3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan melalui tahap-tahap : persiapan dan pengumpulan data pada bulan September 2003 sampai dengan Desember 2004, dilanjutkan dengan pengolahan/analisis data sampai dengan bulan Desember 2005. Secara administratif, wilayah penelitian merupakan bagian Provinsi Sulawesi Selatan yaitu terletak diantara 0 o 12 8 o LS dan diantara 116 o 48 122 o 36 BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara : Propinsi Sulawesi Tengah Sebelah Timur : Teluk Bone dan Propinsi Sulawesi Tenggara Sebelah Selatan : Laut Flores Sebelah Barat : Selat Makassar Provinsi Sulawesi Selatan terletak di Pulau Sulawesi dengan luas wilayah adalah 62.482,54 Km 2, secara administratif pemerintahan terbagi menjadi 22 Kabupaten dan 2 Kota yang terdiri dari 252 Kecamatan dan 2.644 Desa/Kelurahan. Panjang garis pantai provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3.203 Km. Penelitian dilakukan di beberapa daerah Kabupaten atau Kota di perairan Sulawesi Selatan bagian Selatan yang meliputi daerah padat nelayan atau kegiatan perikanannya maupun daerah yang sedikit nelayan atau rendah kegiatan perikanannya. Kabupaten/Kota tempat dilakukannya penelitian antara lain : Kota Makassar, Kabupaten Takalar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Jeneponto, dan Kabupaten Selayar. Perairan di wilayah penelitian merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Selat Makassar dan Laut Flores (BRKP dan LIPI, 2001). Pada Gambar 11 diperlihatkan peta Republik Indonesia yang dibagi berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Gambar 12 memperlihatkan tujuh Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan bagian Selatan tempat dilaksankan penelitian.
υ ϖ { } ω ξ ψ ζ Keterangan : 1. Selat Malaka, 2. Laut Cina Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Arafura, 7. Laut Seram dan Teluk Tomini, 8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 9. Samudera Hindia Gambar 11. Peta Republik Indonesia dan Wilayah Pengelolaan Perikanan 5 o LU Takalar Bantaeng 120 o LS
Gambar 12. Lokasi Penelitian di Sulawesi Selatan bagian Selatan
Pemilihan lokasi ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa sumberdaya ikan di kawasan ini memiliki karakteristik khas yang merupakan bagian dari WPP Selat Makassar dan Laut Flores yang saat ini mengalami gejala overfishing. Secara umum usaha penangkapan ikan di perairan Sulawesi Selatan bagian Selatan dilakukan oleh nelayan tradisional, juga ada keinginan Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional di kawasan perairan ini. 3.2 Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian adalah sebagai berikut : (1) Aplikasi model pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap; (2) Melakukan simulasi model pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap berdasarkan beberapa skenario perubahan input; (3) Merumuskan kebijakan pengelolaan perikanan di wilayah padat tangkap; (4) Merumuskan prioritas kebijakan perikanan di wilayah Sulawesi Selatan bagian Selatan. Tahapan kegiatan penelitian meliputi pembuatan dan penyempurnaan proposal, pembuatan kuesioner, organisasi pembiayaan, pengumpulan data, pengolahan data, penulisan draft laporan, seminar, dan penulisan laporan akhir. Selain pengumpulan data di lapangan, seluruh kegiatannya akan dilakukan di Bogor. Komoditas yang dianalisis adalah komoditas perikanan dalam arti luas, yang bisa saja terdiri ikan ekonomis dan non-ekonomis. Per jenis ikan, komoditasnya bisa saja terdiri ikan pelagis kecil, pelagis besar, demersal, udang, dan komoditas lainnya. Komoditas yang selama ini dominan adalah pelagis kecil serta pelagis besar. 3.3 Kerangka Metodologi Kerangka metodologi sebagaimana diuraikan pada Gambar 13 yang meliputi analisis pemodelan dinamikan perikanan (SUR) serta analisis prioritas kebijakan pembangunan perikanan di wilayah padat tangkap.
