BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi pada berbagai keadaan sakit secara langsung maupun tidak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan berfungsi kuratif dan rehabilitatif yang menyelaraskan tindakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sumber energi, pertumbuhan dan perkembangan, pengganti sel-sel yang rusak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

reporsitory.unimus.ac.id

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.

Indikator pelayanan makanan : Waktu Daya terima /kepuasan. BAB II Penampilan makan. Keramahan pramusaji Kebersihan alat

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan mulai dari penetapan peraturan pemberian makan di rumah sakit,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. adalah pelayanan gizi, dalam standar profesi Gizi, dinyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan gizi ruang rawat inap adalah rangkaian kegiatan mulai dari

BAB 1 : PENDAHULUAN. dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Makanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi sangat berpengaruh pada proses


BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berupaya untuk mencapai pemulihan penderita dalam waktu singkat. Upayaupaya

ANALISIS SISTEM PENYELENGGARAAN MAKANAN DAN DAYATERIMA MENU (PERSEPSI) YANG DISAJIKAN DI LAPAS KELAS II B TASIKMALAYA.

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN SISA MAKANAN BIASA YANG DISAJIKAN DI RUANG MAWAR RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI


HUBUNGAN KEPUASAN PASIEN DARI KUALITAS MAKANAN RUMAH SAKIT DENGAN SISA MAKANAN DI RSUD KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan anggaran belanja, pengadaan bahan makanan, penerimaan. pencatatan, pelaporan serta evaluasi (PGRS, 2013).

BAB V PEMBAHASAN. Instalasi Gizi RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung mempunyai siklus menu 10 hari

BAB I PENDAHULUAN. kuratif, rehabilitatif dan promotif. Ada 4 kegiatan pokok PGRS yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Standar akreditasi rumah sakit menyebutkan bahwa pelayanan gizi. metabolisme manusia untuk pemulihan dan mengoreksi kelainan


BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian. kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian

PROGRAM STUDI SI GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, secara

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 )

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Gizi Prof.DR.Dr.Poorwo Soedarmo melalui Lembaga Makanan Rakyat

MAKALAH MANAGEMEN GIZI INSTITUSI SIKLUS MENU SEHAT 10 HARI CITA RASA ANAK REMAJA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. ruang perawatan kelas III, dan data-data terkait antara lain standar

BAB I PENDAHULUAN. beranekaragam, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

Oleh : Seksi Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pelayanan gizi yang bermutu terutama dalam menyediakan makanan

BAB 1 PENDAHULUAN. antara lain melalui kegiatan pengamanan makanan dan minuman, kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan strategi dalam peperangan. Menurut Anwar (1989) makanan

BAB V PEMBAHASAN. seseorang saat ini. Menurut Depkes untuk memudahkan penyelenggaraan terapi diet

LAPORAN MODIFIKASI RESEP DI INSTALASI GIZI RSU SUNAN KALIJAGA DEMAK SUP AYAM FANTASI

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi

GAMBARAN SISA MAKANAN DAN MUTU MAKANAN YANG DISEDIAKAN INSTALASI GIZI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG

Iswanelly Mourbas, M. Husni Thamrin, Ayu Restika (Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada Bab IV penulis akan menguraikan hasil penelitian berupa pengolahan

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

OLEH : HAVIZA PUTRI NIM

TINJAUAN PUSTAKA Penyelenggaraan Makanan

PENGARUH VARIASI BENTUK LAUK NABATI TERHADAP DAYA TERIMA PADA PASIEN ANAK DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

BAB 1 PENDAHULUAN. namun WHO menetapkan remaja (adolescent) berusia antara tahun.

