BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

II LANDASAN TEORI. Misalkan adalah suatu fungsi skalar, maka turunan vektor kecepatan dapat dituliskan sebagai berikut :

ANALISIS ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS FLUIDA SISKO DALAM KEADAAN STEDI NURI ANGGI NIRMALASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

BAB 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. bisa mengalami perubahan bentuk secara kontinyu atau terus-menerus bila terkena

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

FISIKA DASR MAKALAH HUKUM STOKES

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

Bab III Model Proses Deformasi Benang Viscoelastis Linear di Lingkungan Fluida Newton

Aliran Fluida. Konsep Dasar

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1: Aliran Darah Yang Terjadi Pada Pembuluh Darah Tanpa Penyempitan Arteri Dan Dengan Penyempitan Arteri

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA. beberapa sifat yang dapat digunakan untuk mengetahui berbagai parameter pada

HUKUM STOKES. sekon (Pa.s). Fluida memiliki sifat-sifat sebagai berikut.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan medan hidrodinamik. Pertama, dengan menentukan potensial listrik V dan

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP

PENERAPAN PERSAMAAN NAVIER-STOKES PADA PERGERAKAN FLUIDA DALAM TABUNG DENGAN METODE ELEMEN HINGGA SKRIPSI TULUS JOSEPH HERIANTO MARPAUNG

Sidang Tugas Akhir - Juli 2013

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

8. FLUIDA. Materi Kuliah. Staf Pengajar Fisika Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya

Bab II Model Lapisan Fluida Viskos Tipis Akibat Gaya Gravitasi

Simulasi Numerik Aliran Fluida pada Permukaan Peregangan dengan Kondisi Batas Konveksi di Titik-Stagnasi

FENOMENA PERPINDAHAN LANJUT

ALIRAN FLUIDA. Kode Mata Kuliah : Oleh MARYUDI, S.T., M.T., Ph.D Irma Atika Sari, S.T., M.Eng

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN TEGANGAN (STRESS) r (1)

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisa aliran berkembang..., Iwan Yudi Karyono, FT UI, 2008

ANALISIS PENGARUH PERPINDAHAN PANAS TERHADAP KARAKTERISTIK LAPISAN BATAS PADA PELAT DATAR

ALIRAN FLUIDA DALAM PIPA TERTUTUP

FENOMENA PERPINDAHAN. LUQMAN BUCHORI, ST, MT JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNDIP

Pengaruh Temperatur terhadap Pembentukan Vorteks pada Aliran Minyak Mentah dengan Metode Beda Hingga

Dosen Pengampu : Puji Andayani, S.Si, M.Si, M.Sc

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK

BAB II PENGANTAR SOLUSI PERSOALAN FISIKA MENURUT PENDEKATAN ANALITIK DAN NUMERIK

BAB III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

II LANDASAN TEORI. dengan, 1,2,3,, menyatakan koefisien deret pangkat dan menyatakan titik pusatnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI

Pengantar Oseanografi V

Bab III Aliran Putar

KALKULUS MULTIVARIABEL II

BAB II SIFAT-SIFAT ZAT CAIR

MEKANIKA FLUIDA DI SUSUN OLEH : ADE IRMA

BAB II LANDASAN TEORI

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. FLUIDA STATIS (FLUID AT REST)

MODUL KULIAH : MEKANIKA FLUIDA DAN HIROLIKA

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Persamaan Air Dangkal (SWE)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

III PEMBAHASAN. (3.3) disubstitusikan ke dalam sistem koordinat silinder yang ditinjau pada persamaan (2.4), maka diperoleh

2 yang mempunyai posisi vertikal sama akan mempunyai tekanan yang sama. Laju Aliran Volume Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu juml

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. analitik dengan metode variabel terpisah. Selanjutnya penyelesaian analitik dari

Masalah aliran fluida dalam PIPA : Sistem Terbuka (Open channel) Sistem Tertutup Sistem Seri Sistem Parlel

I PUTU GUSTAVE S. P., ST., M.Eng. MEKANIKA FLUIDA

FLUIDA DINAMIS. 1. PERSAMAAN KONTINUITAS Q = A 1.V 1 = A 2.V 2 = konstanta

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

Teori Ensambel. Bab Rapat Ruang Fase

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Bab 6 Defleksi Elastik Balok

MODEL MATEMATIKA DENGAN SYARAT BATAS DAN ANALISA ALIRAN FLUIDA KONVEKSI BEBAS PADA PELAT HORIZONTAL. Leli Deswita 1)

2 a) Viskositas dinamik Viskositas dinamik adalah perbandingan tegangan geser dengan laju perubahannya, besar nilai viskositas dinamik tergantung dari

