I. PENDAHULUAN. kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian.

dokumen-dokumen yang mirip
PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN. Sri Hery Susilowati 1

KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

V. PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sektor Pertanian memegang peran stretegis dalam pembangunan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Kesimpulan yang dapat dikemukakan terkait hasil penelitian, yaitu.

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

STRATEGI AGRICULTURAL-DEMAND-LED-INDUSTRIALIZATION DALAM PERSPEKTIF PENINGKATAN KINERJA EKONOMI DAN PENDAPATAN PETANI

PERAN SEKTOR AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERTANIAN

DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses berkelanjutan. merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

1.1 Latar Belakang Hasalah

VI. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP OUTPUT SEKTORAL, PENDAPATAN TENAGA KERJA DAN RUMAH TANGGA

VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Filipina, Malaysia dan lainnya yang mengalami distorsi ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan


Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

There is nothing more important than agriculture in governing people and serving the Heaven. Lao Tze Taode Jing (Abad 6 BC)

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

INDUSTRI.

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN ANGKA PENGGANDA SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

BAB I PENDAHULUAN. industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Pariwisata dunia akhir-akhir ini mengalami pasang surut karena pengaruh dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Herdiansyah Eka Putra B

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian internasional, diantaranya yaitu impor. Kegiatan impor yang dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

Pertumbuhan PDB atas dasar harga konstan tahun 1983

Pembangunan ekonomi berhubungan erat dengan perkembangan jumlah. penduduk, penyediaan kesempatan ke ja, distribusi pendapatan, tingkat output yang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bukti empiris menunjukkan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian sebagian besar negara berkembang. Hal ini dilihat dari peran sektor pertanian sebagai penyedia utama lapangan kerja dan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat. Tidak terbantahkan pula bahwa sektor pertanian menjadi penyangga ekonomi nasional pada saat krisis ekonomi. Johnston dan Mellor (1961) mengidentifikasi paling tidak ada 5 (lima) peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia tenaga kerja dan lapangan kerja terbesar sehingga transfer surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku untuk sektor industri dan jasa. Sektor pertanian menyediakan pasar bagi produk-produk sektor industri karena jumlah penduduk perdesaan yang sangat banyak dan terus meningkat. Sektor pertanian sebagai penghasil devisa dan tidak kalah penting sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian karena selama ini kantong-kantong kemiskinan sebagian besar berada di sektor pertanian. Peran sektor pertanian yang demikian besar dalam perekonomian Indonesia memiliki implikasi penting dalam pembangunan ekonomi. Selama era Orde Baru, pembangunan perekonomian Indonesia mulai Pelita I sampai dengan Pelita III meletakkan prioritas pada sektor pertanian sedangkan mulai Pelita IV prioritas pembangunan beralih pada sektor non pertanian terutama sektor industri dan jasa. Pembangunan sektor non pertanian dan jasa pada Pelita IV dan tahap berikutnya tersebut dirancang dengan memanfaatkan landasan yang telah dibangun selama Pelita sebelumnya, yaitu pembangunan sektor industri dan jasa yang mendukung sektor pertanian, khususnya pembanguan industri hulu dan industri hilir yang terkait dengan sektor pertanian.

2 Proses industrialisasi tersebut telah mengakibatkan perubahan peran sektor pertanian yang dramatis dalam perekonomian Indonesia, yang ditunjukkan melalui penurunan proporsi output sektor pertanian terhadap output nasional. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional telah turun drastis dari sekitar 47.6 persen pada tahun 1970 menjadi hanya 15.4 persen pada tahun 2004. Sebaliknya pangsa sektor non pertanian meningkat dari sekitar 52.4 persen menjadi 84.6 persen. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian pun mengalami serupa. Selama periode 1982-2004 penyerapan tenaga kerja sektor pertanian secara konsisten terus mengalami penurunan, yaitu dari 54.7 persen menjadi 19.8 persen (BPS, 2004). Menurunnya peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional juga dapat dilihat dari menurunnya pangsa sektor pertanian dalam struktur ekspor Indonesia. Pangsa ekspor sektor pertanian dan minyak pada tahun 1970 masing-masing sebesar 66 persen dan 33 persen, pada tahun 1980 pangsa ekspor sektor pertanian turun menjadi hanya 13.6 persen sementara ekspor minyak naik menjadi 82 persen. Namun dengan menurunnya harga minyak, peranan ekspor minyak pada tahun 1990 turun menjadi hanya sekitar 40 persen dan digantikan oleh sektor industri yang naik dari sekitar 4 persen pada tahun 1980 menjadi sekitar 42 persen pada tahun 1990. Pangsa ekspor sektor industri semakin meningkat mencapai rata-rata 69.4 persen pada tahun 2004, sementara pangsa ekspor sektor pertanian hanya 3.4 persen (BPS, 2004) Proses industrialisasi tersebut dalam pelaksanaannya melalui pembangunan industri substitusi impor dan promosi ekspor yang pada umumnya industri padat modal yang bersifat foot lose industry, tidak berdasarkan pada sumberdaya dalam negeri melainkan tergantung pada sumberdaya impor sehingga potensi sumberdaya pertanian tidak dimanfaatkan secara optimal. Strategi pembangunan nasional dengan menitikberatkan pada strategi industri substitusi impor dan promosi ekspor tersebut dari sisi pertumbuhan ekonomi dinilai cukup

