BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat. Oleh karena harga obat tradisional

dokumen-dokumen yang mirip
2. KETENTUAN UMUM Obat tradisional Bahan awal Bahan baku Simplisia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi adalah badan usaha yang

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

CPOB. (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Lembaga Farmasi Direktorat Kesehatan Angkatan Darat (Lafi Ditkesad)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN UMUM. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990 adalah

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kebutuhan terpenting bagi manusia sehingga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut SK Menkes No. 245/Menkes/SK/V/1990

Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 245/Menkes/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM. Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 terdiri dari industri obat jadi dan

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

B. Tujuan Tujuan Qualiy Assurance adalah untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IOT adalah industri yang memproduksi obat traditional dengan total asset diatas Rp ,- (enam ratus juta rupiah), tidak termasuk harga tanah

Evaluasi penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB) di industri obat tradisional di Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia Nomor 245/Menkes/SK/V/1990 adalah industri obat jadi dan industri

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. Belanda, pada tahun 1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KATA PENGANTAR QUALITY CONTROL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 007 TAHUN 2012 TENTANG REGISTRASI OBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KESEHATAN. Industri. Usaha Obat. Tradisional. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006 TAHUN 2012 TENTANG INDUSTRI DAN USAHA OBAT TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

Obat tradisional 11/1/2011

Aspek-aspek CPOB. Manajemen Mutu Personalia Bangunan dan Fasilitas Peralatan Sanitasi dan Higiene Produksi

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR:. TENTANG PEDOMAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN KOSMETIKA YANG BAIK

Tugas Individu Farmasi Industri. Uraian Tugas Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu dan Pemastian Mutu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. bawah pengelolaan Drs. Handoko Prayogo, Apt. Berawal dari industri rumah

Oleh : Bambang Priyambodo

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Aspek CPOTB/CPKB Pengawasan Mutu

Produksi di Industri Farmasi

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

MODUL MATERI UJIAN PERPINDAHAN JABATAN FUNGSIONAL PENGAWAS FARMASI DAN MAKANAN TERAMPIL KE AHLI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) BADAN POM RI

Penggunaan terbesar herbal. Fitofarmaka. supplement. kosmetik

PERSONALIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik pada tahun Saat ini

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

DOKUMENTASI

BAB 1 MANAJEMEN MUTU

Tugas dan tanggungjawab Quality Assurance (QA) / Jaminan Mutu

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk telah

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERSYARATAN TEKNIS CARA PEMBUATAN OBAT TRADISIONAL YANG BAIK BAB 1

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM PT. COMBIPHAR. PT. Combiphar didirikan pada tahun 1971 di Jl. Sukabumi no. 61,

BAB II PT. KIMIA FARMA. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI. 2.1 Tinjauan Lembaga Farmasi Angkatan Udara (LAFIAU) Sejarah dan Perkembangan Lembaga Farmasi Angkatan Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus Sejak berdirinya hingga sekarang ini PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III METODE PELAKSANAAN

2 Presiden Nomor 55 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 125); 3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

Latar Belakang. Teori Umum. Deinisi :

UNIVERSITAS INDONESIA

No Kode DAR2/Profesional/582/010/2018 PENDALAMAN MATERI FARMASI MODUL 010: CARA DISTRIBUSI OBAT YANG BAIK. Dr. NURKHASANAH, M.Si., Apt.

BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI FARMASI. (BUMN) dibentuk sebagai Perusahaan Perseroan pada tanggal 16 Agustus 1971.

Quality Control (QC) dan Quality Assurance (QA) Mata Kuliah : Rancangan Produk Industri (2 SKS) Dosen : Kuni Zu aimah B.,S.Farm., M.Farm., Apt.

