HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kriteria yaitu warna, kenampakan, tekstur, rasa, dan aroma. Adapun hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

III. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji Pembedaan Segitiga Ikan Teri (Stolephorus sp.) Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai Syarat Mutu Biskuit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 9. Rata-rata kadar air mi sagu MOCAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Nilai Rendemen Kerupuk Kulit Kelinci dengan Berbagai Konsentrasi Garam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

MUTU ORGANOLEPTIK DAN KIMIAWI STIK RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN FORTIFIKASI TEPUNG UDANG REBON (Mysis sp.) ARTIKEL JURNAL OLEH

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbandingan Tepung Tapioka : Tepung Terigu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil sidik ragam kadar protein kecap manis air kelapa menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kadar Air (%) Tempe Dengan Penambahan Tepung Belut dan Variasi Konsentrasi Usar Tempe

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Ikan Tuna terhadap Karakteristik Hedonik Kue Bagea Khas Gorontalo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh,

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

METODE. Bahan dan Alat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Tahap Awal

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

I. PENDAHULUAN ton (US$ 3,6 juta) (Jefriando, 2014). Salah satu alternatif pemecahan

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Mudjajanto dan Yulianti (2004). Roti tawar merupakan salah satu jenis roti yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan

METODE. Waktu dan Tempat

PAPER BIOKIMIA PANGAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI MUTU KUKIS YANG DISUBSTITUSI TEPUNG SUKUN

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Sifat Fisik Meatloaf. Hasil penelitian mengenai pengaruh berbagai konsentrasi tepung tulang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ulangan 1 Ulangan 2 (%)

Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Sebagai Sumber Pangan Alternatif dalam Pembuatan Cookies. Edi Djunaedi

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU (Phaseolus radiathus L) DALAM PEMBUATAN BISKUIT KIMPUL (Xanthosoma sagittifolium (L) schott)

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

BAB V PEMBAHASAN. A. Deskripsi Hasil Penelitian Berdasarkan Parameter

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

II.TINJAUAN PUSTAKA. Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

Transkripsi:

18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 28 minggu penyimpanan biskuit. Hal ini dilakukan karena perubahan mutu sensori biskuit selama penyimpanan lebih cepat dideteksi daripada perubahan mutu zat gizinya. Baigrie (23) menyatakan bahwa uji sensori menghasilkan respon yang lebih cepat dalam mendeteksi off flavor dari suatu produk. Penurunan signifikan pada kualitas sensori makanan berprotein dapat terjadi selama penyimpanan dengan minimal perubahan zat gizi (Taub & Singh 1998). Secara umum selama penyimpanan 28 minggu terjadi penurunan penerimaan panelis dan skor mutu hedonik terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan biskuit kedua jenis kemasan (K). Persentase penerimaan dan rerata skor mutu hedonik biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Keseluruhan biskuit S dan NS masih dapat diterima pada penyimpanan 28 minggu. Berikut ini uraian tiap parameter organoleptik. Warna. Hasil penilaian penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan berfluktuasi. Penerimaan panelis terhadap warna biskuit S sebanyak 65% sampai 1% dengan deskripsi warna biskuit normal sampai cerah (rerata skor mutu 5.4 sampai 7.1), sedangkan untuk biskuit NS penerimaan panelis terhadap warna sebesar 7% sampai 1% dengan deskripsi warna biskuit agak gelap sampai agak cerah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Gambar 2 dan Tabel 4). Biskuit bermutu baik jika berwarna normal (kuning kecoklatan). Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap warna biskuit mengalami penurunan dengan deskripsi warna biskuit cenderung lebih gelap daripada warna awalnya. Berdasarkan parameter warna biskuit dapat dikatakan bahwa warna biskuit uji sampai akhir penyimpanan 28 minggu masih diterima oleh panelis. Sebagian besar panelis memberi skor suka untuk warna biskuit.

19 Gambar 2 Penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna kedua biskuit uji (p<.5) (Lampiran 1a dan 1b). Berdasarkan uji lanjut Dunn, tingkat kesukaan panelis untuk biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan untuk biskuit NS kesukaan panelis pada minggu ke- dan 28 berbeda nyata (Lampiran 11a dan 11b). Penilaian panelis terhadap mutu warna biskuit menunjukkan bahwa sampel biskuit pada minggu ke-28 berwarna agak gelap. Tabel 4 Hasil uji organoleptik terhadap warna biskuit selama penyimpanan Hedonik Modus Rerata 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 stoples 1 95 1 1 9 8 1 95 9 85 8 75 75 65 85 nonstoples 1 85 95 1 9 95 1 9 95 85 7 8 8 9 75 Penerimaan (%) K 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 S 4 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 NS 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3 S 6.4 7.1 6.5 6.4 7. 5.4 6. 6. 5.6 6.3 6.6 5.8 6.9 5.9 5.9 NS 6.4 5.5 5.8 5.1 6.5 5.6 4.9 5.8 5.7 5.5 4.5 5.1 6. 6.3 5.1 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit, sedangkan faktor kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit (p<.5) (Lampiran 17). Hal ini sesuai dengan pernyataan Taub dan Singh (1998) bahwa warna makanan antara lain dipengaruhi oleh pengolahan, kemasan, dan cahaya. Warna biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan. Kondisi oven mempengaruhi suhu dan waktu pemanggangan biskuit. Menurut Manley (2), pemanggangan biskuit dalam oven akan menghasilkan warna coklat pada permukaan biskuit akibat reaksi Maillard. Pemanggangan dalam suhu tinggi dan waktu terlalu lama akan menyebabkan kelembaban biskuit rendah dan warnanya