3 berhasil sehingga sampai sebelum masa krisis, pertumbuhan ekonomi mampu mencapai rata-rata di atas 7 persen per tahun. Namun pembangunan industri yang demikian menghasilkan perekonomian yang rapuh, tidak efisien dan rentan terhadap gejolak ekonomi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi tahun 1997, sektor industri mengalami kehancuran karena tidak terintegrasi secara kuat dengan sektor pertanian sebagai penyedia bahan baku. Dampak paling nyata adalah bertambahnya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Pada saat puncak krisis ekonomi terjadi penduduk miskin meningkat cukup tajam dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 (BPS, 2002a). Defisit anggaran meningkat secara tajam pada tahun 1999 mencapai hampir Rp 50 trilliun atau hampir 4 persen dari PDB dan hutang pemerintah sebesar US $150 096 juta atau sekitar 113 persen terhadap PDB (OECD, 2000). Paradigma baru pembangunan ekonomi menempatkan strategi Agricultural Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain (Adelman, 1984; DeJanvri, 1984). Oleh karena sebagian besar sumberdaya berada di sektor pertanian dan sebagian besar penduduk Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian, maka strategi ADLI akan menciptakan pertumbuhan pendapatan di kalangan rumah tangga pertanian yang sebagian besar memiliki keterkaitan kegiatan konsumsi sehingga menciptakan pasar bagi produk-produk domestik termasuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri, dan hal ini akan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan perekonomian nasional yang cepat dan merata. Studi-studi secara empiris yang telah dilakukan terdahulu mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian dan sektor industri (Bautista et al., 1999; Uphoff, 1999; Daryanto dan Morison, 1992). Berdasarkan argumentasi di atas, industrialisasi pertanian, melalui pengembangan sektor agroindustri, dapat dipandang sebagai transisi yang paling tepat dalam

4 menjembatani proses transformasi ekonomi di Indonesia. Bersama-sama dengan sektor pertanian sektor agroindustri akan dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan mengurangi kemiskinan. Dengan demikian peran sektor pertanian dalam PDB tidak dilihat dari produk primer yang dihasilkan saja, melainkan harus dikaitkan dengan industri pengolahan dan pemasaran yang diciptakan dan perannya dalam menarik dan mendorong pembangunan khususnya di perdesaan. Pengembangan sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran, yaitu: (1) sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dengan menciptakan pasar permintaan input untuk produk olahannya, (2) menciptakan lapangan kerja, (3) meningkatkan nilai tambah, (4) meningkatkan penerimaan devisa, dan (5) meningkatkan pemerataan pembagian pendapatan. 1.2. Perumusan Masalah Tidak dipungkiri pembangunan ekonomi dengan meletakkan basis pada pembangunan sektor industri telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita. Namun tujuan pembangunan yang berlandaskan Trilogi Pembangunan bukanlah pencapaian pertumbuhan atau peningkatan pendapatan semata, melainkan pembangunan yang berdasarkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga landasan tersebut merupakan strategi yang dapat menjamin kontinuitas pembangunan di masa datang. Namun ketika strategi pembangunan lebih menekankan pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi, terjadi ketimpangan dalam pencapaian pembangunan sehingga aspek pemerataan menjadi agak terabaikan. Sebagai ilustrasi, pendapatan per kapita masyarakat meningkat dari Rp. 30 900 pada tahun 1970 menjadi Rp. 9 455 400 pada tahun 2004. Namun dibalik keberhasilan tersebut, kesenjangan pendapatan masyarakat ternyata semakin melebar. Apabila pada tahun 1985 perbandingan pendapatan per kapita buruh tani dibandingkan rumah tangga