1 dari1717 I. PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berfungsi untuk menyimpan bahan baku, bahan kemas, dan obat jadi yang

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI INDUSTRI LEMBAGA FARMASI DIREKTORAT KESEHATAN ANGKATAN DARAT BANDUNG

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK

PP 72/1998, PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN. Tentang: PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42,

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KETENTUAN UMUM. Pasal 1

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Penetapan Kadar Sari

Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, penggunaan obat tradisional dan obat yang berasal dari bahan alami semakin marak di masyarakat. Obat tradisional dan obat bahan alam menjadi pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat. Oleh karena harga obat tradisional dan obat yang berbahan alami mempunyai harga yang relatif lebih murah, maka obat jenis ini sering menjadi pilihan pertama solusi kesehatan masyarakat kelas menengah dan bawah. Obat tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. Bahkan di beberapa negara berkembang obat tradisional telah dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan terutama pada pelayanan kesehatan strata pertama. Sementara itu, di banyak negara maju penggunaan obat tradisional makin populer (Depkes, 2007). Tren gaya hidup back to nature yang marak di negara maju dan mulai masuk ke negara berkembang seperti Indonesia turut andil memperluas penggunaan obat tradisional dan bahan alam hingga ke masyarakat kelas menengah dan atas. Di Indonesia, masyarakat telah lama mengenal dan menggunakan obat tradisional. Jamu merupakan obat tradisional Indonesia (BPOM, 2005 a ) dan telah digunakan turun temurun oleh masyarakat nusantara sejak lama. Melihat tren masyarakat yang mulai kembali menggunakan jamu, banyak pengusaha jamu berlomba untuk meningkatkan produksi mereka. Tidak sedikit pula beberapa perusahaan farmasi yang ikut memproduksi produk bahan alam dengan membuat 1

2 unit herbal. Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya (Sekretariat Negara, 2009). Sejalan dengan maraknya produk obat tradisional dan obat bahan alam di pasaran, muncul masalah mengenai jaminan keamanan dan khasiat produk yang beredar tersebut. Untuk dapat memberikan jaminan mutu baik keamanan maupun khasiat di bidang obat tradisional, dihadapkan pada kondisi sangat kurangnya ketersediaan standar dan metode sebagai instrumen untuk evaluasi mutu. Sementara penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi manfaat dan mutu obat tradisional sangat terbatas yang pada gilirannya menyebabkan terbatasnya data, standar, dan metodologi (Depkes, 2007). Jaminan mutu dan keamanan obat tradisional juga diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing produk-produk obat tradisional Indonesia di kancah perdagangan internasional, terutama dalam menghadapi harmonisasi ASEAN dan AFTA. Langkah utama dan merupakan persyaratan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan ini adalah dengan diterapkannya Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) pada seluruh aspek kegiatan dan produksi obat tradisional (BPOM, 2005 c ). Proses produksi merupakan salah satu tahapan kunci dimana kontrol kualitas disyaratkan untuk menjamin kualitas obat bahan alam yang diproduksi. Good Manufacturing Practice (GMP) merupakan satu dari alat paling penting untuk mengukurnya (WHO, 2007). Tujuan umum diterapkannya CPOTB agar melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan

3 mutu dan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional Indonesia dalam era pasar bebas (BPOM RI, 2005 c ). Setiap produsen obat tradisional dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan memproduksi obat tradisional, wajib berpedoman pada CPOTB. Bagi Industri Obat Tradisional (IOT) diwajibkan telah menerapkan CPOTB selambat-lambatnya 1 Januari 2010 dan bagi Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan industri (BPOM, 2005 b ). Oleh karena itu, perlu dilakukan penilaian terhadap penerapan CPOTB terutama di IKOT sebagai evaluasi sejak diwajibkannya CPOTB tersebut. Sampai saat ini, telah diberlakukan dua CPOTB, yaitu CPOTB tahun 2005 dan CPOTB tahun 2010. CPOTB tahun 2010 diberlakukan untuk menyempurnakan CPOTB 2005 yang telah diberlakukan sebelumnya. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penerapan CPOTB tahun 2010, diperlukan evaluasi terhadap penerapan CPOTB sebelumnya yaitu CPOTB tahun 2005. Pada tahun 2012 telah diterbitkan peraturan menteri kesehatan RI (Permenkes) No. 6 tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional yang tidak lagi menyebut IKOT tetapi Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) sebagai bentuk produksi obat tradisional skala kecil (Depkes RI, 2012). Sehingga evaluasi CPOTB yang dilaksanakan pada penelitian ini disesuaikan dengan definisi terbaru tersebut. Titik tekan penilaian menurut dra. Lucky S. Slamet, M.Sc., Kepala BPOM RI periode 2012-2013, dokumentasi alur produksi sehingga memudahkan dalam penelusuran produk unit usaha tersebut (Slamet, 2012). Menurut Ketua KOJAI, Suwarsi Moertedjo, selain aspek dokumentasi, KOJAI juga menekankan pada

