PERSEPSI PENGOLAH TERHADAP BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM PENGOLAHAN IKAN ASIN, TINGKAT PENGAWASAN PEMERINTAH, DAN TINGKAT PENGETAHUAN KONSUMEN IKAN ASIN

dokumen-dokumen yang mirip
SIKAP PENGOLAH DALAM MENENTUKAN PRODUK IKAN ASIN

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP TUTORIAL ONLINE MATA KULIAH PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

TINGKAT PENGGUNAAN BAHAN KIMIA BERBAHAYA PADA PENGOLAHAN IKAN ASIN: KASUS DI MUARA ANGKE DAN CILINCING, JAKARTA

5 KONDISI AKTUAL PENDARATAN DAN PENDISTRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan pada dasarnya merupaka n upaya mencapai taraf hidup

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN TRADISIONAL TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN PENGOLAH

KERAGAAN KELOMPOK MASYARAKAT PENGAWAS SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKABUMI ABSTRAK

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

4 KEADAAN UMUM HOME INDUSTRY KERUPUK IKAN. Penelitian dilakukan pada daerah sentra home industry pengolahan kerupuk

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi, makanan harus baik, dan aman untuk dikonsumsi.

Pertanyaan dan Hasil Wawancara dengan Pihak Internal. UD. Berkah Sedulur di Rembang

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Responden Usaha Pengolahan Ikan Asin

TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN PENGOLAH IKAN DALAM KELOMPOK USAHA BERSAMA DI CISOLOK, SUKABUMI

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN AKURASI DATA MAHASISWA PESERTA UJIAN DI UPBJJ-UT JAKARTA DAN MATARAM

Diarsi Eka Yani. ABSTRAK

BAB 3 METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik responden merupakan ciri yang menggambarkan identitas

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Oleh karena itu tingkat kesehatannya perlu dibina dan. Gizi menjadi penting bagi anak sekolah karena selain dapat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan ikan segar. Menurut Handajani (1994) (dalam Sari, 2011), ikan asin lebih menguntungkan dalam hal kesehatan.

METODE PENELITIAN. satu daerah yang memiliki jumlah kelompok nelayan terbanyak. Dari data

KARAKTERISTIK PENDISTRIBUSIAN IKAN SEGAR DAN OLAHAN DARI PANGKALAN PENDARATAN IKAN CITUIS TANGERANG

KARAKTERISTIK PETANI PENERIMA METODE SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SLPTT) PADI DI KECAMATAN CIAWI BOGOR.

JURNAL P ENYULUHAN PEMBINAAN WANITA PENGOLAH IKAN ASIN DI PESISIR MUARA ANGKE JAKARTA UTARA

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha di Indonesia pada saat ini kian pesat, terutama di

TANGGAPAN ORANG TUA TENTANG INFORMASI JAJANAN SEKOLAH YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA. Oleh. Poppy Suryanti *), Toni Wijaya *)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Keadaan Umum Pasar Hewan Ingon-Ingon Ciwareng. yang menjual ternak besar yang berlokasi di Jalan Kopi, Desa Ciwareng,

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

ABSTRAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

BAB 1 PENDAHULUAN. ikan laut yang dicampur dengan bahan-bahan, seperti cabe kering yang dihaluskan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut WHO, makanan adalah : Food include all substances, whether in a

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. keadaan responden berdasarkan umur pada tabel 12 berikut ini:

Kata Kunci :Jaminan Kesehatan Nasional, Puskesmas, Pengetahuan, sikap petugas, dan persepsi pasien Kepustakaan : 20 Buah,

Kuesioner Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa

KUESIONER. Lampiran 1. Judul Penelitian : Analisis kesesuaian Lahan dan Kebijakan Permukiman Kawasan Pesisir Kota Medan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Wonosari merupakan salah satu dari 7 kecamatan yang ada di

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak memenuhi syarat, dan terhadap kerugian sebagai akibat produksi,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah sejumlah warga di Kelurahan Ujung Menteng

JIMVET. 01(1): (2017) ISSN :

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sasaran pembangunan pangan adalah menyediakan pangan

korespondensi: ABSTRAK

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PRODUSEN DENGAN PENGGUNAAN FORMALIN PADA BAKSO SAPI KILOAN YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL DAN MODERN KOTA PONTIANAK