JUDUL TUGAS AKHIR ANALISA KOEFISIEN GESEK PIPA ACRYLIC DIAMETER 0,5 INCHI, 1 INCHI, 1,5 INCHI

Hukum Newton pada Aliran Fluida Applica'on of Newton s Second Law to a Flowing Fluid. Fisika untuk Teknik Sipil 1

Pemodelan Distribusi Suhu pada Tanur Carbolite STF 15/180/301 dengan Metode Elemen Hingga

BAB III PEMODELAN DENGAN METODE VOLUME HINGGA

Klasifikasi Aliran Fluida (Fluids Flow Classification)

IMPLEMENTASI METODE ELEMEN HINGGA DALAM PERSOALAN ALIRAN DARAH PADA PEMBULUH DARAH SKRIPSI ABNIDAR HARUN POHAN

ANALISIS VEKTOR. Aljabar Vektor. Operasi vektor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

1/24 FISIKA DASAR (TEKNIK SIPIL) FLUIDA. menu. Mirza Satriawan. Physics Dept. Gadjah Mada University Bulaksumur, Yogyakarta

PEMBAHASAN. (29) Dalam (Grosen 1992), kondisi kinematik (19) dan kondisi dinamik (20) dapat dinyatakan dalam sistem Hamiltonian berikut : = (30)

Aplikasi Bilangan Kompleks pada Dinamika Fluida

HIDRODINAMIKA BAB I PENDAHULUAN

Laporan Praktikum Operasi Teknik Kimia I Efflux Time BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. dan kotoran manusia atau kotoran binatang. Semua polutan tersebut masuk. ke dalam sungai dan langsung tercampur dengan air sungai.

Perpindahan Panas. Perpindahan Panas Secara Konduksi MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 02

BAB II DASAR TEORI Pendahuluan. 2.2 Turbin [6,7,]

3.1 Analisis Dimensional persamaan Navier Stokes

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.2 Tahapan Analisis Persamaan Differensial untuk Transfer Energi

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN

TRANSFER MOMENTUM. Massa = m B

Teori Relativitas. Mirza Satriawan. December 7, Fluida Ideal dalam Relativitas Khusus. M. Satriawan Teori Relativitas

ANALISIS ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS FLUIDA SISKO DALAM KEADAAN STEDI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Persamaan Kontinuitas dan Persamaan Gerak

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Dasar Fluida Dalam buku yang berjudul Fundamental of Fluid Mechanics karya Bruce R. Munson, Donald F. Young, Theodore H. Okiishi, dan Wade W. Huebsch, fluida didefinisikan sebagai zat yang berdeformasi terus-menerus selama dipengaruhi suatu tegangan geser. Sebuah tengangan (gaya per satuan luas) geser terbentuk apabila sebuah gaya tangensial bekerja pada sebuah permukaan. Apabila bendabenda padat biasa seperti baja atau logam-logam lainnya dikenai oleh suatu tegangan geser, mula-mula benda ini akan berdeformasi (biasanya sangat kecil), tetapi tidak akan terus-menerus berdeformasi (mengalir). Namun, cairan yang biasa seperti air, minyak, dan udara memenuhi definisi dari sebuah fluida artinya, zat-zat tersebut akan mengalir apabila padanya bekerja sebuah tegangan geser. Beberapa bahan, seperti lumpur, aspal, dempul, odol dan lain sebagainya tidak mudah untuk diklasifikasikan karena bahan-bahan tersebut akan berperilaku seperti benda padat jika tegangan geser yang bekerja kecil, tetapi jika tegangan tersebut melampaui suatu nilai kritis tertentu, zat-zat tersebut akan mengalir. Ilmu yang mempelajari bahan-bahan tersebut disebut rheology dan tidak termasuk dalam cakupan mekanika fluida klasik. 2.2 Bilangan Reynolds Joseph et al. (1996) dalam bukunya menjelaskan tentang bilangan Reynolds dimana jika diperhatikan gerak dinamis dari aliran kental dengan skala kecepatan U dan skala panjang. Dua parameter cairan yang paling penting yang mempengaruhi gerak adalah ρ kepadatan dan viskositas μ. Empat parameter ini (U,, ρ, μ) dapat dikombinasikan ke dalam kelompok berdimensi tunggal yang disebut bilangan Reynolds atau sering dituliskan Re (Osborne Reynolds (1883))