OPI NI PAKAR ASPEK BI OLOGI (SUMBERDAYA I KAN) KEKUAT AN ST RENGT H KELEMAHAN WEAKNESS PELUANG OPPORT UNI T Y ANCAMAN T HREAT MODEL ASPEK MANAJEMEN ANALI SI S DINAMIKA PERI KANAN DENGAN SUR ANALI SI S SWOT DAN AHP ASPEK SOSI AL EKONOMI REKOMENDASI ALAT: - DI KURANGI - T ET AP - DI T AMBAH REKOMENDASI / PRI ORI T AS KEBI JAKAN PENGELOLAAN Gambar 13. Kerangka Metodologi ALT ERNAT I F KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERI KANAN 3.4 Metode Analisis 3.4.1 Analisis SUR Pengelolaan perikanan termasuk dinamika upaya penangkapan berlangsung tidak secara parsial yang menyangkut salah satu jenis alat tangkap tetapi seluruh alat tangkap. Karena kegiatan penangkapan dilakukan di kawasan perairan yang sama maka bila terjadi perubahan jumlah suatu alat tangkap tertentu, yang terjadi adalah perubahan pada seluruh konstelasi perikanan. Dengan dasar ini maka model analisis data yang digunakan adalah model SUR (Seemingly Unrelated Regression) dimana seolah-olah alat tangkap yang beroperasi di perairan yang sama tidak berhubungan atau berinteraksi namun sesungguhnya mereka saling berinteraksi. Alasan bahwa alat tangkap yang digunakan saling berinteraksi adalah : (1) menangkap sumberdaya ikan yang sama; (2) berlokasi di perairan yang sama; dan (3) sifat ekstrabilitas dan
indivisibilitas sumberdaya ikan. Oleh karena itu asumsi yang digunakan dalam model ini adalah : (1) investasi adalah tetap yang berarti tidak ada penambahan atau pengurangan investasi (misalnya kapal, alat tangkap, dan lain-lain) dalam suatu kawasan perairan yang dilakukan simulasi model, dan (2) kondisi awal perairan sudah mengalami overfishing. Model yang digunakan adalah model SUR yang dimodifikasi dari Tai and Heaps (1996) sebagai berikut: de jt /d t = j. [ ï jt / E jt - ã j ] (1) dimana : j = alat tangkap ke-j yaitu : 1 = payang (jala lompo) 2 = pukat pantai (panambe) 3 = pukat cincin (gae) 4 = jaring insang hanyut (puka ) 5 = jaring lingkar (rengge) 6 = jaring klitik (p. doang) 7 = jaring insang tetap (lanra) 8 = bagan perahu (bagan lopi) 9 = bagan tancap (bagan menteng) 10 = rawai tetap (rawe) 11 = pancing tonda 12 = sero 13 = bubu (pakkaja) Keterangan : identifikasi unit penangkapan (perahu dan alat tangkap) mengacu kepada buku panduan Balai Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Tahun 2000 dan Tahun 2003. t = indeks tahun, 1979 2003 E = alat tangkap yang telah distandarisasi, dengan jaring lingkar sebagai alat standar de jt /d t = perubahan jumlah alat j setiap tahun j = parameter respons yang menunjukkan besar pengaruh kebijakan tertentu terhadap keuntungan, yang pada akhirnya mempengaruhi dinamika perubahan jumlah alat tangkap ï jt / E jt = keuntungan sosial yang dihitung berdasarkan skenario kebijakan.
Dalam penelitian ini, skenario kebijakan adalah : (1) kenaikan BBM (solar) menjadi Rp 4.300; Rp 6.000; dan Rp 6.300,- (2) kenaikan harga ikan 20% dan 30% (3) biaya bunga 14% dan 16% (4) kenaikan upah (bagi hasil nelayan) 10% ã j = biaya/ pendapatan oportunitas yang merupakan variabel yang diduga dari dalam model (endogenous variable). Biaya oportunitas adalah alternatif terbaik yang dikorbankan atau harus dipertimbangkan oleh setiap pengguna alat tangkap dengan adanya skenario kebijakan yang diambil. Dengan melakukan ekspansi persamaan (1) maka : de jt /d t = j. ï jt / E jt - j ã j (2) Format persamaan (2) ini yang diestimasi dengan pendekatan SUR, terdiri dari 13 persamaan untuk masing-masing skenario kebijakan. Karena itu dengan adanya 8 skenario kebijakan maka persamaan yang diestimasi sebanyak 104 persamaan. Dari persamaan (1), dapat dihitung bahwa : Bila ï j > ã j maka d E t > 0 (positif) Bila ï j < ã j maka d E t < 0 (negatif) Bila ï j = ã j maka d E t = 0 (stabil) Estimasi pendapatan per alat tangkap adalah sebagai berikut : Ï j t = i (P i t.h i j t ) + BC j t c j Y j t FC j t (3) dimana : P i t = harga ikan i di tingkat nelayan padat tahun t BC j t = penerimaan hasil tangkap sampingan pada tahun t H i j t = hasil tangkapan jenis ikan i oleh alat j pada tahun t
c j = biaya operasi alat tangkap j FC j t = biaya tetap alat tangkap j pada tahun t
