STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica

dokumen-dokumen yang mirip
(Diterima dewan redaksi 11 April 1999) ABSTRACT ABSTRAK

Pengaruh Infestasi Cacing Hati Fasciola gigantica terhadap Gambaran Darah Sel Leukosit Eosinofil pada Domba

FLUKTUASI ANTIBODI SAPI YANG DIINFEKSI DENGAN FASCIOLA GIGANTICA DAN PENGARUH PEMBERIAN OBAT TRICLABENDAZOLE

Respon Eosinofil dan Packed Cell Volume (PCV) pada Domba yang Diinfeksi Fasciola gigantica

PERBEDAAN KEPEKAAN KERBAU DAN SAM ONGOLE TERHADAP INFEKSI BERULANG DENGAN FASCIOLA GIGANTICA

Seminar Nasional Teknologi Peternakan (Ian Veteriner 2002

Peran Sel Imunologi Domba Ekor Tipis dalam Membunuh Cacing Hati Fasciola gigantica secara In Vitro

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R. E. Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114, Indonesia 2

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat Penelitian 3.2 Metode Penelitian Persiapan dan Pemeliharaan Kelinci sebagai Hewan Coba

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

PENGARUH INFEKSI Fasciola gigantica (CACING HATI) IRADIASI TERHADAP GAMBARAN DARAH KAMBING (Capra hircus LINN.)

RESPON KEKEBALAN DOMBA TERHADAP ANTIGEN EKSTRAK CACING HATI FASCIOLA GIGANTICA DEWASA

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

Diagnosa Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi dengan Uji Capture-ELISA untuk Deteksi Antigen dalam Feses

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

FASCIOLASIS PADA DOMBA DAN KAMBING DI RUMAH POTONG HEWAN KOTAMADYA BOGOR W. WINARSIH, S. ESTUNINGSIH, A. SETIYONO, E. HARLINA' RINGKASAN

Pengaruh Infeksi Fasciola gigantica (Cacing Hati) Iradiasi terhadap Gambaran Darah Kambing (Capra hircus Linn.)

Perbandingan Antara Uji Elisa-Antibodi dan Pemeriksaan Telur Cacing Untuk Mendeteksi Infeksi Fasciola gigantica pada Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

RESPONS DUA GENOTIPA DOMBA TERHADAP TINGKAT INFEKSI HAEMONCHUS CONTORTUS DAN TINGKAT ENERGI PAKAN

KARAKTERISASI ANTIGEN PROTEIN DARI FASCIOLA GIGANTICA PADA BERBAGAI UMUR

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

ABSTRAK. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT

Biologi. Berita LIPI. Jumal llmiah Nasional. Diterbitkan Oleh Pusat Penelitian Biologi - LIPI. ISSN Volume 8, Nomor 2, Agustus 2006

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. Diponegoro, Semarang. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Mei hingga

3. METODE PENELITIAN

TANGGAP KEBAL SAPI TERHADAP FASCIOLOSIS AKIBAT INOKULASI METASERKARIA Fasciola gigantica IRADIASI

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji

METODELOGI PENELITIAN

Lampiran 1. DATA SHEET : RIBAVIRIN (Bertrand 2000 dalam McEvoy 2005)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

PENGARUH WAKTU ROTASI GEMBALA PADA RUMPUT Brachiaria brizantha TERHADAP TINGKAT INFESTASI CACING Haemonchus contortus PADA TERNAK DOMBA

PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI PARASIT SALURAN PENCERNAAN PADA KAMBING KOSTA, GEMBRONG DAN KACANG

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

TINGKAT KERENTANAN Fasciola gigantica PADA SAPI DAN KERBAU DI KECAMATAN LHOONG KABUPATEN ACEH BESAR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

II. BAHAN DAN METODE

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001

Lampiran 1. Road-map Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

PENGGUNAAN ANTIGEN EKSKRESI/SEKRESI Fasciola gigantica DALAM UJI ELISA UNTUK DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI

BAB 3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak

Total dan Diferensial Leukosit Sapi Bali yang Terinfeksi Cysticercus Bovis Secara Eksperimental

Lampiran 1 Sertifikat Kelaikan Etik

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

III. METODE PENELITIAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III METODE PENELITIAN

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

STUDI PERBANDKNGAN MIKROBA RUMEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015 di kandang peternak di

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

BAB III METODE PENELITIAN. test only control group design. Pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