6 Re = ρ.. U μ =. U v (1) di mana v = μ ρ adalah rasio nyaman yang disebut viskositas kinematik fluida. Bilangan Reynolds adalah parameter dominan yang mempengaruhi hampir semua arus kental. 2.3 aminar dan Turbulent Flow Pentingnya jumlah Reynolds dengan indah digambarkan dalam percobaan klasik oleh Reynolds sendiri, menggunakan zat warna yang beruntun untuk memvisualisasikan aliran melalui pipa halus, seperti pada Gambar. 2.1. Jika jumlah Reynolds rendah, zat warna yang beruntun tetap lurus dan halus [Gambar. 2.1 (sebagai kondisi yang disebut laminar atau merampingkan aliran. Dalam Reynolds berbagai jumlah menengah [Gambar. 2.1 (b)], zat warna yang beruntun memperlihatkan perilaku yang tidak menentu, dan pengukuran titik, katakanlah, kecepatan terhadap waktu menunjukkan tidak beraturan "semburan" aktivitas. rentang peralihan ini disebut aliran transisi. Pada nomor Reynolds tinggi [Gambar. 2.1 (c)], istirahat pewarna beruntun dan campuran pada tingkat intens, mengisi tabung dengan warna. Pengukuran kecepatan titik menunjukkan fluktuasi acak kontinu disebut turbulensi, dan arus sesaat menjalin seperti spaghetti. Ini adalah aliran turbulen, dan memiliki gesekan dan panas transfer cukup karakter yang berbeda dibandingkan dengan aliran laminar.

7 Gambar 2.1. Visualisasi zat warna yang beruntun dan pengukuran kecepatan aliran saluran (setelah percobaan terkenal oleh Osborne Reynolds pada tahun 1883): (a) aliran laminar, Re rendah, (b) aliran transisi, Re moderat, dan (c) aliran turbulen, Re besar. 2.4.Persamaan Navier-Stokes Persamaan Navier-Stokes adalah dasar persamaan differensial parsial yang menguraikan aliran fluida yang tak dapat dimampatkan. Dengan menggunakan tingkat tekanan dan tingkat tegangan tensor. Hal ini, dapat ditunjukkan dari persamaan Fj sebagai bagian komponen kekuatan merekat dari F pada suatu wadah yang tak berputar yaitu sebagai berikut F i V = [η ( u i + u j + λδ x j x j x ij. u)] (2) i dimana η adalah kecepatan dinamik, λ adalah koefisien kecepata kedua, δ ij adalah Kronecker delta,. u adalah divergen (Tritton 1988, Faber 1995).

8 Dalam buku yang berjudul Fundamental of Fluid Mechanics karya Bruce R. Munson, Donald F. Young, Theodore H. Okiishi, dan Wade W. Huebsch, persamaan Navier-Stokes adalah persamaan diferensial dasar yang menggambarkan aliran fluida Newtonian. Suatu persamaan tegangan dapat disubitusikan terhadap persamaan differensial untuk benda yang bergerak yakni : ρg x + σ xx x ρg y + σ xy x ρg z + σ xz x + τ yx y + τ zx z = ρ ( u u u u + u + v + w t x y z ) (3) + τ yy y + τ zy z v v v = ρ ( v + u + v + w t x y z ) (4) + τ yz y + τ zz z = ρ ( w w w w + u + v + w t x y z ) (5) dan disederhanakan menggunakan persamaan kontinuitas sehingga diperoleh : (terhadap x) u + v = 0 (6) x y ρ ( u u u u + u + v + w ) = p + ρg t x y z x x + μ ( 2 u + 2 u x 2 (terhadap y) ρ ( u u u u + u + v + w ) = p + ρg t x y z y y + μ ( 2 v + 2 v x 2 (terhadap z) + 2 u y 2 z + 2 v y 2 z 2) (7) 2) (8) ρ ( u u u u + u + v + w ) = p + ρg t x y z z z + μ ( 2 w + 2 w + 2 w ) (9) x 2 y 2 z 2 dimana u, v dan w adalah komponen-komponen kecepatan dari x, y dan z. Dapat dilihat telah disusun kembali persamaan tersebut di mana terminologi percepatan ditunjukkan pada sisi sebelah kiri dan terminologi ketegangan sebelah kanan. Persamaan-persamaan tersebut secara umum disebut dengan persamaan Navier-Stokes yang diambil dari nama ahli matematika Francis. M. H. Navier (1785-1836) dan mekanik Inggris Bapak G. G. Stokes (1819-1903). Ketiga persamaan tersebut ketika dikombinasikan dengan persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas), memperlihatkan uraian matematika yang lengkap dari suatu aliran fluida Newtonian tak termampatkan. Diperoleh empat persamaan dan empat tak diketahui (u, v, w dan p) dan oleh karena itu

