penampung. Selain itu juga alat disc mill tipe lama ini mempunyai ukuran saringan yang berukuran sesuai dengan yang kita inginkan. Saringan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh disc mill tipe baru. Proses penggilingan jagung tahap keempat dilakukan seperti halnya penggilingan tahap ketiga, yaitu menggunakan disc mill tipe lama untuk memperhalus ukuran grits. Tepung jagung yang dihasilkan dari penggilingan tahap ini sebanyak 5.2065 kg. Berat tepung yang dihasilkan lebih kecil dari penepungan ketiga yang menggunakan disc mill yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya kotoran atau materi jagung yang terbuang. Tabel 6 di bawah menunjukkan data perbandingan penggunaan tipe disc mill terhadap rendemen yang dihasilkan berupa tepung jagung berukuran 100 mesh. Ukuran tepung jagung hasil dari penggilingan dengan disc mill ini masih bervariasi, dikarenakan belum dilakukan proses pengayakan. Alat penggilingan menggunakan disc mill yang menghasilkan rendemen yang tinggi yaitu disc mill tipe lama. Tabel 6. Data Perbandingan Penggunaan Tipe Disc mill terhadap Rendemen Jenis Disc mill Hasil (kg) Rendemen (%) Tipe Baru dan Tipe Lama 3.9717 15.89 Tipe Baru 1.8942 7.58 Tipe Lama 6.2008 24.80 c. Pengayakan Pengayakan merupakan tahapan akhir dari proses penepungan jagung. Fungsi dari pengayakan yaitu untuk menghomogenkan ukuran tepung jagung yang diinginkan. Ukuran tepung jagung yang diinginkan yaitu berukuran 100 mesh. Tepung jagung yang berukuran

100 mesh yang dihasilkan hanya sebesar 20.08% dari keseluruhan jagung pipil yaitu seberat 100 kg. Sedangkan untuk 100 kg jagung pipil kedua yang dilakukan proses penepungan dihasilkan tepung jagung berukuran 100 mesh sebesar 18.94%. Untuk meningkatkan rendemen tepung jagung yang dihasilkan perlu dilakukan pengayakan yang menghasilkan tepung jagung berukuran 80 mesh. Ukuran tepung jagung berukuran 80 mesh dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi jagung. Namun tekstur yang dihasilkan tidak sehalus mi yang menggunakan tepung jagung berukuran 100 mesh. Dari pengayakan dengan ukuran 80 mesh, untuk penepungan 100 kg pertama dihasilkan tepung jagung sebanyak 10.96%, sedangkan untuk penepungan 100 kg kedua dihasilkan tepung jagung sebanyak 16.80%. Prinsip kerja dari pengayak yang berdasarkan pada ukuran didasarkan pada penjatuhan bahan padat diatas permukaannya, yang mana menyebabkan bahan yang berukuran kecil lolos melewati lubang dan bahan yang berukuran besar tetap tinggal pada permukaan ayakan. Pengayak yang digunakan dalam penelitian ini termasuk pengayak bergetar. Pengayak bergetar ini digunakan untuk pemisahan bahan dalam jumlah besar. Pergerakan alat ini didasarkan pada getaran yang dihasilkan oleh tenaga listrik. Pengayak yang digunakan bergerak secara otomatis ketika tombol penghidup alat mulai dinyalakan. Pergerakan mesin pengayak yaitu berupa gerakan rotasi atau getaran yang tetap dalam satu tempat. Dibagian bawah mesin terdapat beberapa pegas yang dapat berfungsi sebagai penahan antara mesin dengan tempat hasil filter dan pengayak, sehingga dengan adanya pegas ini, keseluruhan mesin dapat bergerak rotasi. Gerak rotasi yang bergetar ini akan menyebabkan tumpukan tepung jagung membuat lingkaran kosong yang berfungsi sebagai tempat untuk menyeleksi tepung jagung berdasarkan ukuran yang diinginkan. Ukuran tepung jagung yang lolos dari ukuran saringan akan turun ke tempat

penampung yang selanjutnya akan masuk kedalam kantung plastik sebagai tempat terakhir penampungan. Mekanisme tingkat pengayakan menjadi salah satu titik kritis dalam proses penepungan teknik kering. Untuk mengetahui cara yang lebih efektif, proses pengayakan ini dilakukan dua tahap, yaitu tahap pertama dengan menggunakan susunan pengayak bertingkat dan tahap kedua menggunakan susunan pengayak secara terpisah. Perlakuan tahap pertama dengan menggunakan susunan pengayak bertingkat menghasilkan tepung jagung yang masih menyatu diantara beberapa ukuran. Sebagai contoh, pada ayakan 80 mesh ukuran tepung jagung yang kecil akan lolos pada ayakan 80 mesh, begitupun dengan tepung jagung yang berukuran lebih kecil. Akan tetapi tepung jagung yang seharusnya lolos ayakan 100 mesh menjadi tidak terayak. Hal ini dikarenakan ukuran tepung jagung yang lebih kecil tersebut terbawa bersama tepung jagung yang lolos 80 mesh akibat dari goncangan atau getaran mesin pengayak. Hal seperti ini akan mengakibatkan rendemen hasil ayakan 100 mesh akan lebih sedikit. Sedangkan dari penampung tepung jagung 80 mesh akan menghasilkan rendemen yang banyak dan masih tercampur dengan tepung jagung yang berukuran lebih kecil. Lain halnya dengan pengayakan yang menggunakan susunan pengayak secara terpisah, pengayakan dengan prosedur ini akan memberikan hasil ayakan secara jelas dan terukur. Hasil dari pengayakan ukuran 100 mesh akan lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil yang menggunakan susunan pengayak bertingkat. Begitupun dengan tepung jagung yang berukuran 80 mesh. Tepung jagung yang berukuran 80 mesh akan lebih homogen dan tidak tercampur dengan tepung jagung yang berukuran lebih kecil, sehingga dari hasil yang didapatkan dari dua tahap pengayakan yang diuji cobakan, maka proses pengayakan yang menggunakan susunan pengayak secara terpisah akan lebih baik digunakan daripada susunan pengayak secara bertingkat.