2 menjadi lebih gelap. Biskuit uji ini dipanggang selama 2 menit dengan suhu awal pemanggangan 14 C dan suhu akhir 16 C. Selama penyimpanan, biskuit yang dikemas dengan kemasan NS mempunyai warna lebih gelap dibandingkan dengan biskuit S. Hal ini diduga karena oksidasi lemak pada biskuit NS lebih besar daripada biskuit S. Oksidasi lemak menyebabkan makanan berwarna coklat atau gelap. Oksidasi ini dapat terjadi selama penyimpanan dan pengolahan produk (Ketaren 28). Kerusakan lemak terutama akibat oksidasi terjadi jika produk kontak dengan oksigen dan bila ditambah kontak dengan uap air maka kerusakan lemak akan semakin besar karena terjadi pula hidrolisis lemak. Oksidasi lemak selama penyimpanan sangat erat hubungannya dengan kemasan. Perbedaan jenis kemasan mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan. Wadah yang terbuat dari plastik kurang baik karena secara perlahan-lahan masih terjadi perembesan udara melalui pori-pori plastik (Winarno 198). Penetrasi gas maupun uap air dalam kemasan S lebih lambat karena terhalang oleh kemasan sekunder. Hal ini didukung dengan hasil uji kadar air biskuit S yang cenderung lebih rendah daripada biskuit NS (Lampiran 21). Rasa. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit selama penyimpanan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penyimpanan dengan deskripsi rasa biskuit semakin tidak enak. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Panelis yang menyukai rasa biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 6% sampai 1% dengan deskripsi rasa biskuit agak tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.9), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 1% dengan deskripsi rasa biskuit tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 3.7 sampai 6.5) (Gambar 3 dan Tabel 5). Biskuit bermutu baik jika rasanya normal (enak). Rasa biskuit NS pada minggu ke-18 sampai minggu ke-24 dapat dikatakan tidak diterima (penerimaan kurang dari 5%). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kedua biskuit uji (p<.5) (Lampiran 1a dan 1b). Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit S pada lama penyimpanan minggu ke-14 dengan minggu ke-, 2, 4, dan 12 serta minggu ke-28 dengan minggu ke-, 2, dan 12 berbeda nyata berdasarkan uji

21 lanjut Dunn. Berdasarkan penilaian panelis terhadap mutu rasa biskuit S, pada titik awal penyimpanan biskuit mempunyai rasa agak enak, minggu ke-28 mempunyai rasa normal, dan pada minggu ke 14 biskuit mempunyai rasa agak tidak enak. 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 stoples 1 1 1 75 85 8 8 6 7 75 65 8 75 7 6 nonstoples 1 9 95 85 65 85 9 7 5 45 35 4 4 75 55 Penerimaan (%) Gambar 3 Penerimaan panelis terhadap rasa biskuit selama penyimpanan Uji lanjut Dunn pada penyimpanan biskuit NS menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit minggu ke- dengan minggu ke-16, 18, 2, 22, 24, dan 28, minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-2, 22, dan 24, minggu ke-18 dengan minggu ke-4, minggu ke-24 dengan minggu ke-6 dan 1 berbeda nyata (Lampiran 12a dan 12b). Uji mutu rasa biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit mempunyai rasa agak enak pada minggu ke-, 2, dan 4, rasa normal pada minggu ke-6, 1, dan 14, serta rasa agak tidak enak pada minggu ke-16 sampai akhir penyimpanan. Tabel 5 Hasil uji organoleptik terhadap rasa biskuit selama penyimpanan Hedonik K 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 Modus S 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 3 NS 4 4 4 4 3 4 3 3 2 2 2 2 2 3 3 Rerata S 6.3 7. 6.9 5. 6.4 5.7 5.9 4.4 5.6 5.5 5.6 6. 5.7 5.6 5.3 NS 6.3 6.5 6.1 5. 6. 5.5 4.5 5.2 4.7 4.6 3.8 4.4 4.1 4.8 4.7 Perbedaan mutu rasa biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan dan penyimpanan. Pemanggangan berlebih akan menyebabkan pengeringan pada produk berlanjut, warna produk akan semakin gelap, dan rasa produk berkembang menjadi pahit (Manley 2). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<.5) terhadap mutu rasa biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (Lampiran 18a). Hasil uji