PERBEDAAN DAYA TERIMA, SISA DAN ASUPAN MAKANAN PADA PASIEN DENGAN MENU PILIHAN DAN MENU STANDAR DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN SISA MAKANAN BIASA PASIEN BANGSAL RAWAT INAP RSUD SALATIGA

BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS. sakit adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien guna mempercepat

ANALISIS ZAT GIZI DAN BIAYA SISA MAKANAN PADA PASIEN DENGAN MAKANAN BIASA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HANDOUT 4 1. Tujuan Instruksional Umum 2. Tujuan Instruksional Khusus 3. Uraian Materi perkuliahan A. Perencanaan Menu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

BAB 1 PENDAHULUAN. penunjang medik yang merupakan sub sistem dalam sistem pelayanan. mempunyai peranan penting dalam mempercepat tercapainya tingkat

HUBUNGAN VARIASI MENU, BESAR PORSI, SISA MAKANAN DAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA MAKANAN LUNAK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, pekerja perkebunan, para prajurit, orang. sakit, penghuni asrama atau panti asuhan,narapidana dan sebagainya.

KUESIONER PENYELENGGARAAN MAKANAN

ABSTRACT. Objective: To find out association between timelines in food distribution and food intake of patients on rice diet at Atambua Hospital.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan yang banyak disukai masyarakat (Anonim, 2007).

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Penyelenggaraan kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit, pada dasarnya terdiri dari kegiatan pengadaan makanan,

LAMPIRAN 1. Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada anak-anak membuat anak buta setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia

PENERIMAAAN BAHAN MAKANAN KERING

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan yang meliputi upaya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Di zaman seperti sekarang ini masih banyak dijumpai orang-orang yang mengalami

KUESIONER PENILAIAN DAYA TERIMA MAKANAN PASIEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein

BAB I PENDAHULUAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier,

KONSUMSI MAKANAN ANAK BALITA DI DESA TANJUNG TANAH KECAMATAN DANAU KERINCI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ABSTRAK PENILAIAN MENGENAI SISA MAKANAN PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT SWASTA AL-ARIF CIAMIS TAHUN 2013.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PENAMPILAN MAKANAN DAN FAKTOR LAINNYA DENGAN SISA MAKANAN BIASA PASIEN KELAS 3 SERUNI RS PURI CINERE DEPOK BULAN APRIL-MEI 2012 SKRIPSI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Citra sebuah rumah sakit di tentukan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sistem pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit tersebut. Pelayanan gizi di rumah sakit merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di rumah sakit sehingga pelaksanaannya dipadukan dengan kegiatan pelayanan kesehatan lainnya yang ada di rumah sakit. Pelayanan gizi dapat dijadikan sebagai tolok ukur mutu pelayanan di rumah sakit karena makanan merupakan kebutuhan dasar manusia dan sangat dipercaya menjadi faktor yang dapat membantu penyembuhan penyakit. Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang diberikan oleh rumah sakit bagi pasien rawat inap dan berobat jalan. Fungsi dari pelayanan gizi rumah sakit yaitu dalam merencanakan penyediaan, pengolahan, dan penyaluran makanan pasien (Moehyi, 1992). Bentuk pelayanan gizi yang paling umum terdapat di rumah sakit adalah penyelenggaraan makanan bagi penderita yang dirawat di rumah sakit. Kegiatan penyelenggaraan makanan ini meliputi kegiatan pengadaan makanan hingga penyalurannya kepada pasien dengan mutu, jenis dan jumlah yang sesuai dengan rencana kebutuhan. Unit yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan tersebut adalah instalasi gizi rumah sakit. Pemberian zat gizi optimal sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien juga merupakan salah satu kegiatan asuhan gizi (Almatsier, 2006).