Tepung jagung yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna kuning. Hal ini disebabkan adanya karoten pada biji jagung. Tepung jagung memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu. Namun memiliki kandungan serat yang lebih tinggi. Rendahnya lemak pada tepung jagung dapat membuat tepung menjadi lebih awet karena tidak mudah tengik akibat oksidasi lemak. Namun tingginya kandungan serat pada jagung menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan tepung terigu. Untuk memperoleh tepung jagung sehalus tepung terigu maka dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar, namun rendemen yang dihasilkan akan semakin berkurang. Gambar 8 di bawah menunjukkan kesetimbangan massa dari penepungan jagung teknik kering. Jagung yang digunakan selanjutnya pada penelitian ini merupakan jagung Quality Protein Maize (QPM). Tinggi rendahnya kandungan protein pada tepung jagung dapat disebabkan oleh umur pemanenan jagung yang terlalu muda atau terlalu tinggi. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kandungan protein jagung tergantung pada umur dan varietas jagung itu. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, kandungan tinggi rendahnya protein pada tepung jagung dapat juga disebabkan oleh tercampurnya jagung pipil varietas satu dengan jagung pipil varietas lainnya. Proses penepungan teknik kering memerlukan waktu kurang lebih selama 1-2 hari mulai dari tahap penggilingan pertama sampai tahap pengayakan. Lamanya waktu tersebut berdasarkan dengan alat yang tersedia di laboratorium. Alat-alat yang digunakan untuk melakukan penepungan teknik kering ini terdapat di beberapa lokasi laboratorium, yaitu multi mill, oven, pengayak di Lab.Seafast Center, serta disc mill di Lab.Pilot Plan PAU.

Jagung kering pipil (25 kg) Penggilingan I (multimill) Grits, lembaga, tip cap,kulit yang terbuang (0.5 kg/2%) Grits, Lembaga, tip cap, dan kulit (24.5 kg/98%) Pencucian, perendaman, dan pengeringan Lembaga, tip cap, kulit (12 kg/48%) Grits jagung (12.5 kg/50%) Penggilingan II (discmill) Grits jagung yang terbuang (0.5 kg/2%) Tepung kasar (12 kg/48%) Pengayakan (100 mesh) Tepung jagung selain 100 mesh (6 kg/24%) Tepung jagung (6 kg/24%) Gambar 8. Diagram Alir Kesetimbangan Massa Proses Penepungan Kering

2. Penggandaan Skala Penggilingan Teknik Basah Penelitian ini juga mencoba mengembangkan metode penepungan jagung dengan menggunakan metode penggilingan basah yang memakai alat berupa penggiling batu. Alat ini dipilih karena relatif lebih mudah ditemukan. Penggiling batu yang digunakan merupakan penggiling kedelai yang biasa digunakan dalam pembuatan tahu. Keuntungan proses penggilingan basah adalah kemudahan untuk mencapai derajat kehalusan yang tinggi, mencegah kenaikan suhu bahan yang terlalu tinggi, dan memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan olah. Penggilingan basah terutama digunakan untuk mendapatkan hasil giling yang halus. Penggilingan untuk mendapatkan hasil yang halus biasanya melibatkan kebutuhan air yang banyak. Secara garis besar proses penepungan dengan menggunakan teknik penggilingan basah terdiri dari tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi, sentrifugasi dan pengeringan. Proses penepungan diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Perendaman diperlukan untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga memudahkan penggilingan. Biji jagung direndam dalam air bersih dengan perbandingan 1:2. Pada penelitian ini diujikan perendaman jagung selama 6, 9, dan 12 jam. Waktu perendaman divariasikan untuk mengetahui waktu yang optimum, dimana biji jagung dapat digiling dengan hasil gilingan yang cukup halus dengan rendemen yang dihasilkan cukup besar. Biji jagung selanjutnya digiling dengan menggunakan penggiling batu. Alat ini terdiri atas feeder, dua cakram batu, motor penggerak cakram dan saluran pengeluaran. Cakram pada alat ini terdiri atas cakram statis dan cakram dinamis. Cakram dinamis berada dibagian bawah dan cakram statis berada dibagian atas. Prinsip kerja alat ini adalah menghancurkan sampel dengan gaya gesek antara sampel dengan permukaan cakram. Sampel dimasukan melalui feeder dan langsung

masuk ke dalam celah diantara kedua cakram, disinilah sampel kemudian dihaluskan. Air harus terus dialirkan selama pengilingan secara kontinyu. Aliran air ini berfungsi untuk mendorong sampel sehingga tidak terjadi penumpukan sampel di satu titik. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media pelarut bagi pati yang dilepaskan selama penggilingan. Banyaknya air yang dialirkan ketika penggilingan akan mempengaruhi hasil pati yang diperoleh. Semakin banyak air yang dialirkan maka akan semakin encer dan ketika diendapkan setelah penyaringan akan memperlama proses turunnya pati dari campuran pati. Akan tetapi ketika air yang dialirkan sewaktu penggilingan tidak terlalu banyak, campuran pati yang didapat akan lebih kental dan ketika diendapkan setelah penyaringan akan semakin singkat waktu turunnya pati dari campuran pati, sehingga akan mempersingkat waktu proses pengendapan. Tipe penggiling batu yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kedalam jenis burr mill. Dikatakan masuk kategori burr mill karena salah satu piringan saja yang berputar sedangkan yang lainnya diam (Avianto, 1986). Posisi piringan pada burr mill biasanya dalam keadaan horizontal atau vertikal. Akan tetapi alat penggiling batu yang digunakan pada penelitian ini cakramnya berada dalam posisi horizontal. Alat ini bekerja berdasarkan tekanan dan gesekan, dimana bahan tergiling diantara dua piringan gigi penggiling. Corak gigi piringan penggiling dapat bermacammacam tergantung kepada keperluan dan derajat kehalusan yang diinginkan (Septian, 1987). Beberapa keuntungan menggunakan jenis penggiling tipe burr mill yaitu diantaranya kecepatan operasi mesin relatif rendah, lebih dapat menyesuaikan diri dengan gerusan kasar, hasil gilingan lebih seragam dan tenaga yang dibutuhkan untuk menggerus sampai derajat kehalusan tertentu lebih kecil. Sedangkan kerugiannya yaitu lebih sering mengganti suku cadang, adanya benda asing dalam biji-bijian yang digiling dapat merusak alat dan akan rusak bila dioperasikan dalam keadaan kosong, kecuali tidak ada tekanan sama sekali.