22 lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu rasa biskuit pada minggu ke-1 sampai minggu ke-28 tidak berbeda nyata. Mutu rasa biskuit minggu ke-, 2, 4, dan 8 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-1 sampai ke-28 (Lampiran 18b). Faktor kemasan berpengaruh terhadap penurunan mutu rasa. Biskuit NS mempunyai rasa yang lebih tidak enak daripada biskuit S. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan jenis kemasan yang mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan yang menyebabkan kerusakan lemak dan akhirnya mempengaruhi rasa biskuit. Penurunan mutu rasa biskuit diduga akibat kerusakan lemak selama penyimpanan, terutama oksidasi lemak. Hasil uji kadar asam lemak bebas dan peroksida biskuit menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan lemak secara signifikan selama penyimpanan. Menurut Ketaren (28), asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil dapat mengakibatkan rasa tidak lezat. Ketika proses ketengikan dimulai, rasa getir juga mulai muncul pada produk. Aroma. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu aroma biskuit berfluktuasi dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian dengan deskripsi aroma biskuit semakin amis. Sebanyak 6% sampai 1% panelis menyukai aroma biskuit S dengan deskripsi aroma biskuit dari agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.6 sampai 7.1), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 1% panelis dengan deskripsi aroma biskuit agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.1 sampai 7.1) (Gambar 4 dan Tabel 6). Biskuit dikatakan bermutu baik jika beraroma normal (beraroma menyenangkan). 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 stoples 1 1 1 65 65 8 6 65 9 75 65 85 75 7 65 nonstoples 1 95 1 75 75 8 65 7 6 6 4 35 55 6 65 Penerimaan (%) Gambar 4 Penerimaan panelis terhadap aroma biskuit selama penyimpanan

23 Secara umum, setelah minggu ke-4 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit menurun pada kedua jenis biskuit, tetapi persentase penerimaan terhadap aroma biskuit S cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Pada minggu ke-2 dan 22 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit NS kurang dari 5%. Hal ini didukung oleh skor mutu aroma biskuit yang kurang dari 5 pada minggu tersebut. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kedua biskuit uji (p<.5) (Lampiran 1a dan 1b). Hasil uji lanjut Dunn tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit S menunjukkan bahwa lama penyimpanan minggu berbeda nyata dengan lama penyimpanan 14 dan 2 minggu. Uji mutu hedonik terhadap aroma biskuit S memperlihatkan bahwa biskuit beraroma tidak amis pada minggu ke-, agak amis pada minggu ke-14, dan beraroma normal pada minggu ke-2. Pada biskuit NS, tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit pada lama penyimpanan minggu berbeda nyata dengan 12, 16, 18, 2, 24, dan 26 minggu, demikian juga lama penyimpanan 22 minggu berbeda nyata dengan minggu ke-, 2, dan 4 (Lampiran 13a dan 13b). Berdasarkan penilaian mutu aroma biskuit NS, pada minggu ke- biskuit beraroma tidak amis dan pada minggu ke-22 beraroma agak amis. Tabel 6 Hasil uji organoleptik terhadap aroma biskuit selama penyimpanan Hedonik K 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 Modus S 4 4 4 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4 NS 4 4 4 3 3 3 3 4 3 2 2 2 2 3 3 Rerata S 7.2 7.1 6.4 5.5 5.3 6. 5.3 4.6 6.3 5.7 5.3 5.2 6.1 6.3 6.1 NS 7.2 6.4 6.2 5.1 5.8 4.7 5.2 5.2 5.6 4.2 4.6 4.9 6.4 5.9 5.3 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu aroma biskuit (p<.5), tetapi tidak terdapat pengaruh nyata antara interaksi keduanya terhadap mutu aroma biskuit (Lampiran 19a). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma biskuit berbeda nyata pada minggu-minggu tertentu. Minggu ke- dengan minggu ke-2 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan ke-4 sampai ke-28 penyimpanan. Minggu ke-2, 4, dan 24 tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 6 sampai 22 serta minggu ke-28 penyimpanan. Minggu ke-4, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-

24, 8, 6, 1, 12, 14, 18, 2, dan 22. Minggu ke-8, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-, 2, 4, 6, 1, 12, 14, 18, 2, dan 22. Minggu ke-6, 8, 1, 12, 16, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke, 2, 4, 14, dan minggu ke-18 sampai ke-26. Minggu ke-6, 8, 1, 12, 28 dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke, 2, 4, 16, 24, dan 26. Minggu ke-6, 8, 1, 12, 14, 18, 2, dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-, 2, 4, 16, 24, 26, dan 28 (Lampiran 19b). Aroma yang tidak enak diduga disebabkan oleh kerusakan lemak akibat oksidasi selama penyimpanan. Bau amis antara lain ditimbulkan dari terbentuknya trimetil amin dari lesitin mentega dan susu bubuk yang digunakan sebagai bahan pembuatan biskuit ini. Pembentukan trimetil amin dari lesitin bersumber pada pemecahan ikatan C-N gugus choline dalam molekul lesitin yang disebabkan oleh zat pengoksidasi, seperti gugus peroksida dalam lemak (Ketaren 28). Penurunan aroma juga diduga disebabkan oleh kemasan biskuit yang digunakan. Selain lama penyimpanan, permeabilitas kemasan dan volume gas dalam kemasan turut mempengaruhi kadar air sehingga kualitas lemak juga akan terpengaruh. Menurut Wijaya dkk (1994), pada plastik, uap air masih dapat menembus kemasan ini sehingga selama penyimpanan produk menyerap air cukup tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lemak karena hidrolisis yang akhirnya dapat mempengaruhi aroma biskuit. Tekstur. Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit berfluktuasi, tetapi cenderung menurun dibanding dengan titik awal penyimpanan (Gambar 5) dengan deskripsi tekstur biskuit semakin tidak renyah. Tekstur biskuit NS mempunyai penerimaan dan skor mutu yang lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang dapat menerima tekstur biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 6% sampai 1% dengan deskripsi tekstur biskuit normal sampai agak renyah (rerata skor mutu 5.5 sampai 6.8), sedangkan penerimaan biskuit NS berkisar antara 25% sampai 1% dengan deskripsi tekstur biskuit agak keras sampai agak renyah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit S lebih renyah daripada biskuit NS. Biskuit dikatakan bermutu baik jika teksturnya normal (renyah). Mulai minggu ke-2 penerimaan tekstur biskuit NS kurang dari 5%, sehingga dapat dikatakan bahwa tekstur tersebut tidak diterima oleh panelis.

