BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological
|
|
- Susanti Pranoto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya banyak yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana perubahan sosial pada level makro (perubahan level pendidikan, pola pekerjaan, urbanisasi atau masalah politik) mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang, yang mengarah pada psychological well-being. Bradburn kemudian merujuk pada pernyataan Aristotles bahwa pencapaian tertinggi semua umat manusia adalah kebahagiaan atau disebut sebagai eudaimonia. Pandangan Aristotle mengenai eudaimonia kemudian diterjemahkan sebagai realisasi dari potensi sebenarnya umat manusia daripada hanya kebahagiaan saja. Kemudian, psychological well-being dan kebahagiaan merupakan indikator dari positive psychological functioning. Penelitian-penelitian Bradburn tidaklah berfokus pada mendefinisikan struktur dasar dari psychological well-being, melainkan lebih menjadi standar untuk mendefinisikan positive functioning. Psychological well-being berfokus pada formulasi dari perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup (Keyes, Ryff, Shmotkin, 2002). Dalam mendefinisikan psychological well-being dan dimensi-dimensinya, Ryff (1989)
2 16 mempertimbangkan konsep-konsep seperti self-actualization dari Maslow, individuation dari Jung, dan maturity dari Allport yang merupakan bagian dari positive psychological functioning; serta teori perkembangan kehidupan manusia. Menurut Ryff dan Keyes (1995), individu dengan psychological well-being telah terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental yang negatif (seperti cemas atau depresi) dan juga menyadari potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Mereka memberikan gambaran bahwa psychological well-being memerlukan seseorang untuk menggali perasaan apakah hidup mereka memiliki tujuan, apakah mereka menyadari potensi yang ada dalam diri mereka, bagaimana kualitas hubungan mereka dengan orang lain, dan apakah mereka merasa bertanggung jawab akan kehidupan mereka sendiri. Berdasarkan dari pandangan-pandangan diatas, tidak ada definisi yang pasti mengenai psychological well-being, maka peneliti menyimpulkan bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu memiliki tujuan hidup, menyadari potensi yang ada dalam dirinya, memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain, serta bertanggung jawab dan menguasai kehidupannya sendiri sehingga seorang individu bisa berfungsi secara positif dalam menjalani tantangan hidupnya. 2. Dimensi Psychological Well-Being Setiap dimensi dalam psychological well-being memiliki tantangan yang berbeda yang harus dihadapi oleh seseorang dalam usahanya untuk
3 17 berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989) dan Ryff & Keyes (1995), ada 6 dimensi dari psychological well-being, yaitu: a. Penerimaan Diri Penerimaan Diri merupakan evaluasi positif seseorang akan dirinya dan masa lalunya. Seseorang akan berusaha untuk merasa dirinya baik meskipun dia menyadari dirinya memiliki keterbatasan tersendiri. Penting bagi seseorang untuk menerima dirinya sendiri dan kehidupan masa lalunya. Dengan demikian, memegang sikap positif terhadap diri sendiri muncul sebagai karakteristik utama dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif. Seseorang yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya terlepas apakah itu baik atau buruk, dan merasa positif akan kehidupan masa lalunya. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain Hubungan positif dengan orang lain dapat dimaksud memiliki hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Seseorang akan mengembangkan dan mempertahankan hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama dari kesehatan mental. Orang dengan aktualisasi diri digambarkan memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat untuk seluruh umat manusia dikarenakan telah memiliki perasaan cinta yang lebih baik, menjalin persahabatan
