BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dengan karakter, budaya, dan tradisi yang berbeda beda. Ada suku Jawa

BAB V KESIMPULAN. Tulisan ini berusaha melihat perbedaan adaptasi kebudayaan antara Migran

BAB.I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. asia, tepatnya di bagian asia tenggara. Karena letaknya di antara dua samudra,

KISI-KISI PENULISAN SOAL USBN. MATERI Konsep Dasar Sosiologi. X Objek Kajian Sosiologi. X Fungsi sosiologi dalam kajian masyarakat

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Toba, Melayu, Jawa, Pak-pak, Angkola, Nias dan Simalungun dan sebagainya. Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan pada bab IV maka ada beberapa hal yang dapat

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI

BAB V PENUTUP. Misi ini berkaitan dengan program-program lain untuk meningkatkan

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB VI KESIMPULAN. Kristen sejauh ini hanya berdasarkan wacana teologi atau lebih dari itu terfokus

I. PENDAHULUAN. keberuntungan tersendiri bagi masyarakat lokalnya. Tanah yang subur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pertumbuhan untuk masa selanjutnya (Desmita, 2012). Hurlock (2004)

sebagai penjembatan dalam berinteraksi dan berfungsi untuk

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Praktik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm Fathul Mu in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia, baik pada jenjang. pendidikan dasar maupun menengah, lebih menekankan pada aspek

BAB III METODE PENELITIAN. Bab Metode Penelitian ini terdiri atas delapan pokok bahasan. Pokok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

I. PENDAHULUAN. positif. Migrasi dianggap sebagai proses alami di mana surplus tenaga kerja

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Existensi proyek

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

TRIANI WIDYANTI, 2014 PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KETAHANAN PANGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS

MATA KULIAH S-2 SOSIOLOGI UGM. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Teori Kritik Sosial dan Postmodernisme. Seminar Proposal Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dituturkan di sejumlah wilayah di Indonesia, dan ada pula bahasa-bahasa etnik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nana Sutarna, 2015

2015 NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ETNIS MINANGKABAU SEBAGAI PEDAGANG DI PASAR AL-WATHONIYAH, CAKUNG, JAKARTA TIMUR

BAB III. Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Pemekaran ditingkat provinsi, kabupaten dan kota di Maluku utara tak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki perjalanan sejarah tersendiri, seperti halnya yang dimiliki bangsa lain

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DENGAN MENGGUNAKAN METODE SINEKTIK PADA SISWA KELAS VI SDN JAYARAGA 2 TAROGONG KABUPATEN GARUT TAHUN AJARAN 2011/2012

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bab Satu Pendahuluan. Ciptaan: NN.

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAHAN AJAR Jurusan : Administrasi Bisnis Konsentrasi : Mata Kuliah : Pengantar Bisnis

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dwi Widi Andriyana,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

ANALISIS KEBIJAKAN PENAMBAHAN SEKOLAH MENENGAH NEGERI BARU DI KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2004

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LATAR BELAKANG TUJUAN LATAR BELAKANG. Eksistensi kebudayaan Sunda 4 daya hidup dalam kebudayaan Sunda

BAB I PENDAHULUAN. Maluku Utara merupakan sebuah Provinsi yang tergolong baru. Ini adalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOMUNITAS ETNIS BATAK SEBAGAI SUPIR ANGKUTAN KOTA DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Hargomuylo adalah Kota Jakarta. Jakarta sebagai pusat kota di Indonesia memang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Permasalahan.

Bab Satu Pendahuluan. Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

Bab I PENDAHULUAN. 1 Craigh (2005)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

Transkripsi:

BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa kini dipandang terkemuka, terdidik, dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior dari bekas penguasanya, kerajaan dan orang Ternate. Hal ini menimbulkaan pertanyaan mendasar mengapa dan bagaimana orang Makeang mengalami mobilitas yang signifikan tersebut. Argumentasi pokok yang saya ajukan d i awal disertasi ini adalah bahwa mobilitas yang mengesankan ini terjadi karena didukung interaksi antar kapasitas agensi orang Makeang yang memadai dan struktur yang memberi peluang untuk melakukan mobilitas. Interaksi antar agen dan struktur, dalam disertasi ini, adalah proses kebudayaan yang melibatkan konstruksi gagasan dan proses sosial yang melibatkan prilaku agentif pelaku-pelaku sosial. Di seluruh batang tubuh karya ini saya mengekplorasi kompleksitas interaksi tersebut dan menyajikan pola -pola yang menunjukan adanya suatu gerakan menaik orang Makeang secara sosial. Agensi dimulai di ranah kebudayaan kemudian diikuti dengan prilaku di ranah sosial, demikian pula struktur memiliki ranah kebudayaan sekaligus ranah sosial. Sebelum orang bertindak (sosial), dia membutuhkan alasan (kebudayaan) untuk bertindak agar tindakannya masuk akal secara commonsense, demikian pula suatu struktur sosial memiliki sejumlah gagasan dan nilai dibaliknya. Jika alasan itu tidak tersedia dalam kebudayaan mereka, mereka mengkonstruksinya dengan 593

mengintervensi dan memodifikasi kebudayaan yang ada atau merekonsiliasikan gagasan dari struktur luar dengan gagasan lokal mereka, sehingga tindakan yang mengikutinya menjadi bukan saja terterima secara alamiah tapi bisa lebih d ari itu malah menjadi sesuatu yang diidealkan. Demikianlah agensi Makeang mengkonstruksi pandangan dunia tentang ruang migrasi, mengkonstruksi konsep jadi manusia, pelapisan sosial, dan modifikasi urutan prioritas nilai budaya sebagai buah dari interaksi mereka dengan struktur-struktur yang kadang melampaui lokalitas mereka. Dalam konstruksi nilai ideal yang kemudian mengisi konsep jadi manusia, agensi Makeang merekonsiliasikan nilai lokalnya tentang pentingnya berhaji dengan gagasan pentingnya sekolah dari struktur negara. Konsep jadi manusia, dan turunannya berupa pandangan tentang pelapisan sosial, kemudian menjadi basis utama langkah agentif selanjutnya termasuk bermigrasi untuk menjadi petani agar bisa membiayai sekolah anak di kota, anak-anak yang bersekolah di kota menjadi anapiara dengan beban berat namun tetap gigih, dan langkah agentif lain agar mencapai nilai ideal menjadi manusia. Dengan begitu, agensi Makeang sesungguhnya membangun jembatan kognitif antara mereka dengan struktur eksternal lewat langkah agentif mengintervensi kebudayaannya dan mengkonstruksi konsep atau pandangan yang memungkinkan mereka bisa masuk kedalam struktur baru tanpa ada hambatan dissonansi secara kognitif. Pada periode di bawah negara tradisioanal Ternate, orang Makeang mengembangkan pandangan dunia tentang ruang migrasi yang diturunkan dari mitos Tujuh Putri (TP). Mitos yang sesungguhnya merupakan instrumen budaya 594

bagi dominasi politik negara tradisional Ternate, saya duga, telah ditransformasikan oleh agen-agen orang Makeang menjadi pandangan dunia tentang ruang migrasi yang berarti mendukung prakte k budaya migrasi spasial mereka sehingga kebiasaan migrasi ini menjadi alamiah dalam negara Ternate. Saya telah menunjukkan bahwa migrasi bukan saja respon a gentif terhadap faktor pendorong dan penarik migrasi tapi juga merupakan praktek sosiobudaya yang mengawali rangkaian proses mobilitas sosial vertikal berikutnya. Tradisi migrasi ini berkontribusi besar bagi mobilitas vertikal dikemudian hari karena mereka yang bermigrasi ke berbagai wilayah di Maluku Utara membangun basis ekonomi bagi sekolah anak-anak mereka di kota. Mereka yang bersekolah di kota berasal baik dari pulau Makeang maupun dari pulau-pulau lain yang merupkan keturunan migran. Anak-anak ini kelak mencapai tingkatan sosial melebihi orangtua mereka di desa (baik desa migran maupun desa di pulau Makeang). Transformasi struktur dari negara tradisional kesultanan Ternate ke negara kolonial, kemudian ke negara baru Indonesia, bukan saja menawarkan r uang mobilitas spasial baru tetapi juga ruang mobilitas vertikal baru bagi semua komunitas di Maluku Utara. Kenyataan bahwa hanya beberapa komunitas (Makeang, Tidore, Sanana) memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan struktur negara secara maksimal mengindikasikan adanya peran agensi dalam mobilitas vertikal orang Makeang. Walaupun masyarakat di Halmahera Utara dan sebagian Halmahera Timur sudah diperkenalkan sekolah formal (29 sekolah) oleh organisasi zending (UZV) dalam abad ke-19, sementara orang Makeang baru mengenal sekolah formal di menjelang akhir paroh pertama abad 20, langkah-langkah agentif 595