4 pemenuhan aspek sanitasi dan higiene oleh UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo (Moertedjo, 2013). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Sejauh mana penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) pada UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah? 2. Bagaimana kemampuan UKOT dan UMOT dalam memenuhi standar CPOTB? 3. Aspek CPOTB manakah yang paling sulit dipenuhi oleh UKOT dan UMOT? 4. Apa kendala yang paling sering ditemui pada pelaksanaan CPOTB oleh UKOT dan UMOT? C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi CPOTB pada Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) di Kabupaten Sukoharjo ini menurut pengamatan penulis belum pernah dilakukan, kecuali pemeriksaan dan pembinaan oleh instansi yang berwenang. Penelitian lain dengan tema evaluasi CPOTB yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Farmasi UGM dapat dilihat di tabel I. Persamaan penelitian ini dengan penelitian pada tabel I adalah mengambil tema evaluasi penerapan CPOTB. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian setingkat tesis pada tabel I adalah penelitian ini dilakukan pada Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) sedangkan kedua penelitian tesis dilakukan pada Industri Obat Tradisional (IOT). Perbedaan dengan penelitian setingkat skripsi pada tabel I adalah

5 perbedaan lokasi pengambilan sampel dimana penelitian pada tabel I dilakukan di Kabupaten Bantul sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Tabel I. Penelitian dengan tema evaluasi CPOTB di Fakultas Farmasi UGM No Judul Penulis Keterangan 1 Evaluasi Penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik di Industri Obat Tradisional Jawa Tengah 2 Evaluasi Penerapan CPOTB dan Pengendalian Kualitas Sediaan Tablet X di PT. Kimia Farma Tbk. PLANT Jakarta 3 Evaluasi Penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) pada Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) di Kabupaten Bantul Bambang Suryadi Rita Mahyona Arifudin Dhian Kurniawan Tesis Tesis Skripsi D. Faedah yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat, pemerintah, dan pihak yang peduli dengan obat tradisional Indonesia mengenai kondisi yang dihadapi pelaku usaha kecil dan mikro obat tradisional di Kabupaten Sukoharjo berkaitan dengan kualitas obat tradisional yang dihasilkan.

6 Penelitian ini merupakan penelitian tentang evaluasi CPOTB yang pertama di Kabupaten Sukoharjo dan belum pernah dilakukan penelitian serupa. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pelaku UKOT dan UMOT di Sukoharjo tentang kondisi mereka agar dapat menjadi pertimbangan dalam pengembangan usaha ke depan, juga bagi lembaga terkait dalam mengambil kebijakan tentang pembinaan dan pengawasan pelaksanaan CPOTB pada UKOT dan UMOT di Sukoharjo. E. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui sejauh mana penerapan seluruh aspek CPOTB pada masingmasing UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo dalam produksinya. 2. Mengetahui kemampuan UKOT dan UMOT dalam memenuhi standar CPOTB. 3. Mengetahui aspek CPOTB yang paling sulit dipenuhi oleh UKOT dan UMOT. 4. Mengetahui kendala yang paling sering ditemui dalam pelaksanaan CPOTB oleh UKOT dan UMOT.