Penyelenggaraan makanan untuk orang sakit dirumah sakit telah mengalami banyak perubahan dari masa ke masa meskipun perubahan itu terjadi sangat lambat. Dari berbagai kepustakaan dapat diketahui bahwa penyelenggaraan makanan bagi orang sakit sudah dikenal sejak zaman dahulu kala. Penyelenggaraan makanan di rumah sakit memiliki kekhususan tersendiri karena makanan tidak disajikan di ruang makan sebagaimana yang biasa dilakukan di institusi lain. Pada rumah sakit makanan disajikan langsung kepada penderita di tempatnya dirawat atau dibangsal-bangsal perawatan. Semua makanan dimasak dan disiapkan di dapur sentral dan langsung disajikan dalam baki (tray) untuk masing-masing penderita dengan menggunakan wadah makanan (food container) yang cukup besar dan dapat memuat sejumlah tray yang diisi makanan, kemudian makanan itu dibawa ke bangsal perawatan. Dapur bangsal kemudian membagikan makanan kepada orang sakit, dan ada juga penyerahan penyelenggaraan makanannya kepada usaha jasa boga dari luar rumah sakit sebagai pemasok makanan (Moehyi, 1992) Masalah pengadaan makanan kepada orang sakit lebih kompleks dari pada pengadaan makanan untuk orang sehat. Hal ini disebabkan terutama oleh selera makan dan kondisi psikis pasien yang berubah akibat penyakit yang dideritanya, aktifitas fisik yang menurun dan reaksi obat-obatan. Perubahan selera makan ini akan berpengaruh terhadap daya terima makanan yang disajikan oleh instalasi gizi rumah sakit. Untuk mencapai serta memelihara kesehatan dan status gizi optimal. Bila tubuh dapat mencerna, mengabsorbsi, dan memetabolisme zat-zat gizi secara baik, maka akan tercapai keadaan gizi seimbang. Tetapi dalam keadaan sakit, melalui modifikasi diet diupayakan agar gizi seimbang tetap bisa dicapai (Almatsier, 2005).

Pasien membutuhkan asupan zat gizi yang sesuai dengan kondisi atau kebutuhan tubuh pasien. Tubuh manusia melakukan pemeliharaan kesehatan dengan mengganti jaringan yang rusak untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Jika asupan gizi pasien tidak seimbang atau kurang dari yang seharusnya, maka akan mempengaruhi status gizi pasien hingga menyebabkan terjadinya malnutrisi. Malnutrisi merupakan suatu keadaan nutrisi yang tidak seimbang yang terkadang sulit untuk dikenali dalam keadaan klinis (Sauer, 2009). Timbulnya malnutrisi disebabkan oleh asupan zat gizi makanan dan keadaan penyakit. Malnutrisi dirumah sakit pada pasien biasanya merupakan kombinasi dari cachexia (yang berhubungan dengan penyakit) dan malnutrisi (konsumsi zat gizi yang tidak seimbang). Hal ini sesuai dengan pendapat Barker (2011) bahwa malnutrisi di rumah sakit merupakan gabungan dari berbagai faktor yang saling mempengaruhi secara kompleks, antara penyakit yang mendasar, penyakit yang berhubungan dengan perubahan metabolisme, dan berkurangnya persediaan zat gizi dalam pasien tersebut. Berkurangnya persediaan zat gizi dalam pasien merupakan salah satu penyebab terjadinya hospital malnutrition. Ini terjadi karena kurangnya jumlah makanan yang dimakan, melemahnya proses penyerapan, dan proses kehilangan yang semakin meningkat, atau kombinasi ketiganya (Barker, 2011). Konsumsi makanan pasien harus dapat memenuhi kebutuhan zat gizi baik kuantitas maupun kualitasnya. Konsumsi makanan lebih ditekankan pada kebutuhan energi dan protein, karena jika kebutuhan energi dan protein sudah terpenuhi maka kebutuhan zat gizi lain juga akan terpenuhi atau setidaknya tidak terlalu sulit untuk memenuhinya (Khumaidi, 1987).

