PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL

Transkripsi

1 PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MIKRO (MICROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYMPANGAN SOSIAL 1. Teori Asosiasi Diferensial (differential association Theory) Teori ini dikembangan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1930-an, dimana teori mengenai penyimpangan masih didominasi oleh psikologi Freud dan biologi. Sutherland memiliki pendekatan yang jauh berbeda dengan para pembawa standar pada hari ketika mereka mencoba untuk menjelaskan penyebab perilaku antisosial. Sutherland tidak percaya bahwa penyimpangan adalah produk dari konflik pribadi yang mendalam, atau sesuatu yang salah, atau rusak dalam susunan biologis manusia. Sebaliknya, ia mengasumsikan pendekatan yang lebih pragmatis dan memberikan teori bahwa penyimpangan adalah hasil dari pembelajaran. Sutherland memberikan sembilan proposisi utama dalam teorinya, yaitu: 1. Perilaku kriminal dipelajari. Secara negatif ini berarti bahwa perilaku kriminal tidak diwariskan... " 2. Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. "Komunikasi ini bersifat verbal dalam banyak hal tetapi mencakup juga 'komunikasi gerak-gerik.'" 3. Bagian utama dari pembelajaran perilaku kriminal terjadi dengan kelompok pribadi yang intim. Film dan surat kabar berkontribusi sedikit terhadap perilaku kriminal. 4. Ketika perilaku kriminal dipelajari, pembelajaran meliputi: (a) teknik melakukan kejahatan, yang terkadang sangat rumit, terkadang sangat sederhana; (b) arah spesifik motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap. 5. Arah spesifik motif dan dorongan dipelajari dari definisi kode hukum sebagai yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Orang-orang dikelilingi oleh para individu yang mendukung undang-undang dan para individu yang melanggarnya. 6. Seseorang menjadi nakal karena kelebihan definisi yang mendukung pelanggaran hukum atas definisi yang tidak menguntungkan terhadap

2 pelanggaran hukum. Ini adalah prinsip asosiasi diferensial.... Ketika orang menjadi kriminal, mereka melakukannya karena kontak dengan pola kriminal dan karena isolasi dari pola anti kriminal. 7. Asosiasi diferensial dapat bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas. Ini berarti bahwa asosiasi dengan perilaku kriminal dan juga asosiasi dengan perilaku antikriminal bervariasi dalam hal-hal tersebut. "Frekuensi" dan "durasi" sebagai modalitas asosiasi sudah jelas dan tidak perlu penjelasan. "Prioritas" diasumsikan penting dalam arti bahwa perilaku taat hukum yang dikembangkan pada anak usia dini dapat bertahan sepanjang hidup, dan juga bahwa perilaku nakal yang dikembangkan pada anak usia dini dapat bertahan sepanjang hidup. "Intensitas" tidak didefinisikan secara memadai, tetapi ada hubungannya dengan hal-hal seperti rasa hormat pada sumber pola kriminal atau antikriminal dan dengan reaksi emosional yang terkait dengan asosiasi. 8. Proses pembelajaran perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya. 9. Sementara perilaku kriminal adalah ekspresi kebutuhan dan nilai-nilai umum, itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena perilaku non-kriminal adalah ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. Pencuri umumnya mencuri untuk mendapatkan uang, tetapi juga pekerja yang jujur bekerja untuk mendapatkan uang. Upaya oleh banyak ahli untuk menjelaskan perilaku kriminal oleh dorongan dan nilai-nilai umum, seperti prinsip kebahagiaan, berjuang untuk status sosial, motif uang, atau frustrasi, telah, dan pasti akan terus, sia-sia, karena mereka menjelaskan perilaku yang sah selengkap mereka menjelaskan perilaku kriminal." Keduanya sama dalam nafas, yang mana diperlukan untuk perilaku apapun, tapi tidak dapat membedakan perilaku non-kriminal dengan kriminal. Sembilan proposisi dari teori asosiasi diferensial di atas dapat memberikan pemahaman secara mudah bagi anda bahwa perilaku nakal dan kriminal seseorang