9 masalahnya adalah mana yang baik diambil pada sifat-sifat matematika. Sayangnya, karena kompleksitas umum dari persamaan Navier-Stokes (yaitu nonlinier, tingkat-kedua, persamaan differensial parsial) kompleksitas tersebut tidak dapat dikerjakan dengan penyelesaian yang sangat baik kecuali pada beberapa permasalahan. Namun, pada beberapa permasalahan yang solusinya telah diperoleh dan dibandingkan dengan hasil eksperimen, ternyata hasilnya hampir dapat diterima. Oleh karena itu, persamaan Navier-Stokes dibuat sebagai pendekatan persamaan differensial untuk fluida Newtonian tak termampatkan. Dari sisi koordinat polar silinder (tabung), persamaan Navier-Stokes dapat ditulis sebagai : (terhadap r) ρ ( v r + v v r t r + v θ v r r r v 2 θ θ r + v z v r z ) = p θ + ρg r + μ [ 1 r r (r v r r ) v r r 2 + 1 2 v r 2 v θ + 2 v r ] (10) r 2 θ 2 r 2 θ z 2 (terhadap θ) ρ ( v θ t + v r v θ r + v θ v θ + v rv θ v + v θ r θ r z ) = 1 z r p x + ρg θ + μ [ 1 r (r v θ r r ) v θ + 1 2 v θ + 2 v r + 2 v θ ] (11) r 2 r 2 θ 2 r 2 θ z 2 (terhadap z) ρ ( v z + v v z t r + v θ v z + v v z r r θ z ) = p z z + ρg z + μ [ 1 r (r v z ) + 1 2 v z r r r 2 θ 2 2 r 2 v θ θ + 2 v z z 2 ] (12) 2.5. Metode Elemen Hingga Hidayat (2005) dalam bukunya yang berjudul Teori dan Penerapan Metode Elemen Hingga, disampaikan bahwa Metode Elemen Hingga merupakan prosedur numerik yang diterima secara luas untuk menyelesaikan persamaan differensial dalam teknik dan fisika. Metode ini menjadi dasar komputasional

10 dari system computer untuk perancangan. MEH mempunyai kemampuan yang sangat baik untuk menyelesaikan persoalan transien satu dimensi dan dua dimensi. Metode Elemen Hingga (MEH) merupakan prosedur numerik untuk menyelesaikan permasalahan fisik yang diatur dengan persamaan diferensial atau teorema energi. Karakteristik MEH yang membedakan dengan prosedur numerik lainnya adalah : 1. MEH menggunakan penyelesaian integral untuk menghasilkan sistem persamaan aljabar 2. MEH menggunakan fungsi-fungsi kontinu sebagian (continuous piecewise smooth functions) untuk mendeteksi kuantitas atau beberapa kuantitas yang tidak diketahui Secara umum MEH terdiri dari lima langkah dasar : 1. Mendiskritisasikan daerah-daerah yang meliputi langkah-langkah penempatan titik-titik nodal, penomoroan titik-titik nodal dan penentuaan koordinatnya. 2. Menentukan derajat atau orde persamaan pendekatan : linear atau kuadratik. Persamaan harus dinyatakan sebagai fungsi nodal. Persamaan ditentukan untuk tiap elemen. 3. Menyusun system persamaan-persamaan. 4. Menyelesaikan system persamaan-persamaan. 5. Menghitung kuantitas yang dicari. Kuantitas dapat merupakan komponen tegangan, heat flow, fluid velocities, dan lain-lain. Persamaan dalam MEH biasanya berbentuk : [k]{u} = {F} (13) dengan [k] merupakan matrik bujur sangkar yang disebut matrik kekakuan, {u} merupakan vector kolom dengan komponen matrik berupa nilai nodal yang tidak diketahui. Nilai nodal dapat berupa simpangan atau temperature,

11 sedangkan {F} berupa matrik kolom yaitu gaya yang bekerja pada nodal. Gaya dapat berupa F (gaya) atau Q (kalor). Dalam menyelesaikan masalah fisik yang berhubungan dengan persamaan differensial, cara terbaiknya adalah : 1. Mencari solusi analitisnya. Pada banyak kondisi, solusi analitis sulit diperoleh, sehingga digunakan metode numerik untuk mencari solusi pendekatannya. 2. Beberapa prosedur untuk mendapatkan penyelesaiann persamaan differensial dengan metode numerik adalah : a. Metode beda hingga b. Metode varisional c. Metode Residual Berat Dari ketiga metode tersebut, akan menggunakan metode residual berat yaitu metode Galerkin. 2.6. Elemen inier 1 Dimensi Pada bagian ini akan dibahas pembagian daerah satu dimensi menjadi elemenelemen linier dan mengembangkan persamaan untuk satu elemen. Persamaan elemen ini digeneralisasi untuk memperoleh persamaan kontinu sebagian untuk daerah satu dimensi tersebut. Daerah satu dimensi merupakan segmen garis atau suatu garis. Pembagian segmen garis menjadi elemen-elemen yang lebih kecil dengan menggunakan nodal. Ketentuan untuk elemen dan nodal adalah : 1. Nomor nodal dengan urutan dari kiri ke kanan 2. Nomor elemen dengan urutan dari kiri ke kanan; di dalam tanda kurung ( -- ) Sedangkan ketentuan penempatan nodal : 1. Tempatkan nodal-nodal dengan lebih rapat pada daerah di mana parameter yang tidak diketahui berubah dengan cepat dan tempatkan