5 bukan pertanian golongan atas di kota sebesar 1: 3.66 maka pada saat krisis ekonomi tahun 1998 menjadi 1: 9.53 (BPS, 1998). Penduduk miskin meningkat dari 17.6 persen pada tahun 1996 menjadi 23.4 persen pada tahun 1999 meskipun setelah krisis berakhir kemiskinan cenderung menurun namun penurunannya belum seperti yang diharapkan. Penduduk miskin pada tahun 2004 masih sebesar 16.7 persen (BPS, 2004). Millenium Development Goal mentargetkan pengurangan kemiskinan mencapai 50% pada tahun 2015 sehingga aspek kemiskinan masih menjadi permasalahan serius bagi pemerintah. Secara historis kondisi di atas tidak terlepas dari strategi pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Pembangunan ekonomi melalui strategi industrialisasi substitusi impor yang telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970 selama lebih dari satu dasawarsa secara empiris ternyata telah gagal memperkuat perekonomian dalam negeri secara merata. Fasilitas subsidi dan proteksi banyak diberikan kepada industri (Gillis et al., 1987) dan kesemuanya hanya dinikmati oleh pemilik modal sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di perdesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di perdesaan. Keadaan ini diperkuat oleh lemahnya keterkaitan antara sektor industri dengan sektor pertanian karena industri subsitusi impor tersebut sebagian besar menggunakan komponen input impor. Impor bahan baku untuk industri selama periode 1989 sampai dengan tahun 2004 mencapai lebih dari 55 persen dari total nilai impor bahan baku penolong (BPS, 2004). Strategi substitusi impor tersebut pada hakikatnya juga merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus. Dapat dikatakan pembangunan ekonomi melalui strategi substitusi impor pada dasarnya lebih berorientasi kepada pertumbuhan dibanding pemerataan (Arief, 1990; Basalim et al., 2000). Sementara strategi industri yang berorientasi ekspor (export-led industrialization) yang dilakukan pada periode berikutnya, yang mengandalkan permintaan ekspor dengan

6 modal asing sebagai penggerak pertumbuhan, ternyata semakin memperlebar kesenjangan antara sektor pertanian dan non pertanian serta rentan terhadap perubahan nilai tukar. Insentif yang diciptakan bagi perusahaan ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan bagi pemodal seperti halnya pada industri substitusi impor (Gillis et al., 1987; Arief, 1990). Ketidakmampuan strategi industrialisasi dalam mengangkat perekonomian secara berkesinambungan terlihat pada saat terjadi krisis ekonomi. Pertumbuhan produksi hampir seluruh sektor industri mengalami goncangan sehingga mencapai angka minus (Tabel 1). Tabel 1. Pertumbuhan Produksi Industri Menurut Sektor Tahun 1996 1999 SEKTOR Pertumbuhan (%) 1996 1997 1998 1999 1. Makanan, minuman dan tembakau 17.2 14.9-2.1 2.6 2. Tekstil, kain dan kulit 8.7-4.4-13.0 0.4 3. Kayu dan produk kayu 3.2-2.1-18.5-9.4 4. Kertas dan produk kertas 6.9 9.0-11.0 2.8 5. Kimia 9.1 3.4-23.2 4.7 6. Barang tambang mineral non logam 11.0 4.5-29.4 2.4 7. Logam dasar 8.0-1.4-28.7-3.9 8. Peralatan mesin 4.6-0.4-52.0-9.9 9. Industri lainnya 9.7 6.0-23.6 6.6 Total 11.7 7.4-14.5 1.7 Sumber: UNIDO (2000) Dampak krisis ekonomi tersebut sangat terasa terutama pada industri-industri yang banyak menggunakan input impor yaitu industri ringan (light manufacture), seperti industri tekstil, kulit, kayu lapis dan kertas dan industri berat (heavy manufacture) seperti industri logam dasar, barang tambang, kimia dan peralatan mesin. Namun industri-industri yang berbasis pertanian, yaitu industri makanan, minuman dan tembakau, mengalami goncangan yang relatif kecil. Menurunnya kinerja sektor industri tersebut disebabkan oleh beberapa permasalahan yang dihadapi, yaitu produktivitas yang rendah, kandungan input impor yang

