ANALISA QUALITY IMPROVEMENT PADA PERUSAHAAN READY MIX CONCRETE PT. X DI BALI Sugihya Artha Dwipayani 1) dan I Putu Artama Wiguna 2) 1) Program Studi Pascasarjana Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jl. Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail: anadwipa@gmail.com 2) Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Meningkatnya kemajuan dunia konstruksi di masa kini tentunya turut menimbulkan peningkatan kebutuhan terkait material yang digunakan, salah satunya ialah meningkatnya kebutuhan akan ready mix concrete. Banyaknya permintaan akan ready mix concrete yang tidak dibarengi dengan kontrol kualitas akan menimbulkan variasi kualitas pada produk. Fenomena ini terjadi di PT. X, salah satu perusahaan manufaktur yang memproduksi ready mix concrete. Analisa data dilakukan dengan mengaplikasikan Lean Six Sigma dengan output berupa faktor penyebab variasi kualitas. Data sekunder yang digunakan berupa data kuat tekan yang tercatat dalam intern perusahaan, dianalisis melalui beberapa tahapan. Pertama dianalisis menggunakan control chart untuk mengetahui jumlah data yang diluar batas atas dan batas bawah, dilanjutkan dengan mencari tingkat DPMO (Defects per Million Opportunities) yaitu indikasi berapa banyak kesalahan yang akan muncul jika sebuah aktivitas diulang satu juta kali. Kemudian dilakukan analisis pareto diagram untuk mengetahui permasalahan utama yang akan dilakukan tindakan improvement. Terakhir dilakukan analisis untuk mengetahui proses yang akan dilakukan improvement menggunakan fishbone diagram. Hasil analisis menunjukkan Tingkat DPMO ready mix concrete mutu K-250 tahun 2011 di PT. X berada pada Level 2,78, dengan faktor penyebab variasi utama adalah pemesanan material, penyimpanan material, proses mixing, dan pengiriman. Tindakan improvement untuk meningkatkan kualitas dapat dilakukan dengan pengklasifikasian secara jelas kualitas material yang dipesan, melakukan pengujian untuk material yang datang, menyimpan material dengan baik, membentuk departemen quality control, serta penetapan tarif pengiriman yang jelas. Kata kunci: variasi kualitas, lean six sigma, control chart, pareto, fishbone PENDAHULUAN PT X adalah perusahaan yang memproduksi beton siap pakai atau yang lebih dikenal dengan ready mix concrete. Ready Mix Concrete dengan sebutan Beton dalam bahasa Indonesia adalah bahan gabungan yang terdiri dari agregat halus dan agregat kasar yang dicampur dengan air serta semen sebagai pengikat dan pengisi antara agregat kasar dan halus yang terkadang ditambahkan pula zat additive atau admixture jika diperlukan (Subakti, Irmawan, & Piscesa, 2012). Terdiri dari beberapa unsur penyusunnya, kualitas bahan dan proses pelaksanaannya harus dikendalikan agar dicapai beton dengan klasifikasi sesuai rencana. B-22-1
Ready mix concrete memiliki berbagai macam tingkatan kualitas, sehingga diperlukan ketepatan di setiap tahapan dalam proses pembuatan produk hingga sampai ke konsumen agar konsumen mendapatkan produk sesuai dengan kualitas yang diminta (Petchu, Anagnoste, & Draghici, 2011). Setiap tahapan pengerjaan dilapangan memegang peranan penting dalam menghasilkan ready mix concrete yang baik, sehingga pengontrolan di tiap tahapannya diperlukan untuk menjaga kualitas yang terproduksi berada pada ambang batas yang telah ditetapkan. Data PT. X untuk beton mutu K-250 tahun 2011 menunjukkan terjadi kegagalan produksi sebanyak 3 kali dari total 296 pengujian, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pemenuhan kebutuhan konsumen tidak dapat ditinjau dari segi kuantitas saja tetapi juga dari segi