Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan
|
|
- Yuliani Atmadja
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab VII. KESIMPULAN Pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis. Proses ini tidak terhenti pada satu titik tertentu, tetapi terus berjalan seiring dengan berjalannya waktu dan sejarah identitas itu sendiri, serta faktorfaktor penentu berjalannya proses tersebut. Sebagai sebuah proses, pembentukan identitas tidak dapat dilepaskan dari proses pengkonstruksian identitas tersebut oleh aktor atau agen, baik individu maupun lembaga (institusi) yang memiliki otoritas atau kekuasaan untuk menyahihkan sebuah identitas. Pembentukan identitas masyarakat Bali memiliki sejarah yang panjang. Periode paling krusial adalah setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Bali secara penuh pada dekade pertama abad ke-20 dan pada awal dekade kedua (tahun 1920-an). Pada waktu itu pemerintah kolonial mencanangkan proyek Balinisasi (Robinson 1995, Vickers 1996, Schulte Nordholt 2009). Melalui proyek Balinisasi, pemerintah kolonial yang berhasil menguasai Bali mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise (surga dunia). Tujuannya adalah mentradisionalkan Bali seperti di masa kerajaan dulu. Kenyataannya, seperti yang dikritik oleh Robinson, Vickers, dan Nordholt, proyek Balinisasi tersebut malah menghancurkan tatanan masyarakat Bali, dan bukan mengembalikan Bali pra-kolonialisme. Proyek lain adalah dengan mentradisionalkan Bali dengan menerapkan sistem kasta tertutup seperti model India. Hal ini menimbulkan gejolak di akar rumput. Gejolak yang sebenarnya menjauhkan Bali dari citra paradise hasil kontruksi pemerintah kolonial. Bila ditilik ke belakang masa pra-kolonial berdasarkan penelitian sejarah Schulte Nordholt (2009), gejolak-gejolak politik di masa-masa kerajaan sudah terjadi. Hal mana penuh dengan kudeta dan intrik-intrik politik yang cerdas. Faktanya gejolak atau gesekan ini pun terus berulang di masa pasca kolonial. Salah satu puncaknya adalah ketika terjadi pembantaian massal pasca peristiwa Gerakan 30 September Schulte Nordholt (2009) menyimpulkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat yang dinamis dan kompleks, tidak bisa dilepaskan dari gesekan atau gejolak politik yang berkembang di dalam masyarakat itu. Pendapat 453
2 Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan masyarakat Bali sebagai sebuah masyarakat yang statis, tidak ada dinamika dan gejolak politik antara pusat dan satelit. Ketika masyarakat Bali dari Nusa Penida bertransmigrasi ke Lampung pada tahun 1963 pasca letusan Gunung Agung, proses pembentukan identitas kebalian itu masih terus berlangsung. Di masa itu, Bali masih berjuang untung mematangkan kepercayaan Hindu Bali sebagai sebuah agama yang sahih yang diakui oleh pemerintah republik. Geertz (1964) menyebutnya sebagai internal conversion. Identitas kebalian transmigran Bali Nusa ini belum final atau masih dalam proses pembentukan melalui pengkonstruksian identitas oleh otoritas atau pusat ketika mereka sudah berada di Lampung. Ada dua identitas yang harus disahihkan untuk mengukuhkan dan mematangkan identitas kebalian mereka, yaitu identitas warga dan identitas sebagai Hindu Dharma. Dalam penyahihan identitas tersebut dibutuhkan legitimasi dari otoritas sebagai konstruktor. Castells (2002) menyebut jenis pengkonstruksian identitas tersebut sebagai legitimizing identity. Negara (pemerintah) yang terlibat aktif terhadap kepercayaan atau keagamaan masyarakatnya menjadi aktor atau konstruktor dominan atas identitas keagamaan masyarakat Bali di bawah PHDI sebagai lembaga semi pemerintah. Di sisi lain, lembaga formal warga-warga yang berada di bawah naungan PHDI memiliki kewajiban untuk menyahihkan kembali identitas warga-warga-nya, termasuk para transmigran Bali Nusa di Balinuraga, di mana identitas warga ini menjadi inti dari kebalian yang dipegang erat dalam masyarakat Bali (terkait dengan kewajiban adat dan keagamaan). Dengan kata lain, pola hubungan negara pusat dan satelit dengan aktor atau konstruktor identitas yang berbeda menjadi penentu dalam proses pembentukan identitas kebalian masyarakat Bali di luar Bali, seperti kasus Bali Nusa di Balinuraga. Negara satelit (Balinuraga) membutuhkan legitimasi (pengakuan) atas identitas kebalian setelah berada di luar Bali. Di pihak lain, negara pusat (Bali) membutuhkan dukungan negara satelit untuk melegitimasikan kekuasaannya. Pola hubungan ini mempertegas temuan peneliti-peneliti sebelumnya seperti Robinson 454