METODOLOGI. Waktu dan Tempat Penelitian

STUDI KOMPARATIF METABOLISME NITROGEN ANTARA DOMBA DAN KAMBING LOKAL

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2013 di

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

PREVALENSI KASUS INFEKSI TREMATODA DI JARINGAN HATI SAPI PADA RUMAH POTONG HEWAN DI MEDAN MABAR TAUN Oleh : ZAKY RIVANA NASUTION

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

III. METODE PENELITIAN A.

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

PENGARUH INFEKSI LARVA-3 Haemonchus contortus TERHADAP POTENSI KEKEBALAN DAN GAMBARAN DARAH DOMBA EKOR TIPIS I MADE PRADIPTA KRISNAYANA

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

PROSEDUR TETAP UJI PENGAMATAN PROLIFERASI SEL (DOUBLING TIME)

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli

ABSTRAK. EFEK CENDAWAN ULAT CINA (Cordyceps sinensis [Berk.] Sacc.) TERHADAP KADAR IL-2 MENCIT JANTAN GALUR Swiss Webster YANG DIINDUKSI CCl 4

Lampiran 1a Gambar alat presto. Lampiran 1b Gambar alat oven. Lampiran 1c Gambar alat timbangan analitik

Transkripsi:

STUDI KOMPARATIF RESISTENSI ANTARA SAPI BALI DAN MADURA TERHADAP INFEKSI Fasciola gigantica Ening Wiedosari Balai Besar Penelitian Veteriner, Jln. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 Tel. 0251-331048, e-mail: eningwied@yahoo.com ABSTRACT Designing of future approaches for the control of Fasciola gigantica infection in cattle requires an understanding of the host-parasite relationships. This study was therefore undertaken to compare the susceptibility to infection with F. gigantica between Bali and Madura cattle. Seven Bali and seven Madura cattle were infected orally with 15 metacercariae of F. gigantica twice weekly for 32 weeks. Similar observations were made on four Bali and 4 Madura cattle maintained fluke-free as controls. The study shows that there was a trend of a lower fluke burden and faecal egg counts Madura cattle than in Bali cattle. The packed cell volume (PCV) values was significantly higher in infected Madura than in Bali cattle (P<0,05). The increased of eosinophil cell response and the antibody isotypes imunoglobulin (Ig)G1 in Madura cattle were significantly higher than in Bali cattle (P<0,05). These varying responses represent differences in host-parasite relationships between Bali and Madura cattle and may be linked to the observed varying levels of resistance to F. gigantica infection between these host. Keywords: Fasciola gigantica, Resistance, Bali cattle, Madura cattle Pendahuluan Di Indonesia, ternak merupakan sumber lapangan kerja di samping sebagai sumber pangan dan penghasilan bagi sebagian masyarakat petani di pedesaan. Di tingkat nasional, peternakan merupakan salah satu komoditas penunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di masa sekarang dan mendatang. 1 Salah satu kendala yang sering menghambat keberhasilan suatu usaha peternakan adalah serangan penyakit. Fasciolosis merupakan penyakit parasiter pada ternak ruminansia yang menyerang organ hati dan disebut sebagai cacing hati (liver fluke). Di Indonesia parasit cacing yang menimbulkan penyakit ini adalah Fasciola gigantica, sedangkan di negara empat musim seperti Eropa dan Australia adalah oleh Fasciola hepatica. 2 Kejadian di Indonesia masih sangat tinggi, dapat mencapai 40 90%. 3 Kerugian ekonomi akibat fasciolosis bisa mencapai kurang lebih Rp500 milyar setiap tahunnya yang berupa kematian, penurunan berat badan, kehilangan tenaga kerja dan penurunan nilai jual khususnya hati. 4 Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan lingkungan yang baik bagi perkembangan parasit sehingga gangguan parasit pada ternak merupakan kendala biologis yang sulit diatasi, terutama pada peternakan tradisional. Teknik pengendalian parasit konvensional belum berhasil diterapkan pada peternakan tradisional karena memerlukan dukungan modal. Selain itu dapat menimbulkan masalah resistensi obat cacing serta terjadinya polusi lingkungan akibat pemakaian bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Keadaan ini memotivasi para ahli untuk mencari cara pengendalian penyakit yang dianggap ramah lingkungan dan berkelanjutan, yaitu secara genetic host resistance. Resistance adalah kemampuan ternak untuk menghambat jumlah parasit yang bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Beberapa indikator resisten yang sederhana yang telah diuji dalam percobaan infeksi cacing adalah jumlah cacing yang dapat ditemukan kembali saat 7