7 tinggi sehingga rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, kesenjangan teknologi baru, kurangnya pasar ekspor serta rasio konsentrasi pasar yang berlebihan. Sebagai ilustrasi nilai tambah per tenaga kerja pada tahun 1995 hanya sebesar US $ 6 300, dua setengah kali lebih rendah dibanding Malaysia dan Phillipines (UNIDO, 2000). Pangsa nilai input impor sektor industri secara keseluruhan meningkat dari 23 persen pada tahun 1993 menjadi 33 persen pada tahun 1998, bahkan untuk industri tekstil, kimia, logam dan alat-alat mesin, pangsa input impor berkisar 30 sampai 64 persen (UNSFIR, 2004). Pola pemilikan industri sangat terkonsentrasi. Sebelum masa krisis sebanyak 10 persen keluarga menguasai sebanyak 60 persen kapitalisasi pasar (World Bank, 1999) sehingga menyebabkan semakin melebarnya kesenjangan antara industri besar dan industri kecil. Namun demikian, kehancuran sektor industri pada masa krisis dapat dipandang sebagai blessing in disguise bagi sektor industri di Indonesia (Soesastro, 1999) karena pengalaman tersebut akan membawa pembaruan dan mengubah prioritas strategi pembangunan industri masa depan ke arah industri yang lebih tahan terhadap goncangan karena dibangun berdasarkan sumberdaya dalam negeri. Strategi tersebut adalah strategi Agricultural Demand-Led Industrialization atau strategi ADLI, yaitu strategi pembangunan yang menitikberatkan sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor lainnya, (Adelman,1984; Ranis, 1984). Berdasarkan konsep strategi ADLI tersebut industri yang dikembangkan adalah industri yang berbasis pertanian (agricultural based) yaitu sektor agroindustri. Ketangguhan industri yang berbasis pertanian telah terbukti pada masa krisis. Sektor agroindustri tidak banyak terpengaruh oleh krisis dan dengan cepat mengalami pemulihan. Ketangguhan industri pertanian dalam menghadapi goncangan ekonomi dikarenakan industri yang berbasis pertanian, terutama industri pengolahan makanan, minuman dan tembakau menggunakan bahan baku penolong impor yang relatif kecil, hanya sekitar 7 persen dari total impor bahan baku penolong tahun 1998 dibandingkan

8 dengan industri manufaktur lain secara keseluruhan sebesar 60.9 persen (BPS, 1999). Meskipun pada tahun 2004 impor bahan penolong cenderung menurun, namun secara keseluruhan jumlahnya masih tetap tinggi, dimana industri manufaktur sebesar 49 persen sedangkan industri makanan, minuman dan tembakau sebesar 5.6 persen (BPS, 2004). Dengan komponen input impor yang rendah, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar pada saat krisis ekonomi akan mendatangkan keuntungan ekspor yang relatif lebih besar bagi produsen agroindustri. Pentingnya peran sektor agroindustri bukan hanya dilihat dari ketangguhannya dalam menghadapai krisis ekonomi namun juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lain. Keterkaitan tersebut tidak hanya keterkaitan produk, tetapi juga melaui media keterkaitan lain, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja (Rangarajan, 1982; Haggblade et al., 1991). Hal ini berimplikasi bahwa dengan meningkatkan investasi di sektor agroindustri akan tercipta kesempatan kerja dan sumber pendapatan masyarakat, sehingga rumah tangga petani tidak hanya menggantungkan sumber penghidupan mereka pada sebidang tanah yang semakin menyempit, namun secara luas mampu mendukung pertumbuhan produktivitas. Kesemua itu akan berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan yang sebagian besar berada di sektor pertanian. Pentingnya peran sektor agroindustri juga terlihat dari nilai tambah yang diciptakan sebesar 23.3 persen dari total nilai tambah sektor industri tahun 2004. Peran tersebut akan semakin penting di masa datang dengan meningkatnya penduduk dan pendapatan per kapita serta urbanisasi yang kesemuanya akan mendorong peningkatan permintaan pangan olahan yang berkualitas. Dikaitkan dengan upaya pengurangan kemiskinan, perspektif ke depan pengembangan sektor agroindustri akan sangat penting mengingat kantong kemiskinan saat ini sebagian besar berada di perdesaan. Namun selama ini sektor agroindustri belum menunjukkan perkembangan secara optimal. Selama sepuluh tahun terakhir perkembangan jumlah industri skala menengah