Laju pengumpanan pada burr mill bersifat khas. Bila laju pengumpanan rendah, maka alat penggiling hanya bekerja dengan gesekan saja karena ruang antara piringan penggiling belum cukup penuh. Jika pengumpanan lebih tinggi maka ruang antara piringan penggiling akan terisi penuh, sehingga alat bekerja dengan tekanan dan gesekan. Bila laju pengumpanan terlalu tinggi, maka efektifitas alat giling berkurang dan juga akan menyebabkan panas yang berlebihan (Septian, 1987). Desain dan konstruksi alat giling tipe burr mill ini dibuat dengan presisi tinggi, karena itu alat ini sering dipakai untuk menyiapkan produk makanan dan pakan secara komersil. Selain itu, kehalusan giling yang diperoleh tergantung pada tipe burr mill yang digunakan, kecepatan piringan, kondisi piringan, besar tekanan, biji yang digiling dan kandungan air biji serta laju pengumpanan. Proses penyaringan berfungsi untuk memisahkan pati dengan hancuran lembaga, tip cap, dan endosperm yang masih kasar. Penyaringan harus selalu dialirkan air dari hasil penggilingan supaya terus tersaring secara merata. Hancuran pati dengan bagian lain yang akan dibuang secara terus menerus disaring. Bagian yang tidak tersaring akan masuk lagi ke tempat penampung yang selanjutnya akan dimasukan lagi kedalam tempat penyaring. Bagian yang tidak lolos penyaring ketika akan dimasukan lagi ke dalam penampung dilakukan proses pengepresan manual dengan menggunakan tangan. Tujuan pengepresan dengan menggunakan tangan ini yaitu untuk mengeluarkan pati yang masih terdapat dalam hasil gilingan. Bagian yang lolos akan dialirkan ke tempat penampung yang berbeda. Bagian yang lolos ini lebih halus cairannya karena tidak terdapatnya bagian kasar dari hasil penggilingan. Bagian yang lolos saringan kemudian diendapkan untuk mendapatkan endapan pati jagung. Pengendapan dilakukan sampai terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih. Untuk mengetahui waktu pengendapan yang optimum, dilakukan pengamatan setiap satu jam. Hasil pengamatan pada satu jam pertama menunjukkan bahwa belum terbentuk endapan dan campuran pati

masih keruh. Pada jam kedua menandakan hal yang sama dengan pengamatan jam pertama. Begitupun seterusnya untuk jam-jam pengamatan berikutnya, hal ini disebabkan terlalu banyaknya air yang ditambahkan ketika proses penggilingan dan penyaringan. Maka daripada itu, pengendapan dilakukan selama 20 jam. Setelah 20 jam pengendapan, terdapat dua lapisan yaitu lapisan air jernih dan lapisan endapan pati. Akan tetapi pengendapan selama 20 jam ini menyebabkan mulai tercium bau asam, yang menandakan mulai terjadinya kerusakan endapan pati jagung. Kerusakan endapan pati jagung ini terjadi akibat fermentasi suspensi pati yang kaya nutrisi oleh khamir yang dapat berasal dari biji jagung itu atau dari udara. Tahap selanjutnya adalah pemisahan endapan pati dari lapisan air sehingga diperoleh tepung jagung basah. Sebagian tepung basah ini kemudian dikeringkan dengan oven bersuhu 60-70 0 C hingga kadar air 10%. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan daya simpan tepung jagung. Dari semua tahapan proses tersebut, dilakukan pengamatan terhadap hasil penggilingan dan rendemen tepung yang dihasilkan berdasarkan perbedaan waktu perendaman. Tabel 7. Hasil Pengamatan Rendemen terhadap Hasil Penggilingan Waktu perendaman (jam) Hasil penggilingan Berat awal (kg) Berat akhir (kg) Rendemen (%) 6 Kasar 25 5.5531 22.21 9 Halus 25 6.0938 24.38 12 Halus 25 8.1185 32.47 Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas, diketahui bahwa perendaman selama enam jam masih memberikan hasil penggilingan yang kasar sehingga rendemen yang dihasilkan masih sedikit. Hal ini disebabkan masih terdapatnya butiran-butiran jagung yang tidak tergiling sehingga sulit untuk diolah menjadi pati. Perendaman selama sembilan jam sudah cukup untuk melunakkan tekstur biji jagung sehingga hasil penggilingannya halus dan rendemen yang dihasilkannya lebih tinggi. Perendaman enam dan sembilan jam memberikan persentase rendemen

yang tidak terlalu jauh, namun hasil perendaman sembilan jam lebih halus. Perendaman selama dua belas jam, memberikan persentase rendemen yang lebih tinggi dari dua perendaman yang lain dan rendemen yang dihasilkannya pun lebih halus. Perbedaan persentase rendemen dari perendaman dua belas jam cukup jauh dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan dengan semakin lamanya perendaman akan lebih melunakkan tekstur biji jagung sehingga ketika dilakukan proses penggilingan akan lebih halus dan tinggi rendemennya. Rendahnya rendemen tepung yang diperoleh disebabkan belum semua pati terendapkan, yang ditunjukkan dengan adanya lapisan kedua yang berupa suspensi pati pada saat pengendapan. Namun jika waktu pengendapan ditambah akan menyebabkan kerusakan pati. Oleh karena itu, setelah tahap pengendapan, dilakukanlah sentrifugasi terhadap lapisan suspensi pati tersebut. Pada awalnya sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 2000 rpm selama lima menit. Akan tetapi dikarenakan kapasitas alat sentrifugasi yang terbatas sedangkan bahan yang disentrifugasi tinggi jumlahnya, maka tahap sentrifugasi ini tidak dilanjutkan. Apabila dilanjutkan akan membutuhkan waktu yang lama dan menghasilkan suspensi pati yang tengik dan basi. Maka daripada itu, untuk usaha pengembangan produksi penepungan jagung dalam skala besar, agar semua tahapan proses terlaksana, maka seyogyanya diperlukan alat sentrifugasi yang mempunyai skala kerja yang besar. Tahapan ini yang menjadikan proses sentrifugasi menjadi titik kritis dalam proses penepungan basah. Alat sentrifugasi berfungsi untuk memisahkan komponen air yang masih terdapat dalam campuran pati, sehingga dengan dilakukannya proses sentrifugasi, proses pengeringan akan lebih cepat. Oleh karena tahap sentrifugasi tidak dilakukan, maka tahap selanjutnya dari proses penggilingan basah yaitu pengeringan. Suspensi pati yang diperoleh dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 60 70 0 C selama kurang lebih 5 jam. Parameter proses yang dilakukan pada pengeringan ini cukup untuk mengeringkan suspensi pati yang masih bercampur dengan air.