untuk memanfaatkan ruang mobilitas vertikal ini tampak lebih menonjol pada masyarakat Makeang. Kapasitas agensi secara internal yang dimiliki orang M akeang sebenarnya sudah terkesan oleh para penulis kolonial sejak awal abad ke- 17 sd akhir abad ke-19, sebagaimana diungkap di bab tiga tentang etos kerja, yang memuji keunggulan orang Makeang dibanding komunitas etnis lain di Maluku, dan para peneliti di abad ke-20, dan bahkan awal abad ke-21 ini. Migrasi keluar pulau Makeang, selain untuk menghindari ancaman lingkungan alam, juga sekaligus bertujuan untuk bertani. Para migran maupun mereka yang di pulau Makeang maupun migran ke daerah pedesaan mengembangkan pertanian komoditi berientasi pasar untuk merespon peluang pasar dimana hasilnya dipakai untuk menunjang anak-anak yang pergi ke kota untuk sekolah. Sedangkan migrasi ke wilayah urban lebih banyak bertujuan untuk memanfaatkan kesempatan pendidikan yang disediakan oleh negara. Anak-anak yang dikirim ke kota Ternate, baik dari pulau Makeang maupun dari desa-desa migran Makeang di luar pulau Makeang, untuk tujuan melanjutkan sekolah, memanfaatkan struktur sosial pengampung-anapiara yang tersedia di kota Ternate untuk bisa tetap melanjutkan sekolah di kota. Para informan Makeang yang telah jadi manusia seringkali mengatakan bahwa untung saja ada sistem pengampung-anapiara sehingga menopang mereka selama transisi tersebut. Langkah agentif tersebut cukup jitu karena, walaupun umumnya tersubordinasi selama menjadi anapiara, dengan beban kewajiban berat dan peran ganda sebagai anak sekolah sekaligus anapiara, mereka mampu melewatinya agar bisa jadi manusia, mereka mampu jadi manusia dengan mengisi peluang-peluang di 596

struktur negara. Peluang-peluang di struktur negara yang paling banyak diisi oleh orang Makeang adalah di ranah pendidikan dan politik. Hasilnya adalah terjadi pergerakan mobilitas vertikal yang signifikan dalam ranah pendidikan dan politik. Di ranah pendidikan, hanya dalam dua dekade sejak mereka berkenalan dengan pendidikan formal di awal 1940-an, mereka sudah mulai memainkan peran yang semakin menguat dari waktu ke waktu. Sejak 1960 - an dan sesudahnya, peran mereka di dunia pendidikan sebagai guru dan belakangan juga sebagai dosen menjadi sangat menonjol. Terdapat informasi kualitatif bahwa jumlah guru terbanyak sejak 1960an beretnis Makeang dan data kuantitatif menunjukan mereka juga dominan sebagai dosen. Di ranah politik, komunitas yang pernah dikuasai oleh kesultanan Ternate sampai menjelang pertengahan abad ke-20 ini, mampu menjadi penguasa mulai di akhir abad itu juga. Dengan modal pendidikan yang mereka peroleh lewat usaha yang sangat keras, mereka relatif mudah melakukan penetrasi ke ruang-ruang mobilitas yang tersedia di birokrasi pemerintahan daerah dan lembaga legislatif. Perubahan-perubahan di level struktur negara seperti pemekaran wilayah telah membuka ruang baru dan menjadi momen penting mobilitas kelompok ini karena dengan modal pendidikan dan pengalaman panjang di birokrasi telah memungkinkan mereka memanfaatkan ruang itu untuk mobilitas vertikal. Hasilnya, walaupun mereka bukan kelompok etnis dengan penduduk mayoritas, mereka dapat menjadi mayoritas dalam menduduki jabatan penting di birokrasi dan legislatif propinsi Maluku Utara sejak 2002 sd 2013. 597