Estimasi Y j t, porsi bagi hasil nelayan adalah sebagai berikut : Y j t = [ i P i t. H i j t + BC j t - c j ]. SH j (4) dimana : SH j = bagian atau persentase hasil nelayan Pendapatan Ï jt menurut persamaan (3) untuk tahun 2003 dihitung berdasarkan data primer yang diperoleh melalui wawancara responden. Sementara pendapatan pada tahun-tahun sebelumnya diestimasi melalui pendeflasian pendapatan tahun 2003 dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Makassar pada setiap tahun. Estimasi alat tangkap yang telah distandarisasi adalah sebagai berikut : dimana : E j t E j t = P j t. A j t (5) = (U j t / U s t ). A j t (6) = jumlah alat tangkap yang telah distandarisasi P j t A j t U j t U s t = indeks upaya penangkapan j pada tahun t = jumlah alat tangkap j pada tahun t = produktivitas alat tangkap j pada tahun t = produktivitas alat tangkap standar tahun t, dengan jaring lingkar sebagai alat tangkap standar 3.4.2 Analisis kebijakan prioritas pengembangan perikanan Analisis kebijakan prioritas pengembangan perikanan bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai prioritas kebijakan di sektor kelautan dan perikanan yang meliputi kebijakan di sub sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan serta usaha non perikanan guna pengembangan usaha perikanan di wilayah padat tangkap. Hasil analisis ini berguna bagi para pengambil keputusan di sektor kelautan dan perikanan sesuai dengan daerah lokasi penelitian. Hasil analisis ini digunakan untuk melengkapi analisis dinamika pengembangan perikanan yang dilakukan dengan model SUR.
Alat analisis yang digunakan adalah SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan AHP (Analytical Hierarchy Process). Analisis SWOT merupakan analisis yang menggabungkan unsur internal yakni Stregth (kekuatan) dan Weakness (kelemahan) serta unsur eksternal yakni Opportunities (peluang) dan Threats (ancaman). Penentuan komponen SWOT tersebut didasarkan atas pendapat pakar yang berkompeten. Analisis SWOT selanjutnya digunakan pada AHP. AHP merupakan suatu proses yang memasukkan berbagai pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis, yang bergantung pada imajinasi, pengalaman, dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah dan pada logika. Software yang digunakan dalam mengolah data dengan metode AHP ini adalah expert choice. Berdasarkan kedua analisis tersebut tersusun suatu hirarki seperti pada Gambar 14. Hirarki tersebut dituangkan ke dalam kuesioner dan dilakukan penilaian prioritas oleh responden dengan menggunakan skala Saaty seperti yang terlihat pada Tabel 8. Level 1 Fokus Level 2 Komponen SWOT PENENTUAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN DI WILAYAH PADAT TANGKAP STRENGTHS WEAKNESSES OPPORTUNITIES THREATS Level 3 Faktor SWOT a b c d e f g h i j k l m n o p Level 4 Alternatif Kebijakan PERIKAN AN TANGKA PERIKANAN BUDIDAYA PENGOLAHAN PERIKANAN USAHA NON- PERIKANAN Gambar 14. Hirarki Penentuan Kebijakan Pengembangan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap
Tabel 8. Skala Perbandingan Saaty Intensitas/ Definisi Pentingnya 1 Atribut yang satu dengan yang lainnya sama penting 3 Atribut yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dari atribut yang lainnya. 5 Sifat lebih pentingnya atribut yang satu dengan lain kuat 7 Menunjukkan sifat sangat penting satu atribut dengan atribut lain 9 Satu atribut ekstrim penting dari atribut lainnya Keterangan Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain. Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai. Diperlukan kesepakatan (kompromi) 2, 4, 6, 8 Nilai tengah diantara dua penilaian Resiprokal Jika aktivitas i, dibandingkan Asumsi yang masuk akal dengan j, mendapat nilai bukan nol, maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya Rasional Rasio yang timbul dari skala Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks 3.5 Data dan Sumber Data Untuk analisis dinamika perikanan dengan SUR, data yang diperlukan adalah yang berkaitan langsung dengan parameter bioekonomi. Data biologi dibatasi pada hasil tangkapan ikan dan upaya penangkapan. Dengan demikian sampel atau contoh ikan sebagai parameter biologi tidak dianalisis. Data ekonomi difokuskan pada biaya penangkapan ikan yang meliputi biaya operasional, biaya depresiasi, biaya tetap, dan upah anak buah kapal (ABK), harga input, harga output, penerimaan nelayan, dan keuntungan nelayan. Keuntungan nelayan dihitung dengan persamaan (7) berikut ini : Π = TR (VC + FC) (7)