Jagung kering pipil (25 kg) Air (50 kg/200%) Perendaman Air (40 kg/160%) Jagung pipilan basah (35 kg/140%) Air (10 kg/40%) Penggilingan basah Pecahan jagung dan air (10 kg/40%) Hancuran jagung dan air (35 kg/140%) Penyaringan Ampas jagung (10 kg/40%) Campuran pati kasar (25 kg/100%) Pengendapan Dekantasi Air (15 kg/60%) Endapan pati (10 kg/40%) Pengeringan Air (3.5 kg/14%) Pati jagung kering (6.5 kg/26%) Gambar 9. Diagram Alir Kesetimbangan Massa Proses Penepungan Basah

Suspensi pati yang masih dalam keadaan cair dituangkan kedalam loyang atau tray pengering secara merata. Air yang terdapat dalam suspensi pati akan menguap keluar dan suspensi pati akan mengering dan berbentuk kepingan pati apabila pati telah kering keseluruhan. Kepingankepingan pati yang telah kering kemudian dihaluskan menjadi bentuk tepung. Proses pembentukan tepung ini dilakukan dengan menggunakan alat penggiling berupa disc mill. Alat ini cukup efektif dalam penepungan bila dibandingkan dengan menggunakan blender bahan kering. Bahan yang akan ditepungkan berupa kepingan halus, maka penepungan akan lebih mudah dan lebih halus. Setelah proses penepungan dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pengayakan. Pengayakan ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pati jagung yang lebih halus dan membersihkan pati jagung dari serpihanserpihan kepingan pati yang tidak tergiling. Pengayakan dilakukan dengan cara manual yaitu menggunakan ayakan dari bahan kain dan tidak menggunakan alat pengayak seperti halnya pada tahapan penggilingan kering. Hal ini dilakukan karena tepung jagung yang diperoleh sudah cukup halus untuk dijadikan bahan dalam pembuatan mi jagung. Proses penepungan teknik basah memerlukan waktu kurang lebih selama 1-2 hari mulai dari tahap perendaman sampai tahap pengayakan. Lamanya waktu tersebut berdasarkan dengan alat yang tersedia di laboratorium. Alat-alat yang digunakan untuk melakukan penepungan teknik basah ini terdapat di beberapa lokasi laboratorium, yaitu burr mill dan saringan pati di Lab.Technopark, pengayak dan oven di Lab.Seafast Center, serta disc mill di Lab.Pilot Plan PAU. 3. Karakteristik Tepung Jagung a. Warna Tepung Jagung Tepung jagung yang dihasilkan memiliki warna kuning keputihan. Secara kuantitatif, warna tepung jagung diukur menggunakan kromameter dengan menggunakan metode Hunter (Hutching, 1999). Pengukuran warna tepung jagung menggunakan metode ini akan memberikan tiga parameter pengukuran yaitu nilai L,

a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel, semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L akan mendekati 100. Sebaliknya semakin gelap sampel akan menunjukkan nilai L yang mendekati 0. Nilai a dan nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik. Nilai a merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran merah hijau. Bila nilai a positif menunjukkan bahwa sampel cenderung berwarna merah sebaliknya bila nilai a bernilai negatif maka sampel cenderung berwarna hijau. Nilai b merupakan parameter pengukuran warna kromatik campuran kuning biru. Bila nilai b positif menunjukkan bahwa sampel berwarna kuning dan sebaliknya bila nilai b bernilai negatif maka sampel berwarna biru. Tabel 8. Hasil Pengukuran Warna Tepung Jagung Teknik Ulangan L a b Kering 1 62.98 + 3.10 + 12.56 2 63.04 + 3.10 + 12.50 Rata-rata 63.01 + 3.10 + 12.53 Basah (6 jam) 1 63.07 + 3.88 + 5.79 2 63.02 + 3.82 + 5.77 Rata-rata 63.05 + 3.85 + 5.78 Basah (9 jam) 1 63.49 + 3.87 + 5.95 2 63.55 + 3.91 + 6.18 Rata-rata 63.52 + 3.89 + 6.07 Basah (12 jam) 1 64.05 + 3.69 + 7.02 2 63.73 + 3.69 + 7.13 Rata-rata 63.89 + 3.69 + 7.08 Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa tepung jagung varietas Srikandi hasil penggilingan kering memiliki nilai rata-rata L, a dan b berturut-turut 63.01, 3.10 dan 12.53. Data pengukuran warna tepung jagung hasil penggilingan kering ini menunjukkan bahwa tepung jagung yang digunakan sebagai bahan baku mi jagung memiliki karakteristik cerah dan berwarna merah kekuningan. Hal ini diakibatkan oleh kandungan pigmen beta karoten pada biji jagung (Johnson, 1991). Lebih khususnya lagi pigmen yang terdapat pada jagung yaitu adalah kriptoxanthin. Kriptoxanthin adalah salah satu pigmen yang termasuk xantofil (karotenoid yang mengandung gugus

hidroksil). Kriptoxanthin ini mempunyai rumus kimia yang mirip dengan beta karoten, akan tetapi perbedaannya yaitu pada kriptoxanthin terdapat gugus hidroksil. Begitupun dengan data pengukuran warna tepung jagung hasil penggilingan basah mempunyai nilai rata-rata L dan a yang hampir sama dengan tepung jagung hasil penggilingan kering. Sedangkan untuk nilai rata-rata b tepung jagung hasil penggilingan basah mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan tepung jagung hasil penggilingan kering. Hal ini menandakan bahwa tepung jagung hasil penggilingan basah mempunyai intensitas warna kuning yang lebih rendah daripada tepung jagung hasil penggilingan kering. Hasil pengukuran kuantitatif ini terbukti dengan pengamatan secara visual yang menampakan tepung jagung hasil penggilingan basah mempunyai intensitas warna kuning yang rendah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Perlakuan penggunaan air dalam penggilingan basah akan memberikan efek warna yang kurang begitu kuning terhadap tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini kemungkinan terjadi karena kandungan pigmen beta karoten atau kriptoxanthin pada biji jagung banyak terbuang ketika proses penepungan dilakukan. Gambar 10. Warna Tepung Jagung Teknik Penggilingan Kering (kiri) dan Basah (kanan) Warna kuning pada tepung jagung tentunya akan berpengaruh terhadap warna mi yang dihasilkan. Warna kuning pada tepung jagung menunjukkan karakteristik khas dari mi yang dihasilkan. Warna mi jagung yang terbuat dari tepung jagung hasil penggilingan kering mempunyai warna lebih kuning jika dibandingkan dengan tepung