Menurut penelitian Netty (2003) di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin, yang mengevaluasi pelayanan gizi adalah kepuasan pasien terhadap penyelenggaraan makanan yang disajikan di rumah sakit masih rendah yaitu 41,80% pasien menyatakan tidak puas. 2.2. Standar Makanan Umum Rumah Sakit Makanan yang diberikan kepada pasien harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita. Menurut konsistensinya, jenis makanan yang paling umum diberikan kepada pasien adalah jenis makanan biasa. Makanan biasa sama dengan makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur, dan aroma yang normal. Susunan makanan mengacu pada pola menu seimbang dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Makanan biasa diberikan kepada pasien yang berdasarkan penyakitnya dan tidak memerlukan makanan khusus atau diet. Walaupun tidak ada pantangan secara khusus, namun makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna dan juga tidak merangsang saluran cerna. Makanan yang tidak dianjurkan untuk diet makanan biasa adalah makanan yang merangsang, seperti makanan yang berlemak tinggi, terlalu manis, terlalu berbumbu, dan minuman yang mengandung alkohol (Almatsier, 2006). Tujuan diet makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh. Syarat-syarat diet makanan biasa adalah sebagai berikut : 1. Energi sesuai kebutuhan normal orang dewasa sehat dalam keadaan istirahat 2. Protein 10-15% dari kebutuhan energi total 3. Lemak 10-25% dari kebutuhan energi total

4. Karbohidrat 60-75% dari kebutuhan energi total 5. Cukup mineral, vitamin, dan kaya serat 6. Makanan tidak merangsang saluran cerna 7. Makanan sehari-hari beraneka ragam dan bervariasi 2.3. Sisa Makanan Sisa makanan (waste) yaitu bahan makanan yang hilang karena tidak dapat diolah atau tercecer. Sisa pengolahan ataupun sisa makanan yang mudah membusuk dalam ilmu kesehatan lingkungan disebut garbage. Sisa makanan di piring (plate waste) adalah makanan yang disajikan kepada pasien, tetapi meninggalkan sisa di piring karena tidak habis dikonsumsi dan dinyatakan dalam persentase makanan yang disajikan (Djamaluddin, 2005). Pada penelitian ini, sisa makanan yang dimaksud adalah sisa makanan di piring (plate waste) karena berhubungan langsung dengan pasien sehingga dapat mengetahui dengan cepat penerimaan makanan pasien di rumah sakit. Sisa makanan dapat diketahui dengan menghitung selisih berat makanan yang disajikan dengan berat makanan yang dihabiskan lalu dibagi berat makanan yang disajikan dan diperlihatkan dalam persentase. Oleh karena itu sisa makanan dapat dirumuskan : Sisa makanan < 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di rumah sakit di Indonesia (Depkes, 2008). Sedangkan Menurut (Renangtyas, 2004) yang

dikutip oleh Elizabet (2011) mengatakan bahwa sisa makanan dikatakan tinggi atau banyak jika pasien meninggalkan makanan > 25% dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan defisiensi zat-zat gizi. Sisa makanan merupakan dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah sakit sehingga masalah terdapatnya sisa makanan tidak dapat diabaikan karena bila masalah tersebut diperhitungkan menjadi rupiah maka akan mengakibatkan suatu pemborosan anggaran makanan (Sumiati, 2008) Penelitian yang dilakukan oleh Haerani (2013) di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung pada bulan November dan Desember 2009 didapatkan informasi bahwa rata-rata sisa makanan pasien dewasa sebesar 28,04% dengan rincian sisa makanan biasa 13,09%. 2.3.1. Metode Pengukuran Sisa Makanan Metode pengukuran sisa makanan yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dilakukannya menilai sisa makanan. Ada 3 jenis metode yang dapat digunakan, yaitu : a. Weight method/weight plate waste Ini digunakan dengan tujuan mengetahui dengan akurat bagaimana intake zat gizi dari seseorang. Metode ini digunakan dengan cara mengukur/menimbang sisa makanan setiap jenis hidangan atau mengukur total sisa makanan pada individu atau kelompok (Carr, 2001). Menimbang langsung sisa makanan yang tertinggal di piring adalah metode yang paling akurat. Namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu memerlukan waktu yang banyak, peralatan khusus, kerjasama yang baik dengan responden, dan petugas yang terlatih (Nuryati, 2008) Pada metode penimbangan,

