BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Penelitian ini bermaksud mengkaji persepsi tentang diskriminasi sebagai

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. (HIV-AIDS) merupakan masalah kesehatan global karena penyakit ini

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedian

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. psikologis (Angermeyer, Beck, Dietrich, & Holzinger; Rosman dalam Vanable et

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stigma. O Brien, 2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

Hubungan antara Social Support dengan Self Esteem pada Andikpas di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelitian. Bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian harga diri, dan waria.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. keseluruhan, termasuk karakteristik fisik dan fungsional dan sikap. terhadap karakteristik tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ketika seseorang menyatakan bahwa mereka telah menjadi korban tindak

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sosiolog Erving Goffman (dalam Sengupta, Banks, Jonas, Miles, &

BAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sugiyono (2008:119) mengemukakan bahwa metode komparatif atau ex post facto

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH. Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi

BAB II LANDASAN TEORI

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HAMBATAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN MYRNA SUKMARATRI ST., MT.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Penyakit Gagal Ginjal Kronik Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan kegagalan fungsi ginjal

BAB II LANDASAN TEORI. Manusia merupakan mahluk hidup yang memiliki segala keunikan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan dimulai pada tugas perkembangan masa dewasa awal, yaitu fase

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan, di dalam suatu pembelajaran harus ada motivasi belajar, agar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Reliabilitas alat ukur kuesioner self esteem adalah 0,714 artinya reliabilitas tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB II LANDASAN TEORI. kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri. Self - esteem juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual dan ilmu pengetahuan yang

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendefinisian dan klarifikasi istilah dilakukan di awal penelitian dengan

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Bimbingan Konseling Islam

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri pada Residen NAPZA. menggambarkan sikap menerima atau tidak menerima keadaan dirinya, dan

BAB I PENDAHULUAN. bersaing, bergaul, ekspresi diri, harga diri dan lain-lain. Menurut Maslow (dalam Hambali 2013: ) bahwa setiap manusia

BAB 2 KETRAMPILAN INTERPERSONAL

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki ukuran dan proporsi tubuh yang berbeda-beda satu

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

Jawaban Soal-soal Untuk Menguji Diri

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yang kritis karena terjadi peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

Harga Diri Dan Interaksi Sosial Ditinjau Dari Status Sosial Ekonomi Orang Tua

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. keinginan konsumen dengan produk yang ditawarkan oleh produsen,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju. dewasa. Dimana pada masa ini banyak terjadi berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Cash & Smolak (2011), body image merupakan hasil dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi ini,

Estim kendiri remaja. Sinopsis:

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency/Acquired Immune Deficiency. Syndrome) merupakan isu sensitive dibidang kesehatan. HIV juga menjadi isu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Self Esteem 1. Definisi Self-Esteem Menurut Larsen dan Buss (2008), harga diri (self esteem) merupakan apa yang kita rasakan berdasarkan pengalaman yang kita peroleh selama menjalani hidup. Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu. Selanjutnya Branden (1981) menekankan self-esteem sebagai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita. Maslow (dalam Schultz dan Schultz, 1994) menjelaskan self-esteem sebagai bagian dari kebutuhan penghargaan (esteem needs) yang terdapat dalam hirarki kebutuhannya. Esteem needs terdiri dari 2 (dua), yaitu kebutuhan untuk menghargai diri sendiri dan dihargai oleh orang lain. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika kebutuhan individu akan self-esteem masih belum cukup 11

terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Robson (1988) mengatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan yang jelas, selalu berpikir positif, mampu untuk berinteraksi sosial, solving problem yang tinggi, serta mampu menghargai diri sendiri, sedangkan orang yang memiliki self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut, cemas, depresi, dan tidak percaya diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem (harga diri) merupakan evaluasi ataupun penilaian individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, sejauh mana individu tersebut merasa berharga, diterima dan berhasil dan hal ini berlangsung terus menerus. 2. Dimensi Self-Esteem Menurut Coopersmith (1967) dimensi self esteem terdiri dari: 1. Feeling of Belonging (perasaan diterima) Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi 12

apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari kelompok. Namun individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok. 2. Feeling of Competence (perasaan mampu) Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam menghadapi permasalahan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada. 3. Feeling of Worth (perasaan berharga) Perasaan individu dimana dia merasa dirinya berharga. Perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Perasaan yang dimiliki individu sering ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan positif yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain-lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan 13

