BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebuah proses yang menyebabkan pendapatan penduduk suatu wilayah meningkat dalam jangka panjang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan struktur ekonomi dan kelembagaan. Suryana (2000:3) menjelaskan terdapat tiga unsur dalam pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pembangunan ekonomi sebagai suatu proses berarti perubahan terus-menerus yang di dalamnya telah mengandung unsur-unsur kekuatan sendiri untuk investasi baru; (2) usaha meningkatkan pendapatan per kapita; (3) kenaikan pendapatan per kapita harus berlangsung dalam jangka panjang. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan ekonomi harus dapat menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro, 2000:93). Maka dari itu pembangunan bukan hanya dilaksanakan dalam lingkup nasional, namun juga di lingkup daerah (regional). Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut (Aryad, 2010:374). Hal tersebut didukung dengan kebijakan otonomi daerah di bawah 1
2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk lebih bebas dalam mengembangkan perekonomian daerah sehingga pembangunan lebih optimal. Dari tujuan pembangunan daerah di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan tingkat ketimpangan pendapatan di daerah tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari data PDRB daerah dalam periode tertentu. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari perkembangan tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah. Maka dari itu pemerintah selalu menetapkan target laju pertumbuhan PDRB didalam perencanaan dan tujuan pembangunannya. Sedangkan untuk indikator ketimpangan pendapatan dapat dilihat dari perkembangan PDRB per kapita daerah tersebut. Ketimpangan pendapatan regional timbul karena tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonomi. Perbedaan tingkat pembangunan dapat membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar daerah yang akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antar daerah semakin besar dalam segi pendapatan. Terdapat daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat sedangkan daerah lain pertumbuhan ekonominya lambat. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan struktur daerah yang menjadikan dalam satu daerah terdapat wilayah yang maju dan wilayah yang kurang maju yang membuat daerah yang kurang maju kesulitan dalam mengejar ketertinggalan sehingga mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Lebih jelasnya disebutkan Emilia (2006:46) dalam modul ekonomi regional bahwa ketimpangan regional
3 disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya konsentrasi kegiatan ekonomi daerah, perbedaan alokasi investasi, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah, perbedaan sumber daya alam antar daerah, perbedaan kondisi demografis antar daerah, serta kurang lancarnya perdagangan antar daerah. Terdapat hubungan antara tingkat ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan oleh Simon Kuznet. Hipotesis hubungan tersebut menyatakan bahwa pada awal pertumbuhan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi yang cukup besar antar daerah mengakibatkan tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar daerah. Namun pada tahap berikutnya perbedaan laju pertumbuhan akan menurun sehingga distribusi pendapatan akan membaik. Hal ini ditandai dengan meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah sesuai dengan waktu yang berjalan (Kurniasih, 2013:37). Hipotesis ini menunjukkan bahwa kinerja pembangunan yang semakin membaik tiap tahunnya yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju pertumbuhan dan menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan daerah sehingga kurva yang terbentuk seperti U-terbalik. Sutarno dan Kuncoro (2003) menganalisis tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Banyumas tahun 1993-2000. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan tipologi Klassen, kecamatan di Kabupaten Banyumas cenderung masih relatif tertinggal. Pada periode pengamatan 1993-2000, terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan baik dianalisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks entropi Theil. Ketimpangan ini salah satunya diakibatkan
4 konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial. Hasil korelasi Pearson yang bernilai negatif secara statistik kurang kuat karena terbukti tidak signifikan. Kendati demikian, hipotesis Kuznets berbentuk U-terbalik terbukti berlaku di Kabupaten Banyumas periode 1993-2000. Puput Desi Kurnia Sari, dan Made Kembar Sri Budhi (2013) menganalisis tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Buleleng. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil tipologi Klassen, lima kecamatan termasuk dalam kategori daerah yang tumbuh cepat tapi tidak maju. Sedangkan empat kecamatan masuk dalam kategori daerah yang relatif tertinggal. Selama periode pengamatan tahun 2007-2009 angka ketimpangan yang dihitung menggunakan indeks Williamson dapat dikatakan bahwa ketimpangan di Kabupaten Buleleng cukup kecil (rendah). Pembuktian hipotesis Kuznets tidak berlaku di Kabupaten Buleleng karena grafik justru cenderung berbentuk U. Tutik Yuliani (2015) menganalisis tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar kabupaten di Kalimantan Timur. Hasil dari penelitian adalah Indeks Williamson mengalami peningkatan, yaitu 0,69 pada tahun 2010 dan 0,72 pada tahun 2012. Sedangkan hasil Indeks Entropi Theil semakin kecil namun masih di atas 1 sehingga dapat disimpulkan ketimpangan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur tiga tahun terakhir adalah tinggi. Ketimpangan pendapatan tersebut disebabkan oleh perbedaan kandungan sumber daya alam, perbedaan kondisi geografis, alokasi dana pembangunan antar wilayah. Hasil korelasi Pearson antara pertumbuhan dan
5 Indeks Williamson memiliki nilai korelasi negatif sebesar -0,333 yang artinya hubungan antara dua variabel berlawanan atau apabila pertumbuhan ekonomi meningkat maka ketimpangan pendapatan menurun. Dari beberapa penelitian yang membahas tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan suatu daerah seperti dipaparkan di atas dapat pula digunakan untuk menggambarkan keberhasilan pembangunan daerah tersebut dalam periode tertentu yang dapat dilihat dari grafik kurva U- terbalik sesuai Hipotesis Kuznets. Namun hal ini tidaklah mudah dilakukan tiap daerah untuk mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Blora (2014:22) menyebutkan bahwa Kabupaten Blora merupakan satu-satunya kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi pertambangan migas. Selain itu Kabupaten Blora juga dikenal sebagai penghasil kayu jati. Namun hal ini tidak menempatkan Kabupaten Blora sebagai kabupaten dengan PDRB yang besar. BPS Jawa Tengah (2014:236) dalam publikasi tinjauan PDRB kabupaten/kota se-jawa Tengah mencatat bahwa tingkat PDRB konstan seri 2010, Kabupaten Blora hanya menduduki posisi 25 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada tahun 2014. Perbedaan tingkat pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Blora yang dipengaruhi perbedaan potensi tiap kecamatan menyebabkan tingkat pendapatan regional yang berbeda pula.