BAB IV KARAKTERISTIK PENDUDUK

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA REMAJA DI DAERAH ABRASI

STRATEGI PEMASARAN KREDIT PADA MIKRO BISNIS UNIT PT. BANK XYZ DI KAWASAN INDUSTRI PULOGADUNG JAKARTA TIMUR MULYADI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikeluarkan

BAB 5 KARAKTERISTIK PENGUNJUNG AGROWISATA KEBUN RAYA BOGOR. (%) Muda: tahun 50 Usia. Tingkat Pendidikan Sedang: SMA/SMK-D1 50 Tinggi: D3-S2 41

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

Oleh: drh. Ida Malati Sadjati, M.Ed. Pepi Rospina Pertiwi, S.P., M.Si. Ernik Yuliana, S.Pi., MT.

VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN KONSUMEN RESTORAN KHASPAPI

BAB 1 : PENDAHULUAN. sanitasi. Banyaknya lingkungan kita yang secara langsung maupun tidak lansung. merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. keputusan pembelian fresh product di ritel tradisional dan ritel modern. Pemilihan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendapatan usahatani per musim. Petani yang menjadi objek penelitian adalah

taman, dua petugas penyapu jalan utama, dan dua petugas UPS Mutu Elok.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara maritim, dimana 70 persen dari luas wilayah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INVENTORY SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR KELURAHAN FATUBESI KEC. KOTA LAMA KOTA KUPANG - NUSA TENGGARA TIMUR

V. GAMBARAN UMUM. Secara astronomi, Kota Depok terletak pada koordinat 6 o sampai

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN SOSIAL DENGAN PERILAKU MEROKOK SISWA LAKI-LAKI DI SMA X KABUPATEN KUDUS

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. didominasi oleh usaha tani kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani yang

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. profil Desa Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang tahun 2016.

PENGETAHUAN Pangan Rekayasa Genetika HARAPAN. PENERIMAAN Pangan Rekayasa Genetika

4 KEADAAN UMUM UKM. Pulau Pasaran SKALA 1:

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode Pengumpulan Data

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada

BAB IX. Hubungan Antara Proses Penginderaan dan Persepsi

SISTEM PEMASARAN HASIL PERIKANAN DAN KEMISKINAN NELAYAN (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara)

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI TINGKAT KEKUMUHAN DAN POLA PENANGANAN YANG TEPAT DI KAWASAN KUMUH KELURAHAN TANJUNG KETAPANG TAHUN 2016

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terdiri dari 4

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. satu hal dan pengetahuan umum yang berlaku bagi keseluruhan hal

6 EFISIENSI PENDARATAN DAN PENDITRIBUSIAN HASIL TANGKAPAN DI PPI MUARA ANGKE

BAB I PENDAHULUAN. mikrobiologisnya. Secara visual faktor warna yang tampil terlebih dahulu terkadang

PENGGUNAAN ZAT ADDITIVE ALAMI DAN NON ALAMI DI DESA SITU UDIK DAN DESA CIMANGGU-I KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR

Kuisioner Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Konsumen Terhadap Bahan Pangan Organik

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang terjangkau oleh daya beli masyarakat tercantum dalam UU no. 18, th Pangan yang aman merupakan faktor yang penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. dirubah yakni dari ikan yang dijual sendiri-sendiri menjadi ikan dijual secara lelang

Transkripsi:

PERSEPSI PENGOLAH TERHADAP BAHAN KIMIA BERBAHAYA DALAM PENGOLAHAN IKAN ASIN, TINGKAT PENGAWASAN PEMERINTAH, DAN TINGKAT PENGETAHUAN KONSUMEN IKAN ASIN Ernik Yuliana, Adhi Susilo, Deddy Ahmad Suhardi Fakultas MIPA Universitas Terbuka Jl. Cabe Raya Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan 15418 ernik@mail.ut.ac.id, adhi@mail.ut.ac.id, deddy_as@mail.ut.ac.id ABSTRAK Ikan asin di Indonesia pada umumnya diproduksi dengan cara tradisional. Untuk mengurangi ketergantungan pada sinar matahari, pengolah ikan asin menggunakan bahan kimia sebagai pengawet. Tujuan penulisan artikel adalah mengidentifikasi persepsi pengolah tentang penggunaan bahan kimia berbahayan dalam pengolahan ikan asin, tingkat pengawasan pemerintah, dan tingkat pengetahuan konsumen ikan asin tentang bahan kimia berbahaya. Rancangan penelitian menggunakan exploratory research design. Populasi penelitian adalah semua pengolah ikan asin di wilayah Muara Angke dan Cilincing. Sampel diambil secara acak sebanyak 73 orang. Data yang dikumpulkan berupa data primer, dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 49,3% pengolah berada pada kategori umur dewasa tengah, dan mempunyai tingkat pendidikan yang rendah (80%). Keterikatan pengolah ikan asin pada kebiasaan adalah tinggi (53%), pada aturan/norma/adat juga tinggi (81%), tetapi pengolah (55%) mempunyai ketergantungan yang rendah kepada institusi yang memberikan fasilitas pengolahan ikan asin. Sebagian besar pengolah (44%) menganggap bahwa harga bahan kimia adalah murah, dan sebanyak 66% pengolah menganggap bahan kimia tersebut berbahaya bagi konsumen. Persepsi pengolah terhadap kunjungan staf pemerintah ke lokasi pengolahan ikan asin sebagian besar adalah jarang (52%). Pengolah ikan asin menganggap bahwa sebagian besar konsumen (95%) mengetahui tentang bahaya penggunaan bahan kimia pada ikan asin, dan pengolah juga mengetahui bahwa sebagian besar konsumen (63%) tidak bersedia membeli ikan asin jika mereka tahu mengandung bahan pengawet kimia. Perlu ada tindakan perbaikan pada persepsi pengolah tentang harga bahan kimia, dan tingkat pengawasan pemerintah masih perlu ditingkatkan. Kata Kunci: bahan kimia, ikan asin, pengolah, persepsi. PENDAHULUAN Ikan asin di Indonesia pada umumnya diproduksi dengan cara tradisional yang sangat bergantung pada sinar matahari. Intensitas sinar matahari berfluktuasi dari waktu ke waktu. Jika intensitas sinar matahari rendah, maka pengeringan ikan asin tidak berjalan sempurna. Untuk menutupi ketidaksempurnaan tersebut, beberapa pengolah menggunakan bahan pengawet kimia yang berbahaya, di antaranya adalah formalin dan pemutih. Hasil penelitian Yuliana & Farida (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 53,3% pengolah ikan asin di Muara Angke menggunakan formalin dan/atau pemutih. Selanjutnya, sebanyak 88% pengolah ikan di wilayah barat pantai utara Jawa telah mengetahui tentang pelarangan penggunaan formalin pada penanganan dan pengolahan produk perikanan (Permadi, 2008). Penggunaan pemutih (H 2 O 2 ) dalam pengolahan ikan asin secara eksplisit memang belum dilarang oleh pemerintah, tetapi peggunaan bahan kimia berbahaya sebagai bahan tambahan makanan sudah dilarang oleh pemerintah.

Kebiasaan pengolah ikan asin menggunakan formalin dan/atau pemutih sudah berlangsung lama sehingga tidak mudah bagi mereka untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu pemecahan yang dibangun dengan menggali faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan pengolah ikan asin dalam menggunakan formalin dan/atau pemutih. Langkah awal dari penggalian tersebut adalah dengan mengidentifikasi persepsi pengolah tentang bahan kimia berbahaya. Selain itu, perlu juga diidentifikasi persepsi pengolah tentang tingkat pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya, dan tingkat pengetahuan konsumen tentang bahan kimia berbahaya. Bahan kimia biasa digunakan oleh para pengolah ikan untuk meningkatkan mutu produknya, baik dari segi penampilan ataupun daya awetnya. Sejak tahun 2005, penggunaan formalin sebagai pengawet kimia sudah dilarang oleh pemerintah. Akan tetapi, kebanyakan para pengolah ikan sudah terikat dengan kebiasaan mereka dalam menggunakan bahan kimia. Hasil survei tentang kebiasaan pengolah ikan dalam menggunakan bahan kimia menunjukkan bahwa 53,3% pengolah pernah menggunakan pemutih dan formalin. Pemutih digunakan oleh pengolah untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh ikan asin (Yuliana & Farida, 2007). Berdasarkan latar belakang penulisan artikel, maka dirumuskan tujuan penulisan artikel adalah untuk mengidentifikasi karakteristik pengolah ikan asin dan mengidentifikasi persepsi pengolah tentang bahan kimia berbahaya, tingkat pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya, dan tingkat pengetahuan konsumen tentang bahan kimia berbahaya. Karakteristik individu adalah sifat yang ditampilkan seseorang yang berhubungan dengan semua segi kehidupannya di dunia atau lingkungannya sendiri. Mengenali karakteristik pengolah ikan sebagai individu sangat penting karena mereka adalah sasaran yang hendak dicapai oleh program penelitian ini. Menurut Siregar dan Pasaribu (2000), ada tiga macam pendekatan yang biasa dipakai untuk mengidentifikasi ciri, yaitu pendekatan geografis, sosiografis, dan psikografis. Pendekatan geografis adalah cara mengenali khalayak dengan mempertimbangkan faktor tempat tinggal. Pendekatan sosiografis adalah cara mengenali khalayak dengan mempertimbangkan latar belakang seseorang, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan dan posisi seseorang dalam kehidupan sosial. Pendekatan psikografis adalah cara mengenali ciri khalayak dengan mempertimbangkan kecenderungan psikologis