3 dicapai karena proses belajar individu melalui keterlibatan mendalamnya pada suatu pola tindakan nakal dan kriminal. Seseorang dapat mengasosiasikan dirinya pada pola tindakan kriminal, seperti ia mengasosiasikan dirinya pada pola tindakan antikriminal, karena keinginan untuk memenuhi dorongan diri yang sama. Seorang anak usia dini akan mempelajari dan mampu mengasosiasikan dirinya pada pola prilaku nakal dan kriminal karena sosialisasi dari orang tuanya atau karena kontrol orang tuanya yang sangat minim terhadap sosialisasi pola prilaku nakal yang datang dari luar. Saat memasuki umur remaja, seseorang akan lebih mampu mengasosiasikan dirinya untuk cenderung mengikuti prilaku nakal dan kriminal melalui kelompok pertemanannya. Asosiasi seorang anak dan remaja ke dalam pola prilaku nakal/kriminal dan non-kriminal dapat dilihat dari frekuensi dan durasi interaksinya dan pola prilaku mana yang menjadi prioritas baginya dan yang mendapat respek dari dirinya. 2. Teori subkultur Subkultur mengacu pada subkelompok dalam kelompok atau budaya dominan yang telah mendefinisikan norma dan nilainya sendiri, yang sering tidak konsisten dengan kelompok yang lebih besar. Subkultur muncul ketika sekelompok orang dalam keadaan yang serupa menemukan diri mereka terputus dari atau ditolak aksesnya oleh mayoritas warga masyarakat. Seseorang menginternalisasi standar budaya baik melalui kelahiran dalam dan dibesarkan pada sebuah kelompok yang berbagi subkultur yang menyimpang atau dengan kemudian menjadi tertarik pada kelompok tersebut dan secara emosional berkomitmen pada standar subkultur bersama kelompok itu. Orang tersebut dapat menjadi tertarik pada kelompok itu awalnya karena aktivitas penyimpangan yang menjanjikan kepuasan. Atau, orang tersebut dapat menjadi tertarik pada kelompok yang tidak terdapat kegiatan yang menyimpang tetapi mengadopsi subkultur yang menyimpang (karena ia tidak mampu melakukan cara-cara yang sah seperti anggota kelompok lainnya) agar ia tetap bisa melanjutkan keberadaannya agar terus diterima di kelompok tersebut.

4 Teori subkultur tidak melihat perilaku sebagai wilayah penyimpangan, namun penyimpangan terjadi karena terdapat kelompok lain yang memberikan simbol dan pembelajaran yang berbeda bagi orang-orang, khususnya anak-anak dan remaja, agar mencapai kehidupan yang sukses. Misalnya, seorang remaja menjual barang agar mendapatkan uang dan uang tersebut ditabungnya agar memperoleh sejumlah kekayaan adalah sebuah prilaku yang terhormat di masyarakat, namun apabila barang yang dijualnya itu adalah ilegal, seperti narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) maka ia tidak lagi sebuah prilaku yang terhormat. Remaja tersebut telah mengetahui bahwa apa yang dijualnya adalah terlarang, namun ia telah melalui pembelajaran pada kelompok penjual narkoba tersebut dan tertarik pada simbol-simbol kesuksesan dan kebebasan yang ada di dalamnya. Pada akhirnya ia lebih memilih untuk mengasosiasikan dirinya pada pola prilaku nakal dan kejahatan. Walaupun pembelajaran dan asosiasi diri mereka lebih pada polapola dan nilai subkultur, tapi mereka tetap berusaha untuk mengidentifikasi diri dengan tujuan-tujuan bagi budaya masyarakat dan subkulturnya, terutama apabila subkultur tersebut menjadi penyebab utama peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu mereka tidak memandang prilaku kekerasan adalah penyimpangan, karena sebagaimana cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh agen keamanan dalam masyarkat, maka mereka juga perlu menggunakan kekerasan untuk melindungi subkulturnya. Teori subkultur ini berkaitan pula dengan teori disorganisasi sosial yang telah kita bahas di bagian maksrososiologi di atas. Perkembangan subkultur kekerasan seperti ini lebih banyak terdapat pada lingkungan masyarakat yang mayoritas penduduknya berstatus sosial-ekonomi yang rendah, yang sering kali harus berjuang keras untuk mendapatkan kehormatan dan kesejahteraan. Orang-orang pada wilayah hunian ini sangat mudah menerima nilai-nilai baru yang bisa dengan cepat menaikkan kesejahteraan dan kehormatan mereka, sehingga ia tidak lagi sempat untuk mengkonfirmasi apakah prilaku tersebut berlawanan dengan hukum atau tidak, terlebih jika daerah tersebut sangat minim sosialisasi untuk