25 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 stoples 9 95 95 1 85 75 9 6 85 75 6 75 9 6 6 nonstoples 9 8 1 8 8 7 75 65 5 55 4 4 35 25 35 Penerimaan (%) Gambar 5 Penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap tekstur kedua biskuit uji (p<.5) (Lampiran 1a dan 1b). Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit NS berbeda nyata pada minggu ke-, 4, dan 8 dengan minggu ke-2, 26, dan 28, demikian pula minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-26 (Lampiran 14a dan 14b). Hasil penilaian mutu tekstur biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit bertekstur agak renyah pada minggu ke- sampai ke-4, agak tidak renyah pada minggu ke-2, dan normal pada minggu ke-26. Tabel 8 Hasil uji organoleptik terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan Hedonik K 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 Modus S 4 4 3 3 3 4 3 4 3 3 2 4 4 2 3 NS 4 4 3 3 4 3 3 2 2 2 1 2 2 2 2 Rerata S 6.6 6.6 6.9 5.9 5.8 6.4 5.7 5.7 5.7 5.5 6. 6.2 6.5 5.9 5.9 NS 6.6 6.6 6.1 5.7 6.2 5.9 5. 5.3 4.7 5.1 4.4 5.3 5.1 5.5 5.4 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<.5) terhadap mutu tekstur biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (p>.5) (Lampiran 2a). Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu tekstur biskuit pada minggu ke-, 2, dan 4 tidak berbeda nyata. Minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 2 tidak berbeda nyata. Mutu tekstur biskuit pada lama penyimpanan, 2, dan 4 berbeda nyata dengan minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 2 (Lampiran 2b). Penurunan mutu tekstur diduga disebabkan oleh pertambahan kelembaban biskuit selama penyimpanan. Menurut Taub dan Singh (1998),

26 pertambahan kelembaban pada makanan kering akan menyebabkan hilangnya kerenyahan dan bertambahnya kekerasan (kurang mudah untuk dipatahkan). Peningkatan kelembaban biskuit uji dapat dilihat dari peningkatan kadar airnya. Penurunan skor mutu tekstur (kerenyahan menurun) biskuit secara signifikan terjadi pada minggu ke-12, dimana pada minggu tersebut terjadi pula peningkatan kadar air secara signifikan. Kemasan S lebih dapat menghambat penurunan mutu tekstur daripada kemasan NS karena penetrasi uap air ke dalam biskuit menjadi lebih terhambat. Penerimaan keseluruhan. Modus tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan biskuit S dan NS selama penyimpanan berkisar antara 2 sampai 4 (Lampiran 9a dan 9b). Penilaian organoleptik keseluruhan biskuit ini merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap warna, aroma, rasa, tektur, serta penampakan biskuit. Menurunnya penilaian terhadap minimal satu faktor di atas diduga akan mempengaruhi penilaian organoleptik secara keseluruhan. Persentase panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan disajikan pada Gambar 6. 1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 4 6 8 1 12 14 16 18 2 22 24 26 28 stoples 1 1 1 95 95 8 9 65 9 85 6 8 8 75 7 nonstoples 1 9 1 1 8 85 75 9 55 55 45 4 5 65 6 Penerimaan (%) Gambar 6 Penerimaan panelis terhadap keseluruhan biskuit selama penyimpanan Kesukaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit berfluktuasi selama penyimpanan dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian. Penerimaan terhadap keseluruhan parameter sensori biskuit NS lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 6% sampai 1%, sedangkan untuk biskuit NS berkisar antara 4% sampai 1%. Keseluruhan parameter sensori biskuit NS mempunyai

27 penerimaan kurang dari 5% pada minggu ke-2 dan 22. Pada akhir penyimpanan kedua jenis biskuit masih diterima oleh panelis. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit uji (p<.5) (Lampiran 1a dan 1b). Berdasarkan uji lanjut Dunn penerimaan panelis terhadap biskuit S berbeda nyata pada minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-14 dan 28, minggu ke- dengan minggu ke-14, serta minggu ke-2 dengan minggu ke-2 penyimpanan. Pada biskuit NS, penerimaan panelis minggu ke- berbeda nyata dengan minggu ke-16, 18, 2, 22, 24, 26, dan 28, minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-22 dan 24, minggu ke-4 berbeda nyata dengan minggu ke-16, 2, 22, 24, dan 28, serta minggu ke-22 dengan minggu ke-6 dan 1 penyimpanan (Lampiran 15a dan 15b). Karena penilaian hedonik keseluruhan ini meliputi semua parameter organoleptik dan penampakan biskuit, maka perbedaan penilaian yang signifikan beberapa parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan turut mempengaruhi penilaian organoleptik keseluruhan biskuit. Perubahan Sifat Kimia Biskuit Selama Penyimpanan Kandungan Zat Gizi Kadar Air. Mutu bahan pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh kandungan airnya. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan pangan. Winarno (1997) menyatakan bahwa kadar air umumnya berbanding lurus dengan a w. Semakin kecil kadar air, maka semakin kecil a w, sehingga semakin awet bahan pangan tersebut karena pertumbuhan mikroba menjadi terhambat. Selama penyimpanan, kadar air biskuit yang disimpan dalam kemasan S maupun NS mengalami peningkatan. Kadar air biskuit selama penyimpanan 28 minggu pada suhu ruang dengan kemasan NS berkisar antara 3,3% sampai 6,92% (bb), sedangkan untuk biskuit kemasan S berkisar antara 3,69% sampai 5,76% (bb) (Gambar 7). Syarat kadar air biskuit pada SNI 1-2973-1992 adalah maksimum sebesar 5% (bb), sehingga dapat dikatakan kadar air biskuit mulai minggu ke-12 sampai pada akhir titik penyimpanan tidak memenuhi persyaratan tersebut.