3 (1995), Vickers (1996), Picard (1997), dan Schulte Nordholt (2009) bahwa dalam proses pembentukan identitas kebalian dilalui sebuah proses pengkonstruksian identitas. Letak perbedaannya (dengan peneliti-peneliti tersebut) adalah setelah berada di luar Bali (kasus Balinuraga) proses pembentukan identitas melalui proses pengkonstruksian ditentukan oleh pola hubungan negara pusat dan satelit. Konteks pola hubungan dalam proses pembentukan identitas ini dari tahun 1963 sampai tahun 2000-an tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik di pusat (Bali). Khususnya bagaimana golongan jaba (non puri) memperjuangkan identitasnya agar mendapatkan kedudukan yang setara dan tidak ada diskriminasi. Negara satelit (seperti di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di luar Bali) berusaha mendukung pusat dalam konstelasi politik identitas internal mereka. Sumbangan terpenting dari negara satelit adalah donasi dana (uang) dan suara (keanggotaan) kepada lembaga-lembaga formal warga untuk perjuangan elit-elit warga (golongan jaba) di pusat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, warga-warga yang ada di Balinuraga dan komunitas Bali Hindu lainnya di luar Bali merupakan golongan jaba. Setiap warga memiliki karakteristik sendiri yang mencerminkan identitas kebaliannya. Salah satunya adalah sulinggih warga (pendeta), di mana pada masa tersebut kesahihannya masih diperdebatkan oleh kalangan elit di pusat (Bali). Ini menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan identitas di Balinuraga konstruksi identitas tidak hanya dalam bentuk legitimizing identity seperti yang dilakukan pusat (pemerintah kolonial dan republik) ketika mengkonstruksikan identitas Bali sebagai paradise dan pusat (lembaga formal warga) ketika menyahihkan identitas warga di Balinuraga tetapi juga dalam bentuk resistance identity (identitas perlawanan) dan project identity (dalam bentuk politik identitas golongan jaba) yang dilakukan komunitas Balinuraga sebagai golongan jaba 271. Dengan melihat dan mengacu pada 271 Periode penting resistance dan project identity di Bali terjadi setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Bali di dekade awal abad ke-20, khususnya setelah Proyek Balinisasi dilaksanakan di tahun 1920-an. Resistance dan project identity ini dilakukan oleh golongan jaba (tergabung dalam wargawarga yang dicampakkan ke dalam golongan jaba di masa Proyek Balinisasi) terhadap penyahihan identitas yang dilakukan oleh pemerintah kolonial melalui 455
4 apa yang terjadi di pusat, Balinuraga sebagai satelit dengan otonominya mengkonstruksikan identitas identitasnya melalui resistance identity dan project identity. Bentuk resistance identity dan project identity di antaranya dapat dilihat pada kasus: penggunaan sistem warga daripada sistem kasta (wangsa) yang dinilai mereka (golongan jaba) lebih egaliter; menggunakan sulinggih warga dalam upacara penting seperti upacara ngaben, sarana dan prasarana dalam upacara ngaben; jumlah atap tumpang pada bangunan suci meru di Pura Kawitan Warga, dan Pura Desa dan Puseh. Pola hubungan negara pusat dan satelit dalam proses pembentukan identitas ini yang menyebabkan mengapa faktor patronase, otoritas, ekonomi, ancaman eksternal, dan pendidikan menjadi berpengaruh dalam rangkaian proses pembentukan identitas yang terkonstruksi. Kritik Amartya Sen (2007) atas tesis benturan antara peradaban Huntington (1996) adalah ilusi tentang ketunggalan identitas sebuah peradaban dan karakterisasi yang mengabaikan kemultidimensian manusia. Kritik Sen menjadi relevan ketika berbicara tentang identitas kebalian pada kasus Balinuraga. Berbicara tentang identitas kebalian tidak cukup terhenti pada Bali Hindu, kasta, atau pun paradise seperti yang (pernah) disahihkan oleh pemerintah (kolonial dan republik). Karakterisasi atau pengklasifikasian sempit tersebut telah mengabaikan kemultidimensian atas identitas kebalian itu sendiri. Sama seperti di Bali, identitas kebalian di Balinuraga merupakan sesuatu yang kompleks. Identitas kebalian di Bali maupun di Balinuraga memiliki sejarahnya masing-masing dalam proses pembentukannya. Tidak cukup dan menjadi sempit jika hanya melihatnya pada Bali Hindu dan kasta atau pun paradise. Ada bentuk resistance dan project identity yang dilakukannya sebagai tanggapan (respon) atas legitimizing identity. Kemultidimensian identitas kebalian di Balinuraga tercermin dari sistem sosial kemasyarakatan Bali yang turut mereka adopsi setelah berada di Lampung. Sistem sosial ini menjadi identitas kebalian mereka dan peng-ajeg-an sistem kasta seperti di India dengan melakukan perlawanan terhadap golongan triwangsa yang mendapatkan keuntungan dari Proyek Balinisasi tersebut. Lihat: Robinson 1995, Dwipayana 2001, Kerepun 2003 & 2007, Schulte Nordholt