7 F. Tinjauan Pustaka 1. CPOTB Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional dengan tujuan untuk menjamin produk yang dihasilkan agar dapat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari bahan awal, proses produksi, dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan, dan personalia yang menangani (Depkes, 1991). Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu sistem mutu hendaklah dibangun, dimantapkan, dan diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Dengan demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar dalam negeri maupun internasional (BPOM, 2005 b ). Ada sepuluh aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CPOTB, yaitu : a. Personalia b. Bangunan c. Peralatan d. Sanitasi dan Higiene e. Penyiapan Bahan Baku f. Pengolahan dan Pengemasan

8 g. Pengawasan Mutu h. Inspeksi Diri i. Dokumentasi j. Penanganan terhadap Hasil Pengamatan Produk Jadi di Peredaran Uraian mengenai sepuluh aspek tersebut di atas adalah sebagai berikut : a. Personalia Personalia hendaklah mempunyai pengetahuan, pengalaman, ketrampilan, dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, serta tersedia dalam jumlah yang cukup. Mereka hendaklah dalam keadaan sehat dan mampu menangani tugas yang dibebankan kepadanya (BPOM, 2005 c ). Jumlah dan kualitas personil yang kurang memadai cenderung mempengaruhi kualitas obat tradisional. Jumlah personil yang terbatas mengakibatkan tugas dilakukan secara tidak cermat dengan segala akibatnya. Disamping itu kekurangan personil mengakibatkan sering dilakukan kerja lembur yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator maupun supervisor. Pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan personil hendaklah sesuai dengan persyaratan kualifikasi yang tertera pada uraian tugas masing-masing personil (BPOM, 2005 c ). Seluruh personil yang langsung terlibat serta dalam kegiatan pembuatan produk dan yang karena tugasnya mengharuskan mereka masuk ke daerah pembuatan produk hendaklah dilatih mengenai kegiatan tertentu yang sesuai dengan tugasnya maupun mengenai prinsip-prinsip CPOTB. Pelatihan mengenai CPOTB hendaknya dilakukan secara berkesinambungan dengan frekuensi yang memadai untuk menjamin agar para personil terbiasa denga persyaratan CPOTB

9 yang berkaitan dengan tugasnya. Pelatihan tersebut dilaksanakan menurut program tertulis yang telah disetujui oleh Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Pengawasan Mutu. Setelah mendapat pelatihan, prestasi personil hendaknya dievaluasi untuk menentukan apakah mereka telah memiliki kualifikasi yang memadai untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya (BPOM, 2005 c ). b. Bangunan Aspek bangunan mempunyai dua sub aspek, yaitu bangunan dan ruangan. Pada sub aspek bangunan, secara ideal industri obat tradisional yang baik dan sehat hendaknya berada di lokasi yang bebas dari pencemaran. Bangunan pabrik juga hendaknya memenuhi persyaratan sanitasi dan higiene dengan cara-cara tertentu. Bangunan hendaknya memiliki rancangan, ukuran, dan konstruksi yang memenuhi syarat dan peraturan yang berlaku. Bangunan industri obat tradisional hendaklah memiliki ruangan-ruangan pembuatan yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk, sifat, dan jumlah produk yang dibuat, jenis, dan jumlah peralatan yang digunakan, jumlah karyawan yang bekerja serta fungsi ruangan (BPOM, 2005 c ). Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi bangunan demi terlaksananya semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi, dan pengawasan yang efektif, serta menghindari ketidakteraturan. Peralatan produksi, barang, dan fasilitas lain yang akan ditempatkan serta lalu lintas barang dan orang hendaklah digambarkan dengan benar pada tata ruang sesuai dengan ukuran yang direncanakan. Tata letak ruangan hendaklah mengikuti urutan proses pengolahan dan dihubungkan melalui koridor. Antar ruangan hendaklah dilakukan

10 penyekatan sesuai dengan fungsi khusus masing-masing ruangan guna mencegah terjadinya tercampurnya bahan maupun kemungkinan terjadinya kontaminasi silang antar bahan serta mencegah resiko terlewatnya salah satu langkah dalam proses produksi. Ruang laboratorium harus terpisah dari area produksi dan tidak menghadap ke dalam area produksi. Laboratorium kimia fisika dan laboratorium mikrobiologi harus terpisah. Lantai, dinding, dan langit-langit ruangan dibuat sedemikian rupa hingga mudah dibersihkan, kedap air, tidak ada sambungan, rata, dan tidak merupakan media pertumbuhan mikroba (BPOM, 2005 c ). c. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk hendaklah memiliki rancang bangun konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dengan tepat, sehingga mutu yang dirancang bagi tiap produk terjamin secara seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya. Peralatan tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk, misalnya tidak bereaksi dengan produk, kebocoran katup, penetesan zat pelumas dan hal lain yang sejenis, atau karena perbaikan, pemeliharaan, modifikasi, atau adaptasi yang salah (BPOM, 2005 c ). Idealnya dalam satu ruangan hanya boleh ada satu peralatan. Apabila dalam satu ruangan terdapat lebih dari satu peralatan, hanya boleh mengolah satu produk pada satu waktu untuk menghindari pencemaran silang (BPOM, 2005 c ). Peralatan hendaklah ditempatkan sedemikian rupa untuk memperkecil kemungkinan pencemaran silang dan untuk memberikan keleluasaan kerja, serta mudah