12 nodal-nodal secara berjauhan jika unknown parameter nya konstan atau relative konstan. 2. Tempatkan nodal di manapun terdapat perubahan nilai koefisien D dan Q. 3. Tempatkan nodal di manapun jika diinginkan mengetahui nilai φ Elemen linier 1 dimensi adalah garis dengan panjang dengan nodal pada ujung-ujungnya. Nodal dinyatakan dengan I dan j dan nilai nodal dengan φi dan φj. Elemen linier 1 dimensi ditunjukkan pada Gambar 2.2. φ = a 1 + a 2 x φ1 φ2 x i x j Gambar 2.2. Elemen inier Parameter φ berubah secara linier antara nodal i dan j. Persamaan φ adalah : φ = a 1 + a 2 x (14) Koefisien a1 dan a2 ditentukan dari nilai kondisi nodal : φ = Φi di x = Xi φ = Φj di x = Xj sehingga diperoleh Φi = a1 + a2xi dan Φj = a1 + a2xj (15) Eliminasi persamaan (15), maka dapat diperoleh a 1 = Φ ix j Φ j X i X j X i dan a 2 = Φ j Φ i X j X i (16)

13 Substitusi persamaan (16) ke (14) diperoleh : φ = ( X j x ) Φ i + ( x X i ) Φ j (17) Dengan = Xj - Xi Persamaan (17) adalah bentuk fungsi interpolasi elemen hingga standar. Fungsi linear x pada persamaan (17) adalah fungsi bentuk yang dinyatakan dengan N dan tanda indeks yang sesuai dengan nodalnya. Fungsi bentuk pada persamaan (17) dinyatakan dalam Ni dan Nj sebagai berikut : N i = X j x dan Sehingga dapat ditulis : N j = x X i φ = N i Φ i + N j Φ j dan dinyatakan dalam bentuk persamaan matrik sebagai : φ = [N]{Φ} dengan [N] = [N i N j ] merupakan vector baris fungsi bentuk dan {Φ} = { Φ i Φ j } merupakan vector kolom yang memuat nilai-nilai nodal elemen. Fungsi bentuk mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Fungsi bentuk bernilai 1 (Φ = 1) pada nodalnya dan bernilai nol (0) di nodal yang lain. 2. Jumlah 2 fungsi bentuk = 1, untuk kasus elemen linear 1 dimensi. 3. Fungsi bentuk merupakan polynomial dengan bentuk yang sama dengan persamaan interpolasi awal. 4. Turunan fungsi bentuk terhadap x = 0 untuk elemen linear 1 dimensi Berikut ini gambar fungsi bentuk linear N i dan N j : N i (x) N j (x) X X x i x j x i x j Gambar 2.3 Fungsi Bentuk inear

14 Contoh Ilustrasi : Elemen 1 dimensi digunakan untuk mendekati distribusi temperatur pada sirip. T pada nodal i dan j adalah 120 o C dan 90 o C. Tentukan T pada titik yang berjarak 4 cm dari titik asal dan gradient T dalam elemen tersebut. Koordinat nodal i dan j masing-masing adalah 1,5 dan 6 cm dari titik asal Penyelesaian : φ i = 120 o C φ j = 90 o C i j 1,5 6 Gambar 2.4. Elemen Satu Dimensi untuk Pendekatan Distribusi Temperatur Temperatur φ dalam elemen ditentukan dengna persamaan (17) : Data elemen : Xi = 1,5 cm Φi = 120 o C x = 4,0 cm Diperoleh : φ = ( X j x Xj = 6,0 cm Φj = 90 o C = 4,5 cm φ = ( 6 4 ) 120 + (4 1,5 ) 90 4,5 4,5 = 103,3 o C ) Φ i + ( x X i ) Φ j