jagung hasil penggilingan basah. Warna mi jagung dari tepung jagung hasil penggilingan basah warnanya lebih pucat atau kecoklat-coklatan. Mi jagung yang berwarna kuning merupakan keunggulan mi jagung dibandingkan mi terigu mengingat tidak diperlukan lagi bahan tambahan pewarna untuk menghasilkan mi matang yang berwarna kuning (Fadlillah, 2005). b. Karakteristik Kimia Tepung Jagung Pengujian terhadap karakteristik kimia dilakukan untuk mengetahui nilai kandungan gizi tepung jagung sebagai bahan baku utama dalam pembuatan mi berbahan baku tepung jagung. Sifat kimia tepung jagung yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar amilosa. Tabel 9 menunjukkan beberapa karakteristik kimia dari tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah. Hasil analisis proksimat pada Tabel 9 di bawah menunjukkan bahwa tepung jagung hasil penggilingan kering dan basah masih memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (8.73; 8.49; 8.06; dan 8.78 %). Menurut Balitbang Pertanian (2005), jagung Srikandi yang termasuk kedalam jenis jagung QPM (Quality Protein Maize) memiliki kandungan protein lebih dari 10%. Meskipun demikian, kandungan protein yang dikandung oleh tepung jagung pada penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 10%. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan dari masa pemanenan jagung. Rendahnya kandungan protein pada tepung jagung dapat disebabkan oleh umur pemanenan jagung yang terlalu muda. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kandungan protein jagung tergantung pada umur dan varietas jagung. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua.

Tabel 9. Karakteristik Kimia Tepung Jagung Varietas Srikandi Teknik Penggilingan Parameter Kering Basah 6 jam 9 jam 12 jam Kadar air (%) 7.94 7.12 6.84 5.48 Kadar abu (%) 0.68 0.59 0.71 0.79 Kadar protein (%) 8.73 8.49 8.06 8.78 Kadar lemak (%) 2.99 7.11 6.32 6.33 Kadar karbohidrat (%) 79.66 76.69 78.07 78.62 (by difference) Kadar amilosa (%) 20.22 20.88 20.47 20.26 Gambar 11 menunjukkan pengaruh berbagai teknik penggilingan terhadap kadar protein tepung jagung. Perbedaan dalam teknik penggilingan jagung ternyata tidak terlalu mempengaruhi terhadap kandungan protein tepung jagung. Begitupun dengan perbedaan perlakuan waktu perendaman jagung pada proses penggilingan basah. Hal ini menandakan bahwa kandungan protein tepung jagung tidak dipengaruhi oleh teknik penggilingan yang dilakukan, akan tetapi rendah tingginya kandungan protein tepung jagung lebih dipengaruhi oleh umur dan varietas dari tanaman jagung itu sendiri. Kadar Protein 9 8.73 8.78 Kadar (%) 8.5 8 8.49 8.06 7.5 kering basah, 6 jam basah, 9 jam basah, 12 jam Teknik Penggilingan Gambar 11. Grafik Pengukuran Kadar Protein Tepung Jagung Srikandi Kandungan amilosa tepung jagung dari hasil dua teknik penggilingan yang berbeda memiliki nilai yang kurang lebih sama,

yaitu sebesar 20.22; 20.88; 20.47; dan 20.26 %. Nilai-nilai ini lebih rendah dibandingkan data kadar amilosa jagung seperti yang diungkapkan oleh Belitz dan Grosch (1999) yaitu sebesar 28%. Perbedaan varietas jagung akan menyebabkan nilai amilosa yang berbeda pula. Kandungan amilosa yang cukup tinggi merupakan salah satu hal yang diharapkan dalam pembuatan mi non-terigu karena dapat memiliki daya ikat yang lebih kuat (Kim et al., 1996). Kadar lemak mempunyai nilai yang berbeda diantara semua perlakuan baik itu teknik penggilingan yang berbeda maupun waktu perendaman di dalam teknik penggilingan basah. Untuk nilai kadar lemak pada penggilingan basah tidak terlalu jauh perbedaan nilainya. Akan tetapi bila dibandingkan dengan nilai kadar lemak tepung jagung hasil penggilingan kering akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Untuk lebih jelasnya tentang pengaruh berbagai teknik penggilingan terhadap kadar lemak dapat diihat pada Gambar 12 di bawah ini. 10 Kadar Lemak Kadar (%) 8 6 4 2 2.99 7.11 6.32 6.33 0 kering basah, 6 jam basah, 9 jam basah, 12 jam Teknik Penggilingan Gambar 12. Grafik Pengukuran Kadar Lemak Tepung Jagung Srikandi Kadar lemak pada tepung jagung hasil penggilingan kering mempunyai nilai yang lebih rendah daripada diantara nilai tepung jagung hasil penggilingan basah. Semakin lama perendaman jagung yang dilakukan akan semakin rendah kadar lemaknya. Untuk perendaman enam jam mempunyai nilai kadar lemak tepung jagung