5 menjadikan Balinuraga sebagai sebuah negara tersendiri (negara satelit). Mereka memiliki desa adat sendiri dengan sistem pengorganisasian sampai di level banjar dan kompleks perkampungan yang eksklusif, organisasi tradisional (seka) dengan pembagian kerja yang spesifik (seperti: keagamaan, pertanian, dan kesenian), infrastruktur sosial (bale banjar dan desa), serta infrastruktur keagamaan (pura kawitan warga dan pura kahyangan tiga). Selain itu, ada keberagaman komposisi masyarakat di Balinuraga. Meskipun masyarakat Balinuraga digolongkan sebagai jaba, tetapi mereka terdiri dari berbagai warga-warga (klan). Tiga warga di Balinuraga memiliki kekhasannya masing-masing dengan hubungan yang kadang-kala menghangat. Setiap warga memiliki tradisi, pura kawitan, dan sulinggih yang berbeda dengan warga lainnya. Karenanya, tidak arif jika mengklasifikasikan mereka hanya terbatas pada Bali Hindu dan kasta sudra. Pengklasifikasian seperti ini menampikkan realitas bahwa masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya adalah masyarakat yang dinamis dan multidimensi. Kehidupan mereka tidak statis seperti paradise. Di Balinuraga ditunjukan dengan hubungan yang naik-turun antara Warga Pandé dan Warga Pasek. Puncaknya adalah pemecahan Pura Desa dan Puseh. Jika diperhatikan secara teliti, berbagai upacara yang dilakukan setiap banjar dengan identitas warga tertentu, maka ditemukan berbagai karakteristik yang berbeda. Di samping itu, setiap warga memiliki pengoraganisasian yang matang, di mana pusatnya berada di Bali. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika ada pembedaan antara ritual dan upacara adat dan keagamaan. PHDI memposisikan diri sebagai majelis yang mengurusi masalah keagamaan, tidak tersangkut-paut dengan urusan adat. Di sisi lain, setiap ada ritual dan upacara adat, masyarakat Balinuraga tidak dapat melepaskan diri dari Hindu Bali-nya. Karenanya, seperti yang dikatakan Picard (1997, 1999, 2005, 2008), bahwa identitas kebalian adalah kebudayaan Bali itu sendiri. Dalam konteks Balinuraga identitas kebalian tersebut dipertegas dengan bekerjanya sistem sosial kemasyarakatan Bali dengan dinamika relasi (hubungan) antara anggota komunitasnya (warga-warga) yang mereka adopsi dari pusat. Bekerjanya sistem sosial yang menjadi identitas kebalian masyarakat Balinuraga membuktikan penelitian Geertz (1959) bahwa masyarakat Bali lekat 457
6 dengan ikatan-ikatan sosialnya. Dalam konteks Balinuraga (Bali di luar Bali) kuatnya ikatan-ikatan sosial itu semakin dipertegas. Perbedaannya dari sisi konteks adalah bahwa komunitas Bali Hindu di Balinuraga berhasil melepaskan ikatan-ikatan sosial tersebut dari tempat asal dengan bertransmigrasi ke Lampung untuk memapankan perekonomiannya, membawa dan mengadopsi ikatan-ikatan sosial (sistem sosial) tersebut ke Lampung dan melanjutkan eksistensinya sebagai keberlanjutan eksistensi identitas kebalian mereka. Balinuraga yang berarti Bali masih ada membuktikan bagaimana komunitas Bali Nusa yang dipelopori oleh transmigran di tahun 1963 berhasil membangun komunitas, desa, atau negara-nya secara mandiri. Negara Balinuraga ini berhasil berdiri dan eksis sampai saat ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang disebut modal budaya. Modal budaya ini ada dari keberfungsian sistem sosial kemasyarakatan Bali yang diadopsi setelah berada di Lampung. Melalui modal budaya komunitas ini berdiri dan eksis dengan identitas kebaliannya, serta menjadi sebuah negara satelit Bali di luar Bali. Sistem subak yang menjadi bagian dari sistem sosial tersebut dengan seka tani sebagai organisasi tradisional di bidang pertanian menjadi penggerak perekonomian mereka di bidang pertanian. Hasil dari pertanian ini yang digunakan oleh komunitas ini untuk membangun negara-nya yang dimanifestasikan melalui infrastruktur-infrastruktur sosial-keagamaan yang mencerminkan identitas kebalian di luar Bali. Jadi, modal budaya tidak hanya digunakan untuk membangun komunitas ini secara fisik sebagai perkampungan Bali, tetapi juga komunitas Balinuraga sebagai sebuah identitas kebalian. Bagaimanapun, keberfungsian sistem sosial yang multidimensi dalam kebudayaan Bali menjadi tampak dalam identitas kebalian di Balinuraga. Karenanya, dapat dikatakan bahwa identitas kebalian yang mencerminkan kebudayaan Bali juga merupakan modal budaya yang digunakan oleh masyarakat Balinuraga untuk membangun komunitasnya sebagai Bali di Lampung. Bali sebagai benteng terbuka yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007) berangkat dari sebuah dilema bagaimana melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Menjadi benteng terbuka adalah solusi atas dilema tersebut. Dalam konteks Bali di luar Bali, seperti 458
7 kasus di Balinuraga, komunitas Balinuraga menghadapi dilema yang sama. Balinuraga tidak menjadi benteng terbuka, melainkan menjadi benteng tertutup. Tujuannya adalah untuk melestarikan identitas kebalian di luar Bali (Lampung). Menjadi benteng tertutup sebagai proses pelestarian identitas merupakan satu rangkaian dari proses pembentukan identitas kebalian. Pelestarian identitas merupakan tujuan dari proses pembentukan identitas yang dimanifestasikan dengan menjadi benteng tertutup, yaitu melindungi atau mempertahankan kebudayaan Bali atau identitas kebalian di Lampung. Tantangan dan ancaman menjadikan komunitas ini membentengi identitas kebaliannya dalam sebuah perkampungan Bali yang eksklusif (benteng tertutup). Perbedaan benteng terbuka yang ada di Bali, seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), dengan di Balinuraga terletak pada kedudukan Balinuraga sebagai negara satelit. Negara satelit sebagai benteng tertutup, sedangkan negara pusat (Bali) sebagai benteng terbuka. Kedudukan negara