15 Gradien temperature adalah turunan Φ terhadap x dφ = Φ j Φ i Diperoleh dφ = (90 120 4,5 ) = 6, 67o C /cm Persamaan kontinu sebagian untuk 1 dimensi disusun dengan menghubungkan beberapa persamaan linear. Persamaan linear tersebut dapat ditulis sebagai berikut: φ e) = N i (e)φ i + N j (e)φ j (18) Dengan : N i (e) = X j x X j X i dan N j (e) = x X i X j X i (19) Indeks (e) menunjukkan elemen. Nilai i,j dan e ditentukan dari grid elemen hingga. Misalkan batang termal seperti pada Gambar 2.4 Persamaan untuk tiap elemen : φ (1) = N 1 (1)Φ 1 + N 1 (1)Φ 2 φ (2) = N 2 (2)Φ 2 + N 3 (2)Φ 3 φ (3) = N 3 (3)Φ 3 + N 4 (3)Φ 4 φ (4) = N 4 (4)Φ 4 + N 5 (4)Φ 5 temperatur (1) (2) (3) (4) Gambar 2.5 Batang Termal dengan Beberapa Elemen

16 e i j (1) 1 2 (2) 2 3 (3) 3 4 (4) 4 5 Tabel 2.1. Data Elemen Perhatikan bahwa N2 (1) dan N2 (2) adalah persamaan yang berbeda. N 2 (1) = x X 1 X 2 X 1 dan N 2 (2) = X 3 x X 3 X 2 Masing-masing persamaan pada persamaan (2.7) berlaku untuk elemen yang sesuai dan tidak dapat dipakai di luar elemen yang bersangkutan. Untuk selanjutnya, jika persamaan dalam bentuk φ (e) = N i Φ i + N j Φ j maka Ni dan Nj yang dimaksud adalah Ni (e) dan Nj (e) sedangkan Φ i dan Φ j menyatakan nilainilai nodal elemen (e). 2.7. Elemen Hingga Persamaan elemen hingga diperoleh dari perumusan Galerkin. Penyelesaian integral residual barat (weighted residual integral) menghasilkan satu persamaan nodal yang dipakai secara berulang-ulang untuk menghasilkan system persamaan-persamaan linear. Suatu sistem persamaan linear diperoleh dari penyelesaian integral residual berat : H 0 W(x) (D d2 φ + Q) = 0 2 Dengan fungsi berat yang disusun menggunakan fungsi bentuk Ni (20) dan Nj. Metode elemen hingga dengan fungsi berat Galerkin menentukan fungsi berat untuk nodal s, Ws, terdiri dari fungsi-fungsi bentuk untuk nodal s. Misalkan fungsi berat untuk nodal 3 pada grid linear, seperti pada Gambar 2.6, terdiri dari fungsi-fungsi bentuk untuk nodal 3 : W 3 (x) = { N 3 (2) N 3 (3) X 2 x X 3 X 3 x X 4 (21)

17 Atau secara umum untuk fungsi berat Ws : W s (x) = { N s (e) N s (e+1) N s (e) = x X r X s X r X r x X s X s x X t (22) dan N s (e+1) = X t x X t X s Gambar 2.6.. Fungsi Berat untuk Nodal 3

18 Gambar 2.7. Fungsi-fungsi Berat untuk (a) Nodal Pertama,(b) Nodal Bagian Dalam (c) Nodal Terakhir dalam Grid 1 Dimensi Fungsi berat untuk nodal pertama : W1(x) = N1 (1) dan untuk nodal terakhir : Wp(x) = Np(p-1) (23) Selanjutnya selesaikan integral residual berat dengan menggunakan urutan nodal r,s dan t. Persamaan (3.1) menjadi : Rs = Rs (e) + Rs (e+1) X s R s = [N s (D d2 φ + Q)](e) [Ns (D d2 φ = 0 X r 2 X t X s 2 + Q)](e+1) (24) Karena fungsi berat Ws = 0 untuk x < Xr dan x > Xt maka Ws (x) terdiri dari 2 persamaan terpisah dalam interval Xr x Xt. Rs (e) dan Rs (e+1) adalah kontribusi elemen (e) dan (e+1) kepada persamaan residual Rs pada nodal s. berikut : Perhatikan persamaan integral (24) dan persamaan turunan sebagai d (N dφ s ) = N d 2 φ s + dn s dφ 2 2 d N 2 φ s = d (N dφ 2 s ) dn s dφ (25) (26)

19 Substitusi ke persamaan (24) diperoleh : X s X r (N s D d2 φ 2)(e+1) = (DN s dφ )(e) x s x r + x s x r (D dn s dφ )(e) Untuk elemen (e) sedangkan untuk elemen (e+1) : x t x s X s X r (N s D d2 φ 2)(e+1) (D dn s dφ )(e+1) = (DN s dφ )(e) x t x s + (27) (28) Telah diketahui sebelumnya bahwa N s (e) = x X r X s X r, dan dφ (DN s )(e) x s x = (D X s X r ) dφ (D X r X r ) dφ dφ = D r X s X r X s X r x = X s Persamaan residual menjadi : R s = R s (e) + R s (e+1) = R s = R s (e) + R s (e+1) = (D dφ )(e) x= Xs + H 0 X s X r W s (D d2 φ + Q) 2 (D dn s dφ N s Q) (e) + (D dφ )(e+1) x=xs + (D dn s N s Q) (e+1) X t X s dφ Penyelesaian persamaan integral dalam persamaan (29) : Dimulai dari elemen (e). (29) φ (e) = N r Φ r + N s Φ s φ (e) = X s x dengan : Φ r + x X r Φ s (30)