petugas diharuskan untuk menimbang makanan yang dikonsumsi oleh subyek selama waktu tertentu. b. Recall/Self Reported Consumption Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dalam 24 jam tentang makanan yang dikonsumsi oleh seseorang (Carr, 2001). Pengukuran menggunakan metode ini dengan cara menanyakan kepada responden tentang banyaknya sisa makanan, kemudian responden menaksir sisa makanan dengan menggunakan skala visual (Nuryati, 2008) c. Visual method/observational method Salah satu cara yang dikembangkan untuk menilai konsumsi makanan pasien adalah metode taksiran visual Comstock. Pada metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran ini bisa dinyatakan dalam gram atau dalam bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran (Nuryati, 2008). Evaluasi sisa makanan menggunakan metode ini melihat makanan tersisa di piring dan menilai jumlah yang tersisa, dan juga digambarkan dengan skala 5 poin. Cara tafsiran visual yaitu dengan menggunakan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Comstock yang dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut (Ratnaningrum, 2005). 1. Skala 0 : Dikonsumsi seluruhnya oleh pasien (habis dimakan) 2. Skala 1 : Tersisa ¼ porsi 3. Skala 2 : Tersisa ½ porsi 4. Skala 3 : Tersisa ¾ porsi

5. Skala 4 : Hanya dikonsumsi sedikit (1/9 porsi) 6. Skala 5 : Tidak dikonsumsi Penilaian untuk skor diatas berlaku untuk setiap porsi masing-masing jenis makanan (makanan pokok, sayuran, lauk). Setelah menetapkan skor, kemudian skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persen. 1. Skor 0 (0%) : Semua makanan habis 2. Skor 1 (25%) : 75% makanan dihabiskan 3. Skor 2 (50%) : 50% makanan dihabiskan 4. Skor 3 (75%) : 25% makanan dihabiskan 5. Skor 4 (95%) : 5% makanan dihabiskan 6. Skor 5 (100%) : Tidak dikonsumsi pasien Menurut Comstock, metode tafsiran visual memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu mudah dilakukan, memerlukan waktu yang singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya, dan dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangannya yaitu diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, teliti, terampil, dan memerlukan kemampuan dalam menaksir (over estimate). Metode ini efektif tetapi bisa menyebabkan ketidaktelitian (NHS, 2005). Masalah subjektifitas keandalan pengamat visual menjadi penting, namun metode ini telah diuji validitasnya dengan membandingkan dengan penimbangan sisa makanan dan memberikan hasil yang cukup baik (Williams and Walton, 2010).

Setelah itu hasilnya diasumsikan berdasarkan tafsiran visual Comstock dengan kategori (Sumiyati, 2008) a. Bersisa, jika jumlah sisa makanan >25% b. Tidak bersisa, jika jumlah sisa makanan 25% 2.3.2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya sisa makanan Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya sisa makanan terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri pasien sedangkan faktor eksternal berasal dari luar pasien (Moehyi, 1992). a. Faktor Internal Pasien yang dirawat dirumah sakit mengalami perubahan karena memasuki lingkungan yang asing/berbeda dengan kebiasaan sehari-hari. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu perubahan makanan. Cara, tempat, dan waktu makan yang disajikan di rumah sakit berbeda dengan makanan yang disajikan di rumah. Semua perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi mental sehingga menghambat penyembuhan penyakit (Moehyi, 1992). 1. Kebiasaan makan Kebiasaan makan pasien dapat mempengaruhi pasien dalam menghabiskan makanan yang disajikan. Bila kebiasaan makan pasien sesuai dengan makanan yang disajikan baik dalam hal susunan menu maupun besar porsi, maka pasien cenderung dapat menghabiskan makanan yang disajikan. Sebaiknya bila tidak sesuai dengan kebiasaan pasien, maka dibutuhkan waktu untuk menyesuaikannya (Mukrie, 1990).