5 menjelaskan prilaku yang menyimpang dan akses pada sarana mencapai kesejahteraan yang diatur oleh hukum hampir tidak ada. 3. Teori Pengendalian Menurut teori ini, prilaku nakal dapat disebabkan oleh bebrapa faktor: (1) keterikatan yang tidak memadai, khususnya bagi orang tua dan sekolah; (2) kurangnya komitmen, terutama untuk keberhasilan pendidikan dan pekerjaan; (3) kurangnya keterlibatan dalam aktifitas lazim seperti dalam perkumpulan olahraga dan kepanduan (pramuka); dan (4) tidak cukupnya keyakinan, terutama dalam legitimasi dan moralitas hukum. Ke empat hal ini dapat mendorong orang menjadi memiliki kontrol-diri yang rendah (low self-control). Seorang anak dapat menjadi berprilaku nakal karena kontrol-diri yang lemah karena tidak efektifnya pengasuhan anak, orang tua gagal memonitor perilaku anaknya, gagal memahami penyimpangan menyimpang anaknya sewaktu itu muncul, dan gagal memberi sanksi kepada anaknya saat ia menemukan perilaku penyimpangan anaknya. Kontrol-diri yang rendah mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menperhitungkan dengan tepat mengenai konsekuensi tindakan yang dilakukannya. Orang dengan kontrol-diri yang rendah akan lebih kesulitan untuk menolak melakukan tindakan kriminal, dimana kecenderungan terhadap kriminalitas ini ada pada setiap orang, namun orang dengan kontrol-diri yang tinggi akan lebih bisa terhindar. Kontrol-diri yang rendah dapat menyebabkan seseoang berprilaku agresif dalam usaha mencapai tujuannya. Keluarga dan sekolah pada saat anak berusia dini dapat mencegah kecenderungan untuk menjadi berperilaku agresif, namun ada beberapa hal yang membuat anak gagal mendapatkan pengtetahuan ini, antara lain: berpisahnya orang tua saat anak belum lahir; disfungsi keluarga; pendapatan yang rendah; dan memiliki ibu yang sering ikut serta dalam prilaku antisosial saat berusia remaja, melahirkan sebelum umur duapuluh satu tahun, tidak menyelesaikan pendidikan SMA, merokok saat hamil, dan menjadi orang tua yang menggunakan cara kekerasan dan kejam dalam mendidik anak. Sebuah penelitian

6 yang dilakukan oleh Nofzinger juga membuktikan bahwa ibu dengan kontrol-diri yang rendah menghasilkan anak dengan kontrol-diri yang rendah pula. Kontroldiri seorang ibu mempengaruhi pilihannya untuk memberikan hukuman maupun bagaimana ia mengawasi anaknya. 4. Teori Pelabelan (Labelling Theory) Teori ini bersandar pada interaksionisme simbolik, bahwa seseorang mendapat anggapan menyimpang adalah melalui interpretasi yang terbangun pada saat interaksi antar semua orang dan kelompoknya mengenai tindakan seseorang yang hasilnya berupa reaksi sosial yang negatif. Pada akhirnya penyimpangan dianggap prilaku dan tindakan yang buruk. Proses interaksi yang melahirkan interpretasi tentang penyimpangan adalah seperti di mana kelompok sosial membentuk penyimpangan melalui pembuatan aturan yang mana pelanggaran merupakan tindakan menyimpang, dan dengan menerapkan aturan tersebut pada orang-orang tertentu dan memberi label pada mereka sebagai orang luar (outsiders). Teori pelabelan memberikan pendekatan sosiologis yang khas yang berfokus pada peran pelabelan sosial dalam pengembangan kejahatan dan penyimpangan. Teori ini mengasumsikan bahwa meskipun perilaku menyimpang awalnya dapat berasal dari berbagai penyebab dan kondisi, setelah individu diberi label atau didefinisikan sebagai penyimpangan, mereka sering menghadapi masalah baru yang berasal dari reaksi diri dan orang lain terhadap stereotip negatif (stigma) yang melekat pada label menyimpang stigma adalah pengenaan aribut kultural yang digunakan untuk mengadakan perbedaaan dan mendiskredit seseorang (Edgar, 2008) dan menurut Goffman adalah sebuah label negatif yang sangat kuat yang merubah secara signifikan konsep-diri dan identitas sosial seseorang (Macionis, 2008). Masalah-masalah ini pada gilirannya dapat meningkatkan kemungkinan perilaku menyimpang dan kriminal menjadi stabil dan kronis. Perilaku menyimpang dapat menjadi "alat pertahanan, serangan, atau adaptasi" untuk masalah yang dibuat oleh pelabelan menyimpang. Dengan demikian, dicap