dimana : Π = keuntungan (Rp/tahun) VC = biaya variabel (Rp/tahun) FC = biaya tetap (Rp/tahun) Dalam hal ini biaya variabel meliputi biaya operasional, biaya depresiasi, dan upah untuk ABK. Selain itu juga diperlukan data tentang harga opportunitas untuk alat dan kapal penangkapan ikan. Selain data yang langsung berkaitan dengan model analisis, juga diperlukan data dan informasi lainnya yang mendukung pembahasan dan pendalaman masalah. Kebijakan pemerintah dalam bentuk hukum positif maupun aturan-aturan non-formal yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan perikanan juga digunakan dalam analisis, khususnya dalam skenario dan simulasi pemanfaatan dan pengelolaan perikanan. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan kuesioner bioekonomi terstruktur. Metode penarikan contoh ditentukan berdasarkan sampling frame. Karena alat tangkap perikanan berbeda-beda maka dilakukan penarikan contoh secara acak berlapis (stratified random sampling). Juga dikumpulkan data sekunder dari instansi pemerintah dan non-pemerintah di pusat maupun daerah. Penentuan sampel secara pasti tergantung pada jenis alat tangkap. Responden di tiap Kabupaten/Kotamadya dikelompokkan berdasarkan jenis alat tangkap. Jenis alat tangkap tersebut meliputi payang dan pukat pantai masing-masing sebanyak 9 responden, pukat cincin (14 responden), jaring insang hanyut (7 responden), jaring lingkar (10 responden), jaring klitik (10 responden), jaring insang tetap (25 responden), bagan perahu (5 responden), bagan tancap (15 responden), rawai tetap (14 responden), pancing tonda (6 responden), sero (9 responden), bubu (6 responden) atau total 139 responden. Secara rinci sebaran responden berdasarkan alat tangkap terdapat pada Tabel 9. Untuk analisis prioritas kebijakan perikanan, data dikumpulkan melalui wawancara dan pengisian kuesioner langsung oleh responden yang diambil secara stratified random sampling yaitu teknik pengambilan contoh pada suatu populasi yang terdiri atas beberapa kelompok secara acak. Jumlah responden analisis prioritas kebijakan pengembangan perikanan adalah 73 orang yang terdiri atas 5 kelompok stakeholder sektor kelautan dan perikanan yaitu :
(1) Pemerintah, sebanyak 30 orang terdiri atas Wakil Gubernur, Walikota, Ketua Bappeda, Bupati dan Kadis Perikanan; (2) Peneliti/Pakar, sebanyak 11 orang terdiri atas Kepala Balai RPBAP dan Lembaga Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Kepala Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) serta beberapa Dosen pada Universitas negeri maupun Swasta; (3) Tokoh Masyarakat, sebanyak 8 orang terdiri atas anggota DPRD Tingkat I dan II terutama Komisi IV yang membidangi sektor kelautan dan perikanan; (4) Organisasi Nelayan/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebanyak 15 orang terdiri atas Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan beberapa LSM yang berhubungan langsung dengan masyarakat khususnya nelayan; (5) Pengusaha, sebanyak 9 orang terdiri atas beberapa pengusaha yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan maupun di sektor terkait. Tabel 9. Jumlah Sampel per Alat Tangkap di Propinsi Sulawesi Selatan, 2004 No Alat Tangkap Kabupaten/Kota Total Makassar Takalar Jeneponto Bantaeng Bulukumba Sinjai Selayar 1 Payang 0 3 0 0 0 3 3 9 2 Pukat Pantai 3 3 0 0 0 3 0 9 3 Pukat Cincin 0 0 3 0 5 3 3 14 4 Jaring Insang Hanyut 0 0 0 3 3 0 1 7 5 Jaring Lingkar 1 3 0 3 3 0 0 10 6 Jaring Klitik 4 3 0 3 0 0 0 10 7 Jaring Insang Tetap 5 3 3 3 4 3 4 25 8 Bagan Perahu 0 0 0 0 0 2 3 5 9 Bagan Tancap 3 0 3 3 0 3 3 15 10 Rawai Tetap 1 3 3 3 4 0 0 14 11 Pancing Tonda 0 0 0 0 3 3 0 6 12 Sero 3 0 3 0 0 0 3 9 13 Bubu 0 3 3 0 0 0 0 6 Total 20 21 18 18 22 20 20 139