4 18 yang lebih dalam, dan lebih mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Hubungan yang hangat dengan orang lain diajukan sebagai kriteria dari maturity. Teori tahap perkembangan orang dewasa juga menekankan pentingnya tercapai hubungan yang dekat dengan orang lain (intimacy) dan bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity). Dengan demikian, pentingnya hubungan positif dengan orang lain berulang kali ditekankan dalam konsep psychological wellbeing. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini akan memiliki hubungan yang hangat, puas dan kepercayaan dengan orang lain; berfokus pada kesejahteraan orang lain; memiliki empati, afeksi dan intimacy yang kuat; serta mengerti hubungan timbal baik antar umat manusia. c. Otonomi Otonomi adalah kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (selfdetermination), tidak tergantung pada orang lain (independence), dan mengatur perilaku dari dalam diri sendiri. Orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person) juga digambarkan memiliki internal locus of control. Artinya, dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, seseorang tidak tergantung kepada orang lain, tetapi mengevaluasi menggunakan standar pribadi. Individuasi (individuation) adalah keadaan dimana seseorang tidak lagi tergantung pada ketakutan, keyakinan kolektif, dan hukum dari masyarakat. Proses perubahan kata hati sepanjang masa kehidupan juga
5 19 memberikan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan sehari-hari. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini independen dan menentukan nasibnya sendiri, mampu menghadapi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan caranya sendiri, aturan berperilaku dari dirinya sendiri, serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadinya. d. Penguasaan Lingkungan Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memanajemen secara efektif akan kehidupannya dan dunia disekitarnya. Seorang individu harus bisa mengambil keuntungan dari kesempatan-kesempatan di lingkungan. Seseorang akan menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan keinginan personalnya. Partisipasi dalam lingkungan yang signifikan dari aktivitas di luar diri akan mengarah pada kematangan seseorang. Sebagai individu yang terus berkembang, seseorang harus memiliki kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk menghadapi dunia dan mengubahnya secara kreatif melalui aktivitas-aktivitas fisik atau mental. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan resep penting untuk membangun suatu kerangka terpadu dari positive psychological functioning atau fungsi psikologis yang positif. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiliki rasa penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, mengontrol aktivitas
6 20 eksternal, memanfaatkan kesempatan yang ada disekitar, mampu untuk memilih atau menciptakan lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai personalnya. e. Tujuan dalam Hidup Tujuan dalam hidup adalah kepercayaan yang memberikan seseorang perasaan adanya tujuan dan makna dalam hidup. Seseorang akan menemukan makna dari usaha dan tantangan yang dihadapinya dalam hidup. Sepanjang perkembangan hidupnya, seorang individu akan memiliki tujuan hidup yang bervariasi, seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi emosi. Dengan demikian, seseorang yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, intensi, dan rasa keterarahan yang berkontribusi pada perasaan bahwa hidupnya bermakna. Seseorang yang tinggi pada dimensi ini memiki tujuan hidup dan rasa keterarahan, merasa kehidupan masa lalu dan masa sekarang bermakna, memegang kepercayaan bahwa hidup selalu bermakna, serta memiliki tujuan dan objektif untuk hidup. f. Pertumbuhan Pribadi Pertumbuhan pribadi adalah adanya rasa pertumbuhan yang terus menerus dan berkembang sebagai seorang manusia. Fungsi psikologi yang optimal tidak hanya memerlukan seseorang mencapai karakteristik yang sebelumnya, tetapi juga seseorang terus berkembang untuk mengembangkan potensinya, bertumbuh dan