baik. Individu dikatakan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan. 4. Faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem, antara lain: 1. Penerimaan dan Penghargaan dari Significant Others Significant others yang dimaksud disini adalah seseorang yang dianggap individu berperan dalam meningkatkan dan mengurangi keberhargaan dirinya. Self esteem merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi tersebut akan membentuk suatu penilaian mengenai dirinya berdasarkan reaksi yang ia terima dari orang lain. Seseorang yang merasa dirinya dihormati, diterima dan diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk self esteem yang tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan diperlakukan buruk akan cenderung akan membentuk self esteem yang rendah. 2. Kelas Sosial dan Kesuksesan Seseorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, seperti pekerjaan yang bergengsi, pendapatan yang besar dan berada di tempat tinggal yang mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima 14

keuntungan baik secara material maupun budaya. Hal ini meyakini seseorang bahwa mereka lebih berharga dari orang lain. 3. Nilai-nilai dan Inspirasi Individu Pengalaman-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap pengalaman yang terjadi dalam hidupnya. Kesuksesan maupun kegagalan yang di alami seseorang tidak secara langsung mempengaruhi self esteem, akan tetapi terlebih dahulu melauli nilai-nilai ataupun inspirasi yang dipegang oleh individu. 4. Cara Individu dalam Merespon Devaluasi Individu dapat meminimalisir perlakuan yang merendahkan dirinya seperti evaluasi negatif dari orang lain atau lingkungannya. Mereka dapat menolak penilaian negatif yang diterimanya dari orang lain. Seseorang yang mampu merespon dengan baik devaluasi yang diterimanya dari lingkungan, akan memiliki self esteem yang lebih tinggi. B. Experienced Stigma Experienced stigma adalah salah satu dimensi yang membentuk perceived stigma (Mickelson, 2008). Menurut Mickelson, experienced stigma adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman stigma yang diterimanya dari orang lain. Stigma ini lebih mengarah kepada bagaimana seseorang yang terkena stigma mempersepsikan 15

perilaku orang di sekitarnya terhadap dirinya sebagai orang yang terkena stigma. Biasanya stigma ini berhubungan dengan pengalamn-pengalaman terkait dengan diskriminasi maupun prejudice. Beberapa peneliti juga memiliki istilah yang berbedabeda dalam menggambarkan experienced stigma ini, seperti enacted stigma dan public stigma. Goffman (1963) mengatakan enacted stigma merupakan perilaku nyata (seperti pengucilan atau diskriminasi sosial secara langsung) oleh orang lain untuk mendiskreditkan atau mengabaikan seseorang yang memiliki kondisi tertentu. Jacoby (1994); Scrambler (2004), mengatakan bahwa enacted stigma merupakan perilaku atau persepsi orang lain terhadap individu yang dianggap memiliki atribut yang berbeda. Selanjutnya, Donaldson (2015) mengatakan bahwa public stigma merupakan sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang lain terhadap individu yang terkena stigma. Horch (2011) juga mengatakan bahwa enacted stigma terjadi ketika individu mengalami kesulitan sebagai akibat dari label yang diterimanya dari orang lain. Label yang diberikan ini bisa berupa hubungan kondisi stigma dengan stereotype yang ada di kelompok (Link dan Phelan, 2001). Berdasarkan beberapa definisi dari experienced stigma di atas, dapat disimpulkan bahwa experienced stigma merupakan persepsi atau keyakinan yang dibentuk individu terhadap perasaan atau perilaku orang lain kepada dirinya sebagai orang yang terkena stigma atau yang mendapatkan pengalaman stigma seperti, diskriminasi dan stereotype. 16

C. Suku Nias Suku Nias adalah suku bangsa atau kelompok masyarakat yang sebagian besar mendiami pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Suku ini memiliki nilai-nilai budaya yang dipegang sebagai falsafah hidupnya. Menurut Tuhoni Telaumbanua (2010) Nilai-Nilai budaya yang dianut oleh suku Nias antara lain : 1. Banua dan Fatalifusӧta Fatalifusӧta memiliki makna persaudaraan yang tidak hanya berdasarkan atas hubungan darah (sesama marga atau suku), tetapi juga hubungan persaudaraan karena berada dalam satu lingkungan (satu banua) meskipun suku, agama atau kepercayaan berbeda. 2. Emali dome si so bal ala, ono luo na so yomo Ungkapan ini merupakan salah satu falsafah hidup suku Nias. Ungkapan tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : Seseorang yang masih berada di jalan di anggap sebagai tamu tak dikenal atau orang asing, namun jika seseorang itu dapat menjadi saudara yang sangat dihormati kalau ia sudah berada di dalam rumah kita. Ungkapan ini sebenarnya suatu bentuk penghormatan kepada orang asing (pendatang). Intinya adalah ketika seseorang sudah dianggap menjadi bagian dari masyarakat Nias, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai orang asing lagi, melainkan sebagai saudara yang sama dengan saudara-saudara lainnya dalam wilayah atau banua. 17