nekropsi, jumlah telur cacing dalam tinja, jumlah sel eosinofil dalam sirkulasi darah, packed cell volume (PCV), dan titer antibodi. 5 Pemanfaatan genetic host resistance di dalam pengendalian parasit telah lama dikenal di dunia, seperti pemilihan bangsa hewan yang resisten terhadap infeksi parasit Hemonchus contortus. 6 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat perbedaan kepekaan di antara bangsa sapi, antara lain Bos indicus yang lebih resisten terhadap F. gigantica daripada Bos taurus. 7 Boyce et al. 8 menemukan bahwa domba St. Croix dan Florida Nativ lebih resisten terhadap F. hepatica daripada domba Barbados Blackbelly. Domba West African Dwarf lebih resisten terhadap F. gigantica daripada kambing. 9 Dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wiedosari dan Copeman, 10 diketahui bahwa domba ekor tipis Indonesia sangat tahan terhadap infeksi fasciolosis dan menurut Batubara, 11 Romjali 12 dan Romjali et al. 13 domba ini pun tahan terhadap infeksi cacing lambung, Hemonchus contortus. Karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan resistensi antara sapi Bali dan Madura terhadap infeksi Fasciola gigantica, dimana dalam penelitian ini infeksi dilakukan secara berulang sehingga terjadi secara alamiah seperti di alam bebas. Bahan dan Metode Hewan Coba Pada penelitian ini digunakan masing-masing 11 ekor sapi Bali dan Madura yang diketahui bebas dari infeksi Fasciola gigantica. Penelitian dilakukan di kandang percobaan Balai Besar Penelitian Veteriner di Bogor. Pada saat percobaan dimulai, sapi berumur sekitar 9 bulan, diberi pakan rumput Penissetum purpureum dan konsentrat. Masing-masing bangsa sapi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 7 ekor sebagai kelompok perlakuan (diinfeksi) dan 4 ekor sebagai kelompok kontrol (tidak diinfeksi). Seluruh sapi kelompok perlakuan diinfeksi metaserkaria cacing Fasciola gigantica secara oral dengan dosis 15 metaserkaria/hewan yang diinfeksikan 2 kali/ minggu selama 32 minggu. Setelah itu, semua sapi dibunuh dengan memotong vena jugularis pada leher pada minggu ke 36. Parasit Metaserkaria F. gigantica diperoleh dari siput Lymnaea rubiginosa yang dikoleksi dari Jawa Barat. Metaserkaria disimpan pada lembaran plastik yang direndam dalam botol berisi air pada suhu 14 C di laboratorium Parasitologi, Bbalitvet, Bogor. Menjelang infeksi, metaserkaria diperiksa viabilitasnya di bawah mikroskop-stereo dan selanjutnya dikumpulkan dalam botol Erlemeyer yang berisi larutan 0,4% carboxymethyl cellulose (CMC) agar tidak menempel pada dinding botol. Larutan tersebut kemudian diambil dan disemprotkan secara merata pada kertas saring, lalu kertas saring tersebut dimasukkan ke dalam kapsul gelatin yang selanjutnya diinfeksikan kepada sapi secara oral menggunakan plastic infected gun. Penghitungan cacing, telur cacing, sel eosinofil dan packed cell volume ( PCV) Seluruh sapi dibunuh pada minggu ke 36 setelah infeksi mulai, dan hatinya dikoleksi. Kantong empedu dipisahkan dari hati, dan hati dihancurkan dengan tangan kemudian diberi air dan disaring. Selanjutnya hati dimasukkan ke dalam bak plastik berdasar hitam agar cacing hati yang berwarna putih dapat jelas dan mudah ditemukan. Seluruh cacing dikumpulkan dalam botol berisi air, panjang tubuh diukur dan dihitung jumlahnya. Pemeriksaan tinja terhadap telur cacing hati dilakukan sejak minggu ke-12 setelah infeksi mulai, dengan frekuensi 2 minggu sekali sampai penelitian berakhir. Satu gram tinja diproses dengan prosedur endapan yang telah baku. 14 Sampel darah sapi dikoleksi setiap 4 minggu selama 36 minggu. menggunakan tabung venoject 10 ml yang mengandung Ethylene Diamine Te-traacetic Acid (EDTA). Pemeriksaan sel eosinofil dilakukan dengan cara membuat preparat apus darah dengan pewarnaan Giemsa sedangkan penghitungannya dilakukan dalam persentase. Penghitungan PCV dilakukan dengan menggunakan tabung kapiler (haematocrit) yang disumbat dengan crystoseal, setelah itu disentrifus selama 5 menit. Tabung ditentukan nilai persentase PVC-nya pada haematocrit chart. 10 8

