BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores dengan orang kampung merupakan sebuah intrumen agar dualitas para pendatang dan orang kampung kemudian menjadi bias. Terkait dengan eksistensi para pendatang Flores, dengan melakukan perkawinan dengan masyarakat Dayak mereka akan juga menjadi bagian dari orang kampung. Sebuah konstruksi yang dibangun ketika berbagai konflik yang terjadi mengancam legitimasi eksistensi para pendatang didaerah pendatang. Pada bagian ini, terkait dengan simpulan kajian penulis tentang perkawinan pendatang Flores di daerah transmigrasi SP 4 DSP Suak Peram penulis menempatkan konsep tentang kebudayaan sebagai langkah akomodasi pertama sebagai tindak lanjut dari keberadaan data yang dimiliki. Sebagai hasil dari relevansinya dengan konsep kebudayaan, pertama yakni kompleksitas perkawinan merupakan sebuah manifestasi kebudayaan yang berupa sistem simbol. Lebih lanjut penulis membawa konsep kebudayaan dalam posisinya sebagai budaya generik dan budaya diferensial. Terkait dalam posisinya, perkawinan masyarakat Dayak dan perkawinan pendatang Flores ketika dilakukan didalam masyarakat masing-masing menempati posisi sebagai budaya generik. 54
Kemudian ketika perkawinan tersebut dilakukan antara masyarakat Dayak dengan pendatang Flores maka posisi perkawinan tersebut sebagai budaya diferensial. Sedangkan konteks manusia sebagai aktor adalah mengacu kepada pendatang Flores dalam posisinya untuk memperoleh legitimasi terhadap ruang yang dalam hal ini berkonteks pada wilayah transmigrasi SP 4 DSP yang dalam dinamikanya mengalami intervensi kaitannya dengan identitasnya. Sehingga posisi pendatang kemudian mengalami proses integrasi dengan orang kampung. Namun tetap saja posisi awal mereka masing-masing sebagai pendatang dan orang kampung tidak sebegitu saja hilang namun generalitas didalamnya menjadi mengecil dengan diakuinya proses integrasi tersebut oleh kedua belah pihak. Demikian kemudian penulis menempatkan kajiannya tidak kepada perkawinan antar sesama Dayak atau Flores, karena memang dalam praktiknya masing-masing masyarakat tersebut berada dalam pergeseran kebudayaan yang generik ke diferensial. Proses asimilasi in corporasi terjadi disini, dimana orang kampung sebagai pemilik kebudayaan mayoritas kemudian mendapat penyesuaian dari para pendatang yang memiliki kebudayaan minoritas. Selanjutnya ketika perkawinan dilakukan, proses integrasi terjadi disini sehingga para pendatang yang memiliki ikatan perkawinan dengan orang kampung juga memiliki identitas pula sebagai orang kampung. Suatu keputusan pada rapat anggota tahunan (RAT) KUD 2010 menempatkan pendatang yang memiliki ikatan perkawinan dengan masyarakat setempat mendapatkan suatu pengecualian. Sebuah pengecualian dalam hal ini terkait dengan keputusan RAT KUD bahwa ketika nantinya dilakukan peremajaan 55
terhadap sawit yang menjadi komoditas ruang pada aspek kebudayaan. Pendatang yang memiliki ikatan perkawinan dengan orang kampung tidak kemudian kehilangan hak atas tanahnya seperti yang direncanakan oleh elit setempat melalui hasil keputusan rapat tersebut. Lebih lanjut seperti yang dikemukakan Giddens tentang kontrol kekuasaan yang dilakukan dengan instrumen modern, disini penulis mengimplikasikannya atas ketidaktahuan alasan mengenai hasil keputusan pada RAT KUD tersebut. Selanjutnya penulis menempatkan kajian perkawinan pendatang ini ditilik dari konsepsi reproduksi kebudayaan. Sebuah proses yang pada tahapan selanjutnya merujuk pada konsepsi mengenai adaptasi pendatang dalam rangka perolehan identitasnya dalam payung besarnya yakni mempertahankan eksistensi mereka dalam sebuah kondisi kultural yang baru. Proses mempertahankan eksistensi pun dialami Bang Valent (informan) yang kemudian memutuskan untuk meninggalkan identitas ke-flores-an nya dengan tidak mengikutsertakan prosesi perkawinan sebagaimana tata cara yang ada dalam sistem kebudayaannya. Hingga yang terjadi kemudian justru menjalani prosesi perkawinan adat Dayak ketika ia melakukannya dengan seorang dari masyaraakat Dayak. Identitas yang lama yakni dengan belis, dan sa o ditinggalkan, kemudian dijalani dengan prosesi tunangan, bubarok, nikah adat, dan nikah gereja. Dengan menganut komplekstitas simbol yang baru tersebut kemudian yang dialami oleh Bang Valent adalah sebuah keadaan dimana ia telah menjadi seorang Flores namun juga memiliki identitas baru sebagai seorang keluarga dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Dayak. 56
Menilik pada seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya mengenai agama yang menjadi satu preferensi sehingga terdapat perkawinan antara orang kampung dan para pendatang. Disimpulkan bahwa kesamaan agama menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan terjadinya perkawinan pendatang Flores dengan orang kampung. Satu kesimpulan yang diperoleh penulis, konsekuensi perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang dengan orang kampung adalah dimulai dengan terjadinya penyesuaian kebudayaan melalui asimilasi yang terjadi antar keduanya kemudian menjadi instrumen perolehan eksistensi bagi para pendatang Flores di wilayah transmigran SP 4 DSP, Dusun Suak Peram. Sebuah refleksi penulis, perkawinan yang terjadi antara para pendatang dengan orang kampung memang menjadi instrumen bagi para pendatang untuk mempertahankan eksistensinya. Hal demikian terjadi karena frame yang ada diantara dualitas para pendatang dan orang kampung kemudian menjadi bias. Berbagai toleransi kemudian hadir dalam dinamika para pendatang yang memiliki identitas juga sebagai orang kampung. Namun demikian perkawinan bukan merupakan satu-satunya solusi para pendatang untuk mempertahankan eksistensinya. Pada keadaan lain, banyak temuan bahwa para pendatang Jawa umumnya memiliki lahan sawit diluar wilayah pendatang SP 4 DSP. Ada pula para pendatang Jawa dan Flores yang memang mampu kemudian mendirikan usaha diluar wilayah transmigrasi SP 4 DSP disamping lahan sawit yang mereka miliki. 57
Namun yang menjadi poin penting disini, kesemua instrumen untuk mempertahankan eksistensi disamping perkawinan notabene dilakukan diluar wilayah transmigrasi SP 4 DSP. Terutama bagi para pendatang Jawa disamping karena mereka mampu untuk melakukan upaya diatas, mereka karena agama yang berbeda menjadikan akses untuk menjadikan perkawinan sebagai instrumen pun menjadi terbatas. Demikian akhirnya kembali kepada simpulan penulis yakni asimilasi melalui perkawinan yang dilakukan para pendatang Flores dengan orang kampung menjadi instrumen untuk mempertahankan eksistensi mereka. 58