6 Tabel 1.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2010 Kabupaten Blora Dirinci Tiap Kecamatan Tahun 2010-2014 (Jutaan Rupiah) Kecamatan Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Jati 314.502,79 327.300,41 336.183,83 347.443,36 350.825,97 Randublatun g 736.775,77 776.157,01 805.108,61 837.262,92 848.619,69 Kradenan 308.386,48 311.185,91 321.031,06 331.631,88 334.115,37 Kedungtuban 509.818,57 529.378,56 544.543,56 566.993,82 569.049,10 Cepu 2.699.618,25 2.857.494,87 3.019.830,41 3.228.199,56 3.421.862,54 Sambong 194.854,30 196.515,69 200.002,01 207.445,81 209.690,55 Jiken 224.743,87 226.976,52 235.759,03 243.686,43 249.656,61 Bogorejo 175.045,38 180.001,12 187.980,17 194.505,57 197.825,25 Jepon 520.207,11 548.828,45 573.911,99 606.223,11 637.940,28 Blora 1.644.877,94 1.743.905,20 1.853.057,26 1.972.055,48 2.111.718,37 Banjarejo 334.605,66 337.467,31 348.000,67 362.295,63 372.835,49 Tunjungan 448.051,62 466.286,80 500.998,40 528.812,48 557.986,76 Japah 249.113,92 260.818,29 272.071,85 280.905,04 282.696,81 Ngawen 698.926,04 740.782,04 781.739,38 820.647,06 866.787,80 Kunduran 693.361,72 698.778,18 728.233,70 760.083,14 782.508,70 Todanan 396.190,21 395.846,68 408.413,95 424.313,56 433.081,96 1.014.9079,6 10.597.723,0 11.116.865,9 11.712.504,8 12.227.201,2 Kab. Blora 2 3 0 6 6 Sumber: BPS, PDRB Kecamatan se-kab. Blora (2014:38) Berdasarkan tabel 1.1 dapat disimpulkan bahwa hanya Kecamatan Blora dan Kecamatan Cepu yang memiliki PDRB lebih besar daripada PDRB Kabupaten Blora tahun 2010-2014. PDRB terbesar dimiliki oleh Kecamatan Cepu dengan sumbangan terhadap PDRB kabupaten pun juga paling besar yaitu Rp3.421.862,54 pada tahun 2014 atau sebesar 27,99% dari total PDRB Kabupaten Blora tahun 2014. Sedangkan Kecamatan Blora berada diurutan ke-dua dengan PDRB pada tahun 2014 sebesar Rp2.111.718,37. Secara keseluruhan dari tabel di atas menggambarkan bahwa PDRB Kabupaten Blora mengalami kenaikan tiap tahunnya selama 2010-2014, namun terdapat perbedaan tingkat PDRB antar kecamatan dengan jarak yang cukup lebar.
7 Dari uraian latar belakang di atas, maka diperoleh gambaran untuk mengkaji kondisi pembangunan ekonomi daerah di Kabupaten Blora dengan membahas lebih lanjut tentang laju pertumbuhan ekonomi dan struktur pertumbuhan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Blora, serta ketimpangan pendapatan regional yang akan dihubungkan untuk membuktikan berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets tentang kurva U- terbalik yang akan dituangkan dalam judul ANALISIS PERTUMBUHAN DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN REGIONAL ANTAR KECAMATAN DI KABUPATEN BLORA JAWA TENGAH TAHUN 2010-2014 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana laju dan struktur pertumbuhan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Blora pada tahun 2010-2014? 2. Bagaimana tingkat ketimpangan pendapatan regional antar kecamatan di Kabupaten Blora pada tahun 2010-2014? 3. Apakah hipotesis Kuznets tentang kurva U-terbalik berlaku di Kabupaten Blora pada tahun 2010-2014? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti adalah sebagai berikut:
8 1. Untuk mengetahui laju dan struktur pertumbuhan ekonomi antar kecamatan di Kabupaten Blora pada tahun 2010-2014. 2. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan regional antar kecamatan di Kabupaten Blora dari tahun 2010-2014. 3. Untuk megetahui berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets tentang kurva U-terbalik di Kabupaten Blora pada periode 2010-2014. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu, pemerintah untuk pengambilan kebijakan, serta calon peneliti selanjutnya. Manfaat yang diharapkan adalah: 1. Sumbangan ke Pengembangan Ilmu Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu, khususnya sebagai penerapan ilmu ekonomi regional yang berkaitan tentang pertumbuhan dan struktur ekonomi, ketimpangan pendapatan regional, serta pembuktian hipotesis Kuznets tentang kurva U-terbalik. 2. Sumbangan ke Pengambil Kebijakan Memberikan gambaran bagi pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan terkait masalah pertumbuhan dan struktur ekonomi daerah, serta ketimpangan pendapatan di Kabupaten Blora sehingga dapat lebih merata. 3. Sumbangan ke penelitian berikutnya Memberikan gambaran bagi calon peneliti serta sebagai bahan acuan penelitian serupa di masa yang akan datang. Selain itu juga memberi
9 kesempatan calon peneliti yang bisa melanjutnya penelitian dengan tema terkait berdasarkan saran yang diberikan penulis pada akhir pembahasan.