28 8 7 6 5 4 3 2 1 4 8 12 16 2 24 28 stoples 3.79 3.78 3.69 5.41 5.39 5.7 5.57 5.76 nonstoples 3.79 3.82 3.3 5.96 6.23 6.92 6.55 6.32 Kadar Air (% bb) Gambar 7 Kadar air biskuit selama penyimpanan Peningkatan kadar air selama penyimpanan ini diduga akibat faktor lama penyimpanan dan kemasan yang digunakan. Semakin lama waktu penyimpanan maka kadar air kedua biskuit cenderung meningkat, dengan peningkatan kadar air biskuit NS yang lebih tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biskuit (p<,5), sedangkan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biskuit (Lampiran 22a). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air biskuit menunjukkan bahwa peningkatan signifikan kadar air biskuit terjadi pada penyimpanan 12 minggu dan pada kedua kemasan (Lampiran 22b). Kadar air biskuit pada minggu ke-12 sampai 28 pada kemasan NS lebih tinggi daripada kemasan S. Biskuit merupakan makanan yang telah mengalami pemanggangan sehingga bersifat lebih higroskopis. Hal ini akan memungkinkan biskuit lebih mudah menyerap uap air dari lingkungannya sampai terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanannya. Hal ini diduga dapat meningkatkan kadar air biskuit. Selain itu permeabilitas kemasan dan volume udara yang tersedia juga akan mempengaruhi kadar air bahan pangan. Plastik jenis polipropilen mempunyai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas gas sedang (Syarief et al 1989). Tetapi meskipun demikian lama penyimpanan akan memungkinkan perembesan udara melalui pori-pori plastik. Winarno (198) menyatakan bahwa wadah yang terbuat dari plastik kurang baik karena secara perlahan-lahan masih terjadi perembesan udara melalui pori-pori plastik. Permeabilitas kemasan yang kurang baik akan dapat memudahkan penetrasi uap air dan gas dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air akan meningkat.

29 Biskuit yang dikemas dengan kemasan S mempunyai kadar air lebih rendah diduga karena volume udara yang tersedia di dalam S terbatas dan penetrasi gas maupun uap air lebih lambat karena terhalang oleh kemasan sekunder selain oleh kemasan plastik biskuit itu sendiri. Kadar Abu. Kadar abu dalam bahan pangan dapat menjadi indikator kandungan mineral dalam bahan pangan. Fowale et al (27) menyebutkan bahwa mineral yang banyak terdapat dalam ikan lele dumbo adalah kalsium, fosfor, dan kalium. Kandungan kalsium pada tepung ikan lele dumbo sebesar 6.22% (bk) dan fosfor 4.14% (bk) (Ferazuma 29). Kadar abu biskuit selama penyimpanan cenderung tetap. Kadar abu biskuit S berkisar antara 2.78% sampai 2.99% (bk), sedangkan untuk biskuit NS 2.78% sampai 3.1% (bk) (Gambar 8). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan, kemasan, maupun interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu biskuit selama penyimpanan (Lampiran 24). Menurut Desroiser (1979), kadar abu merupakan mineral-mineral anorganik yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap suhu maupun waktu penyimpanan sehingga keberadaannya dalam pangan walaupun bisa mengalami perubahan namun cenderung tetap. 4 Kadar Abu (% bk) 3 2 1 4 8 12 16 2 24 28 stoples 2.78 2.83 2.82 2.89 2.99 2.91 2.86 2.86 nonstoples 2.78 2.86 2.79 2.94 2.87 3.1 2.9 2.91 Gambar 8 Kadar abu biskuit selama penyimpanan Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 1-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit S dan NS selama penyimpanan tetap berada di atas persyaratan mutu SNI biskuit, yaitu berkisar antara 2.3% sampai 2.8% (bb). Hal ini disebabkan karena kadar abu awal penyimpanan biskuit yang sudah tinggi akibat penambahan tepung ikan dan tepung kedelai dalam formula biskuit tersebut. Kadar abu tepung kepala ikan