seseorang yang meliputi faktor-faktor motivasi, kebutuhan rasa aman, kesenangan, dan hal lain yang berhubungan dengan cita rasa. Persepsi dapat diartikan sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada rangsangan inderawi. Menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi (perhatian), ekspektasi (harapan), motivasi, dan memori. Persepsi, seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan situasional (Rakhmat, 2000). Selanjutnya Thoha (1999) menyatakan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Menurut Pakpahan (2004), persepsi seseorang terhadap suatu hal berkaitan erat dengan ciri orang tersebut (umur, jenis kelamin, status pernikahan, status pekerjaan, tempat tinggal, dan frekuensi berhubungan dengan suatu hal). Persepsi terkait erat dengan masalah sikap, karena persepsi merupakan komponen kognitif sikap. Dalam psikologi sosial, sikap diartikan sebagai derajat atau tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian seseorang terhadap objek tertentu. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini dinyatakan dalam skala yang menunjukkan sangat setuju atau sangat tidak setuju terhadap objek sikap (Mar at, 1981). Karakteristik sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal dari komponen afektif. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar berubah. Perubahan terjadi jika ada tekanan yang cukup dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap memalui dinamika tertentu. Persepsi sebagai komponen kognitif sikap memegang peranan penting dalam pembentukan totalitas sikap. Hal ini disebabkan karena aspek kognitif sikap merupakan sumber informasi utama yang dievaluasi secara positif dan negatif oleh komponen afektif (evaluasi ini bersifat terselubung). Dengan kata lain, persepsi mendasari secara relatif tetap totalitas sikap seseorang. Oleh karena itu kajian terhadap hal ini penting dilakukan (Sueca et. al., 2001).

METODOLOGI Populasi penelitian adalah semua pengolah ikan asin di wilayah Muara Angke dan Cilincing. Sampel diambil secara acak sebanyak 73 orang pengolah ikan asin, yang terdiri atas 55 orang di Muara Angke dan 18 orang di Cilincing. Penarikan sampel didasarkan pada jumlah populasi di kedua lokasi tersebut, di mana jumlah pengolah ikan asin di Muara Angke adalah 190 orang dan di Cilincing ada 30 orang. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut merupakan sentra pengolahan ikan asin yang ada di wilayah Jakarta. Data yang dikumpulkan berupa data primer. Pengumpulan data menggunakan metode survei dengan menyebarkan kuesioner kepada responden, tetapi pengisiannya dibantu oleh enumerator. Analisis data dilakukan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian PHPT Muara Angke berdiri pada Tahun 1984 di bawah koordinasi Balai Besar Pengawasan Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP). Sejak 1 April 2006, PHPT berada di bawah koordinasi UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PKPP dan PPI) Dinas Perikanan dan Pertanian DKI Jakarta). Subdinas PHPT Muara Angke berdiri di areal seluas 4,5 hektar. Tugas PHPT adalah mengadakan pembinaan kepada para pengolah ikan tradisional agar menghasilkan produk hasil perikanan tradisional yang bermutu baik. Para pengolah ikan yang berada di bawah bimbingan PHPT Muara Angke berjumlah 201 unit. Para pengolah harus membayar sewa tempat pengolahan Rp 50.000 per bulan kepada PHPT. Harga ini berlaku sejak Tahun 2000, sebelumnya harga sewa hanya Rp 26.000 per bulan. Setiap kavling tempat yang disewa berukuran 5 x 6 m 2. Bentuk bangunan berlantai dua, bagian bawahnya untuk tempat pengolahan, sedangkan bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal keluarga pengolah. Para pengolah bergabung dalam Koperasi Mina Jaya yang menyediakan fasilitas pengolahan secara kredit seperti garam atau uang untuk membeli bahan baku dari nelayan. Produk yang dihasilkan oleh para pengolah di PHPT Muara Angke mayoritas adalah ikan asin dengan bahan baku ikan tembang, cumi, lesi, layang, pari, cucut, teri, dan yang lainnya.