7 21 expand sebagai manusia. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi diri merupakan inti dari pertumbuhan pribadi. Terbuka akan pengalaman baru merupakan karakteristik dari orang yang berfungsi sepenuhnya (fully functioning person), sebagaimana individu terus berkembang, daripada hanya mencapai suatu keadaan tertentu dimana semua masalah terselesaikan. Seseorang akan terus berkembang dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-tugas baru pada periode kehidupannya yang berbeda-beda. Orang yang tinggi pada dimensi ini memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri berkembang dan meluas, terbuka akan pengalaman baru, menyadari potensi dirinya, melihat kesempatan untuk mengembangkan diri dan perilaku setiap saat, dan berubah untuk menjadi lebih efektif dan mengenal dirinya. 3. Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being Ada banyak hal yang bisa mempengaruhi psychological well-being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being disini adalah berdasarkan beberapa penelitian dari Ryff dan koleganya. a. Usia Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dimensi-dimensi psychological well-being pada usia yang berbeda-beda. Dimensi penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Sebaliknya, dimensi tujuan
8 22 dalam hidup dan pertumbuhan pribadi mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Pada dimensi penerimaan diri, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dari dewasa awal hingga dewasa akhir. b. Jenis Kelamin Penelitian Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan bahwa wanita memiliki skor yang lebih tinggi daripada pria dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi. c. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Penelitian longitudinal Wisconsin (dalam Ryff & Singer, 1996) menunjukkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki psychological wellbeing yang lebih tinggi juga. Pendidikan yang lebih dan pekerjaan yang lebih baik meningkatkan psychological well-being, khususnya pada dimensi penerimaan diri dan tujuan dalam hidup. d. Budaya Penelitian Ryff dan Singer (1996) di negara Amerika dan Korea Selatan menunjukkan adanya perbedaan psychological well-being dalam hal budaya. Korea Selatan yang cenderung memiliki budaya kolektif lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan rendah
9 23 dalam dimensi penerimaan diri dibandingkan dengan Amerika yang cenderung memiliki budaya individualis. B. GAY 1. Pengertian Gay Gay merupakan istilah ditujukan untuk laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Ketertarikan seksual secara emosional, fisik, seksual dan romantik terhadap suatu jenis kelamin disebut sebagai orientasi seksual (Carroll, 2005). Ada 3 jenis orientasi seksual (dalam Carroll, 2005), yaitu: a) Heteroseksual adalah ketertarikan seksual secara dominan pada individu yang berlawanan jenis b) Homoseksual adalah ketertarikan seksual secara dominan pada individu sesama jenis. Homoseksual terbagi menjadi 2 yaitu, gay dan lesbian. Jika istilah gay merujuk pada laki-laki, maka istilah lesbian ditujukan untuk perempuan yang memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. c) Biseksual adalah ketertarikan seksual baik pada laki-laki dan perempuan Menurut Savin-Williams (2006), ada 3 komponen dari orientasi seksual berupa: a) Ketertarikan seksual atau romantik, yaitu ketertarikan terhadap satu jenis kelamin atau keinginan untuk memiliki satu hubungan seksual atau dicintai, hubungan seksual dengan satu atau kedua jenis kelamin.
10 24 b) Perilaku seksual, yaitu segala aktivitas timbal balik yang disengaja dengan orang lain yang melibatkan kontak genital dan arousal seksual, dimana perasaan itu benar-benar hidup meskipun tidak terjadi orgasme atau intercourse. c) Identitas seksual, yaitu individu secara personal, sosial dan historikal melabelkan pada persepsi dan makna mengenai seksualitas mereka. 2. Coming Out pada Gay Salah satu hal penting bagi remaja adalah mengembangkan dan mengintegrasikan identitas orang dewasanya. Hal ini menjadi sulit bagi homoseksual dikarenakan mereka telah belajar dari kecil mengenai stigma dan identitas yang berbeda pada homoseksual. Kebanyakan orang akan mengembangkan identitas heteroseksual pada remaja atau dewasa awal dikarenakan heteroseksual merupakan orientasi yang diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan sebagai homoseksual membawa kecemasan dan ketidakpastian (Carroll, 2005; Strong dkk., 2005). Coming out adalah proses menetapkan identitas diri personal seseorang dan mengkomunikasikannya pada orang lain. Hal ini merujuk pada seseorang yang mengakui identitas seksual yang sebenarnya pada dirinya sendiri dan orang lain. Sedangkan, pilihan untuk menyembunyikan identitas seksual disebut sebagai closeted atau in the closet. Individu yang closeted tidak dapat mengakui perasaan,
