BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekitar 1,27 juta orang meninggal di jalan setiap tahunnya di dunia, dan 20-50 juta orang lainnya mengalami cedera akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas di negara berkembang dua kali lebih besar dibandingkan dengan negara maju, ini disebabkan tingkat penggunaan kendaraan bermotor yang berkembang sangat pesat di negara berkembang tanpa disertai dengan strategi keselamatan di jalan (WHO, 2013). Sedangkan di negara maju angka kecelakaan lalu lintas menurun sejak tahun 1960 karena berhasilnya intervensi yang dilakukan seperti adanya hukum untuk mengenakan sabuk pengaman, adanya peraturan mengenai batas kecepatan berkendara, peringatan tentang bahaya mengemudi dalam keadaan mabuk karena alkohol, dan adanya desain jelan dan kendaraan yang aman untuk digunakan oleh pengendara kendaraan bermotor (Kopits & Cropper, 2003) Berdasarkan data WHO tahun 2013, di negara maju pengguna jalan rentan (vulnerable road user) yang terdiri dari pejalan kaki, pengguna sepeda, dan pengguna motor yang mengalami kematian akibat kecelakaan lalu lintas hanya sekitar 39% saja, sedangkan di negara berkembang persentase kematian akibat kecelakaan lalu lintas pada pengguna jalan rentan (vulnerable road user) mencapai 57%. Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, dan Malaysia) berkontribusi lebih dari 20% kematian akibat kecelakaan lalu lintas di dunia, dan 60% diantaranya adalah pengguna sepeda motor. 1
2 Indonesia yang merupakan salah satu negara di Asia Tenggara memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, salah satunya juga mempengaruhi jumlah pengguna kendaraan bermotor. Ini dikarenakan tingginya kebutuhan akan model transportasi untuk masyarakat, selain itu juga masih rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan transportasi masal. Akibatnya pengguna kendaraan bermotor seperti sepeda motor dan mobil pribadi semakin meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia (2013) jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar sebanyak 104.118.969 kendaraan. Tingginya jumlah kendaraan bermotor yang ada dijalan setiap harinya selain menimbulkan kemacetan juga memicu timbulnya kecelakaan lalu lintas. Menurut model teori kecelakaan oleh Heinrich (1980), teori ini dikenal dengan teori domino dimana urutan terjadinya kecelakaan disamakan dengan deretan domino yang saling jatuh berurutan. Menurut data dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia melalui BPS tahun 2012 jumlah kecelakaan di Indonesia mencapai 117.949 pertahunnya. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu kota besar yang mengalami pertumbuhan pesat di Indonesia, bukan hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diikuti pertumbuhan penduduk yang pesat. Dengan tingginya perkembangan dan pertumbuhan Yogyakarta ini juga diiringi dengan meningkatnya jumlah pengguna kendaraan bermotor di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan jumlah kendaraan bermotor sebanyak 1.749.738 kendaraan yang meliputi mobil penumpang, mobil, bus, mobil barang, sepeda motor dan kendaraan khusus (BPS DIY, 2013). Jumlah kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta juga tinggi. Pada tahun 2012 tercatat jumlah kecelakaan lalu lintas di Daerah Istimewa
3 Yogyakarta mencapai 4.457 kejadian, 431 korban kecelakaan diantaranya meninggal, 678 korban kecelakaan mengalami luka berat dan sisanya mengalami luka ringan (BPS DIY, 2013). Jumlah kecelakaan lalu lintas di Daerah Istimewa Yogyakarta tersebar di semua kabupaten dan kota, dimana angka kecelakaan lalu lintas tertinggi berada di Kabupaten Sleman yaitu 1.201 kejadian (BPS DIY, 2013). Hasil studi pendahuluan di Polres Kabupaten Sleman didapatkan data jumlah kejadian kecelakaan lalu lintas terhitung dari 1 Januari 2015 sampai 27 April 2015 sebanyak 380 kejadian kecelakaan, dari seluruh kejadian kecelakaan tersebut terdapat 46 korban meninggal ditempat kejadian, 46 korban meninggal dunia setelah dirawat di rumah sakit, 6 korban dengan luka berat, dan 576 korban dengan luka ringan. Dimana 45% korban kecelakaan masih