satelit, seperti Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya, yang didirikan secara mandiri dan otonom, menjadikannya sebagai pertahanan terakhir identitas kebalian atau kebudayaan Bali yang lebih luas. Benteng tertutup membuktikan bagaimana upaya-upaya mempertahankan identitas etnik dan keagamaan dalam sebuah ruang yang eksklusif oleh sebuah komunitas tidak bertentangan dengan pembangunan. Artinya, tidak menyebabkan konflik yang mengganggu proses pembangunan, khususnya pasca jatuhnya Suharto seperti yang ditunjukkan dalam Van Klinken dan Schulte Nordholt (2007), dan Van Klinken (2007). Dalam kasus Balinuraga penting untuk dikemukakan derajat keterbukaan benteng identitas tersebut. Sebagai benteng identitas kebalian di luar Bali, Balinuraga menjadi benteng yang lebih tertutup bila dibandingkan benteng identitas kebalian di Bali seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007). Hal ini dapat dilihat bagaimana perkampungannya yang eksklusif menjadi sebuah negara teater satelit untuk mementaskan kebudayaan atau identitas kebaliannya. Karenanya di dalam benteng ini, Bali menjadi ada, atau Balinuraga. Ketertutupan benteng identitas kebalian di Balinuraga terbatas pada upaya komunitas ini untuk melestarikan identitas kulturalnya. Ketertutupan ini tidak berlaku ketika dihadapkan pada pasar (investasi asing). Seperti yang terjadi di Bali, menjadi (benteng) terbuka adalah 459
8 sebuah keharusan, dengan derajat keterbukaan yang jauh lebih besar daripada di Balinuraga, karena ketergantungan perekonomian Bali atas sektor industri pariwisata. Ini menunjukkan bahwa benteng (identitas) tertutup yang dibangun oleh kelompok masyarakat transmigran yang memiliki ikatan sosial yang kuat terhadap tanah leluhurnya, merupakan usaha melestarikan identitas (kebudayaan) di tempat yang baru. Hal ini tidak berlaku ketika komunitas tersebut berinteraksi di bidang perekonomian atau di dalam sebuah pasar. Jika mencermati fenomena Ajeg Bali yang berkembang di pusat, maka dapat dikatakan bahwa proses pembentukan identitas kebalian di Balinuraga belum selesai. Negara pusat masih mencari bentuk yang ideal dengan menyesuaikan situasi dilematis yang berkembang di Bali. Sama halnya yang terjadi pada negara satelit: masih dalam proses pembentukan identitas sembari mengamati negara pusat yang menjadi acuan identitas kebalian mereka. Situasi dilematis ini menjadi cerminan dari identitas kebangsaan Indonesia yang masih mencari bentuk menjadi Indonesia. Oleh karena itu, identitas itu sendiri dapat dikatakan sebagai sesuatu yang ada dalam ketiadaan, menjadi sejarah dan sejarah itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas ada tiga tesis yang perlu dikemukakan secara eksplisit guna mempertegas temuan dalam disertasi ini dan sebuah tesis utama terkait sumbangan penelitian ini terhadap Studi Pembangunan. Ketiga tesis tersebut merupakan jawaban atau sintesa atas tiga pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I. Ketiga tesis tersebut adalah: Pertama, proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga ditentukan oleh pola hubungan negara pusat dan negara satelit. Pola hubungan negara pusat dan negara satelit dalam proses pembentukan identitas menjadi sumbangan bagi teori pembentukan identitas. Berdasarkan penelitian ini, proses pembentukan identitas sebuah kelompok etnis masyarakat tradisional yang memiliki ikatan sosial yang kuat terhadap tanah leluhurnya dan telah bermigrasi ke tempat lain ditentukan oleh relasi atau hubungan negara pusat dan negara satelit. Dalam kasus di Balinuraga, kuatnya relasi negara pusat dan negara satelit ditunjukkan melalui penyahihan identitas negara satelit oleh negara pusat. Tidak mengherankan bila terjadi proses pengkopian atau peniruan terhadap 460
9 Bali dan Nusa Penida sebagai pusat di Balinuraga. Balinuraga sebagai negara satelit merupakan negara yang otonom sehingga bisa membentuk identitas resistensi dan proyek terkait dengan status mereka sebagai golongan sudra. Kedua, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda. Perbedaan itu nampak di dalam sistem sosial yang baru, yaitu sistem warga dan sistem kelas. Sistem warga di Balinuraga lebih egaliter dibandingkan dengan sistem wangsa. Jika sistem wangsa masih membedakan status sosial berdasarkan kasta, tetapi sistem warga tidak membedakan status sosial berdasarkan kasta. Hal ini disebabkan warga-warga (klan) yang ada di Balinuraga digolongkan sebagai sudra wangsa. Uniknya, setelah mengalami kemapanan ekonomi muncul hirarki sosial baru yang kontradiktif dengan keegaliteran dalam sistem warga. Dari sinilah terjadi pergeseran dari sistem warga ke sistem kelas. Jika tesis Dwipayana (2001) menyebutkan terjadi pergeseran dari sistem kasta ke sistem kelas, maka di Balinuraga pergeseran terjadi dari sistem warga ke sistem kelas. Menariknya, sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga berasal dari golongan jaba, ada kebutuhan untuk menciptakan sistem hirarki baru yang menyerupai sistem wangsa. Sebagai contoh seorang