11 25 ketertarikan, dan fantasi homoerotisnya pada mereka sendiri (Carroll, 2005; Drescher, 2007). Coming out merupakan keputusan besar karena dapat membahayakan banyak hubungan, namun memiliki makna penting bagi validasi diri (self-validation) dan pengesahan diri (self-affirmation). Namun, dengan mengakui kepada publik mengenai orientasi seksualnya, seseorang mulai mengabaikan stigma dan kutukan yang diasosiasikan dengan itu (Strong dkk., 2005). Menurut Savin-Williams & Cohen (1996), coming out dapat berupa coming out pada diri sendiri dan coming out pada orang lain ataupun gabungan dari keduanya: a) Coming out pada diri sendiri Model yang fokus pada aspek identitas personal dari coming out sering menekankan pada pentingnya pengenalan diri (self-recognition) dan penerimaan (acceptance). Mengidentifikasikan dirinya sebagai gay merupakan penerimaan individu sendiri dari keanggotaannya dalam kelompok homoseksual. Pada tahap awal self-recognition atau pengenalan identitas dirinya sebagai gay, mereka akan menunjukkan intrapsychic tensions, masalah-masalah psikososial dan introversi sosial (Savin-Williams & Cohen, 1996). Coming out pada diri sendiri merupakan pengalaman subjektif dari kognisi batin, yang mana dapat diisi dengan keragu-raguan, perasaan yang meluap-luap, atau keduanya. Coming out sebagai gay berarti menegaskan suatu identitas
12 26 normatif. Coming out pada diri sendiri adalah integratif dan memberikan sense of worth atau rasa berharga pada dirinya sendiri (Drescher, 2007). b) Coming out pada orang lain Setelah seseorang dapat coming out pada dirinya sendiri, maka dia sudah mulai dapat coming out pada orang lain. Ketakutan akan penolakan seringkali memegang peranan penting dalam menentukan keputusan seseorang untuk coming out (Drescher, 2007). Individu gay akan out pada tingkatan yang bervariasi. Beberapa memilih tidak out pada siapapun termasuk dirinya sendiri. Beberapa memilih out hanya pada orang-orang terdekat, seperti pacar dan teman dekat tetapi tidak pada keluarga. Beberapa juga memilih untuk out pada semua orang. Tingkatan ini bervariasi dikarenakan ketakutan akan penolakan, pemecatan, atau reaksi publik dari pekerja dan profesi-profesi lainnya terhadap mereka (Strong dkk., 2005). 3. Partial Disclosure pada Gay Davies (dalam Savin-Williams & Cohen, 1996) menyebutkan dalam tahapan coming out-nya, beberapa gay memilih partial disclosure. Partial Disclosure adalah keadaan dimana individu mengungkapkan identitas mereka atau yang sering disebut coming out hanya kepada orang-orang tertentu saja. Mereka mengkotak-kotakan hidup mereka dengan membagi 2 kelompok pertemanan, yaitu yang mengetahui dan yang tidak mengetahui identitas mereka sebagai gay.
13 27 Ada 4 kategori dari pengungkapan diri menurut Myrick (dalam Savin-Williams & Cohen, 1996), yaitu : 1) Covert-covert, tidak ada satu orang pun yang tahu dan individu berusaha untuk menyembunyikannya. 2) Overt-covert, tidak berusaha untuk menyembunyikannya tetapi tidak ada yang tahu. 3) Covert-overt, hanya sedikit teman yang tahu. 4) Overt-overt, semua orang mengetahuinya. Cain (1991 dalam Corrigan & Matthews, 2003) menyebutkan ada 6 kebutuhan atau alasan yang membuat seseorang memutuskan untuk mulai terbuka akan orientasinya sebagai gay, yaitu: 1. Penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan rahasia akan identitas seseorang berkaitan erat dengan psychological well-being. Dengan membuka rahasia, maka akan meningkatkan self-esteem seorang gay. 2. Membuka identitas sebagai gay kepada orang tertentu dapat meningkatkan kedekatan dalam sebuah hubungan yang sebelumnya terasa jauh karena ada rahasia yang ditutupi. 3. Terkadang individu membuka identitasnya sebagai gay sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah interpersonal-nya. Misalnya, coming out menjadi cara untuk menghindari pertanyaan yang terusmenerus mengenai identitasnya.