3. Sebua ta ide ide ӧ, side ide ide mutayaigӧ Ungkapan ini sering digunakan dalam menyelesaikan konflik atau masalah yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini mengandung makna yang berarti bahwa masalah yang terjadi jangan dibesar-besarkan, sebaliknya diusahakan untuk menjadi lebih kecil lagi sehingga dapat di selesaikan secara tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apapun di hati kedua belah pihak yang bermasalah. D. Hubungan antara Experienced Stigma dengan self-esteem Hogg (2011) mengatakan bahwa target dari prasangka adalah kelompok yang terkena stigma dari masyarakat. Stigma dapat dikonseptualisasikan dalam hal perceived, internalized atau enacted stigma (Goffman, 1963). Pengalaman stigma juga dapat dideskripsikan sebagai persepsi atau keyakinan akan adanya sikap atau perilaku stigma dalam masyarakat, atau sebagai sebuah proses internalisasi, dimana pikiran atau perasaan negatif muncul pada individu terstigma (Luoma et al, 2007). Dalam hal ini, Mickelson mengistilahkannya dengan perceived stigma, yaitu perasaan negatif individu terhadap dirinya sendiri karena stigma yang dimilikinya (internalized stigma) dan persepsi individu tersebut mengenai bagaimana perilaku atau perasaan orang lain terhadap kondisi stigma yang dimilikinya (experienced stigma). Donaldson (2015) mengatakan bahwa individu yang terkena stigma bisa jadi mempunyai keyakinan tersendiri mengenai bagaimana penilaian atau perasaan orang 18

lain terhadap kondisi stigma yang ada pada dirinya dan kemudian menginternalisasi penilaian tersebut. Keyakinan personal tersebut semakin jelas setelah mereka memperoleh label dari kondisi stigma yang diterimanya (Link, 1987). Sehingga, dapat dikatakan bahwa, ketika seseorang menerima suatu perlakuan atau penilaian negatif dari lingkungan (terstigmatisasi), kemudian membentuk suatu keyakinan atau pesepsi tersendiri akan hal tersebut (experienced stigma) dan akhirnya membentuk evaluasi negatif terhadap dirinya sendiri karena stigmatisasi tersebut. Mickelson dan William (2008) mengatakan bahwa orang yang terstigma cenderung untuk menginternalisasi penilaian-penilaian negatif dari lingkungannya dan membentuk evaluasi diri yang negatif pula mengenai dirinya atau memiliki self esteem yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Hogg (2011) yang mengatakan bahwa kelompok yang terkena stigma sulit untuk mengelak bahwa citra diri mereka ataupun kelompok mereka dipandang negatif dari orang lain, dan hal ini akan membentuk self esteem yang rendah pula. Coopersmith (1967) mendefinisikan self esteem sebagai suatu evaluasi diri apakah seseorang merasa mampu, berharga dan berhasil dan penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya self esteem seseorang adalah penghargaan dan penerimaan dari significant others, nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang dan bagaimana cara seseorang dalam menanggapi devaluasi yang terjadi padanya. Berdasarkan hal ini, salah satu faktor self esteem yang berkaitan dengan experienced stigma adalah cara seseorang dalam menanggapi devaluasi. Devaluasi yang dimaksud disini berupa evaluasi negatif dari orang lain. Seseorang yang mampu menanggapi 19

evaluasi tersebut dengan baik, cenderung memiliki self esteem yang tinggi, begitu juga dengan sebaliknya, apabila seseorang menanggapi evaluasi negatif dengan tidak baik, maka akan membentuk self esteem yang rendah. E. Paradigma Teoritis Berdasarkan uraian hubungan experienced stigma dan self esteem di atas, maka skema penelitian ini adalah sebagai berikut. Gambar 1. Skema Penelitian Perceived Stigma Experienced Stigma Self Esteem F. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Ada peran experienced stigma terhadap self esteem Semakin tinggi experienced stigma, maka self esteem semakin rendah 20