yang lebih tinggi dibandingkan dengan perendaman sembilan dan dua belas jam. Rendahnya kandungan lemak kasar pada tepung jagung hasil penggilingan kering disebabkan oleh adanya proses atau energi panas yang sering terjadi ketika proses penggilingan kering dilakukan. Proses energi panas secara tidak langsung akan mendegradasi kadar lemak yang terkandung pada tepung jagung. Kadar lemak tepung jagung pada hasil penggilingan kering ini lebih kecil daripada kadar lemak kasar pada biji jagungnya sendiri sebelum dilakukan penggilingan, yaitu berkisar 5.67 % (Soraya, 2006). Penepungan yang berbeda dari proses penggillingan jagung akan memberikan beberapa karakteristik tepung yang berbeda pula. Hal ini tergantung dari teknik yang digunakan. Dari beberapa teknik penepungan akan memberikan kelebihan dan kekurangan masingmasing. Diharapkan untuk satu teknik dapat memberikan kelebihan yang maksimal. Akan tetapi hal itu mungkin sulit untuk dicapai, karena adakalanya tidak semua tahapan proses akan terlaksana dan kemungkinan terjadinya side effect dari proses itu sendiri. Tepung jagung hasil penggilingan basah memberikan karakteristik mi yang hampir sama dengan tepung jagung hasil penggilingan kering. Namun yang membedakan diantara keduanya adalah dalam hal warna. Warna mi dari tepung jagung penggilingan basah mempunyai warna yang lebih pucat atau kecoklatan, dikarenakan tepung yang dihasilkan dari penggilingan basah itu sendiri berwarna pucat. Selain itu, mi yang berasal dari tepung jagung penggilingan basah, mempunyai aroma yang tidak sedap atau sedikit tengik setelah proses pemasakan dilakukan. Hal ini terjadi karena pada penggilingan basah terdapat tahapan proses pengendapan campuran pati. Campuran pati ini tidak dapat diendapkan dalam waktu yang singkat. Apabila dilakukan pengendapan dalam waktu yang singkat, maka belum semua pati secara keseluruhan terendapkan, sehingga harus dilakukan pengendapan yang lebih lama. Dengan pengendapan

yang lebih lama inilah, tepung jagung yang dihasilkan mempunyai aroma yang berasa lebih asam. Proses penepungan skala laboratorium lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan skala yang lebih besar. Skala laboratorium masih dapat dilakukan dengan hanya satu orang, akan tetapi bila skala besar membutuhkan beberapa orang untuk melakukannya, terlebih untuk proses penepungan teknik basah. Salah satu kesulitan tersebut dikarenakan bahan dasar yang berupa biji jagung banyak jumlahnya. Penepungan teknik basah mempunyai kesulitan dalam proses penggilingannya. Hal ini dikarenakan penggilingan biji jagung dilakukan dengan mengalirkan air secara kontinyu, sehingga memerlukan minimal dua orang untuk mengerjakannya. Begitupun dalam tahap penyaringan, memerlukan beberapa orang dalam mengerjakannya untuk memeras pati jagung, mengalirkan air dan menempatkan cairan pati jagung yang tersaring. 4. Rekapitulasi Variabel Proses pada Berbagai Teknik Penepungan Rekapitulasi variabel proses pada setiap tahapan pengolahan dilakukan untuk mengetahui hasil yang didapat dan permasalahan yang dihadapi ketika proses penepungan dilakukan. Selain itu, melalui rekapitulasi ini dapat juga diketahui solusi yang harus dijalankan untuk memperbaiki proses penepungan. Tabel 10 dibawah menunjukkan rekapitulasi variabel proses pada berbagai teknik penepungan.

Tabel 10. Rekapitulasi Variabel Proses pada Berbagai Teknik Penepungan Tahapan proses Proses scale up yang dilakukan 1. Penepungan Teknik Kering a. Penggilingan kasar jumlah biji jagung dan penggunaan saringan b. Pencucian dan perendaman Hasil Permasalahan Solusi grits masih besar, terdapat sebagian ukuran grits masih utuh ukuran saringan masih terlalu besar, sebesar 7 mm jumlah biji jagung biji cukup lunak masih terdapatnya lembaga, kulit dan pericarp dibawah rendaman c. Pengeringan jumlah biji jagung grits cukup kering - - d. Penggilingan halus jumlah biji jagung dan penggunaan alat disc mill e. Pengayakan jumlah biji jagung dan susunan pengayak 2. Penepungan Teknik Basah penggunaan disc mill lama menghasilkan ukuran tepung yang lebih halus dibandingkan disc mill tipe baru berbagai ukuran tepung masih tercampur disc mill tipe baru tidak mempunyai lingkaran saringan susunan pengayak yang bertingkat a. Perendaman jumlah biji jagung biji cukup lunak - - b. Penggilingan basah jumlah biji jagung dan hancuran jagung penambahan air hancuran jagung terlalu encer apabila terlalu banyak air pengecilan ukuran saringan menjadi 5 mm dilakukan pengadukan sehingga kotoran dapat mengambang sehingga dapat dibuang digiling ulang dengan menggunakan disc mill tipe lama pemisahan susunan pengayak pengurangan jumlah air

Tahapan proses Proses scale up yang Hasil Permasalahan Solusi dilakukan c. Penyaringan jumlah biji jagung dan penambahan air suspensi pati suspensi pati terlalu encer apabila terlalu banyak air pengurangan jumlah air d. Pengendapan jumlah biji jagung terbentuk dua lapisan ; endapan pati dan lapisan proses pengendapan yang lambat waktu pengendapan lebih lama air jernih e. Dekantasi jumlah biji jagung endapan pati - - f. Sentrifugasi jumlah biji jagung pati jagung basah kekurangan alat sentrifugasi langsung dilakukan proses pengeringan g. Pengeringan jumlah biji jagung pati jagung kering - - h. Pengayakan jumlah biji jagung pati jagung - -

B. Penggandaan Skala Pembuatan Mi Jagung Kering 1. Pembuatan Mi Jagung Kering Mi jagung merupakan produk baru yang akan dikembangkan untuk mendukung program diversifikasi pangan. Proses pembuatan mi jagung kering terdiri dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua dan pengeringan. Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan pengolahan mi terigu karena setelah pencampuran bahan pada pembuatan mi jagung harus dilakukan pengukusan dan apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini dikarenakan protein total endosperm dalam jagung 80-85% terdiri dari zein dan glutelin. Sedangkan protein total endosperm dalam gandum 80-85% terdiri dari gliadin dan glutenin. Gliadin dan glutenin merupakan jenis protein yang mempunyai sifat membentuk massa yang elastiscohesive bila ditambah air dan diuleni, sehingga untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif, dan cukup elastis namun tidak lengket dan mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran pada mi jagung diperlukan bahan pengikat, yaitu matriks pati yang tergelatinisasi. Suspensi tepung dengan air pada saat pengukusan mengalami proses gelatinisasi. Pada saat gelatinisasi, maka granula pati tepung akan mengembang karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin. Pengembangan granula pati berpengaruh terhadap massa adonan. Setelah pengukusan, dihasilkan massa adonan yang kohesif dan cukup elastis ketika diuleni. Lama waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak, akan tetapi tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir sama. Adonan yang telah dikukus mengalami pemasakan yang tidak merata dimana bagian dalamnya sangat sedikit menerima panas sehingga tingkat kemasakan ataupun gelatinisasinya paling rendah. Untuk meratakan kadar air dan tingkat gelatinisasi diperlukan proses pengulian.

