HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IDENTIFIKASI CACING PARASITIK DAN PERUBAHAN HISTOPATOLOGI PADA IKAN BUNGLON BATIK JEPARA (Cryptocentrus leptocephalus) DARI KEPULAUAN SERIBU

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Bahan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Intensitas Trichodina sp pada Ukuran Ikan Nila yang Berbeda

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2.1. Morfologi ikan bawal air tawar (C. macropomum)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

PROTOZOA ATAU ENDOPARASIT PADA IKAN AIR TAWAR BAB I PENDAHULUAN Parasit adalah hewan atau tumbuh-tumbuhan yang berada pada tubuh, insang, maupun

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

HASIL DAN PEMBAHASAN

Universitas Gadjah Mada

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protozoa Bersilia, Ichtyophthirius multifiliis Forquet Epidemiologi I. multifiliis Siklus Hidup Parasit

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JENIS-JENIS PARASIT PADA IKAN BAUNG (Mystus nemurus C.V.) DARI PERAIRAN SUNGAI SIAK KECAMATAN RUMBAI PESISIR PEKANBARU

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

N E M A T H E L M I N T H E S

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

INFESTASI CACING PARASITIK PADA INSANG IKAN TONGKOL (Euthynnus sp.) SIONITA GLORIANA GUNAWAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

STRUKTUR & PERKEMBANGAN HEWAN. Achmad Farajallah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KESEHATAN IKAN. Achmad Noerkhaerin P. Jurusan Perikanan-Untirta

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB I PENDAHULUAN. sistem organ dikarenakan hipersensitivitas terhadap makanan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara maritim dengan luas perairan sekitar 5,8 juta

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Aeromonas salmonicida adalah salahsatu jenis dari bakteri Aeromonas sp. Secara

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT DAN ENDOPARASIT PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linn) Di KOLAM BUDIDAYA PALEMBANG,SUMATERA SELATAN

IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI EKTOPARASIT PADA IKAN KERAPU CANTANG

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Kuda (Dokumentasi)

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

PRINSIP BIOENERGETIKA PADA HEWAN

MAKALAH BIOLOGI HEWAN VERTEBRATA DAN INVERTEBRATA. Disusun Oleh : Ira Melita Kelas : XII. IPA. 1

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

BAB I PENDAHULUAN. benih dan untuk membina usaha budidaya ikan rakyat dalam rangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

INVENTARISASI CACING PARASIT PADA IKAN BANDENG (Chanos chanos) DI TAMBAK DESA KETAPANG KECAMATAN MAUK KABUPATEN TANGERANG PROVINSI BANTEN

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. a b C d

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI ORGAN INSANG, OTOT DAN USUS IKAN MAS ( Cyprinus carpio) DI DESA CIBANTENG DWI SUSANTO

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pada tahun Ikan nila merupakan ikan konsumsi air tawar yang diminati oleh

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN

BAB I PENDAHULUAN. protozoa, dan alergi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Ikan Patin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Prevalensi dan Distribusi Cacing Pada Berbagai Organ Ikan Selar Bentong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam dunia internasional kerapu dikenal dengan nama grouper yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan patin siam adalah jenis ikan yang secara taksonomi termasuk spesies

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Evolusi, Sistematika, Taksonomi dan Klasifikasi Avertebrata

III. BAHAN DAN METODE

Transkripsi:

18 HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari 32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5-10 cm) dan L (>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara Ukuran Panjang Jumlah S M L Jumlah Sampel yang diamati 17 8 7 32 Jumlah Sampel terinfestasi cacing 8 4 3 15 Prevalensi (%) 47,06 50 42,86 46,88 Chi Kuadrat (X 2 ) = 5,991 Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan prevalensi infestasi cacing parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%). Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X 2 ) menunjukkan bahwa nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik. Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan

19 April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan ukuran panjang tubuh Bulan Ukuran Panjang Jumlah Ikan yang Diamati Jumlah Ikan yang Terinfestasi Jumlah Total Cacing Parasitik Prevalensi (%) Intensitas Cacing Parasitik April S 7 2 13 28,57 6,50 (6-7) M 6 2 6 33,33 3 (2-4) L 7 3 5 42,86 1,67 (1-2) Jumlah 20 7 24 35 3,40 (1-7) September S 10 6 18 60 3 (1-7) M 2 2 14 100 7 (2-11) L - - - - - Jumlah 12 8 32 66,66 4 (1-11) Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar 28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prevalensi infestasi cacing parasitik seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Prevalensi infestasi cacing parasitik relatif tinggi pada ikan berukuran lebih besar (M dan L). Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Akinsanya et al. (2007) yang menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih sering terinfestasi parasit dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. Namun hasil penelitian ini selaras dengan Poulin (2000) diacu dalam Dezfuli et al. (2001) bahwa adanya kecenderungan akumulasi parasit pada inang dari waktu ke waktu sehingga parasit sering ditemukan pada inang yang lebih besar daripada inang yang lebih kecil.