Isotipe antibodi imunoglobulin (Ig)G1 dan IgG2 Antibodi diperiksa dengan metode Enzyme linked immunosorbent assay/elisa (Wiedosari, 2005). Lempeng ELISA dilapisi dengan 50 µl (3 mg/ml) antigen cacing Fasciola gigantica dalam larutan bufer karbonat (ph 9,6), lalu diinkubasi semalam pada suhu 4 C. Lempeng ELISA kemudian dicuci 4x dengan 0,1% PBS (phosphate buffer saline)-tween 20 dan diblok dengan 200 µl / lubang 5% skim milk dalam 0,1% PBS-tween 20 lalu diinkubasi selama 1 jam dalam inkubator 37 C. Setelah inkubasi lempeng ELISA dicuci 3x dengan 0,1% PBS Tween- 20, sampel serum (1/200) dimasukkan ke dalam 2 lubang untuk ulangannya dan diinkubasi selama 1 jam dalam inkubator 37 C, setelah itu dicuci 3x dengan PBS Tween- 20. Lalu masukkan 50 µl mouse monoklonal anti-bovine IgG1 atau IgG2 lalu diinkubasi selama 1 jam dalam inkubator 37 C. Kemudian dicuci dan dimasukkan substrat ABTS /2,2-aziaobis(3-ethyl benzthiazoline-6-sulphonic acid), dan ditunggu sekitar 2 jam pada 37 C. Selanjutnya dibaca nilai OD/Optical Density dengan ELISA reader model Multiscan EX dari Labsystems 1998 dengan panjang gelombang 415 nm. Analisis Statistik Data yang diperoleh dalam penelitian diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan software SAS. 15 Hasil dan Pembahasan Rataan jumlah cacing F. gigantica yang ditemukan dari hati sapi Bali dan Madura 36 minggu setelah infeksi berturut-turut adalah 10,5% dan 8,7% dari jumlah metaserkaria yang diberikan (Gambar1). Tidak ada perbedaan yang nyata antara keduanya, tetapi terlihat bahwa kelompok sapi Madura jumlah cacing lebih rendah daripada kelompok sapi Bali. Begitu pula rataan jumlah telur cacing pada tinja dari sapi Madura lebih rendah dibanding sapi Bali (Gambar 2). Sementara cacing dan telur cacing tidak ditemukan pada kelompok kontrol (tidak diinfeksi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi Madura relatif lebih resisten terhadap infeksi F. gigantica daripada sapi Bali. Dinamika rataan nilai PCV selama sapi diinfeksi dengan F. gigantica dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nilai PCV pada ke-2 bangsa sapi relatif stabil sampai infeksi berlangsung selama 14 minggu, tetapi setelah itu pada sapi Bali rataan nilai PCV mengalami penurunan, tetapi tidak pada sapi Madura (P<0,05). Hal ini diduga berkaitan dengan jumlah cacing pada sapi Madura yang tidak sebanyak sapi Bali, dan berkaitan dengan tingkat resistensi sehingga walaupun terjadi infeksi cacing pada sapi Madura, namun sapi dapat tetap bertahan dan tidak mengalami anemia yang berat seperti pada sapi Bali. Pada 14 minggu setelah infeksi, cacing F. gigantica akan meningkatkan Gambar 1. Rataan jumlah cacing yang ditemukan pada hati sapi Bali dan Madura 36 minggu setelah diinfeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/minggu selama 32 minggu 9

Gambar 2. Rataan telur cacing per gram tinja (EPG/eggs per gram of faeces) pada sapi Bali dan Madura setelah diinfeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/minggu selama 32 minggu Gambar 3. Rataan packed cell volume /PCV (%) dari sapi Bali dan Madura setelah diinfeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/minggu selama 32 minggu aktivitasnya dalam bergerak dan menghisap darah karena mempersiapkan diri untuk menghasilkan telur, sehingga menyebabkan anemia. 16 Dalam penelitian ini terjadi eosinofilia segera setelah infeksi, tetapi kenaikannya lebih tinggi (P<0,05) pada sapi Madura dibandingkan dengan pada sapi Bali, terutama pada minggu ke-16 setelah infeksi (Gambar 4). Respons eosinofilia ini kemungkinan besar merupakan salah satu penyebab dari lebih resistennya sapi Madura 10