20 dan N s (e) = x X r dφ (e), dn s = 1 (31) = 1 ( Φ r + Φ s ) (32) Substitusi dan penyelesaian integral memberikan : (33) dan X s X r X s X r D dn s dφ = QN s = Q 2 Maka untuk elemen (e) diperoleh : D ( Φ r + Φ s ) (34) R (e) s = (D dφ )(e) x=xs + D ( Φ r + Φ s ) Q 2 Untuk elemen (e+1) (35) φ (e+1) = N s Φ s + N t Φ t φ (e+1) = ( X t x ) Φ s + x X s Φ t (36) dengan : (37) dan dφ (e+1) N (e+1) s = ( X t x ) ; (e+1) dn s = 1 = 1 ( Φ s + Φ t ) (38) Penyelesaian integral menghasilkan : X t X s X t X s D dn s dφ = QN s = Q 2 D (Φ s + Φ t ) (39) Kontribusi elemen (e+1) terhadap persamaan residual : R (e+1) s = D dφ + D x=x (Φ s s + Φ t ) Q 2 (40) (41)

21 Persamaan residual untuk nodal s : R s = (D dφ )(e+1) x=xs (D dφ )(e) x=xs ( D )(e) Φ r [( D )(e) + ( D )(e+1) ] Φ s ( D )(e+1) Φ t ( Q 2 )(e) ( Q 2 )(e+1) = 0 D dan Q adalah konstanta yang sama seperti ditentukan pada persamaan : D d2 φ 2 + Q = 0 Suku ERROR pada persamaan (42) : D dφ (e+1) x=xs D dφ (42) (e) x=xs (43) Adanya suku ini menunjukkan bahwa metode elemen hingga merupakan pendekatan. Jika suku error dihilangkan, maka persamaan residual untuk nodal s adalah : R s = ( D )(s 1) Φ s 1 + [( D )(s 1) + ( D )(s) ] Φ s ( D )(s) Φ s+1 ( Q 2 )(s 1) ( Q 2 )(s) = 0 (44) Contoh penerapan persamaan (44) pada analisis batang tumpuan sederhana dengan momen terkonsentrasi pada ujung-ujungnya. Persamaan differensial pengatur untuk semua defleksi pada batang adalah : EI d2 φ 2 M(x) = 0 E D Q 1 2,4 x 10 10-10 6 200 2 4,0 x 10 10-10 6 200 3 4,0 x 10 10-10 6 200 4 2,4 x 10 10-10 6 200 Tabel 2.2. Data Elemen

22 Bentuk persamaan (44) dengan Q dan konstan adalah : R s = D(s 1) Y s 1 +(D (s 1) + D (s) )Y s D (s) Y s+1 Y = nilai defleksi nodal (φ) Q = 0 Gambar 2.8. Batang Tumpuan Sederhana Persamaan residual untuk nodal 2,3 dan 4 adalah : R2 = - 1,2 Y1 + 3,2 Y2 2,0 Y3 + 2 = 0 R3 = - 2,0 Y2 + 4,0 Y3 2,0 Y4 + 2 = 0 R4 = - 2,0 Y3 + 3,2 Y4 1,2 Y5 + 2 = 0 (untuk 3 persamaan ini 10 8 dihilangkan ) Tumpuan pada kedua ujung batang menunjukkan Y (0) = Y (800 cm) = 0 sehingga kondisi batas Y1 = 0 dan Y5 = 0, selanjutnya diperoleh set persamaan : R2 = 3,2 Y2 2,0 Y3 = - 2 R3 = -2,0 Y2 + 4,0 Y3-2,0 Y4 = - 2 R4 = - 2,0 Y3 + 3,2 Y4 = - 2