dalam usia produktif dengan rentang usia 16 tahun sampai 30 tahun (BPS DIY, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukankan oleh Y.A Yunanto (2014) di instansi kedokteran forensik RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, proporsi penyebab kematian pada kecelakaan mobil pada tahun 2010 sampai 2012 adalah trauma 97 kasus (34%) diikuti fraktur 94 kasus (33%), perdarahan 77 kasus (27%) dan hancur bagian tubuh 16 kasus (6%). Kematian akibat kecelakaan menurut waktunya bisa dimasukkan ke dalam trimodal death distribution. Trimodal Death Distribution adalah distribusi waktu kematian setelah seseorang mengalami trauma. Trimodal Death Distribution digambarkan oleh 3 puncak yang masing-masing mewakili kematian setelah trauma, 3 puncak tadi dikarakteristikkan sebagai kematian segera (<1jam),
4 kematian awal (1-2 jam) dan kematian akhir (2-4 minggu) (Trunkey, 1983 cit. Lansink et al, 2013). Pada kondisi dipuncak kedua Trimodal death Distribution adalah kondisi yang harus dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan pertolongan pertama, jika pada fase kedua ini ditangani dengan standard perawatan pre-hospital yang baik dan dengan segera dilaksanakan dasar pertolongan pertama, maka korban kecelakaan masih bisa diselamatkan (Baqir & Ejaz, 2011). Pada penelitian Chiara et al (2002) didapatkan 73,72% korban kecelakaan menggunakan kendaraan bermotor meninggal ditempat kejadian dan disaat perawatan pra rumah sakit, dan 91,1% meninggal dalam 6 jam pertama setelah kecelakaan. Penyebab utamanya karena cedera sistem saraf pusat akibat benturan dengan benda tumpul dan perdarahan karena luka tusuk. Dibutuhkan suatu keterampilan khusus untuk bisa melakukan pertolongan pertama pada kondisi gawat darurat dengan baik dan benar. BLS (Basic Life Support) adalah kemampuan penanggulangan penderita gawat darurat. Keterampilan BLS ini bermanfaat jika orang awam juga memiliki keterampilan ini, karena pada umumnya yang pertama menemukan penderita gawat darurat ditempat terjadinya musibah atau kecelakaan adalah orang awam. Kemampuan BLS yang bisa dimiliki oleh orang awam diantaranya cara meminta pertolongan, resusitasi kardiopulmoner sederhana, cara menghentikan perdarahan, cara memasang balutan atau bidai, dan cara transportasi penderita gawat darurat (Depkes RI, 1992). Salah satu orang awam ditinjau dari peranannya di masyarakat yang harus memiliki keterampilan BLS ini dalam melaksanakan tugas dan perannya adalah polisi.
5 Menurut Peraturan Kepala Kepolisisan Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor polisi lalu lintas adalah aparat yang bertugas untuk menjaga keselamatan pengguna jalan dam meminimalisasi korban kecelakaan. Polisi lalu lintas adalah salah satu orang yang harus menguasai keterampilan pertolongan pertama pada korban kecelakaan lalu lintas, karena berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisisan Negara Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas salah satu kompetensi yang harus dimiliki polisi lalu lintas adalah menguasai teknik Pertolongan Pertama Gawat Darurat, dan penanganan pada kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan polisi lalu lintas. Kegiatan penanganannya meliputi (1) mendatangi TKP (Tempat Kejadian Perkara) dengan segera, (2) menolong korban kecelakaan, (3) melakukan tindakan pertama di TKP, (4) mengolah TKP, (5) mengatur kelancaran arus lalu lintas, (6) mengamankan barang bukti, dan (7) melakukan penyelidikan kecelakaan lalu lintas. Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan pengamatan dengan indranya terhadap objek tertentu (Notoatmojo, 2012). Polisi lalu lintas dalam melaksanakan tugas dan perannya untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas diharuskan untuk memiliki pengetahuan tentang cara penanganan pada korban kecelakaan lalu lintas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hutapea (2012) yang dilakukan di Kota Depok didapatkan hasil 50% dari polisi lalu lintas masih memiliki pengetahuan tentang Bantuan Hidup Dasar (BHD) kurang. Pengetahuan dalam penanganan korban kecelakaan lalu