kualitas. Salah satu filosofi peningkatan kualitas adalah filosofi lean six sigma yang merupakan suatu filosofi peningkatan kualitas secara kontinyu, dimana variabilitas proses berusaha diminimalisasi sehingga hanya terjadi 3,4 kegagalan dari satu juta kemungkinan terjadinya kegagalan. Darjanto, Soperiyono, Kuntohadi, Subakti dan Adi (2004) melakukan evaluasi terhadap 30 benda uji yang diambil secara acak. Akan dilihat apakah terdapat penurunan kualitas dalam sampel yang diambil. Pengontrolan dilakukan dengan menggunakan Statistical Process Control, dilakukan pengontrolan terhadap benda uji dengan kekuatan tekan rencana adalah 225 kg/cm 2. Berdasarkan penggunaan Statistical Process Control pada peta kontrol Average terjadi variasi penyebab khusus, yakni trends. Kusnul (2000) melakukan penelitian terhadap performance produk beton suatu perusahaan ready mix, dilakukan evaluasi terhadap proses produksi dan hasil produksi dari perusahaan ready mix. Analisa dilakukan terhadap batch dan hasil uji kuat tekan, dianalisa menggunakan analisa deskriptif, pengendalian dianalisa menggunakan alat statistik berupa control chart. Hasil analisa batch menunjukkan standar deviasi percent defective, capability index, koefisien variasi, serta kemungkinan penyebab variasi dari masing-masing variabel (semen, agregat, air). Sedangkan hasil analisa kuat tekan diketahui kuat tekan rata-rata, standar deviasi, kuat tekan karakteristik merupakan kemungkinan yang menjadi penyebab variasi kuat tekan termasuk variasi dari kemampuan teknisi dalam proses uji kuat tekan. Penelitian lain terkait ready mix dilakukan oleh Wardhana dan Bimantara (2012), melakukan rancangan strategi untuk meningkatkan kinerja bagian operasi PT. Jaya Readymix menggunakan metode Theory of Constraint Thinking Process. Analisa ini timbul karena keterlambatan pengiriman kerap terjadi yang berakibat pada penolakan oleh pelanggan. Berdasarkan analisa, akar masalah kinerja operasi khususnya mengenai pengiriman tepat waktu disebabkan karena supir bekerja tanpa adanya penilaian kinerja. Selanjutnya dirancang strategi untuk meningkatkan kinerja bagian pengiriman dengan melakukan lima program. Lima program tersebut adalah : (1) sosialisasi prosedur, (2) menerapkan kebijakan penilaian kinerja, (3) mengaktifkan Slump Stand 2, (4) menerapkan sistem upah baru, dan (5) menerapkan sistem briefing sebelum pergantian shift. Meminimalisasi variasi kualitas di area industri manufaktur tidak hanya dapat dilakukan dengan menggunakan control chart, hal tersebut dapat pula dilakukan dengan menerapkan Lean Six Sigma. Penggabungan Lean dengan Six Sigma di bidang manajemen mutu bersinergi untuk perbaikan di bidang kualitas. Six Sigma berfokus pada proses pengurangan variasi dan pengendalian proses, sedangkan Lean akan B-22-2
menetapkan standar dan flow di tiap prosesnya. Hal ini ditemukan oleh riset yang dilakukan oleh Su, Chiang dan Chang (2006). Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui penyebab dari variasi kualitas yang terjadi pada PT. X dan menganalisis tindakan quality improvement yang bisa dilaksanakan untuk meminimalisir variasi tersebut. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Lean Six Sigma alat dalam pengolahan data, mengunakan fase DMAIC ( Define, Measure, Analyse, Improvement, dan Control) yang merupakan fase dalam penerapan Six Sigma (Pande, Neuman, & Cavanagh, 2003). Penelitian dilakukan dengan identifikasi kondisi lapangan, mencari permasalahan yang ada, mencari penyebabnya dan memberikan tindakan improvement untuk memperbaiki variasi kualitas yang terjadi. Pengumpulan Data untuk penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari data yang tercatat di perusahaan serta wawancara dengan pihak PT. X dan meninjau dari penelitian terdahulu yang relevan. Tahap Define Define merupakan langkah operasional pertama dalam quality improvement dalam Six Sigma. Tool yang digunakan pada penelitian ini adalah Control Chart. Dengan menetapkan batas atas dan batas bawah yang disesuaikan dengan standar deviasi beton dalam SNI (2002), akan terlihat data yang keluar dari batas tersebut, disebut dengan waste. Waste tersebut adalah kualitas yang bervariasi. Tahap Measure Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengukuran utama dari efektivitas dan efiensi dan menerjemahkannya kedalam konsep Six Sigma. Data yang akan diolah berupa data kualitatif. Contoh data atribut yang berkenaan dengan kualitas adalah banyaknya cacat pada produk ( Defects Per Milion Opportunities /DPMO). DPMO mengindikasikan jumlah kesalahan yang terjadi jika sebuah aktivitas diulang sebanyak satu juta kali (Pande, Neuman, & Cavanagh, 2003). Tahap Analyse Tool yang digunakan pada fase ini adalah Diagram Pareto. Diagram Pareto dibentuk berdasarkan prinsip bahwa 80% permasalahan disebabkan oleh 20% akar permasalahannya. Sehingga dengan memfokuskan pada akar masalah, 80% masalah dapat terselesaikan. Masalah disusun berdasarkan prioritas atau proporsinya dengan menggunakan format batang. Output dari tool ini adalah penyebab dari variasi kualitas yang terjadi. Tahap Improvement Improve merupakan langkah operasional keempat dalam peningkatan kualitas Six Sigma. Dalam tahap ini akan dilakukan serangkaian ekperimen untuk menentukan titik yang paling optimum sesuai dengan target. Akan dilakukan brainstorming oleh peneliti dengan pihak PT. X untuk melihat akar permasalahan yang terjadi. Tahap Control Fase control merupakan fase untuk memantau agar tindakan improvement yang diusulkan benar-benar diaplikasikan. Mekanisme control ini dapat dilakukan dengan B-22-3
pembuatan control sheet. Control Sheet dapat membantu supervisor/quality control department/operator dalam melakukan pengontrolan terhadap tiap prosesnya agar kualitas tetap terjamin. HASIL DAN PEMBAHASAN I Chart of K-250 2011 450 1 1 1 UCL=430,1 400 Individual Value 350 300 250 _ X=298,6 200 150 1 31 61 91 121 151 181 Observation Gambar 1. Control Chart K-250 2011 Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai rata-rata dan standar deviasi pada produk K-250 masing-masing sebesar 298,65 dan 43,83. Sehingga batas pada diagram kontrol yang digunakan adalah sebesar 430,1 untuk batas atas dan 167,2 untuk batas bawah. Berdasarkan diagram kontrol dari 296 produk dapat diketahui terdapat 3 produk K-250 yang melebihi batas kontrol, yaitu pada produk ke 60, 66, dan 150. Gambar kapabilitas proses tersebut menunjukkan kapabilitas proses dari kuat tekan tipe K-250 pada tahun 2011-2012. Rata-rata kuat tekan untuk produk K-250 yaitu 298,65 sudah lebih besar daripada target 250 yang dapat diartikan proses produksi sudah cukup bagus, walaupun masih terdapat beberapa produk dengan kuat tekan yang di luar batas kontrol. Ekor kurva yang melebihi batas atas menunjukkan sebagian besar produk yang di luar batas kontrol disebabkan karena memiliki nilai yang lebih besar dari batas atas. Sedangkan nilai PPM Total (Exp. Overall Performance) sebesar 2710,66 memiliki arti bahwa apabila terdapat 1juta produk yang diproduksi maka sekitar 2711 produk tidak berada dalam batas kontrol. 211 241 271 LCL=167,2 Process Capability of K-250 2011 Process Data LSL 167,2 Target 250 USL 430,1 Sample Mean 298,646 Sample N 296 StDev(Within) 28,8115 StDev(O v erall) 43,8345 LSL Target USL Within Overall Potential (Within) C apability C p 1,52 C PL 1,52 C PU 1,52 C pk 1,52 O v erall C apability Pp 1,00 PPL 1,00 PPU 1,00 Ppk 1,00 C pm 0,42 200 240 280 320 360 400 440 O bserv ed Performance PPM < LSL 0,00 PPM > USL 10135,14 PPM Total 10135,14 Exp. Within Performance PPM < LSL 2,53 PPM > USL 2,53 PPM Total 5,06 Exp. O v erall Performance PPM < LSL 1355,73 PPM > USL 1354,94 PPM Total 2710,66 Gambar 2. Process Capability K-250 2011 B-22-4