Mobilitas sosial vertikal orang Makeang juga tergambar jelas dari perubahan representasi budaya tentang mereka dari yang menempatkan mereka sebagai inferior sejak kira-kira 1940an menjadi pengakuan tentang superioritas mereka sejak 1990an, dan bahkan resistensi terhadap mereka sejak tahun 2000an. Saya mengajukan argumentasi dan mengajukan data dan analisis pendukungnya bahwa perubahan representasi merupakan gejala budaya yang menggambarkan suatu mobilitas sosial vertikal suatu kelompok, gejala yang tidak disentuh oleh berbagai pendekatan studi mobilitas sosial vertikal sebelumnya. Karena itu, saya memandang studi mobilitas dengan memperhatikan perubahan representasi tentang suatu kelompok yang direpresentasikan sebagai kaum yang didom inasi kemudian secara gradual berubah menjadi kaum yang mendominasi dan karena itu diresistensi lewat representasi budaya adalah suatu gejala budaya yang cukup gambling menggambarkan mobilitas sosial vertikal kelompok tersebut. Karena itu, walaupun saya mengajukan suatu tawaran alternatif pada ranah metodologis untuk memahami gejala mobilitas sosial vertikal, saya memandang terdapat peluang untuk menteorisasi gejala perubahan representasi budaya tersebut menjadi suatu pendekatan teoritis alternatif untuk studi mobilitas sosial vertikal. Usaha itu tentu di luar ranah disertasi ini. Sekalipun studi ini mentesiskan peran interaksi agensi dan struktur terhadap mobilitas orang Makeang, studi ini tidak didominasi oleh argumentasi dan data tentang sebab dan hasil suatu mobilitas sosial. Interaksi agen dan struktur juga dikontekskan pada proses mobilitas dibanding sekedar sebab dan hasil yang dicapai. Terutama pada bab empat dan lima, proses tersebut terilustrasi dengan 598

data detail tentang langkah-langkah agentif anak-anak Makeang dari desa menuju kota, pengalaman subjektif selama menjadi anapiara di kota Ternate, berbagai strategi adaptasi yang mereka kembangkan dalam masa transisi tersebut, sampai ke mereka jadi manusia. Pengalaman subjektif ini dianalisis dalam konteks struktur lebih luas sehingga benang merah interaksi antar agen yang punya pengalaman subjektif dengan struktur bisa terpahami. Hal ini dilakukan karena apa yang dijalani orang Makeang, yang digali lewat pendekatan fenomenologis yang mengandalkan data emik, dalam banyak hal terkait dengan dinamika struktur yang lebih kompleks melampaui pengalaman subjektif mereka atau penegtahuan mereka. Oleh karena itu, studi ini juga melakukan refleksi historis dan juga melibatkan data -data etic yang seringkali berasal dari struktur supra-lokal yang melampaui pengalaman subjektif dan pengetahuan emic para pelaku mobilitas. Dengan demikian, secara keseluruhan, studi ini berbicara tentang sebab, proses, hasil, sertas dampak (pada perubahan representasi budaya) dari mobilitas vertikal orang Makeang. Di setiap tahapan itu diwarnai oleh relasi kompleks antara agen dan struktur dimana agen secara kreatif merespon ruang mobilitas yang disajikan oleh struktur untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Agensi tanpa struktur yang mendukung tidak mungkin ada mobilitas vertikal yang mengesankan, demikian pula sebaliknya tawaran ruang mobilitas dari struktur saja tidak akan menghasilkan mobilitas sosial yang mengesankan tanpa ada kapasitas agensi yang memadai untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. 599