6 lintas yang bisa dimiliki oleh polisi lalu lintas salah satunya adalah penanganan luka dan perdarahan pada korban kecelakaan. Pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pendidikan, umur, lingkungan, dan sosial budaya (Notoatmojo, 2012). Berdasarkan Lumangkun et al (2014) pada polisi lalu lintas di Direktorat Lalu Lintas Polda Sulawesi Utara tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan BHD polisi lalu lintas dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama masa kerja. Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Polres Sleman didapatkan masih kurangnya pelatihan yang diberikan kepada polisi khususnya polisi lalu lintas yang berhubungan dengan penanganan pada korban kecelakaan lalu lintas, sehingga masih banyak polisi lalu lintas yang merasa takut dan tidak siap untuk menolong korban jika terjadi kecelakaan lalu lintas, karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki polisi lalu lintas dalam melakukan pertolongan pertama pada korban kecelakaan lalu lintas. Luka dan perdarahan adalah kondisi yang banyak dialami oleh korban kecelakaan lalu lintas. Pada luka dan perdarahan jika penanganan yang dilakukan dengan cepat dan tepat maka akan menimbulkan komplikasi seperti infeksi dan syok (hipoperfusi) yang jika tidak ditangani dengan cepat dan benar bisa menimbulkan kematian (Limmer & O Keefe, 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kauvar et al (2006) menyebutkan 12% beban penyakit secara global karena cedera adalah hasil dari kekerasan atau luka karena kecelakaan, kematian akibat trauma disertai perdarahan mencapai 30-40%. 33%-56%
7 kematian akibat perdarahan terjadi selama periode pra rumah sakit, faktor yang mempengaruhi kematian ini karena kesalahan teknik perawatan pada fase pra rumah sakit dan resusitasi yang dilakukan. Dari penelitian yang dilakukan Trajano et. al (2014) di Brazilian University Hospital didapatkan hasil sekitar 60% kasus kematian yang terjadi kurang dari 24 jam setelah masuk rumah sakit disebabkan oleh lesi sistem saraf pusat (56,3%), syok hemoragik (18,1%), dan sindrom sepsis atau disfungsi organ (17,1%). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Wen et. al (2013) di Chinese Tertiary Hospital diperoleh data kematian pada pasien trauma berat dengan perdarahan di departemen gawat darurat, 80,9% (dari 1120 kasus) diantaranya adalah karena kecelakaan lalu lintas. Pengetahuan polisi lalu lintas tentang penanganan luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas perlu diteliti lebih lanjut, karena masih belum ada penelitian sejenis yang dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya di Kabupaten Sleman. Selain itu masih tingginya angka kematian yang mungkin dapat dicegah (possible prevention) di Kabupaten Sleman. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan tema tingkat pengetahuan polisi lalu lintas tentang penanganan luka dan perdarahan di Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, bagaimana tingkat pengetahuan polisi lalu lintas tentang penanganan luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Sleman?
8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan polisi lalu lintas dalam melakukan penanganan pada pasien luka dan perdarahan akibat kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Sleman. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui tingkat pengetahuan polisi lalu lintas tentang pengertian luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Sleman b. Mengetahui tingkat pengetahuan polisi lalu lintas tentang tanda dan gejala luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Sleman c. Mengetahui pengetahuan polisi lalu lintas tentang cara melakukan tindakan pertolongan pertama luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas di Kabupaten Sleman d. Mengetahui pengetahuan polisi lalu lintas tentang komplikasi luka dan perdarahan pada korban kecelakaan lalu lintas jika tidak dilakukan penanganan dengan benar di Kabupaten Sleman D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence base nursing dan landasan untuk selanjutnya yang terkait dengan keperawatan gawat darurat di area prehospital.