terhadap infeksi cacing F. gigantica daripada sapi Bali. Piedrafita 17 berpendapat bahwa eosinofilia dalam sirkulasi darah merupakan akibat dari suatu respon kebal di dalam tubuh dan merupakan suatu bukti bahwa eosinofilia merupakan fenomena yang terjadi yang tidak lepas dari faktor genetika pada hewan. Suatu penelitian telah dilakukan oleh Milbourne dan Howell 18 dengan menyuntikkan ekskresi/sekresi antigen F. hepatica pada tikus dan mencit yang sudah diketahui berturut-turut sebagai hewan yang resisten dan peka terhadap infeksi fasciolosis. Ternyata kenaikan eosinofilia Gambar 4. Rataan jumlah eosinofil (%) dari sapi Bali dan Madura setelah diinfeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/minggu selama 32 minggu Gambar 5. Rataan jumlah produksi IgG1 dalam OD (Optical Density) dari sapi Bali dan Madura setelah di infeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/ minggu selama 32 minggu 11

Gambar 6. Rataan jumlah produksi IgG2 dalam OD (Optical Density) dari sapi Bali dan Madura setelah di infeksi dengan 15 metaserkaria Fasciola gigantica 2 kali/ minggu selama 32 minggu pada tikus lebih banyak dibandingkan dengan pada mencit. Selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa cacing F. hepatica diduga menghasilkan molekul yang mirip dengan interlukin (IL)-5 yang sudah diketahui sebagai penyebab eosinofilia. 19 Bukti yang lebih spesifik yang menunjukkan bahwa eosinofilia mungkin dapat bertindak sebagai salah satu faktor terjadinya resistensi akibat infeksi F.hepatica pada hewan adalah hasil penelitian Duffus et al. 20 yang mengisolasi bovine major basic protein dari sel eosinofil. Ternyata, dalam konsentrasi yang sangat rendah, yaitu 1 x 10-6 M, protein ini dapat menimbulkan kerusakan dan kematian cacing F. hepatica yang belum dewasa. Respon kekebalan berdasarkan isotipe antibodi IgG1 dapat dilihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan titer antibodi pada ke-2 bangsa sapi mulai terjadi pada minggu ke-2, tetapi pada minggu ke-12 peningkatan lebih tinggi dijumpai pada sapi Madura (P<0,05). Sebaliknya, peningkatan titer antibodi IgG2 pada sapi Madura sangat rendah dibanding pada sapi Bali (P<0,05) (Gambar 6). Mungkin pada saat terjadi infeksi, kehadiran cacing F. gigantica di dalam tubuh sapi Madura akan merangsang sel eosinofil yang berada dalam rongga perut, dimana sel tersebut kemudian bekerja sama dengan IgG1 dalam upaya membunuh cacing, yang secara in vitro telah terbukti. 21 Kemungkinan lain adalah IgG2 yang sangat tinggi pada sapi Bali berperan sebagai antibodi penghambat dalam mekanisme kerja sel eosinofil dan IgG1. Mekanisme pertahanan terhadap infeksi cacing terjadi melalui respon antibodi IgG1 dan sel eosinofil. IgG1 berfungsi merangsang mastosit untuk melepaskan granula dan menyulut reaksi inflamasi yang melepaskan eosinophil chemotactic factor sehingga sel eosinofil mendekat dan melekat pada permukaan cacing. Cacing yang dilapisi imunoglobulin (IgG1) dapat dihancurkan oleh sel eosinofil karena granula sel eosinofil diketahui dapat melepaskan peroksidase dan enzim proteolitik. 22 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sapi Madura memberi respon jumlah cacing dan jumlah telur cacing dalam tinja yang lebih rendah daripada sapi Bali. Hal ini diduga berkaitan erat dengan lebih tingginya daya resistensi pada sapi Madura dibanding sapi Bali terhadap infeksi cacing F. gigantica. Dugaan ini didukung oleh jumlah sel eosinofil, nilai PCV dan antibodi IgG1 yang lebih tinggi pada sapi Madura daripada sapi Bali. 12

Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada ACIAR yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu, terima kasih juga disampaikan kepada teknisi di bagian Patologi dan Parasitologi, Balitvet yang telah membantu kelancaran penelitian ini Daftar Pustaka 1 Diwiyanto, K., S. Bahri dan E. Masbulan. 2000. Ketersediaan dan kebutuhan teknologi peternakan dan veteriner dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Bogor 2000: 51 64. Bogor 18 19 September 2000: Pusat Penelitian Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Bogor. 2 Edney, I.M. dan A. Muchlis. 1962. Fasciolosis in Indonesian Livestock. Communication Veteriner, 2: 49 52. 3 Estuningsih, S.E., G. Adiwinata, S. Widjajanti dan D. Piedrafita. 2004. Pengembangan teknik diagnosa Fascilosis pada sapi dengan antibodi monoklonal dalam capture ELISA untuk deteksi antigen. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Bogor 20 21 April 2004: Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. 4 Wiedosari, E. 2005. Perbedaan ekspresi mrna antara domba ekor tipis dan Merino terhadap infeksi Fasciola gigantica. Disertasi Program S3 Institut Pertanian Bogor. 5 Partoutomo, S. 2004. Pengendalian parasit dengan Genetic Host Resistance. Wartazoa, 4: 160 177. 6 Stear, M.J. dan M. Murray. 1994. Genetic resistance to parasitic disease: particularly of resistance in ruminants to gastrointestinal nematodes. Veterinary Parasitology, 54: 161 176. 7 Bitakaramire, P.K. 1973. The incidence of fasciolosis in different breeds of cattle in Kenya. Bulletin of Epizootic Diseases of Africa, 21: 145 152. 8 Boyce, W. M., C.H. Courtney dan P. E. Loggins. 1987. Resistance to experimental infection with Fasciola hepatica in exotic and domestic breeds of sheep. International Journal of Parasitology, 17: 1233 1237. 9 Ogunrinade, A. F. 1984. Infectivity and pathogenicity of F. gigantica in West African Dwarf sheep and goats. Tropical Animal HeaIth and Production, 16: 161 166. 10 Wiedosari, E dan D.B. Copeman. 1990. High resistance to experimental infection with Fasciola gigantica in Indonesian thin-tailed sheep. Veterinary Parasitology, 37: 101 111. 11 Batubara, A. 1997. Studies on genetic resistance of Sumatran Breeds and Hair sheep Crossbreeds to experimental infection with Haemonchus contortus in North Sumatra, Indonesia. MSc. Thesis, Prince Leopold Institute of Tropical Medicine. Antwerpen, Belgium. 12 Romjali, E. 1995. Studies of Genetic Resistance of sheep to gastrointestinal nematodes in North Sumatra. MSc Thesis, Prince Leopold Institute of Tropical Medicine. Antwerpen, Belgium 13 Romjali, E., V.S. Pandey, R.M. Gatenby dan A. Verhulst. 1997. Genetic resistance of different genotypes of sheep to natural infection with gastrointestinal nematodes. Animal Sciences, 64: 97 104. 14 Wiedosari, E. 1989. Studies on Infection Indonesian Thin Tailed sheep with Fasciola gigantica and Gigantocotyle explanatum. Tesis, Universitas James-Cook Australia. 15 SAS. 1998. SAS/STAT Guide for Personal Com puter. Version 6.2 Edition. SAS Institute Cary., NC, USA. 16 Sigmund, O.H. dan C. M. Fraser. 2000. The Merck Veterinary Manual. Ed ke-5. Merck and Co., Inc.Rahway, New York, USA. 17 Piedrafita, D. 2001. Antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity to newly excysted juvenile Fasciola hepatica in vitro is mediated by reactive nitrogen intermediates. Parasite Immunology, 23: 473 482. 18 Milbourne, E. A. dan M. J. Howell. 1990. Eosinophil responses to F. hepatica in rodents. International Journal of Parasitology, 20: 705 708. 19 Milbourne, E. A. dan M. J. Howell. 1993. Eosinophil differentiation in response to F. hepatica and its excretory/ secretory antigens. International Journal of Parasitology, 23: 1005 1009. 20 Duffus, W.P.H., K. Thorne dan R. Oliver. 1980. Killing of F. hepatica by purified bovine eosinophil proteins. CIinical and Experimental Immunology, 40: 336 344. 21 Estuningsih, S.E., S. Widjajanti, S. Partoutomo, T.W. Spithill, H. Raadsma, dan D. Piedrafita. 2002. Peran sel imunologi domba ekor tipis dalam membunuh cacing hati F. gigantica secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 7: 124 129. 22 Tizard, I.R. 2000. Immunology: An Introduction. Ed ke-6. New York: Saunders College Publishing. 13