20 Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan kontak dengan makanan lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah terinfestasi parasit (Ayanda 2008). Identifikasi Cacing Parasitik Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32 ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2 monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda. Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut : Monogenea Pseudempleurosoma sp. (Gambar 4) Filum : Platyhelminthes Kelas : Monogenea Ordo : Dactylogyrida Famili : Ancyrocephalidae Genus : Pseudempleurosoma Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki 1 pasang head organ yang bentuknya belum sempurna; memiliki 2 pasang bintik mata; pharinx berbentuk bulat; sistem genital terdiri dari cirrus sac, ovary dan testis. Testis berbentuk oval dan terdapat dibawah ovary; vitellaria terdapat disepanjang tubuh; Haptor berbentuk rudimeter, memiliki 14 hook, 2

21 pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2 pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root (inner root dan dorsal root). ho es ph o v h a Gambar 4 Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; eseyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor. Benedenia sp. (Gambar 5) Filum : Platyhelminthes Kelas : Monogenea Ordo : Dactylogyrida Famili : Capsalidae Genus : Pseudempleurosoma Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan

22 terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor. os e ph v h a Gambar 5 Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; phpharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor. Digenea Podocotyle sp. (Gambar 6) Filum Kelas : Platyhelminthes : Digenea Famili : Opecoelidae Genus : Podocotyle Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker; usus memanjang sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh; saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.

23 os v a ev ds Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum; ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm. Plagioporus sp. (Gambar 7) Filum : Platyhelminthes Kelas : Digenea Famili : Opecoelidae Genus : Plagioporus Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh; memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular. Gambar 7 Plagioporus sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; a-acetabulum; evexcretory vesicle.

24 Nematoda Procamallanus sp. (Gambar 8) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Camallanidae Genus : Procamallanus Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung terdapat mucrones yang berukuran kecil. A bc oes B cg i m Gambar 8 Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bcbuccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cgcaudal glands; m-mucrones. Gnathostoma sp. (Gambar 9) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Gnathostomatidae Genus : Gnathostoma Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.

25 A h B oes a Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head; oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm. Cucullanus sp. (Gambar 10) Filum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda Famili : Cucullanidae Genus : Cucullanus Deskripsi : Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana; memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior. A B bc nr Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm. t

26 Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7 jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda, nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea. Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda. Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis ikan goby dan lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach (2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang. Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit. Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit (Jithendran et al. 2005). Endoparasit yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari monogenea : Pseudempleurosoma sp.; digenea : Podocotyle sp., Plagioporus sp.; dan nematoda : Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda. Dari hasil penelitian, pada usus ikan Bunglon Batik Jepara ditemukan endoparasit Pseudempleurosoma sp. yang termasuk dalam kelompok monogenea. Menurut Santos et al. (2001), umumnya monogenea merupakan ektoparasit. Namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit seperti Diplectanotrema, Pseudempleurosoma, Neodiplectanotrema,

27 Paradiplectanotrema, Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut. Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986) bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan lumen. Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta. Gnathostoma spinigerum merupakan cacing parasitik penyebab penyakit creeping disease yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada jaringan tubuh manusia. Meskipun cacing parasitik ini tidak berkembang menjadi dewasa pada tubuh manusia, Gnathostoma spinigerum dapat bertahan hidup selama beberapa tahun didalam tubuh manusia dan bermigrasi keberbagai organ seperti otot, paru-paru dan kornea. Penyebaran cacing parasitik pada manusia terjadi melalui konsumsi ikan air tawar mentah (Miyazaki 1960 diacu dalam Moller dan Anders 1983). Menurut Akester (1988) diacu dalam Hoffman (1999), infestasi Gnathostoma spinigerum di Mexico berasal dari konsumsi ikan air tawar yang diasinkan. Hasil penelitian ini merupakan data awal infestasi Gnathostoma sp. yang terjadi pada ikan hias laut sehingga belum diperoleh informasi lebih lanjut mengenai peranan ikan Bunglon Batik Jepara dalam penyebaran cacing zoonosis Gnathostoma sp. di perairan laut. Menurut Hoffman (1999), Gnathostoma merupakan jenis parasit di perairan tawar yang menginfeksi dinding lambung dan esophagus mamalia. Tahap larva, Gnathostoma terdapat pada copepoda dan ikan. Infestasi Gnathostoma sp. pada ikan Bunglon Batik Jepara diduga karena