9 2. Manfaat praktis a. Bagi institusi klinis 1) Menjadi gambaran bagaimana penanganan luka dan perdarahan pada korban kecelakaan oleh orang awam khusus yaitu polisi ditingkat pre-hospital 2) Menambah referensi bagi institusi pendidikan tentang tingkat pengetahuan polisi lalu lintas dalam menolong korban kecelakaan lalu lintas dan diharapkan dapat menambah bacaan dan pustaka dibidang keperawatan gawat darurat b. Bagi institusi kepolisian Menjadi bahan masukan bagi institusi kepolisian berupa data tentang tingkat pengetahuan pada penanganan luka dan perdarahan pada korban kecelakaan, sehingga institusi kepolisian dapat melakukan upaya tindak lanjut terkait dengan data yang didapatkan dari penelitian ini c. Bagi peneliti Menambah wawasan dan pengalaman mengenai penelitian, menerapkan ilmu yang pernah diajarkan selama kuliah, dan melakukan kegiatan penelitian yang berguna sebagai bekal untuk melaksanakan tugas di kemudian hari. E. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian mengenai tingkat pengetahuan manajemen pre hospital yang subjek penelitiannya adalah polisi lalu lintas 1. Hutapea (2012) pada penelitian yang berjudul Gambaran Tingkat Pengetahuan Polisi Lalu Lintas tentang Bantuan Hidup Dasar (BHD) di Kota
10 Depok. Penelitian menggunakan desain deskriptif sederhana dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa 50% responden memiliki pengetahuan BHD kurang, 30,4% responden memiliki pegetahuan BHD cukup, 19,6% responden memiliki pengetahuan tentang BHD buruk, dan tidak ada responden yang memiliki pengetahuan tentang BHD baik. Perbedaan dari penelitian ini adalah waktu dan tempat dilakukan penelitian. 2. Lumangkun et al (2014) pada penelitian yang berjudul Hubungan Karakteristik Polisi Lalu Lintas dengan Tingkat Pengetahuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) di Direktorat Lalu Lintas Polda Sulawesi Utara. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari masing-masing karakteristik polisi lalu lintas (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan lama masa kerja) dengan tingkat pengetahuan BHD di Direktorat Lalu Lintas Polda Sulawesi Utara. Perbedaan dari penelitian ini adalah tempat dan waktu penelitian berbeda, dan metode penelitian yang digunakan berbeda yaitu deskriptif korelatif. 3. Jayaraman et al (2009) pada penelitian yang berjudul Current Patterns of Pre Hospital Trauma Care in Kampala, Uganda and Feasibility of Lay-First- Responder Training Program. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan seberapa layak responden dalam melakukan pertolongan pertama. Respondennya terdiri dari penyedia layanan pra rumah sakit seperti polisi, pengemudi taksi dan minibus, serta pejabat dewan lokal. Penelitian ini mengukur perubahan pengetahuan dengan melakukan tes sebelum dilakukan
11 pelatihan (45% benar dalam menjawab) dan setelah dilakukan pelatihan (86% benar dalam menjawab). Kesimpulan dari penelitian ini adalah orang awam (polisi, pengemudi taksi dan minibus, serta pejabat dewan lokal) yang menyaksikan keadaan darurat dan kematian akibat kecelakaan di Uganda tidak siap dalam melakukan pertolongan pertama. Perbedaan dari penelitian ini adalah jenis penelitian yang digunakan adalah korelasi sebelum dan sesudah dilakukan penelitian, tempat dan waktu penelitian berbeda, sampel yang digunakan selain polisi juga ada pengemudi dan pejabat dewan lokal. 4. Aloyee (2010) pada penelitian yang berjudul Assessment of Traffic Police s Knowledge and Skills of Trauma Care rendered to Injured Care Accident Victims in Dares Sallam, Tanzania. Tujuan dari penelitian ini untuk (1) mengetahui pengetahuan polisi lalu lintas pada penanganan trauma pra rumah sakit, (2) menggambarkan kemampuan polisi lalu lintas pada perawatan trauma pra rumah sakit, dan (3) mengeksplorasi pendapat polisi tentang perlunya peningkatan keterampilan mereka dalam perawatan pra rumah sakit. Metode yang digunakan kuantitatif dengan desain cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 196 pertisipan. Hasil dari penelitian ini untuk pengetahuan yang dimiliki polisi 41% memiliki pengetahuan yang baik, sedangkan 59% berpengetahuan cukup. 69% dari partisipan memiliki pengetahuan yang baik dalam penilaian cepat dan segera pada korban luka akibat kecelakaan. 73% dari partisipan tidak dapat mengidentifikasi korban syok. Hanya 47% dari partisipan yang dapat menyebutkan langkah-langkah melakukan penyelamatan korban. 72% dari partisipan dapat mengidentifikasi
12 perawatan jalan nafas sebagai intervensi pertama korban tidak sadar. 60% dari partisipan tidak mampu mengidentifikasi korban serangan jantung. 39% dari partisipan tidak dapat merawat korban dengan cedera kepala dan punggung. 47% dari partisipan melaporkan penggunaan mobil patroli polisi sebagai alat transportasi korban. Hanya 39% dari peserta dilaporkan menggunakan alat kerja (work tools) untuk membantu korban trauma. Dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan polisi lalu lintas dalam penanganan korban kecelakaan. Namun juga harus diiringi dengan penyediaan alat untuk penilaian dan perawatan korban trauma ditempat kejadian. Perbedaaan dari penelitian ini adalah variabel penelitian, metode penelitian, waktu dan tempat dilakukan penelitian berbeda.