sulinggih warga (pendeta golongan jaba) mendapatkan kedudukan atau status sosial yang tinggi seperti sulinggih brahmana (pendeta brahmana atau pendeta triwangsa). Maka dari itu, Balinuraga menjadi Bali yang berbeda dengan Bali. Inilah yang disebut dengan Membali di Lampung. Ketiga, menjadi benteng tertutup merupakan upaya yang dilakukan komunitas Balinuraga untuk melestarikan identitas kebaliannya. Identitas kebalian bagi komunitas Balinuraga menjadi penting karena keterikatan sosial yang kuat dengan Bali sebagai acuan identitas kebalian mereka setelah berada di luar Bali. Identitas kebalian ini merupakan kebanggaan mereka sebagai Bali Hindu di mana pun mereka berada. Tidak mengherankan bila komunitas Balinuraga mendirikan benteng tertutup demi mempertahankan identitas kebaliannya. Ini berbeda dengan Bali yang melestarikan identitas kebaliannya dengan mendirikan benteng terbuka seperti yang dikemukakan Schulte Nordholt (2007), sekalipun sama-sama menghadapi tantangan dan ancaman terhadap kelestarian identitasnya. Menjadi benteng terbuka bisa menjadi solusi bagi Bali (pusat) yang 461
10 menghadapi situasi dilematis agar dapat melestarikan identitas kebaliannya tanpa menutup diri terhadap dunia luar (industri pariwisata). Namun, ini bukan menjadi solusi bagi negara satelit untuk melestarikan identitas kebaliannya setelah berada di luar Bali. Mengingat untuk kasus Balinuraga misalnya, mereka tidak tergantung pada industri pariwisata, tetapi dari sektor pertanian. Melalui benteng tertutup ini bisa dilihat keotentikkan makna dari upacara-upacara keagamaan yang dilakukan. Jika kegiatan upacara-upacara keagamaan di Bali sudah menjadi komoditas pariwisata, tetapi di Balinuraga dengan benteng tertutupnya upacara-upacara tersebut benar-benar memiliki makna keagamaan sesuai dengan siklus tanam dan panen yang menjadi identitas kebalian mereka. Berdasarkan temuan-temuan di atas, disertasi ini memiliki relevansi dan signifikansi bagi Studi Pembangunan dalam mendiskursuskan bagaimana menjadi Indonesia. Sebagaimana membali di Lampung sebagai sebuah proses pembentukan identitas yang belum selesai, begitu pula proses menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Identitas Indonesia sebagai sebuah negara (Negara Kesatuan Republik Indonesia) memang sudah selesai, namun identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa (yang berbhineka tunggal ika) belumlah selesai. Bhineka Tunggal Ika lahir dari realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural. Menjadi Indonesia yang berbhineka tunggal ika tidak akan pernah menghilangkan identitas kultural suku-suku bangsa di Indonesia. Namun harus disadari bahwa menjadi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berbhineka tunggal ika menghadapi ancaman dengan menguatnya semangat primordialisme. Membali di Lampung menunjukkan bahwa pembentukan identitas merupakan sebuah proses yang dinamis sebagaimana menjadi Indonesia. Sekalipun komunitas Bali Nusa di Balinuraga jauh dari pusatnya, tetapi mereka tidak kehilangan akar identitas kebaliannya. Ini dinampakkan melalui upaya pelestarian identitas komunitas Balinuraga di Lampung dengan mendirikan benteng tertutup. Membali di Lampung dengan benteng identitasnya yang tertutup sebenarnya kontradiktif dengan semangat Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung tinggi pluralitas. Mereka (komunitas Balinuraga) hidup secara eksklusif dalam sebuah perkampungan Bali setelah bertransmigrasi. Realitas ini bertentangan 462
11 dengan salah satu tujuan program transmigrasi, yaitu mendirikan Indonesia Mini di daerah transmigrasi melalui pembauran (persebaran) penduduk. Pada kasus di Balinuraga menjadi jelas bahwa masyarakat dengan ikatan sosial yang kuat, ketika bertransmigrasi, akan membentuk benteng identitas primordial (tertutup) yang kontradiktif dengan identitas kebangsaan yang berbhineka tunggal ika. Situasi dilematis menjadi Indonesia sebagai sebuah nation pun tampak jelas dari kasus Membali di Lampung. Permasalahannya adalah bagaimana semangat Balinuraga ini bisa mengobarkan spirit Indonesianuraga dengan jiwa bhineka tunggal ika. 463
12 464
kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004).
BAB I. PENDAHULUAN Sebagai sebuah proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Melalui kesejarahan tersebut
Lebih terperinciBAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS
BAB IV. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS Bab keempat dilandaskan pertanyaan penelitian pertama, yaitu bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga. Untuk menggambarkan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dari pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan daerah lainnya. Hal tersebut
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah yang terletak di pulau Sumatera, tepatnya berada di ujung Pulau Sumatera yang merupakan pintu masuk pendatang dari pulau
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Jika seseorang mendengar kata pura maka asosiasinya adalah pulau Bali dan agama Hindu. Jika seseorang mengaku berasal dari Bali maka asosiasi yang muncul adalah orang