Level sigma yang dihasilkan menunjukkan bahwa proses produksi belum mencapai 3σ sehingga diperlukan peningkatan kualitas produk. Walaupun belum mencapai 3σ, level tersebut menunjukkan bahwa sudah 99,73% produk berada dalam batas kontrol dari keseluruhan yang diproduksi. Level Sigma : X LSL Z LSL ˆ 298,65 67,2 3 28,8115 Z USL USL X 430,1 298,65 3 ˆ 28,8115 Z. Bench Z. Bench (1 Pr( X LSL) Pr( X (1 0,00135 0,00135) USL)) (1 Pr( X (0,9973) 2,78 3) Pr( X 3)) Berdasarkan hasil diagram kontrol diketahui bahwa keseluruhan jumlah produk paling yang berada diluar batas kontrol adalah sejumlah 3. Sehingga dari 3 produk tersebut dikelompokkan menurut penyebab cacat yang ditunjukkan pada diagram pareto. Diagram pareto dapat digunakan untuk menentukan prioritas untuk mengurangi jumlah produk yang cacat (diluar batas kontrol). Diagram pareto tersebut menunjukkan bahwa penyebab terbesar terjadinya cacat sebesar 22,2% adalah dari gradasi agregat dan variasi agregat, sehingga penanganan yang terlebih dahulu harus dilakukan dimulai dengan agregat. Sementara itu untuk faktor yang lain memiliki presentase penyebab kecacatan kurang dari 15%. Frekuensi Faktor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Gradasi agregat Pareto Chart Faktor Kegagalan Variasi agregat Kondisi alat pengujian Kontrol slump Pelaksanaan testing Pengambilan sampel Perawatan benda uji Frekuensi 2 2 1 1 1 1 1 Percent 22,2 22,2 11,1 11,1 11,1 11,1 11,1 Cum % 22,2 44,4 55,6 66,7 77,8 88,9 100,0 Gambar 3. Pareto Chart Faktor Penyebab Variasi Setelah diketahui permasalahan yang menyebabkan terjadinya variasi kualitas pada ready mix concrete yang diproduksi, peneliti melakukan brainstorming dengan pihak dari PT. X mengenai proses yang sekiranya sangat berpengaruh terhadap peristiwa ini. 100 80 60 40 20 0 Percent B-22-5
Ready Mix sampai di site Pemesan Memakai material diluar standar untuk menaikkan kualitas produk Polusi yang ditimbulkan oleh proses mixing belum tertangani Proses mixing belum terkontrol dengan baik Pembuatan benda uji tidak sesuai prosedur Hasil tes benda uji tidak sesuai kualitas pesanan Hasil tes slump tidak sesuai ketentuan Supir tidak mendapatkan penilaian kinerja Armada mengalami keterlambatan sampai ke site pemesan Permintaan pelanggan belum terpenuhi Material (agregat) mengakibatkan variasi kualitas Integrasi antara kualitas, biaya, dan waktu tidak berjalan dengan baik Material (agregat) berlumpur Proses Yang Bermasalah Kualitas material mempengaruhi terjadinya variasi kualitas Benda uji tidak Supir tidak terawat dengan baik termotivasi Lokasi perusahaan berpengaruh terhadap kesuksesan penjualan Supir tidak mengetahui alamat pengiriman dengan jelas Jam kerja supir tidak sesuai standar Pengiriman jarak jauh melebihi biaya transportasi Kesalahan Pemesanan Kualitas material kurang Keterlambatan Pemesanan Material yang dipesan kosong Material belum mengalami pengujian Tes/Uji Lab Gambar 4. Fishbone Diagram Proses Penyebab Variasi Terlihat dari gambar bahwa proses yang bermasalah ialah: (1) Pemesanan Material; (2) Penyimpanan Material; (3) Proses Mixing; dan (4) Pengiriman. Proses yang bermasalah diatas dilakukan analisis, lalu diusulkan tindakan Quality Improvement berupa : (1) Klasifikasi jelas mengenai kualitas dan spesifikasi material yang dipesan; (2) Melakukan pengujian terlebih dahulu kepada material yang datang sebelum diterima/ditolak; (3) Penyimpanan material perlu dilakukan evaluasi agar kualitas tetap terjaga; (4) Membuat departemen Quality Control guna melakukan pengontrolan kualitas disetiap proses, terutama saat proses mixing yang merupakan inti dari proses produksi; (5) Penetapan tarif pengiriman yang jelas, agar tidak mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Selanjutnya dilaksanakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini dilakukan penyusunan prosedur dan hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari Peneliti kepada Pemilik atau Penanggung Jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ready Mix Concrete mutu K-250 tahun 2011 menunjukkan terjadi kegagalan produksi sebanyak 3 kali dari total 296 pengujian, terletak pada level 2,78. Diperlukan tindak lanjut yang serius dalam penanganannya untuk memperbaiki kualitas serta meningkatkannya. 2. Bagian atau proses yang menjadi sumber masalah kualitas tersebut adalah : (1) Pemesanan Material; (2) Penyimpanan Material; (3) Proses Mixing; dan (4) Pengiriman. B-22-6
3. Diusulkan tindakan Quality Improvement berupa (1) Klasifikasi jelas mengenai kualitas dan spesifikasi material yang dipesan; (2) Melakukan pengujian terlebih dahulu kepada material yang datang sebelum diterima/ditolak; (3) Penyimpanan material perlu dilakukan evaluasi agar kualitas tetap terjaga; (4) Membuat departemen Quality Control guna melakukan pengontrolan kualitas disetiap proses, terutama saat proses mixing yang merupakan inti dari proses produksi; (5) Penetapan tarif pengiriman yang jelas, agar tidak mempengaruhi profitabilitas perusahaan. Untuk memperbaiki hasil penelitian ini, maka disarankan oleh penulis untuk penelitian selanjutnya untuk: 1. Dapat dilakukan analisa berupa perhitungan biaya untuk mengetahui berapakah besaran biaya yang dibutuhkan untuk peningkatkan kualitas. 2. Adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perubahan level sigma setelah dilakukan tindakan improvement. DAFTAR PUSTAKA. (2002). Standar Nasional Indonesia (SNI) Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung. Surabaya: ITSPress. Darjanto, H., Soepriyono, D., Kuntohadi, W., Subakti, A., & Adi, A. S. (2004). Pengendalian dan Evaluasi Kualitas Beton Dengan Metode Statistical Process Control (SPC). Neutron, 105-115. Kusnul, Y. (2000). Evaluasi Terhadap Performance Produk Beton Suatu Perusahaan Ready Mix. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pande, P. S., Neuman, R. P., & Cavanagh, R. R. (2003). The SIX SIGMA WAY (Bagaimana GE, MOtorola, dan Perusahaan Terkenal Lainnya Mengasah Kinerja Mereka). Yogyakarta: Andi. Petchu, A. J., Anagnoste, S., & Draghici, M. (2011). Lean Six Sigma a Challenge for Organizations Focused on Business Excellence. The Roamnian Economic Journal, 157-158. Su, C.-T., Chiang, T.-L., & Chang, C.-M. (2006). Improving Service Quality by Capitalising on an Integrated Lean Six Sigma Methodology. Int. J. Six Sigma and Competitive Advantage, Vol. 2, No. 1, 1-22. Subakti, A., Irmawan, M., & Piscesa, B. (2012). TEKNOLOGI BETON dalam Praktek I. Surabaya: ITSPress. Wardhana, A., & Bimantara, W. S. (2012). Perancangan Strategi Peningkatan Kinerja Bagian Operasi PT. Jaya Readymix Menggunakan Metode Theory Of Constraint Thinking Process. Journal of Management and Business Review Vol. 9, No. 1, 15-37. B-22-7