a. Pencampuran Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan berupa tepung jagung, garam, baking powder dan air. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk banyak gumpalan. Pencampuran awalnya menggunakan handmixer dengan menggunakan 100 gram tepung jagung. Pencampuran memerlukan cara yang sesuai dengan komposisi bahanbahan dasar. Tepung jagung dicampur terlebih dahulu dengan baking powder, sedangkan garam dilarutkan kedalam air sehingga terbentuk larutan garam. Kemudian larutan garam dicampurkan dengan campuran tepung jagung dan baking powder. Hal yang perlu diperhatikan dalam pencampuran adalah penambahan larutan garam. Penambahan larutan garam kedalam campuran tepung jagung dan baking powder harus dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit. Cara ini dimaksudkan supaya tidak banyak terbentuk gumpalan-gumpalan tepung. Apabila terjadi demikian, maka hal ini menyebabkan distribusi larutan garam tidak merata. Cara lain untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan memperlama proses pengadukan, sehingga dengan memperlama proses pengadukan akan didapat distribusi larutan garam yang cukup merata. Proses pencampuran dengan jumlah tepung jagung yang banyak memerlukan jenis pencampur yang berkapasitas lebih besar. Untuk skala laboratorium cukup menggunakan handmixer sebagai alat pengaduknya. Adapun alat pencampur yang digunakan dalam skala yang lebih besar pada penelitian ini adalah varimixer. Varimixer merupakan alat yang digunakan untuk mencampur bahan-bahan dalam pembuatan produk makanan, sebagai contohnya roti. Varimixer dengan pengaduk jenis jari-jari direkomendasikan untuk pencampuran bahan-bahan yang telah ditambahkan air, sebab jika menggunakan jenis pengaduk lain, distribusi air tidak akan merata dan membuat adonan menjadi menggumpal. Pengadukan yang optimal

akan menghasilkan distribusi parikel yang lebih homogen, adonan yang lebih halus dan lebih mudah dicetak menjadi lembaran. Pencampuran basah ini juga sangat penting untuk menjamin proses gelatinisasi yang lebih merata. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati (Fadlillah, 2005). Varimixer yang digunakan pada penelitian ini mempunyai dua buah jenis pengaduk. Pengaduk pertama berjenis kail dan pengaduk kedua berjenis jari-jari. Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap kedua pengaduk tersebut dalam mengaduk campuran bahanbahan pembuatan mi. Tujuan dari pengujian ini untuk mengetahui jenis pengaduk yang dapat menghasilkan campuran bahan pembuat mi yang homogen. Sehingga dengan campuran yang homogen akan dihasilkan mi yang bertekstur lembut. Tabel 11. Perlakuan terhadap Jenis Pengaduk Jenis Kail Jenis Jari-jari Parameter Tepung jagung 100% Campuran tepung jagung dan terigu Tepung jagung 100% Waktu 10 menit 10 menit 10 menit 10 menit Hasil Adonan Adonan Adonan berbentuk berbentuk berbentuk bulatanbulatan lempengan dan bulatan- bulatan kecil, bulatan kecil dan terdapat bagian kecil yang mudah yang lebih mudah agak keras hancur pecah dan yang sulit pecah. Campuran tepung jagung dan terigu Adonan berbentuk lempengan dan bulatan yang keras, sebagian ada yang sulit dipecahkan dan lebih merata. Tabel 11 di atas menunjukkan perlakuan-perlakuan terhadap jenis pengaduk pada varimixer. Percobaan yang dilakukan menggunakan campuran adonan sebesar 300 gram tepung jagung. Dari hasil pengujian, kesulitan pemakaian pengaduk jenis kail yaitu masih terdapatnya campuran yang mudah hancur dan belum cukup menyatu. Hal ini juga dialami oleh pengaduk jenis jari-jari, akan tetapi pengaduk jenis jari-jari menghasilkan campuran yang lebih baik dengan

terbentuknya campuran yang lebih menyatu. Secara mendasar, pengadukan antara tepung jagung hasil penepungan basah dan kering tidak terdapat perbedaan. b. Pengukusan Pengukusan merupakan proses yang harus dilakukan dalam pembuatan mi jagung. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. Apabila tidak dilakukan pengukusan maka adonan yang terbentuk tidak dapat dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin sedangkan protein total endosperm dalam gandum sebagian besar terdiri atas gliadin dan glutenin yang merupakan jenis protein yang mempunyai sifat mampu membentuk massa yang elastic-cohesive dengan penambahan air. Walaupun demikian, proses pengukusan hanya bertujuan agar tepung mengalami gelatinisasi sebagian (pregelatinisasi). Bila tepung telah mengalami gelatinisasi sempurna maka adonan yang dihasilkan akan menjadi lengket. Pengukusan pertama ditujukan untuk membentuk massa adonan yang lunak, kohesif dan cukup elastis namun tidak lengket sehingga mudah dicetak ke dalam bentuk lembaran dan untaian mi. Mi hasil pengukusan pertama tidak dapat langsung dikeringkan karena pada pengukusan pertama proses gelatinisasi belum sempurna atau mi yang dihasilkan belum matang sehingga diperlukan pengukusan kedua. Apabila pengukusan pertama ditujukan untuk mematangkan mi maka pengukusan harus lebih lama. Sedangkan pengukusan yang lebih lama akan meningkatkan gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan lengket sehingga sulit dicetak (Juniawati, 2003). Selain itu, apabila mi hasil pengukusan pertama langsung dikeringkan ketika dilakukan pemasakan akan hancur. Hal ini disebabkan apabila proses gelatinisasi belum cukup maka pati tergelatinisasi yang mampu bertindak sebagai zat pengikat tidak dapat