Selain ikan asin, produk lainnya adalah penyamakan kulit pari, ikan pindang, kerupuk kulit ikan, dan ikan asap. Para pekerja di PHPT Muara Angke adalah warga yang tinggal dekat dengan lokasi PHPT atau saudara para pengolah sendiri, dengan sistem gaji bulanan dan harian. Kebanyakan pekerja bukan berasal dari keluarga nelayan. Untuk tenaga kerja bulanan biasanya adalah saudara-saudara para pengolah, sedangkan untuk tenaga kerja harian berasal dari warga sekitar yang kebanyakan adalah ibu-ibu rumah tangga atau remaja wanita. Keluarga nelayan sendiri lebih banyak berkonsentrasi untuk menangkap ikan di laut daripada bekerja di tempat pengolahan ikan. Sarana sosial yang tersedia antara lain adalah koperasi, puskesmas, dan masjid. Keadaan lingkungan PHPT masih jauh dari bersih. Saluran air tidak jalan dan pembuangan sampah tidak terkoordinir dengan baik. Ketika musim hujan tiba, daerah ini sering pula terkena banjir. Hal ini mengakibatkan bau yang tidak sedap ketika kita memasuki komplek pengolahan ikan di PHPT. KARAKTERISTIK PENGOLAH IKAN ASIN Umur Umur pengolah ikan asin selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Sebagian besar pengolah ikan asin berada pada kategori umur dewasa tengah yakni sebesar 49,3% (Tabel 1). Menurut Pikunas (1969), manusia pada rentang umur dewasa tengah biasanya mempunyai kondisi ekonomi yang mapan dan stabil, konsentrasi pada status pekerjaan dan bertanggung jawab. Mereka menggeluti pekerjaannya sejak lama, karena pengolah ikan asin rata-rata memulai pekerjaannya dengan cara magang pada industri kecil pengolahan ikan sejak muda. Hal ini didukung oleh pengalaman mereka menjadi pengolah ikan asin sebanyak 63% adalah lebih dari 10 tahun. Kategori umur dewasa tengah ini juga termasuk usia produktif, sehingga para pengolah ikan asin masih dapat diharapkan untuk meningkatkan produktivitas industri kecil pengolahan ikan asin. Tabel 1. Umur Pengolah Ikan Asin. Kategori Umur Dewasa awal (20-35 tahun) Dewasa tengah (36-50 tahun) Dewasa akhir (>50 tahun) Frekuensi 25 36 12 % 34,2 49,3 16,4

TINGKAT PENDIDIKAN PENGOLAH IKAN ASIN Tingkat pendidikan pengolah ikan asin selengkapnya disajikan pada Tabel 2 dan pengelompokan pendidikan pengolah ikan asin berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 3. Sebagian besar pengolah ikan asin mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu SD 59% dan tidak sekolah 21%. Persentase total untuk tingkat pendidikan rendah tersebut adalah 80%. Artinya, pengolah ikan asin yang banyak berasal dari keluarga nelayan sebagian besar adalah berpendidikan SD atau tidak sekolah. Alasan utama mereka tidak menempuh pendidikan adalah faktor ekonomi. Mereka menganggap sekolah membutuhkan biaya yang mahal dan tidak terjangkau. Alasan yang lain adalah karena tenaga mereka diperlukan untuk membantu orang tua dan keluarga, baik sebagai nelayan maupun sebagai pengolah ikan asin sehingga mereka tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk bersekolah. Tingkat pendidikan pengolah ikan asin yang rendah ini menjadi salah satu faktor penghambat untuk kemajuan mereka. Mereka cenderung sulit untuk menerima ilmu-ilmu baru, kecuali kalau cara penyampaian ilmu tersebut melalui praktik keterampilan, ada kemungkinan mereka lebih mudah menerimanya. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk para pengolah ikan asin sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan mereka di bidang pengolahan ikan asin. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan yang rendah (SD dan tidak sekolah) ditemukan pada kelompok umur dewasa tengah, yaitu 31%. Pada kelompok umur dewasa awal yang mempunyai pendidikan rendah adalah 16%, dan pada kelompok dewasa akhir sebanyak 11%. Akan tetapi pada ketiga kelompok umur tersebut, pendidikan rendah memang paling banyak ditemukan dengan distribusi yang normal. Artinya, budaya pendidikan pada pengolah ikan asin memang belum berubah dari generasi dewasa awal sampai dewasa akhir masih dominan pada pendidikan rendah. Mereka belum mementingkan pendidikan dalam memajukan usaha pengolahan ikan asin yang mereka miliki. Tabel 2. Tingkat Pendidikan Pengolah Ikan Asin. Kategori Tingkat Pendidikan Rendah (tidak sekolah) Rendah (SD) Menengah (SMP) Menengah (SMA) Tinggi (universitas) Frekuensi 15 43 10 5 0 Persentase (%) 21 59 14 7 0