11 dibersihkan (BPOM, 2005 c ). Semua jenis pipa yang terpasang kecuali yang ditanam di bawah tanah dan pipa listrik hendaklah diberi tanda yang jelas (BPOM, 2005 c ). Sarana pengolahan produk hendaklah dilengkapi dengan peralatan sesuai dengan proses dan bentuk sediaan yang akan dibuat. Sedangkan peralatan serta instrumen laboratorium pengujian hendaklah sesuai untuk menguji tiap bentuk sediaan produk yang dibuat. Dalam laboratorium hendaknya terdapat sekurangkurangnya : timbangan gram dan miligram, mikroskop dan perlengkapannya, alatalat gelas sesuai keperluan, serta lampu spiritus. Bahan uji yang perlu dilengkapi adalah zat atau bahan kimia dan larutan pereaksi sesuai kebutuhan serta buku-buku persyaratan antara lain Materia Medika Indonesia, Farmakope Indonesia, dan Ekstra Farmakope Indonesia serta buku-buku resmi lainnya. Bila memiliki laboratorium mikrobiologi hendaklah sekurang-kurangnya memiliki otoklac, oven, lemari pendingin, Laminar Air Flow (LAF), inkubator, peralatan gelas, dan media yang diperlukan. Prosedur kerja standar untuk setiap instrumen atau peralatan harus tersedia, dan diletakkan di dekat instrumen atau peralatan yang bersangkutan. Untuk menjamin ketepatan dan ketelitian pengukuran instrumen yang digunakan hendaklah dikalibrasi secara berkala sesuai jadwal yang ditetapkan. Jadwal pelaksanaan kalibrasi untuk masing-masing instrumen hendaknya tertera pada instrumen yang bersangkutan (BPOM, 2005 c ).

12 d. Sanitasi dan Higiene Dalam pembuatan produk hendaklah diterapkan tindakan sanitasi dan higiene yang meliputi bangunan, peralatan dan perlengkapan, personalia, bahan dan wadah serta faktor lain sebagai sumber pencemaran produk. Karyawan hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan baik sebelum diterima menjadi karyawan maupun selama menjadi karyawan yang dilakukan secara berkala serta hendaklah karyawan dilatih menerapkan higiene perorangan dengan baik. Hendaklah tersedia jamban atau tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan pengering yang berfungsi dengan baik dan jumlah serta kapasitasnya memadai (BPOM, 2005 c ). Prosedur sanitasi peralatan hendaklah dirancang dengan tepat agar dapat dicegah pencemaran peralatan oleh bahan pembersih atau bahan untuk sanitasi. Peralatan sebelum dipakai hendaklah diperiksa lagi untuk memastikan kebersihannya. Peralatan setelah digunakan hendaklah dibersihkan baik bagian luar maupun bagian dalam sesuai prosedur, serta dijaga dan disimpan dalam kondisi bersih dan diberi tanda. Peralatan yang dapat dipindah-pindahkan pembersihannya dan penyimpanannya hendaklah dilakukan dalam ruangan yang terpisah dari ruangan pengolahan (BPOM, 2005 c ). e. Penyiapan Bahan Baku Setiap bahan baku yang digunakan untuk pembuatan hendaklah memenuhi persyaratan yang berlaku. Pada saat penerimaan terhadap setiap kiriman bahan baku hendaklah dilakukan pemeriksaan secara organoleptik dan laboratoris. Setiap bahan baku yang diterima hendaklah diberi label yang memberi informasi mengenai nama daerah dan nama latin bahan, tanggal penerimaan, dan pemasok. Semua