Lebih terperinciBAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN
BAB V. DESKRIPSI IDENTITAS KEBALIAN Bab Lima merupakan deskripsi bentuk identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Sebuah (bentuk) identitas kebalian yang kompleks, tidak kaku (monoton) dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Adat Kuta sebagaimana desa adat lainnya di Bali, merupakan suatu lembaga adat yang secara tradisi memiliki peran dalam mengorganisasi masyarakat dan menyelenggarakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat unik dengan berbagai keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun memiliki
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika
1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalamnya tumbuh berbagai Suku, Agama, dan bahasa daerah berbeda sehingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia adalah suatu Negara yang berbentuk Republik, dengan banyak Pulau di dalamnya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan di dalamnya tumbuh berbagai
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS
1 UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat Oleh Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS Permasalahan Diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34) multikulturalitas bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan untuk memperkenalkan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki makna sesuatu yang beragam, sesuatu yang memilik banyak perbedaan begitupun dengan masyarakat
Lebih terperinciBAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS
BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS Kata benteng secara umum diartikan sebagai sebuah tempat untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees) digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk
Lebih terperinciMULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL
Seminar Dies ke-22 Fakultas Sastra Pergulatan Multikulturalisme di Yogyakarta dalam Perspektif Bahasa, Sastra, dan Sejarah MULTIKULTURALISME DI INDONESIA MENGHADAPI WARISAN KOLONIAL oleh Hilmar Farid Universitas
Lebih terperinciBAB VII RAGAM SIMPUL
BAB VII RAGAM SIMPUL Komunitas India merupakan bagian dari masyarakat Indonesia sejak awal abad Masehi. Mereka datang ke Indonesia melalui rute perdagangan India-Cina dengan tujuan untuk mencari kekayaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap negara memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan juga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki kebudayaan yang beragam. Kebudayaan juga menunjukan identitas suatu bangsa. Kebudayaan ini yang biasanya berkembang dari masa ke masa
Lebih terperinciMEMBALI di LAMPUNG. STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di DESA BALINURAGA, LAMPUNG SELATAN. Yulianto. Program Pascasarjana
Program Pascasarjana MEMBALI di LAMPUNG STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di DESA BALINURAGA, LAMPUNG SELATAN Yulianto Universitas Kristen Satya Wacana MEMBALI di LAMPUNG STUDI KASUS IDENTITAS KEBALIAN di
Lebih terperinci2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul, atau dengan istilah ilmiah, saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakatmasyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau nasion (nation),
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal
BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan di dunia, setiap makhluk hidup pasti tergantung pada 3 unsur pokok, yaitu: tanah, air, dan udara. Ketiga unsur tersebut
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi
Lebih terperinciTugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973
Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater Penulis : Clifford Geertz Oleh : Isnan Amaludin NIM : 08/275209/PSA/1973 Prodi : S2 Sejarah Geertz sepertinya tertarik pada Bali karena menjadi suaka
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciVISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL
RETHINKING & RESHAPING VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL OLEH : DR. MUHADJIR EFFENDY, M.AP. Disampaikan dalam Acara Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung, 5 8 Maret 2009 1 Lingkup
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. secara bertahap dimulai dari swadaya, boyongan, dan dibawa ketika terjadinya
BAB V KESIMPULAN Sejarah dan keberadaan kesenian Kuda Kepang di negeri Johor Darul Takzim, Malaysia sangat dipengaruhi oleh faktor masyarakat Melayu keturunan Jawa maupun perkembangan Islam di sana. Sejarah
Lebih terperinciBAB V P E N U T U P. A. Kesimpulan. berikut ini. Pertama, dinamika historis masyarakat Hatuhaha Amarima selalu
441 BAB V P E N U T U P Kajian dalam bab ini memuat catatan-catatan kesimpulan dan saran, yang dilakukan berdasarkan rangkaian ulasan, sebagaimana yang termuat pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan, dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad ini gerak perubahan zaman terasa semakin cepat sekaligus semakin padat. Perubahan demi perubahan terus-menerus terjadi seiring gejolak globalisasi yang kian