3 adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44% (bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) (Mervina 29). Kadar Protein. Kandungan protein di dalam bahan pangan umumnya ikut menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar protein suatu bahan pangan maka akan semakin baik pula mutunya. Biskuit uji dibuat dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai yang merupakan bahan pangan tinggi protein, sehingga kadar protein biskuit inipun lebih tinggi jika dibandingkan dengan biskuit biasa yang berbahan baku tepung terigu saja. Kadar protein biskuit selama penyimpanan berkisar antara 18,3% sampai 19,95% (bk) untuk biskuit dengan kemasan S dan 18,15% sampai 19,83% (bk) untuk biskuit dengan kemasan NS (Gambar 9). Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 1-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.% (bb). Kadar protein biskuit sampai akhir penyimpanan berkisar 17% sampai 19% (bb) yang berarti tetap lebih tinggi daripada yang disyaratkan SNI. 25 Kadar Protein (% bk) 2 15 1 5 4 8 12 16 2 24 28 stoples 19.6 19.8 18.3 18.6 18.3 19.9 19.9 19.6 nonstoples 19.6 18.4 18.6 18.5 18.1 19.3 19.7 19.8 Gambar 9 Kadar protein biskuit selama penyimpanan Kerusakan protein dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor pemanasan, reaksi kimia dengan asam atau basa, aktivitas mikroba, dan lama penyimpanan. Kerusakan protein biasanya dapat menyebabkan protein terdenaturasi atau terdegradasi (Winarno 1997). Kadar protein biskuit uji sedikit mengalami penurunan pada minggu ke-4 sampai 16. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan, serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein biskuit (Lampiran 26). Taub dan Singh (1998) menyatakan bahwa penurunan nilai gizi protein tidak

31 signifikan meskipun nilai sensori makanan berprotein menurun secara signifikan dan produk menjadi tidak diterima lagi. Kadar Lemak. Lemak dalam makanan antara lain berfungsi sebagai pembentuk cita rasa dan tekstur. Semakin banyak lemak yang ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan (Manley 1998). Lemak dalam biskuit uji ini terutama berasal dari mentega dan margarine. Kadar lemak biskuit selama penyimpanan berfluktuasi yaitu berkisar antara 21,64% sampai 22,48% (bk) untuk biskuit dengan kemasan S dan 21,46% sampai 23,49% (bk) untuk biskuit dengan kemasan NS (Gambar 1). SNI 1-2973-1992 mensyaratkan kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5% (bb) sehingga kadar lemak biskuit uji yang berkisar antara 2% sampai 22% (bb) sampai dengan akhir penyimpanan masih memenuhi persyaratan tersebut. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan, serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak biskuit (Lampiran 28). 3 Kadar Lemak (% bk) 25 2 15 1 5 4 8 12 16 2 24 28 stoples 22.4 22.4 21.8 21.8 22.2 21.6 21.7 21.6 nonstoples 22.4 22.7 21.4 22.8 22.5 23.4 23.1 22.1 Gambar 1 Kadar lemak biskuit selama penyimpanan Kadar Total Karbohidrat. Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro yang berfungsi sebagai sumber tenaga. Kadar karbohidrat selama penyimpanan pada biskuit uji dihitung secara kasar menggunakan metode by difference. Dalam metode by difference ini, diasumsikan sistem pangan yang terdiri dari komponen zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak), abu dan air dianggap seratus persen, sehingga kadar karbohidrat dapat diperoleh dengan pengurangan seratus persen dengan komponen lainnya dalam sistem pangan. Taub dan Singh (1998) mengemukakan bahwa stabilitas karbohidrat dalam

32 sistem pangan dapat juga dilihat dari kontribusinya sebagai komponen dari formulasi makanan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit selama penyimpanan berkisar antara 49.8% sampai 53.27% (bk) untuk biskuit S dan 47.26% sampai 53.82% (bk) untuk biskuit NS (Gambar 11). Kadar karbohidrat selama penyimpanan sekitar 5%-57% (bb), lebih rendah daripada persyaratan kadar karbohidrat minimum biskuit terigu menurut SNI 1-2973-1992 sebesar 7% (bb). Hal ini dikarenakan pada formulasi biskuit uji dilakukan penambahan tepung terigu dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi kandungan protein. Kadar Karbohidrat (% bk) 6 5 4 3 2 1 4 8 12 16 2 24 28 stoples 51.3 51. 53.2 51.1 51.1 49.8 49.9 5. nonstoples 51.3 52. 53.8 49.7 5.2 47.2 47.6 48.7 Gambar 11 Kadar karbohidrat biskuit selama penyimpanan Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat biskuit (p<.5), sedangkan faktor kemasan serta interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat biskuit (Lampiran 3a). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar karbohidrat biskuit menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit minggu ke-, 4, 12, dan 16 tidak berbeda nyata dengan minggu ke-8, 2, 24, dan 28. Kadar karbohidrat biskuit pada minggu ke-8 penyimpanan berbeda nyata dengan minggu ke-2, 24, dan 28 penyimpanan (Lampiran 3b). Perbedaan ini diduga karena pada penentuan kadar karbohidrat dengan metode by difference sehingga variasi kadar komponen-komponen lain (air, abu, lemak, dan protein) dalam biskuit selama penyimpanan membuat kadar karbohidrat juga bervariasi.