Tabel 3. Pengelompokan Pendidikan Pengolah Ikan Asin Berdasarkan Umur. Kelompok Umur Dewasa awal (20 35 tahun) Dewasa tengah (36 50 tahun) Dewasa akhir (> 50 tahun) PENDIDIKAN SD SMA SMP STM TDK SEKOLAH Total 15 2 7 0 1 25 20 1 2 2 11 36 8 0 1 0 3 12 Keterikatan pengolah ikan asin pada kebiasaan adalah tinggi, yaitu 53% (Tabel 4). Artinya, pengolah ikan asin masih percaya pada ilmu yang sudah turun-temurun, terutama untuk teknik penggaraman, pengeringan, pengemasan dan pemasaran. Akan tetapi para pengolah ikan tidak hanya menggantungkan teknik pengolahan ikan asin pada kebiasaan yang sudah turuntemurun, mereka juga sudah mulai terbuka dengan sumber informasi yang lain. Tabel 4. Keterikatan pengolah ikan asin pada kebiasaan. Keterikatan pengolah ikan asin pada kebiasaan Rendah Tinggi Frekuensi 34 39 Persentase (%) 47 53 PERSEPSI PENGOLAH IKAN ASIN TERHADAP BAHAN KIMIA BERBAHAYA Pada Tabel 5 dapat dilihat data tentang persepsi pengolah ikan asin terhadap bahan kimia berbahaya. Sebagian besar pengolah (44%) menganggap bahwa harga bahan kimia adalah murah, dan sebanyak 66% pengolah menganggap bahan kimia tersebut berbahaya bagi konsumen. Karena para pengolah banyak yang menganggap bahwa harga bahan kimia tersebut murah, maka penggunaan bahan kimia untuk pengawet ikan asin masih banyak dilakukan oleh pengolah ikan asin. Tabel 5. Persepsi Pengolah Ikan Asin terhadap Bahan Kimia Berbahaya. Persepsi Pengolah terhadap Bahan Kimia Harga bahan kimia Bahaya bahan kimia Kategori Murah Sedang Mahal Tidak berbahaya Berbahaya Persentase (%) 44 37 19 34 66