Kebiasaan makan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dalam waktu tertentu. Susunan menu meliputi bahan makanan pokok, lauk pauk (hewani dan nabati), sayur, dan buah (Baliwati, 2004) Berdasarkan hasil penelitian Priyanto (2009) di RSUD kota Semarang menyatakan bahwa perbedaan pola makan pada saat di rumah dan di rumah sakit akan mempengaruhi daya terima pasien terhadap makanan. Bila pola makan pasien tidak sesuai dengan yang disajikan di rumah sakit maka akan mempengaruhi habis tidaknya makanan yang disajikan dirumah sakit. Faktor yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan pada pasien adalah pola makan pasien terutama untuk susunan menu hidangan dan frekuensi makan (Adlisman, 1996). b. Faktor eksternal 1. Makanan dari Luar Rumah Sakit Bila penilaian pasien terhadap mutu makanan dari rumah sakit kurang memuaskan, kemungkinan pasien akan mengkonsumsi makanan dari luar rumah sakit (Siswiyardi, 2005). Makanan yang dimakan oleh pasien yang berasal dari luar rumah sakit akan berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan. Rasa lapar yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam perawatan dan timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang bervariasi menyebabkan pasien mencari makanan tambahan dari luar rumah sakit atau jajan. Hal inilah yang menyebabkan kemungkinan besar makanan yang disajikan kepada pasien tidak dihabiskan. Bila hal tersebut selalu terjadi maka makanan yang diselenggarakan oleh pihak rumah sakit tidak dimakan sehingga mengakibatkan sisa makanan (Moehyi, 1992).

2. Penampilan Makanan Hasil penelitian yang dilakukan di RS di DKI Jakarta terhadap 797 pasien yang penyakitnya tidak berat menyatakan 43,2% pasien menyatakan pendapatnya terhadap mutu makanan yang disajikan kurang baik (meliputi aspek rupa, besar porsi, rasa, keempukan, dan suhu makanan). Beberapa faktor yang berkaitan dengan penampilan makanan yaitu: a. Warna Makanan Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan dan dapat memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan yang disajikan. Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan membantu dalam penerimaan suatu makanan dan secara tidak langsung dapat merangsang selera makan, dimana makanan yang penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat, karena warna juga mempunyai dampak psikologis pada konsumen (Khan, 1987). Berdasarkan hasil penelitian Aritonang (2011), terdapat 1,5% pasien menyatakan tidak puas, 17,75% menyatakan kurang puas terhadap warna makanan. b. Tekstur Makanan Tekstur makanan adalah derajat kekerasan, kepadatan atau kekentalan. Cair, kenyal, dan keras merupakan karakteristik dari konsistensi. Bermacam-macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur (Spear dan Vaden, 1984). Makanan yang mempunyai tekstur padat atau kenyal akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita (Moehyi, 1992).

c. Bentuk Makanan Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk menimbulkan ketertarikan dalam menu. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi, 1992). Berdasarkan penelitian Aritonang (2011) menyatakan penilaian pasien terhadap bentuk makanan 13,64% pasien menyatakan kurang puas. d. Porsi Makanan Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan, porsi untuk setiap individu berbeda sesuai kebutuhan makan. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan. Porsi makanan juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang disajikan (Muchatab, 1991). Berdasarkan penelitian Aritonang (2011) sebesar 16,3% pasien menyatakan kurang puas terhadap porsi makanan, terutama sayur yang porsinya terlalu sedikit, sementara nasi terlalu banyak, sehingga pasien tidak mampu menghabiskan. e. Keempukan Makanan Keempukan adalah hal yang berkaitan dengan struktur makanan yang dirasakan dalam mulut. Gambarannya meliputi gurih, krispi, berserat, halus, keras dan kenyal. Keempukan dan kerenyahan (krispi) ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan dan cara memasaknya (Moehyi, 1992). f. Penyajian Makanan Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan makanan sebelum dikonsumsi. Penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara penyususunan makanan, dan penghiasan hidangan. Penyajian makanan juga