33 Parameter Kerusakan Biskuit Kadar Asam Lemak Bebas (ALB). Kadar asam lemak bebas biskuit merupakan salah satu indikator untuk mengetahui penurunan kualitas biskuit selama penyimpanan. Asam lemak bebas pada biskuit dapat dihasilkan dari penambahan langsung bahan-bahan yang memang telah mengandung asam lemak bebas dan dari hidrolisis lemak oleh air atau oleh enzim serta dari oksidasi lemak. Bahan-bahan yang kemungkinan memang telah mengandung asam lemak bebas yang ditambahkan ke biskuit ini adalah margarin, mentega, tepung susu, telur, dan tepung ikan lele. Jenis asam lemak yang paling tinggi dalam biskuit kemungkinannya adalah asam lemak yang berasal dari margarin dan mentega karena keduanya merupakan sumber lemak yang memberi kontribusi cukup besar dalam formulasi biskuit ini. Menurut Buckle et al (1987) jenis asam lemak yang paling banyak terdapat dalam margarin dan mentega adalah asam palmitat. Oleh karena itu kadar asam lemak bebas biskuit selama penyimpanan dihitung sebagai asam palmitat. Kadar asam lemak bebas biskuit selama penyimpanan suhu ruang cenderung menurun. Kadar asam lemak bebas biskuit kemasan S berkisar antara.16% sampai 1.15% (bk), sedangkan untuk biskuit kemasan NS berkisar antara.19% sampai 1.9% (bk) (Gambar 12). Standar Malaysia (1998) untuk semi-sweet biscuits and cookies masing-masing mensyaratkan kadar asam lemak biskuit maksimal 1%, sehingga kadar asam lemak bebas pada minggu ke- 12 tidak memenuhi persyaratan tersebut. 1.4 1.2 1..8.6.4.2. 4 8 12 16 2 24 28 stoples.91.75.71 1.15.46.29.25.16 nonstoples.9.74.74 1.9.44.35.25.19 Kadar ALB (% bk) Gambar 12 Kadar ALB biskuit selama penyimpanan

34 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas biskuit (p<.5), tetapi kemasan serta interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas biskuit (Lampiran 32a). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar asam lemak bebas biskuit menunjukkan bahwa pada minggu ke-4 dengan 8, minggu ke-2 dengan 24, serta minggu ke- 24 dengan 28 penyimpanan kadar ALB biskuit tidak berbeda nyata, sedangkan kadar ALB biskuit pada minggu ke-, 4, 12, 16, 2, 24, dan 28 penyimpanan berbeda nyata (Lampiran 32b). Faktor yang mempengaruhi tingginya kadar ALB adalah lama dan suhu pemanasan, kontaminasi, pengemasan, serta penyimpanan produk akhir yang kurang baik (Taub & Singh 1998). Pada minggu ke-, kadar ALB biskuit tinggi yang diduga diakibatkan oleh proses pengolahan, yaitu pemanggangan biskuit. Biskuit uji dipanggang selama 2 menit dengan suhu awal 14 C dan suhu akhir 16 C (Mervina 29). Pada lama penyimpanan 4 dan 8 minggu kadar ALB biskuit menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh efek antioksidan alami yang terdapat dalam bahan-bahan penyusun biskuit uji. Menurut Ketaren (28), margarin dan mentega mengandung antioksidan alami yaitu vitamin A (beta karoten), selain itu juga mengandung vitamin E (tokoferol). Kadar ALB biskuit mulai meningkat setelah minggu ke-8 penyimpanan dan mencapai nilai tertinggi pada minggu ke-12 penyimpanan. Hal ini diduga karena fungsi antioksidan dalam biskuit rusak akibat proses oksidasi. Antioksidan akan rusak dalam lemak yang mengandung peroksida dalam jumlah besar (Ketaren 28). Selain itu peningkatan kadar ALB diduga pula diakibatkan oleh proses hidrolisis lemak. Adanya air dalam lemak akan mengakibatkan kerusakan lemak karena hidrolisis (Manley 2). Hal ini didukung oleh peningkatan kadar air biskuit yang signifikan pada minggu ke-12 penyimpanan. Setelah minggu ke-12 penyimpanan, kadar ALB biskuit terus menurun sampai akhir penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan reaksi oksidasi lanjutan dari asam lemak bebas, sehingga asam lemak bebas terurai menjadi peroksida ataupun hidroperoksida. Peruraian asam lemak bebas ini akan menyebabkan kadar peroksida meningkat. Kadar Peroksida. Kerusakan lemak dan minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatis maupun nonenzimatis (Sudarmadji dkk 27). Pengukuran kadar peroksida merupakan salah satu

35 parameter untuk mengetahui penurunan kualitas biskuit akibat kerusakan oksidatif pada lemak. Persenyawaan hidroperoksida merupakan produk primer yang terbentuk dari hasil reaksi antara lemak tidak jenuh dengan oksigen (Ketaren 28). Kadar peroksida biskuit selama penyimpanan suhu ruang dengan kemasan S berkisar antara mg Eq/kg sampai 4,29 mg Eq/kg, sedangkan untuk biskuit kemasan NS berkisar antara,14 mg Eq/kg sampai 3,72 mg Eq/kg. Kadar peroksida biskuit uji selama penyimpanan masih di bawah standar. SNI 1-2347- 1991 untuk analisa angka peroksida yaitu di bawah 1 mg Eq/kg, sedangkan Standar Malaysia (1998) untuk semi-sweet biscuits and cookies masing-masing mensyaratkan angka peroksida sebesar maks. 6 mg Eq/kg. Kadar peroksida biskuit uji terus meningkat sampai minggu ke-16 (biskuit S) dan ke-2 (biskuit NS), kemudian menurun sampai akhir penyimpanan (Gambar 13). Besarnya peningkatan kadar peroksida tergantung pada kecepatan reaksi oksidasi yang antara lain dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan (kelembaban udara, oksigen, dan cahaya). Semakin tinggi angka peroksida sampai pada titik puncaknya dan kemudian dilanjutkan dengan penurunan angka peroksida, maka kerusakan lemak semakin besar. Kadar Peroksida (mg Eq/kg) 6 5 4 3 2 1 4 8 12 16 2 24 28 stoples. 1.45 1.52 2.45 4.29 3.7 2.13 1.58 nonstoples.14 1.29 1.59 2.9 3.11 3.72 3.14 1.71 Gambar 13 Kadar peroksida biskuit selama penyimpanan Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar peroksida biskuit (p<,5), tetapi kemasan serta interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar peroksida biskuit (Lampiran 34a). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar peroksida biskuit menunjukkan bahwa peningkatan