7 atau didefinisikan oleh orang lain sebagai pelaku kejahatan dapat memicu proses yang cenderung memperkuat atau menstabilkan keterlibatan dalam kejahatan dan penyimpangan. Teori pelabelan telah menekankan bahwa pelabelan formal, polisi dan pelabelan peradilan pidana pada khususnya, adalah sumber yang penting dari pelabelan. Dalam masyarakat kontemporer, negara memiliki monopoli formal atas sanksi penjahat. Untuk diproses secara formal sebagai penjahat atau penjahat, oleh karena itu, memberi kesaksian dan membawa perhatian pada imoralitas dan ketidakmampuan orang untuk mengikuti norma sosial yang penting. Bentukbentuk reaksi publik antara lain seperti "dramatisasi kejahatan, reaksi formal dalam bentuk upacara ("ritus transisi") yang menandai perubahan status menyimpang, seperti "persidangan pidana, dengan formalitas yang rumit dan ritual yang berlebihan. Selain itu, ketika hukuman telah dilakukan, tidak ada upacara resmi yang serupa untuk membatalkan stigma kriminal dan dengan demikian membawa orang itu kembali ke masyarakat. Dengan demikian, stigma telah diproses secara formal sebagai pelaku kriminal cenderung "menempel" pada orang tersebut. Stigma yang melekat pada pelabelan menyimpang dapat membangkitkan proses yang dapat menyebabkan eksklusi (exclusion) atau pengucilan dari hubungan normal dengan orang lain dan dari peluang yang sah. Ini merupakan mekanisme pelabelan dengan cara informal. Secara khusus, pelabelan dapat menyebabkan eksklusi sosial melalui dua proses yang terpisah secara analitik. Pertama, orang lain yang biasa ditemui, termasuk rekan sejawat, anggota masyarakat, dan pengurus struktur peluang (misalnya, guru dan atasan kerja), dapat menolak atau mendevaluasi orang yang diberi label. Sekali lagi, gambaran stereotip tentang kriminalitas dapat menjadi ciri-ciri individu yang dicap sebagai pelaku kriminal, sehingga menimbulkan reaksi negatif oleh orang lain yang didorong oleh rasa takut, ketidakpercayaan, pembenaran diri, dan sebagainya, serta ketakutan orangorang untuk terasosiasi dengan stigma.

8 Pelabelan dapat menyebabkan penarikan sosial karena penolakan atau devaluasi yang diantisipasi. Interaksi sosial antara orang-orang "normal" dengan individuindividu yang distigmatisasi sering menimbulkan ketidaknyamanan, rasa malu, ambiguitas, dan kesulitan untuk mengatur kesan yang baik. Orang yang dicap sebagai deviant (orang yang menyimpang) sering menginternalisasi keyakinan yang dipegang umum tentang bagaimana orang mendevaluasi dan bereaksi negatif terhadap orang yang dicap. Individu yang dicap menyimpang mungkin sering mengharapkan orang lain untuk merendahkan dan bahkan menolak diri mereka sendiri, sehingga menghindari situasi di mana mereka mengantisipasi bahwa label menyimpang mereka dapat memicu stigma. Pada gilirannya, "penarikan dapat menyebabkan jaringan sosial yang terbatas dan lebih sedikit upaya untuk mencari pekerjaan yang lebih memuaskan, dengan bayaran yang lebih tinggi." Individu yang dicap sebagai pelaku kejahatan mungkin percaya bahwa kebanyakan orang tidak akan mempercayai, merendahkan, dan menolak individu yang telah dicap sebagai pelaku kriminal, dan karenanya mereka sering menghindari pertemuan sosial rutin yang kebanyakan orang tidak melihat alasan untuk menghindarinya, yang sebenarnya penting untuk mempertahankan ikatan sosial kepada kelompok dan institusi yang umum. Skema 7.1. Proses Transisi Perilaku Menyimpang Status Minoritas/Kurang Beruntung Pelabelan Formal Konsep-Diri Orang Yang Menyimpang Perilaku Menyimpang Pelabelan Informal Mengurangi Ikatan Sosial/Peluang Hidup Keterlibatan dalam Kelompok Orangorang yang Menyimpang Perilaku Menyimpang