Berdasarkan data pada Tabel 5, para pengolah sebanyak 44% menganggap bahwa harga bahan kimia untuk pengolahan ikan asin adalah murah, maka harus ada regulasi untuk menghambat penjualan bahan kimia tersebut untuk ditambahkan ke dalam bahan makanan. Regulasi tersebut dapat berupa menaikkan harga bahan kimia sehingga tidak terjangkau oleh pengolah ikan asin, atau mempersulit penjualannya misalnya harus melampirkan pernyataan yang disahkan oleh pejabat setempat bahwa bahan kimia tersebut tidak dipergunakan untuk bahan tambahan pada makanan. PERSEPSI PENGOLAH IKAN ASIN TERHADAP PENGAWASAN PEMERINTAH Berdasarkan data pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa persepsi pengolah terhadap kunjungan staf pemerintah ke lokasi pengolahan ikan asin sebagian besar adalah jarang (52%). Begitu juga dengan persepsi pengolah terhadap penyuluhan pemerintah, sebagian besar adalah jarang. Pengolah ikan asin berharap kunjungan staf pemerintah dan penyuluhan dapat ditingkatkan agar mereka dapat melakukan konsultasi atau dialog demi perbaikan produksi ikan asin. Tabel 6. Persepsi Pengolah Ikan Asin terhadap Pengawasan Pemerintah. Persepsi Pengolah Ikan Asin terhadap Pengawasan Pemerintah Kunjungan staf pemerintah ke industri pengolahan Penyuluhan staf pemerintah kepada pengolah ikan asin Larangan pemerintah tentang penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin Kategori Tidak pernah Jarang Sering Tidak pernah Jarang Sering Tidak bermanfaat Bermanfaat Persentase (%) 22 52 26 27 51 22 32 68 PERSEPSI PENGOLAH IKAN ASIN TERHADAP KONSUMEN IKAN ASIN Selanjutnya, berdasarakan Tabel 7 pengolah ikan asin menganggap bahwa sebagian besar konsumen (95%) mengetahui tentang bahaya penggunaan bahan kimia pada ikan asin, dan pengolah juga mengetahui bahwa sebagian besar konsumen (63%) tidak bersedia membeli ikan asin jika mereka tahu mengandung bahan pengawet kimia. Kondisi konsumen yang mengetahui bahaya penggunaan bahan kimia untuk produksi ikan asin seharusnya dapat menjadi kekuatan bagi konsumen untuk menolak ikan asin yang mengandung bahan kimia.

Akan tetapi hal ini belum terjadi di lapangan. Kenyataannya, konsumen belum mampu menolak distribusi ikan asin yang mengandung bahan kimia di pasaran. Berdasarkan temuan tersebut, harus ada penyuluhan kepada konsumen, tentang keamanan produk pangan dan cara mengenali produk ikan asin yang mengandung formalin dengan cara yang sederhana. Tabel 7. Persepsi Pengolah Ikan Asin terhadap Konsumen Ikan Asin. Persepsi Pengolah terhadap Konsumen Ikan Asin Konsumen mengetahui bahaya bahan kimia pada ikan asin Konsumen mau membeli ikan asin yang mengandung bahan kimia Kategori Tidak tahu Tahu Tidak Ya Persentase (%) 5 95 63 37 KESIMPULAN Karakteristik pengolah ikan asin di Muara Angke dan Cilincing mempunyai rentang umuur dewasa tengah, tingkat pendidikan rendah, dan mempunyai ikatan yang kuat terhadap kebiasaan yang turuntemurun. Pengolah ikan asin menganggap harga bahan kimia murah, sehingga mereka dengan leluasa dapat menggunakannya untuk bahan pengawet. Tingkat pengawasan pemerintah dianggap masih kurang oleh pengolah ikan asin. Sementara tingkat pengetahuan konsumen tentang bahaya bahan kimia sudah tinggi, tetapi mereka tidak dapat menolak beredarnya produk ikan asin yang beredar di pasaran. DAFTAR PUSTAKA [1] Mar at. (1981). Sikap dan perubahannya beserta pengukurannya. Bandung: Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. [2] Pakpahan, S.P. (2004). Persepsi mahasiswa UPBJJ-UT Medan tentang pelayanan akademik dan nonakademik yang diberikan oleh UPBJJ-UT Medan. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh 5:47-58. [3] Permadi, A. (2008). Analisis kebijakan pencegahan penyalahgunaan formalin pada produk perikanan (kasus di wilayah barat pantai utara Jawa). Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. [4] Pikunas J. (1969). Human Development, an Emergent Science. 3rd ed. Kogakusha: McGraw-Hill. [5] Rakhmat, D. (2000). Psikologi komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. [6] Sueca, N.P., Primayatna, I.B.G., Muliawan, K., Nada, W., Waskita, D.N. (2001). Faktor-faktor determinan pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang bangunan berlanggam Bali. Dimensi Teknik Arsitektur 29 (2) Desember 2001: 157 164. [7] Siregar, A. dan Pasaribu, R. (2000). Bagaimana Mengelola Media Korporasi Organisasi. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). Yogyakarta: Kanisius. [8] Thoha, M. (1999). Perilaku organisasi. Bandung: Rosdakarya.

[9] Yuliana, E. & Farida, I. (2007). Persepsi pengolah ikan terhadap keunggulan kitosan sebagai bahan pengawet alami pengganti formalin. Laporan Penelitian Dosen Muda. Tangerang: Universitas Terbuka. KEMBALI KE DAFTAR ISI