14 28 4. Pengungkapan diri sebagai gay untuk mencegah terjadinya hal yang lebih buruk apabila identitasnya tanpa sengaja ketahuan. 5. Beberapa individu memilih untuk membuka orientasi seksualnya secara publik karena mereka percaya dengan semakin banyak orang yang terbuka akan orientasi seksual mereka, maka kelompok yang menolak homoseksual akan mengurangi prejudice mereka. 6. Pengungkapan diri kadang-kadang membantu fungsi spontan. Misalnya, slips of the tongue. Cain (1991 dalam Corrigan & Matthews, 2003) menyebutkan tidak hanya ada alasan mengapa seseorang memilih untuk terbuka, tetapi juga ada alasan yang menyebabkan orang masih menutup orientasinya, yaitu: 1. Seringkali, individu percaya bahwa pengungkapan identitas sebagai gay tidak perlu dilakukan atau tidak relevan dengan situasi. 2. Beberapa individu memilih untuk menunda atau segan untuk mengungkapkan identitas mereka kepada orang-orang terdekat. Umur sering menjadi alasan. Misalnya tidak membuka identitas sebagai gay kepada kakek atau nenek. 3. Beberapa individu memilih tetap tertutup karena tidak memiliki sumberdaya emosi yang cukup untuk menghadapi tantangan dari pengungkapan identitas diri. 4. Beberapa orang memilih untuk tidak terbuka karena akan merugikan dirinya. Misalnya, berada pada posisi yang tinggi dan dapat menjadi kelemahan untuk melawannya.
15 29 C. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA GAY YANG PARTIAL DISCLOSURE Psychological well-being berfokus pada perkembangan manusia dan eksistensinya dalam menjalani tantangan hidup. Psychological well-being yang tinggi memungkinkan seseorang untuk berfungsi seutuhnya sebagai manusia dalam menghadapi tantangan dalam hidup. Setiap individu akan mengalami berbagai tantangan yang berbeda-beda dalam tahap kehidupannya dan harus mampu menghadapinya untuk bisa berfungsi secara positif (Keyes, Ryff, dan Shmotkin, 2002). Pada kelompok gay, mereka cenderung mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan dan depresi. Jika dibandingkan dengan heteroseksual, mereka lebih cenderung mengalami masalah-masalah klinis seperti depresi, kecemasan, hingga ingin bunuh diri yang berdampak pada perkembangan mereka untuk bisa berfungsi secara positif (Strong dkk., 2005; Savin-Williams, 2006). Pada gay, mengembangkan identitas dan mengakui diri mereka sendiri secara utuh sebagai homoseksual masih sulit dilakukan. Banyak yang masih merasa identitas mereka sebagai homoseksual masih meragukan dan menyebabkan kecemasan (Strong dkk., 2005). Pada saat menyadari orientasi seksual yang homoseksual, perasaan yang negatif terhadap diri sendiri sering dirasakan, seperti merasa bersalah, depresi, dan ketakutan. Hal ini sering menjadi penyebab bagi mereka untuk tidak menerima orientasi seksual mereka ataupun memilih untuk closeted (Savin-Williams & Cohen, 1996).
16 30 Pada gay yang coming out pada orang lain akan mengarahkan pada integrasi identitas, penyesuaian psikologis yang sehat, menurunnya perasaan bersalah dan kesepian, dan identitas gay yang positif (Drescher, 2007; Savin- Williams, 2006; Savin-Williams & Cohen, 1996). Secara perlahan pula, individu gay yang coming out mulai mengabaikan stigma-stigma dan kritikan-kritikan yang ditujukan pada mereka (Strong dkk., 2005). Individu gay yang coming out akan mengalami self-esteem yang lebih tinggi, mengembangkan hubungan dengan orang lain, dan lebih bisa menerima dirinya. Semua hal tersebut merupakan indikator dari psychological wellbeing yang tinggi (Legate, dkk., 2012). Dengan mulai terbuka akan identitasnya pada orang lain dapat mengarahkan pada semakin berkurangnya masalah-masalah psikologis pada gay. Akan tetapi, pada sebagian kelompok gay, mereka masih tidak berani coming out sepenuhnya pada orang lain. Partial disclosure sering menjadi pilihan terbaik bagi mereka karena adanya berbagai alasan yang menyebabkan mereka belum bisa membuka identitas diri kepada semua orang. Dengan partial disclosure, adanya kelompok atau individu tertentu yang belum mengetahui identitas mereka akan menghambat perkembangan psikologis mereka yang positif. Mereka masih mengalami ketakutan identitas mereka akan diketahui oleh banyak orang dan hambatan dalam mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan semua orang. Hal ini tentunya akan berdampak pula pada psychological well-being mereka (Ryff, 1989; Savin-Williams & Cohen, 1996).