Lebih terperinciKesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)
Bab Sembilan Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki aneka ragam budaya. Budaya pada dasarnya tidak bisa ditinggalkan, karena merupakan kepercayaan atau citra suatu kelompok dan individu yang ada dari
Lebih terperinciBAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Latar belakang Sejarah pertumbuhan dan perkembangan fisik Kota Tarakan berawal dari lingkungan pulau terpencil yang tidak memiliki peran penting bagi Belanda hingga
Lebih terperinciBAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN
BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN a. Latar Belakang (Times New Roman 14) Menguraikan tentang alasan dan motivasi dari penulis terhadap topik permasalahan yang diteliti / dikaji. Indonesia memiliki
Lebih terperinciB A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan
5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat manusia dan kebudayaan yang dihasilkannya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keberadaan kebudayaan adalah hasil dari karya manusia. Kebudayaan adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan suatu hasil cipta rasa dan karsa manusia yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan suatu hasil cipta rasa dan karsa manusia yang bermakna, bukan sekedar dalam kata-kata, ia meliputi kepercayaan, nilai-nilai dan norma,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat
Lebih terperinciGEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO
LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik diajukan oleh : ANANG MARWANTO NIM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan
Lebih terperincikerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memilki berbagai macam suku bangsa, sebagaimana menurut sensus BPS pada tahun 2010, jumlah suku di Indonesia 1.340 suku bangsa. Diantaranya Suku jawa
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa
Lebih terperinciPartisipasi Publik dan Harmoni Sosial
Bab VIII Penutup Ruang publik di wilayah perkotaan merupakan magnet yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha sektor informal. PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks
BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks wawasan kebangsaan yang merupakan pandangan seorang warga negera tentang negaranya, dan pembentukan
Lebih terperinciKesimpulan. Bab Sembilan
Bab Sembilan Kesimpulan Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km 2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdayasumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, setiap individu terkait dengan persoalan politik dalam arti luas. Masyarakat sebagai kumpulan individu-individu
Lebih terperinciD. Dinamika Kependudukan Indonesia
D. Dinamika Kependudukan Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Jumlah penduduk yang tinggal di Indonesia mencapai 256 juta jiwa (Worl Population
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh para pendatang Flores dengan orang kampung merupakan sebuah intrumen agar dualitas para pendatang dan orang kampung kemudian menjadi
Lebih terperinciPERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Indonesia merupakan masyarakat yang plural dan multikultural.
Lebih terperinciKERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH
41 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah
Lebih terperinciberagam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah suatu negara majemuk yang dikenal dengan keanekaragaman suku dan budayanya, dimana penduduk yang berdiam dan merupakan suku asli negara memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka
Lebih terperinci2017 DAMPAK MODERNISASI TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG BENDA KEREP KOTA CIREBON TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberagaman dalam budaya Indonesia tercermin dalam berbagai kebudayaan lokal yang berkembang di masyarakat. Keragaman tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Pada zaman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa serta agama yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan negara yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Etnis Bali memiliki kebudayaan dan kebiasaan yang unik, yang mana kebudayaan dan kebiasaan tersebut dapat dijadikan sebagai identitas atau jatidiri mereka. Kebudayaan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena merupakan salah satu asset devisa Negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Tembakau merupakan tanaman dilematis bagi Indonesia yang melahirkan dua sisi yang saling bertentangan. Pada satu sisi tembakau dianggap sebagai komoditas yang harus dibatasi
Lebih terperinciBAB V. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian di bab-bab sebelumnya. menunjukkan terjawabnya rumusan masalah tersebut.