23 Diselesaikan dan diperoleh : Y2 = -2,50 cm Y3 = -3,0 cm Y4 = -2,5 cm a). Perhitungan defleksi di x = 300 cm, berada pada elemen (2) Y (2) = N2 (2) Y2 + N3 (2) Y3 = ( X 3 x X 3 X 2 ) Y 2 + ( x X 2 X 3 X 2 ) Y 3 Diketahui X2 = 200 cm ; X3 = 400 cm Maka nilai simpangan di x = 300 cm : = ( 400 300 400 200 ) ( 2,5) + (300 200 ) ( 3,0) 300 200 = - ½ (2,5 + 3,0) = - 2,75 cm b). Perhitungan slope di elemen (1) : dy (1) = 1 ( Y 1 + Y 2 ) = 2,5 0 200 = - 0,0125 cm/ cm Sistem persamaan-persamaan linear pada contoh di atas dapat dinyatakan dalam notasi matrik : R 2 3,2 2 0 Y 2 2 0 { R 3 } = [ 2 4 2] { Y 3 } { 2} = { 0} R 4 0 2 3,2 Y 4 2 0 atau dalam bentuk persamaan matrik {R} = [K] {Y} {F} = {0} dengan [K] menyatakan matrik system, {Y} menyatakan vektor simpangan, {F} menyatakan vektor gaya luar dan {R} menyatakan vektor residu untuk tiap elemen. 2.8. Formula Weak Sebelum menerapkan Metode Elemen Hingga untuk memecahkan persamaan dengan kondisi batas, perlu untuk mengubah persamaan menjadi bentuk yang lebih cocok. Untuk melakukan itu ada dua alternatif: 1. Turunan satu dapat memperoleh masalah minimalisasi setara, yang memiliki tepat solusi sama dengan persamaan diferensial. 2. Turunan satu dapat memperoleh apa yang disebut formulasi lemah. Kedua metode akhirnya mengarah kepada hasil yang sama persis, namun, karena untuk persamaan umum untuk diperlakukan tidak ada masalah

24 minimisasi yang setara, maka akan membatasi diri untuk metode kedua. Awalnya formulasi weak atau lemah telah diperkenalkan oleh matematika murni untuk menyelidiki perilaku solusi dari persamaan diferensial parsial, dan untuk membuktikan keberadaan dan keunikan dari solusi. Kemudian skema numerik telah didasarkan pada formulasi ini yang menyebabkan solusi perkiraan dengan cara yang konstruktif. Dapat dilihat bahwa kondisi batas penting secara otomatis menunjukkan bahwa fungsi tes yang sesuai adalah sama dengan nol, sedangkan kondisi batas natural tidak memaksakan kondisi apapun baik dengan tidak diketahui atau fungsi tes. Hal ini tidak segera jelas apakah kondisi batas penting atau alami, kecuali dalam kasus di mana terdapat masalah minimisasi sesuai. Secara umum, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa untuk persamaan diferensial orde kedua, semua kondisi batas yang mengandung turunan pertama yang alami, dan fungsi yang diberikan pada batas sangat penting. Dalam masalah rangka keempat situasinya lebih kompleks. Namun, untuk masalah fisik, secara umum, dapat dinyatakan bahwa jika kondisi batas mengandung turunan kedua atau ketiga mereka natural, sedangkan kondisi batas yang hanya berisi fungsi atau urutan pertama turunan sangat penting. Cara termudah untuk memeriksa apakah kondisi batas penting atau natural adalah untuk mempertimbangkan integral batas. Jika dalam beberapa cara syarat batas dapat diganti, kondisi batas wajar. Jika tidak kondisi ini penting dan fungsi pengujian harus dipilih sedemikian rupa sehingga integral batas lenyap. 2.9. Metode Galerkin Titik awal adalah yang disebut sebagai metode Galerkin. Dalam metode ini solusinya c didekati oleh kombinasi linear dari fungsi ekspansi yang disebut fungsi dasar: n c n (x) = c j φ j (x) + c 0 (x) (45) j=1

25 di mana parameter c j harus ditentukan. Fungsi dasar φ j (x) harus independen linear. Selain itu harus sedemikian rupa sehingga fungsi sewenang-wenang dalam ruang solusi dapat didekati dengan akurasi yang sewenang-wenang, tersedia dalam jumlah yang memadai fungsi dasar yang digunakan dalam kombinasi linear (45). Fungsi c 0 (x) harus dipilih sedemikian rupa sehingga c n (x) memenuhi kondisi batas penting. Secara umum ini berarti bahwa φ j (x) = 0 dan c 0 (x) = g.dalam rangka untuk menentukan parameter c j (j = 1,2,, n) fungsi tes v dipilih dalam ruang yang direntang oleh fungsi dasar φ 1 (x)untuk φ n (x). Hal ini cukup subtitusi v(x) = φ 1 (x) (46) ke persamaan yang akan dicari yang telah ditentukan formula weaknya terlebih dahulu. Setelah itu subtitusi persamaan (45) dan (46) ke formula weak yang diperoleh, disebut sebagai formula Galerkin.