merupakan faktor penentu dalam penampilan hidangan yang disajikan (Moehyi, 1992). Berdasarkan penelitian Nuryati (2008) Penggunaan dan pemilihan alat makan yang tepat dalam penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan makanan yang disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor penghambat bagi pasien untuh menghabiskan makanannya. 3. Rasa Makanan Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi kecapan utama yaitu asin, manis, asam, dan pahit (Winarno, 1997). Mengkombinasikan berbagai rasa sangat diperlukan dalam menciptakan keunikan sebuah menu. Jenis diit, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makan. Variasi makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan. Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik sehingga mengurangi nafsu makan. Akibatnya makanan yang dikonsumsi sedikit atau asupan zat gizi berkurang (Lisdiana, 1998). Menurut Moehyi (1992) rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan merupukan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Adapun beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan yaitu : a. Aroma Makanan Aroma Makanan adalah aroma yang disebarkan oleh makanan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang dikeluarkan oleh makanan

berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 1992 ). Menurut penelitian Stanga et al (2002) pada dua rumah sakit di Swiss, pasien merasa bahwa suhu dan aroma makanan sangat penting. b. Bumbu Masakan Berbagai macam rempah-rempah dapat digunakan sebagai bumbu masakan untuk memberikan rasa pada makanan, misalnya cabai, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk mendapatkan rasa yang enak dan khas dalam setiap pemasakan. Dalam setiap resep masakan sudah ditentukan jenis bumbu yang digunakan dan banyaknya masingmasing bumbu tersebut. Bau yang sedap dari berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera makan karena memberikan rasa makanan yang khas (Khan, 1987) c. Tingkat Kematangan Pada masakan khas Indonesia, tingkat kematangan belum mendapat perhatian karena umumnya makanan Indonesia harus dimasak sampai benar-benar matang. Bila dibandingkan dengan Eropa yang telah memiliki perbedaan tingkat kematangan. Ada steak yang dimasak setengah matang, dan ada juga yang benar-benar matang. Tingkat kematangan adalah mentah atau matangnya hasil pemasakan pada setiap jenis bahan makanan yan dimasak dan makanan akan mempunyai tingkat kematangan sendirisendiri (Muchatab, 1991). Tingkat kematangan suatu makanan itu tentu saja mempengaruhi cita rasa makanan.

d. Temperatur Makanan Temperatur makanan waktu disajikan mempunyai peranan dalam penentuan cita rasa makanan. Namun makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin sangat mempengaruhi sensitifitas saraf pengecap terhadap rasa makanan sehingga dapat mengurangi selera untuk memakannya (Moehyi, 1992). Berdasarkan penelitian Euis (2007) menyatakan bahwa tidak puas terhadap temperatur makanan. Untuk menjaga suhu makanan tetap hangat, tentunya harus difasilitasi dengan kereta makanan yang dilengkapi alat pemanas, sementara alat ini belum tersedia di Rumah Sakit tempat penelitian nya. Tekstur, aroma, dan penampilan makanan bisa cepat membusuk ketika suhu yang digunakan tidak tepat saat penyajiannya. Semua makanan panas harus disajikan panas diatas 140 F dan semua makanan dingin harus disajikan dalam keadaan dingin dibawah 45 F. Suhu penyajian harus ditetapkan dan dipertahankan untuk semua bagian penyajian. Aturan dan prosedur yang jelas dibutuhkan untuk memeriksa kualitas suhu dengan termometer selama proses penyajian dan sebelum disajikan kepada pasien (Sullivan, 1990) 2.4 Kerangka Konsep Sisa makanan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari kebiasaan makan, sedangkan faktor eksternal meliputi makanan dari luar rumah sakit, penampilan makanan (warna, tekstur, bentuk, besar porsi, dan penyajian makanan) dan rasa makanan (aroma, bumbu, keempukan, tingkat kematangan, dan temperatur makanan). Berdasarkan uraian diatas maka kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Penampilan Makanan Rasa Makanan Sisa Makanan Makanan dari Luar Rumah Sakit Kebiasaan Makan Gambar 2.1 : Kerangka konsep penelitian