13 pemasukan, pengeluaran, dan sisa bahan baku hendaklah dicatat dalam kartu atau buku persediaan yang meliputi nama, tanggal penerimaan atau pengeluaran, serta nama dan alamat pemasok. Setiap simplisia sebelum digunakan hendaklah dilakukan sortasi untuk membebaskan dari bahan asing dan pengotor lain. Simplisia yang dicuci hendaklah dikeringkan terlebih dahulu dengan cara yang tepat sehingga tidak terjadi perubahan mutu dan mencapai kadar air yang dipersyaratkan. Pengeluaran simplisia yang akan diolah dilakukan oleh petugas yang ditunjuk dengan cara mendahulukan simplisia yang disimpan lebih awal (First In First Out), atau yang mempunyai batas kadaluwarsa lebih awal (First Expired First Out). Semua bahan baku yang tidak memenuhi syarat hendaklah ditandai dengan jelas, disimpan secara terpisah menunggu tindak lanjut (BPOM, 2005 c ). f. Pengolahan dan Pengemasan Pengolahan dan pengemasan hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti cara yang telah ditetapkan oleh industri sehingga dapat menjamin produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persayaratan yang berlaku (BPOM, 2005 c ). Hendaklah dibuatkan prosedur operasional baku pengolahan dan pengemasan secara tertulis dan catatan hasilnya hendaklah disimpan (BPOM, 2005 c ). g. Pengawasan Mutu Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari cara pembuatan obat tradisional yang baik. Rasa ketertarikan dan tanggung jawab semua unsur dalam semua rangkaian pembuatan adalah mutlak untuk menghasilkan produk yang bermutu mulai dari bahan awal sampai pada produk jadi (BPOM, 2005 c ). Pengawasan mutu obat tradisional dilaksanakan melalui suatu sistem pengawasan

14 yang terencana dan terpadu. Semua unsur yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional, baik personalia maupun kelengkapan sarana pabrik, hendaklah menunjang maksud pembuatan obat tradisional itu dan mendukung sepenuhnya persyaratan yang diinginkan sehingga obat tradisional yang dihasilkan senantiasa memenuhi spesifikasi mutu. Pengawasan mutu merupakan bagian (departemen) yang berdiri sendiri dan tidak merupakan bagian dari departemen produksi. Memiliki otoritas tunggal untuk meluluskan atau menolak bahan awal untuk produksi, kelanjutan proses produksi sesudah melewati tahap proses yang kritis, dan produk jadi untuk didistribusikan (BPOM, 2005 c ). Sistem pengawasan mutu hendaklah dirancang dengan tepat untuk menjamin bahwa tiap produk mengandung bahan dengan mutu yang benar dan dibuat pada kondisi yang tepat serta mengikuti prosedur standar sehingga produk tersebut senantiasa memenuhi persyaratan produk jadi yang berlaku. Pengawasan mutu hendaklah dilakukan terhadap bahan baku, bahan pengemas, proses pembuatan, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi (BPOM, 2005 c ). h. Inspeksi Diri Inspeksi diri pada dasarnya adalah cara untuk mengkaji kembali secara objektif seluruh tata kerja diri sendiri dari setiap aspek yang mungkin dapat berpengaruh pada jaminan mutu. Tujuan inspeksi diri adalah melakukan penilaian apakah seluruh aspek pengolahan, pengemasan, dan pengendalian mutu selalu memenuhi CPOTB (BPOM, 2005 c ). Tujuan inspeksi diri juga untuk mengetahui cacat, baik yang berdampak besar, sedang, maupun kecil. Inspeksi diri hendaklah dilakukan oleh orang yang kompeten dari perusahaan dengan atau tanpa bantuan tenaga ahli