36 signifikan kadar peroksida biskuit terjadi pada lama penyimpanan, 4, dan 16, sedangkan penurunan signifikan kadar peroksida biskuit terjadi pada lama penyimpanan 24 minggu. Kadar peroksida biskuit pada minggu ke-2 dengan 16 tidak berbeda nyata, demikian juga pada minggu ke-24 dengan 12, serta minggu ke-12 dengan minggu ke-28, 8, dan 4. Kadar peroksida biskuit pada minggu ke- 4, 8, 12, dan 28 berbeda nyata dengan minggu ke-, 24, 16, dan 2 (Lampiran 34b). Peningkatan kadar peroksida setelah minggu ke- menunjukkan bahwa jumlah lemak yang teroksidasi semakin banyak. Seiring berlanjutnya proses oksidasi, maka kadar peroksida akan meningkat sampai mencapai puncaknya, kemudian menurun (Taub & Singh 1998). Penurunan kadar peroksida biskuit setelah minggu ke-16 (biskuit S) dan minggu ke-2 (biskuit NS) diduga disebabkan karena peroksida tersebut telah mengalami degradasi. Menurut Ketaren (28), hasil dari degradasi produk primer oksidasi adalah persenyawaan alkohol, aldehida dan asam serta persenyawaan tidak jenuh dengan bobot molekul lebih rendah. Bau tengik terutama disebabkan oleh aldehid dan keton, dan bukan oleh peroksida. Ketengikan dimulai ketika senyawa aldehid atau keton telah terbentuk. Perubahan Total Mikroba (TPC) Biskuit Selama Penyimpanan Kerusakan bahan pangan selain akibat kerusakan fisik-mekanik dan kerusakan kimiawi, dapat juga akibat kerusakan biologi, terutama mikrobiologi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme antara lain sifatsifat dari bahan pangan itu sendiri, faktor pengolahan, kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan, serta sifat-sifat dari organisme itu sendiri (Buckle et al 1987). Total mikroba biskuit selama penyimpanan berkisar antara 6 koloni/g sampai 141 koloni/g untuk biskuit dengan kemasan S dan 66 koloni/ml sampai 583 koloni/g untuk biskuit dengan kemasan NS. Jika dibandingkan dengan persyaratan SNI 1-2973-1992 yang mensyaratkan TPC biskuit maksimal 1 4, maka hasil TPC biskuit sampai akhir penyimpanan masih memenuhi persyaratan tersebut. Grafik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa hasil TPC biskuit uji selama penyimpanan cenderung tidak berbeda jauh dari waktu ke waktu, kecuali pada minggu ke-2 penyimpanan biskuit NS. Hal ini diduga karena sampel biskuit uji

37 yang digunakan bukan berasal dari satu kemasan yang sama, sehingga kemungkinan sampel biskuit NS minggu ke-2 telah terkontaminasi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan, serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba (Lampiran 36). Hal ini diduga karena siklus hidup mikroba selama penyimpanan 28 minggu pada biskuit yang rendah kadar airnya masih berada dalam fase lag. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa pada fase lag, mikroba-mikroba yang ada berada dalam tahap penyesuaian diri dengan lingkungannya, sehingga belum mengalami pertumbuhan secara signifikan. Jumlah koloni/g 7 6 5 4 3 2 1 4 8 12 16 2 24 28 stoples 135. 125. 6. 11. 85. 67.5 141. 125. nonstoples 135. 127.5 95. 11. 162.5 582.5 66.25 225. Gambar 14 Total mikroba biskuit selama penyimpanan Karakteristik dari biskuit uji antara lain adalah tinggi protein dan rendah kandungan air, serta disimpan dalam suhu ruang. Kondisi ini terutama sangat sesuai untuk pertumbuhan kapang. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan pada cawan petri sampel biskuit yang menunjukkan bahwa mikroba yang ada pada biskuit selama penyimpanan adalah jenis kapang dan bakteri Basillus sp, dengan dominasi kapang. Produk pangan kering biasanya tidak atau sedikit mengandung bakteri tetapi dapat mengandung kapang dalam jumlah besar. Kondisi untuk pertumbuhan kapang antara lain kadar air rendah, suhu udara 25-3 C, makanan berkarbohidrat, protein, ataupun lemak (Baigrie 23 dan Fardiaz 1992). Keberadaan Bacillus sp dalam biskuit ini dikarenakan bakteri ini mampu membentuk spora yang tahan terhadap suhu pemanasan dan kemudian akan tumbuh jika kondisi untuk pertumbuhannya memungkinkan.