mengikat secara sempurna partikel-partikel yang ada dalam bahan sehingga ketika dimasak dalam air akan larut. Proses pematangan mi atau gelatinisasi lebih lanjut dilakukan pada pengukusan kedua. Pada pengukusan kedua akan terjadi penyerapan air dan gelatinisasi pati. Gelatinisasi lebih lanjut akan menyebabkan amilosa berdifusi ke luar dari granula dan ketika sudah dingin akan membentuk matriks yang uniform, kekuatan ikatan antar granula pun meningkat. Oleh karena itu, mi hasil pengukusan kedua setelah dikeringkan apabila dimasak tidak akan hancur (Budiyah, 2004). Dalam skala laboratorium, proses pengukusan dilakukan dengan menggunakan pengukus biasa yang sering dipakai di rumah tangga. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan apabila akan dilakukan proses produksi skala besar. Hal ini karena produksi skala besar membutuhkan proses gelatinisasi cukup dan merata yang membutuhkan parameter proses yang lebih akurat. Dengan penambahan jumlah bahan untuk skala besar, maka alat yang digunakan juga harus disesuaikan dengan jumlah bahan tersebut. Alat pengukus yang selayaknya digunakan untuk pengukusan adalah yang mempunyai alat kontrol suhu dan waktu yang otomatis, sehingga proses pengontrolan akan lebih terjamin. Steaming box yang direkomendasikan adalah steaming box dengan proses pemasukan uap panas dilakukan melalui pipa yang berlubang di dalam box steam. Kesulitan melakukan pengukusan skala besar ini terdapat dalam hal pemerataan panas terhadap campuran tepung jagung yang dikukus. Untuk menjaga pemerataan panas terhadap tepung jagung, maka perlu dilakukan usaha pengadukan atau pengulian tepung jagung yang terdapat di lapisan bawah dengan lapisan atas adonan. Pemerataan distribusi panas ini untuk menjaga terjadinya gelatinisasi secara merata. Formulasi yang diujicobakan menggunakan perbandingan tepung jagung dengan pati jagung. Bahan dasar secara keseluruhan menggunakan campuran tepung jagung dan pati jagung 250 gr, 300 gr

dan 500 gr. Campuran tepung jagung dan pati jagung menggunakan perbandingan 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, dan 50:50. Dari beberapa formulasi tersebut dilakukan percobaan dengan waktu pengukusan pertama dan kedua yang berbeda. Melalui percobaan, pengukusan pertama yang cukup memberikan hasil yang baik yaitu pengukusan dengan waktu 15 menit. Waktu 15 menit ini diselingi dengan pengadukan atau pengulian agar lebih merata gelatinisasinya. Hasil yang diperoleh dari pengukusan selama 15 menit ini menghasilkan lembaran adonan yang cukup elastis. Dikarenakan percobaan memakai waktu pengukusan kedua selama 10, 20, dan 30 menit memberikan hasil pengukusan yang sama, maka untuk proses pengukusan kedua, waktu yang optimal diambil selama 10 menit. c. Pembentukan lembaran, pencetakan dan pemotongan Proses pencetakan merupakan tahapan yang dilakukan untuk membentuk untaian-untaian mi dengan karakter yang diinginkan. Proses pencetakan ini terdiri atas tiga tahap yaitu pembentukan lembaran adonan tepung jagung yang telah dikukus, pembentukan dan pemotongan untaian mi. Ketiga proses ini biasanya dilakukan dalam satu alat. Adonan setelah pengukusan akan masuk ke dalam roll press yang akan mengubah adonan menjadi bentuk lembaran-lembaran (Gambar 13). Gambar 13. Proses Pencetakan Lembaran Mi

Saat pengepresan, adonan akan ditarik ke satu arah sehingga seratnya sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan, kekenyalan dan elastisitas mi (Fadlillah, 2005). Adonan dapat ditekan berulang-ulang dan menghasilkan ketebalan yang diinginkan. Menurut Hou dan Kruk (1998) untaian mi basah memiliki ukuran lebar dan ketebalan 1,5 mm. Lembaran yang tipis selanjutnya masuk ke mesin pencetak mi (slitter) yang berfungsi mencetak lembaran adonan menjadi untaian mi (Gambar 15). Ketajaman roll pemotong sangat penting untuk diperhatikan. Roll pemotong yang kurang tajam menyebabkan untaian mi tidak terpotong dengan rapi dan bergerigi. Hasil potongan yang kurang rapi akan berpengaruh terhadap cooking quality mi. Potongan yang kurang rapi dapat meningkatkan cooking loss. Untuk pembentukan mi dalam jumlah yang lebih besar masih dapat menggunakan mesin mi skala laboratorium. Akan tetapi masih terdapat kesulitan yang akan menghambat proses pembentukan mi selanjutnya. Adonan mi yang banyak dan masih dalam bentuk tepung, akan menyebabkan lembaran adonan sulit terbentuk dan membutuhkan waktu yang lama. Pembentukan untaian mi untuk skala yang besar ini lebih baik jika menggunakan pencetak mi (slitter) yang dilepas bagian pemerata untaiannya. Hal ini dikarenakan lempengan pemerata yang terdapat pada slitter akan mengakibatkan mi yang telah tercetak akan tertekan oleh lempengan pemerata tersebut dan mi akan mengalami patahpatah. Pelepasan lempengan pemerata tersebut akan mengurangi kesulitan-kesulitan yang dihadapi ketika produksi atau pembuatan untaian mi dalam skala besar. Gambar 14 di bawah ini menunjukkan perbedaan slitter antara yang terpasang dan tidak terpasang lempengan pemeratanya.

Gambar 14. Slitter (kiri : terpasang lempengan pemerata dan kanan : tanpa lempengan pemerata) Hasil percobaan dari beberapa formulasi diperoleh hasil terbaik dengan perbandingan tepung jagung dan pati jagung sebesar 70:30. Perbandingan ini berlaku untuk formulasi 250 gr, 300 gr dan 500 gr jumlah adonan. Hasil dari perbandingan ini membentuk lembaran adonan mi yang kompak dan halus permukaannya, lembaran mi tidak menempel di roller sheeting, pembentukan lembaran relatif cepat, mi tersisir dengan baik, tidak patah-patah, warna mi kekuningan. Akan tetapi ketika perebusan dilakukan selama 7 menit, mi masih kurang kenyal, agak keras, spot di tengah-tengah mi berkurang, kurang elastis, patah-patah saat direbus dan air sisa rebusan keruh agak kekuningan. Dari formulasi dengan perbandingan tepung jagung dan pati jagung sebesar 70:30, 60:40, dan 50:50 hampir semuanya memberikan karakteristik seperti diatas. Gambar 15. Proses Pencetakan Untaian Mi