BAB V Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sebuah rumusan masalah mengenai konstruksi diskursif pengetahuan dan praktek keagamaan Islam Wetu Telu di Lombok. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termasuk etnis Arab yang mempengaruhi Negara Indonesia sejak 100 tahun
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki keberagaman budaya, termasuk etnis Arab yang mempengaruhi Negara Indonesia sejak 100 tahun sebelum
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior
BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam sekelompok masyarakat. Masyarakat terbentuk oleh
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan suatu sistem yang membentuk tatanan kehidupan dalam sekelompok masyarakat. Masyarakat terbentuk oleh individu dengan individu lainnya atau antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan. Sebagaimana telah diketahui bahwa penduduk Indonesia adalah multietnik (plural society). Indonesia merupakan negara
Lebih terperinciBab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai
Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bertolak dari pemaparan hasil penelitian dan penggkajian dengan menggunakan prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang dapat disimpulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama, keyakinan, ras, adat, nilai,
Lebih terperincipengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.
Bab Enam Kesimpulan Masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), seringkali diabaikan dan kurang diberikan peran dan tanggung jawab dalam mendukung aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara kodrati, manusia dianugerahi akal dan pikiran yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain. Akal dan pikiran tersebut merupakan modal awal dari terbentuknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setidaknya sejak 2013 terjadi perdebatan di lingkup masyarakat Bali pada khususnya dan nasional juga internasional pada umumnya yang dikarenakan adanya rencana untuk
Lebih terperinciBAB VI SIMPULAN DAN SARAN
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Sentralisme pemerintahan yang telah lama berlangsung di negeri ini, cenderung dianggap sebagai penghambat pembangunan daerah. Dari sekian banyak tuntutan yang diperhadapkan
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta
BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Sulawesi Selatan dan Barat terdapat empat etnik dominan dan utama, yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki ragam
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Bali selama ini dikenal dengan kebudayaannya yang khas. Beragam tradisi yang mencerminkan adat Bali menarik banyak orang luar untuk melihat lebih dekat keunikan
Lebih terperinciSEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG
Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan khususnya adalah salah satu penyumbang kemajemukan di Indonesia karena masyarakatnya yang tidak hanya terdiri dari
Lebih terperinciBAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,
BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi
128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan
Lebih terperinci66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)
66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pusat Pelestarian Kesenian Wayang Kulit Tradisional Bali di Kabupaten Badung 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebuah pulau kecil dengan beribu keajaiban di dalamnya. Memiliki keanekaragaman yang tak terhitung jumlahnya. Juga merupakan sebuah pulau dengan beribu kebudayaan
Lebih terperinci2. Fungsi tari. a. Fungsi tari primitif
2. Fungsi tari Tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis tari dalam kategori tari tradisional dan tari non trasional disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Faktor internal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jawa Barat atau yang lebih dikenal dengan etnis Sunda sangat kaya dengan berbagai jenis kesenian. Kesenian itu sendiri lahir dari jiwa manusia dan gambaran masyarakatnya
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat
260 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan pada Bab IV di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa: 1. Tinggi rendahnya transformasi struktur ekonomi masyarakat
Lebih terperinciLOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6
LOKAL GENIUS DALAM KAJIAN MANAJEMEN Oleh Drs. I Made Madiarsa, M.M.A. 6 Abstrak: Kearifan lokal berkaitan erat dengan manajemen sumber daya manusia. Dewasa ini, kearifan lokal mengalami tantangan-tantangan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara etimologi berarti keberagaman budaya. Bangsa Indonesia sebagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang multikultural, multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia dikenal dengan keanekaragaman suku bangsa dan berbagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikenal dengan keanekaragaman suku bangsa dan berbagai latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda yang tumbuh dan kembang sebagai hasil adaptasi terhadap
Lebih terperinciFungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa
Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Fungsi agama dalam pemerintahan pada masa kejayaan majapahit (abad ke-14 masehi) HB. Hery Santosa Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=74007&lokasi=lokal
Lebih terperinciBAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan BAB VI SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data, hasil analisis, dan pembahasan dapat disimpulkan dari cerpen Indonesia pengarang perempuan dekade 1970-2000-an beberapa hal berikut. Struktur
Lebih terperinciMANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN. by. EVY SOPHIA
MANUSIA, KERAGAMAN DAN KESETARAAN by. EVY SOPHIA A. Hakikat Keragaman dan Kesetaraan Manusia. B. Kemajemukkan Dalam Dinamika Sosial Budaya. C. Keragaman & Kesetaraan sebagai kekayaan sosial budaya. D.
Lebih terperinci