9 dan besar hanya bertambah 34 perusahaan atau sekitar 0.74 persen dari total jumlah industri (BPS, 2006). Ditinjau dari perspektif distribusi pendapatan, konsep redistribution with growth (pemerataan dengan pertumbuhan) selain akan menghasilkan pertumbuhan juga diharapkan akan menghasilkan distribusi pendapatan masyarakat yang lebih baik. Pemerataan tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan melalui unsur kebijakan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang dicapai bisa sejalan dengan pemerataan dengan adanya kebijakan dan intervensi pemerintah. Dalam kondisi anggaran pembangunan dan sumberdaya saat ini yang semakin terbatas kebijakan pengembangan agroindustri secara targetted akan sangat relevan dilakukan. Melalui strategi triple track, yaitu pro growth, pro employment and pro poor, kebijakan pengembangan agroindustri diprioritaskan pada industri-industri yang selain mampu menciptakan nilai tambah tinggi, juga bersifat padat tenaga kerja (labor intensive) sehingga memiliki penyerapan tenaga kerja yang tinggi, mampu mempercepat pertumbuhan sektor-sektor lain serta mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga golongan bawah secara lebih baik. Oleh karena itu menjadi penting melakukan identifikasi agroindustri apa saja yang memiliki kriteria di atas sehingga layak dijadikan prioritas dalam pengembangan sektor agroindustri di Indonesia. Dari uraian di atas, pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Benarkah sektor agroindustri memiliki peran yang lebih besar dibandingkan sektor lainnya dalam meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga? 2. Agroindustri apa yang layak mendapat prioritas untuk dikembangkan dalam upaya memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan? 3. Seberapa besar pengembangan agroindustri dapat memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi kemiskinan?

10 4. Kebijakan apa yang dinilai mampu menumbuhkan sektor agroindustri secara berkualitas, yaitu secara spesifik mampu meningkatkan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta mengurangi kesenjangan dan kemiskinan rumah tangga? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian secara umum adalah mengetahui peran dan dampak pengembangan sektor agroindustri terhadap perekonomian Indonesia, distribusi pendapatan dan kemiskinan. Secara lebih spesifik tujuan penelitian adalah: 1. Menganalisis peran sektor agroindustri dalam peningkatan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja nasional dan pendapatan rumah tangga. 2. Menganalisis peran agroindustri makanan dan non makanan dalam peningkatan output, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga serta menentukan agroindustri prioritas. 3. Menganalisis dampak berbagai kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Manfaat hasil penelitian ini adalah pemahaman yang lebih mendalam bagi masyarakat mengenai peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Bagi pemerintah, manfaat hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan prioritas kebijakan pengembangan sektor agroindustri yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Analisis dampak pengembangan agroindustri dalam penelitian ini difokuskan pada analisis aspek makroekonomi dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi

11 (SNSE). Model ini digunakan untuk menganalisis peranan sektor agroindustri dalam pembentukan output, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan perannya dalam meningkatkan pendapatan sektor-sektor lain di dalam perekonomian nasional. Sektor agroindustri dikelompokkan ke dalam agroindustri makanan dan agroindustri non makanan yang didisagregasi ke beberapa jenis industri. Selain itu dengan mengkombinasikan model SNSE dengan data SUSENAS penelitian ini juga menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi yang dimaksud secara umum meliputi kebijakan: (1) peningkatan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian primer dan agroindustri, (2) peningkatan investasi agroindustri, (3) peningkatan ekspor agroindustri, (4) insentif pajak di sektor agroindustri, dan (5) redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan rendah. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui jalur atau arah stimulus pada sektor agroindustri ditransmisikan ke rumah tangga. Keterbatasan utama dari studi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan data untuk pendisagregasian sektor agroindustri ke berbagai jenis industri makanan dan non makanan dan keterbatasan dalam menyususn skenario kebijakan terkait dengan keterbatasan model SNSE yang digunakan.