15 dari luar (BPOM, 2005 c ). Untuk pelaksanaan inspeksi diri hendaklah ditunjuk tim inspeksi yang mampu menilai secara obyektif pelaksanaan CPOTB. Hendaklah dibuat prosedur dan catatan mengenai inspeksi diri (BPOM, 2005 c ). i. Dokumentasi Dokumentasi pembuatan produk merupakan bagian dari sistem informasi manajemen yang meliputi spesifikasi, label/etiket, prosedur, metoda dan instruksi, catatan dan laporan, serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh rangkaian kegiatan pembuatan produk. Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap petugas mendapat instruksi secara rinci dan jelas mengenai bidang tugas yang harus dilaksanakannya, sehingga memperkecil risiko terjadiya salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan (BPOM, 2005 c ). Dokumentasi dapat diklarifikasikan dalam empat tingkat, yaitu : panduan mutu, Prosedur Operasional Baku (POB), Instruksi Kerja (IK), dan Catatan Mutu (BPOM, 2005 c ). Sistem dokumentasi hendaklah bisa menggambarkan riwayat lengkap dari setiap bets suatu produk sehingga memungkinkan penyelidikan serta penelusuran terhadap bets produk yang bersangkutan. Sistem dokumentasi digunakan pula dalam pemantauan dan pengendalian, misalnya kondisi lingkungan, perlengkapan, dan personalia (BPOM, 2005 c ). Sistem dokumentasi yang dirancang atau digunakan hendaklah mengutamakan tujuan yaitu menentukan, memantau, dan mencatat seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2005 c ).

16 j. Penanganan terhadap Hasil Pengamatan Produk Jadi di Peredaran Keluhan dan laporan menyangkut kualitas, efek yang merugikan atau masalah medis lainnya hendaklah diselidiki dan dievaluasi serta diambil tindak lanjut yang sesuai (BPOM, 2005 c ). Jenis keluhan dan laporan dapat berupa: a) Keluhan mengenai kualitas menyangkut keadaan fisik, kimia, dan biologi dari produk jadi atau kemasannya dan lain sebagainya. b) Keluhan dan laporan tentang efek yang merugikan seperti reaksi alergi, reaksi toksis, reaksi fatal, dan lain sebagainya. (BPOM, 2005 c ) Hendaklah dibuat catatan tertulis mengenai semua keluhan dan laporan yang diterima. Keluhan dan laporan tersebut hendaklah ditangani oleh bagian yang bersangkutan sesuai dengan jenis keluhan dan laporan yang diterima. Tiap keluhan dan laporan hendaklah dilakukan penelitian dan evaluasi secara seksama dan kemudian dilakukan tindak lanjut sesuai evaluasi dan penelitian. Hasil pelaksanaan penanganan keluhan dan laporan termasuk hasil evaluasi penelitian dan tindak lanjut yang diambil hendaklah dicatat dan dilaporkan kepada bagian yang bersangkutan dan kepada pejabat pemerintah yang berwenang (BPOM, 2005 c ). Penarikan kembali produk yang berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh produk tertentu dari semua mata rantai produksi. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi persyaratan atau atas dasar pertimbangan adanya efek yang tidak diperhitungkan yang merugikan kesehatan. Penarikan kembali seluruh produk tertentu dapat berupa

17 tindak lanjut penghentian pembuatan sait jenis produk bersangkutan (BPOM, 2005 c ). 2. Obat tradisional Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Sekretariat Negara, 2009). Obat Tradisonal merupakan salah satu produk dari budaya bangsa Indonesia (Depkes, 2007). Obat tradisional di Indonesia dibagi menjadi 3 kriteria yaitu : Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku, dan produk jadinya telah distandarisasi (BPOM, 2005 d ). 3. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen ( Depkes RI, 2012). 4. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) Usaha Mikro Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UMOT adalah usaha yang hanya membuat sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan rajangan ( Depkes RI, 2012).

18 5. Industri Obat Tradisional (IOT) Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industry yang membuat semua bentuk sediaan obat tradisional (Depkes RI, 2012). 6. Keterangan empiris Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan CPOTB tahun 2005 yang telah ditetapkan oleh BPOM RI khususnya pada UKOT dan UMOT di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, sehingga dapat memberi masukan awal dalam pelaksanaan CPOTB 2011 bagi pelaku usaha obat tradisional serta dalam menetapkan metode pembinaan oleh pihak-pihak terkait.

19