17 31 D. Paradigma Penelitian Psychological Well-Being rendah tinggi kecemasan, depresi, rasa bersalah, stress, konflik personal, selfesteem negatif (Strong dkk., 2005; Savin-Williams & Cohens, 1996 ) Gay Hubungan baik dengan orang lain, self-esteem tinggi, depresi rendah (Legate dkk., 2012; Savin-Williams & Cohens, 1996) Dimensi 1. Penerimaan Diri 2. Hubungan Positif dengan Orang lain 3. Otonomi 4. Penguasaan Lingkungan 5. Tujuan Hidup 6. Pertumbuhan Pribadi Closeted Coming Out Partial Disclosure Completely out : terbagi : indikator : terjadi pada : hubungan Bagaimana gambaran psychological well-being pada gay yang partial disclosure?
BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu
19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditariklah suatu kesimpulan yaitu : 5.1.1 Indikator kepuasan Seksual Subyek A, B dan C menyatakan
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal
Lebih terperinciPaket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING
Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH...dalam hatiku yang terdalam aku menjerit, tak pernah sedetikpun dalam hidupku aku menginginkan perasaan ini, aku berusaha membuang naluri gila ini akan tetapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Homoseksual berasal dari bahasa Mesir yaitu homo yang artinya sama dan dari bahasa Latin yaitu sex yang artinya jenis kelamin. Homoseksual biasanya dikonotasikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang
Lebih terperinciPERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di era modern saat ini semua individu pasti mengalami fase mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia dan hal itu sudah sewajarnya terjadi dan
Lebih terperinciberbeda saat ia berada di SMA, ia sadar bahwa ia merasakan ketertarikan dengan teman-teman perempuannya, informan merasa wanita itu perlu
63 BAB V PENUTUP 5.1. Pembahasan Identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Jika seorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dari ketiga subyek, mereka memiliki persamaan dan perbedaan dalam setiap aspek yang diteliti. Khususnya dalam penelitian mengenai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan yaitu : 5.1.1. Indikator Identitas Diri Menurut subjek SN dan GD memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS
11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hambatan untuk melakukan aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Akan
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Kecacatan merupakan suatu keadaan yang tidak diinginkan oleh setiap individu karena dengan kondisi cacat individu mempunyai keterbatasan atau hambatan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis pada bab sebelumnya diperoleh gambaran bahwa keseluruhan subyek yang sedang dalam rentang usia dewasa awal mengalami tahapan pembentukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seksual kepada sesama jenisnya, disebut gay bila laki-laki dan lesbian bila
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia orientasi seksual yang umum dan diakui oleh masyarakat kebanyakan adalah heteroseksual. Namun tidak dapat dipungkiri ada sebagian kecil dari masyarakat
Lebih terperinciKesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)
Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja
Lebih terperinciPENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan makhluk hidup lainya. Manusia memiliki kecenderungan seksual
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainya. Manusia memiliki kecenderungan seksual atau sering dikenal dengan orientasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
67 BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia dan kemudian mengemukakan bahwa individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penelitian dan saran untuk penelitian sejenisnya. maka dapat ditariklah suatu kesimpulan, yaitu :
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian sejenisnya. 5.1 Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis
BAB V PENUTUP Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis lainnya. 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Gambaran Psychological
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penderita skizofrenia dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dunia. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock dan Sadock,
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
174 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan mengenai selfesteem dua wanita dewasa muda yan pernah melakukan hubungan seksual pranikah di Universitas
Lebih terperinciPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI
PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
25 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1995) mengatakan kesejahteraan psikologis dapat disebut dengan psychological well being yang merupakan pencapaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara hukum. Hal itu dibuktikan melalui Undang- Undang Dasar 1945 pasal 3 yang berbunyi Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data 4.1.A Validitas Pada bagian Corrected item-total correlation semua angka diatas 0,300, karena menurut Azwar (1996), suatu item dikatakan valid apabila
Lebih terperinci