28 pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan inang yang baru dari habitat yang berbeda. Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara. Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara No Jenis Cacing Parasitik Lokasi Jumlah Ikan yang Terinfestasi Prevalensi (%) Intensitas Cacing 1 Monogenea Pseudempleurosoma sp. Usus 8 21,87 2,71 (1 6) Benedenia sp. Insang 4 12,5 1,75 (1 3) 2 Digenea Podocotyle sp. Usus 1 3,10 3 (0 3) Plagioporus sp. Usus 1 3,10 1 (0 1) 3 Nematoda Procamallanus sp. Usus 2 6,25 1 (0 1) Gnathostoma sp. Usus 1 3,10 1 (0 1) Cucullanus sp. Usus 1 3,10 2 (0 2) Larva Nematoda Usus 4 12,5 5 (1 11) Lokasi infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara lebih banyak di usus. Jenis cacing parasitik di usus ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Pseudempleurosoma sp., Podocotyle sp.,, Plagioporus sp., Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda sedangkan cacing parasitik di insang yaitu Benedenia sp. Prevalensi dan intensitas cacing parasitik yang terdapat diusus lebih tinggi daripada di insang. Pseudempleurosoma sp. merupakan monogenea yang terdapat di usus yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 21,87%. Jumlah parasit di usus cukup tinggi karena terkait dengan aktifitas pencernaan makanan di usus yang kemungkinan menyebabkan terjadinya perpindahan kista atau telur parasit

29 dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al. 2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (1-11). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton. Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005), ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan. Diferensial Leukosit Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3. Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit, eosinofil, neutrofil dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara Jenis Leukosit Kondisi Ikan Tidak Terinfestasi (%) Terinfestasi (%) Trombosit 62,3 38,4 Limfosit 23,3 42,4 Monosit 6,3 6 Eosinofil 2,7 3,4 Neutrofil 5,3 7,8 Basofil - 1,8

30 a. Basofil b. Eosinofil c. Trombosit d. Neutrofil c Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil; (b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil. Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5 menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7% eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit, 3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002). Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali

31 ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam sirkulasi leukosit. Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins (2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang terinfeksi (Martins et al. 2004). Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil. Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki (1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya peradangan. Patologi Perubahan Patologi Anatomi Berdasarkan pengamatan perubahan makroskopis PA pada ikan Bunglon Batik Jepara umumnya dalam keadaan normal. Perubahan makroskopis PA yang diamati pada organ sirip, insang, kulit dan hati berupa sirip rontok, insang pucat, warna tubuh menjadi pudar, dan hati pucat. Jenis parasit yang berbeda dalam kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda terhadap inang (Overstreet 1993). Hasil penelitian Martins et al. (2004) menunjukkan bahwa insang, hati, jantung dan kantung empedu ikan yang terinfeksi cacing nematoda mengalami perubahan warna menjadi pucat. Data perubahan makroskopis PA secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.

32 Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh infestasi cacing parasitik. Perubahan Histopatologi Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ insang dan usus disajikan pada Gambar 12. 20 16 Jumlah organ 12 8 4 Insang Usus 0 1 2 3 4 Skor Lesio Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara. Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan, skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4 menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan derajat keparah ringan. Organ Insang Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan

33 erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti, hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000), lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit. Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik. Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan tubuh ikan. Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu sistem pernafasan. Gambar 13 Jaringan insang normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

34 Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50 µm. Gambar 15 Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

35 Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µm. Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat. Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang mengalami kerusakan derajat ringan. Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama

36 penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan. Organ Usus Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis, edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20). Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa. Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC. Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang mengandung pembuluh darah. Gambar 17 Usus normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

37 Gambar 18 Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm. Gambar 19 Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan mukosa (tanda panah) dan adanya sel radang (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

38 Gambar 20 Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm. Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006). Adanya cacing parasitik pada permukaan villi akan memacu terjadi produksi mukus sebagai bentuk pertahan diri terhadap infestasi cacing parasitik. Menurut McGavin et al. (2001), hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada di saluran cerna. Sel goblet merupakan sel penghasil mukus. Hiperplasia sel goblet menyebabkan produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen penyebab kerusakan.

39 Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli et al. 2000). Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard 1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan Pasaribu 1989). Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma. Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara. Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat. Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet,

40 peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan derajat ringan. Ringannya tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis dan tingkat intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan. Berdasarkan data pengamatan, jenis cacing parasitik yang terdapat pada usus ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Menurut Dezfuli et al. (2003), kerusakan yang disebabkan oleh cacing parasitik sangat berkaitan erat dengan intensitas infeksi dan dalamnya penetrasi parasit pada jaringan inang. Trematoda, cestoda dan nematoda yang terdapat di usus secara umum tidak menyebabkan kerusakan parah pada saluran pencernaan vertebrata.