Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)

dokumen-dokumen yang mirip
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

Pendahuluan. Bab Satu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

Bab Tiga Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan

Pemberdayaan Kearifan Lokal menuju Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB V ARAHAN PELESTARIAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI AGA DAN REKOMENDASI

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA BERKELANJUTAN (Studi Kasus: Kawasan Taman Ayun, Kabupaten Badung, Provinsi Bali)

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak.

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

I. DESKRIPSI KEGIATAN

I PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001).

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21 perkembangan pesat terjadi dalam bidang 4T

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL PANEN KELOMPOK PETANI JAGUNG DI KABUPATEN ACEH TENGGARA

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

RPJMD Kota Pekanbaru Tahun

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB III TEMUAN DATA. penelitian ini yaitu umur responden dan luas perubahan peruntukan lahan

Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013-

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Sunda dan Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana berlangsung secara

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

Community Development di Wilayah Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. usaha mencapai tujuan organisasi. Partisipasi menurut Kamus Besar Bahasa

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RPJMD KABUPATEN LINGGA BAB 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

BAB I PENDAHULUAN SEMINAR TUGAS AKHIR

1. PENDAHULUAN. Latar Belakang

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. melaksanakan usaha-usaha yang paling baik untuk menghasilkan pangan tanpa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

LAPORAN PENELITIAN PERORANGAN MODAL SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI SOSIOLOGI TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN BALI

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

Pengaruh Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Eksistensi Subak Di Desa Medewi Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana

Schulte Nordholt (2009) ini merupakan kritik atas penelitian Geertz (1980) atas negara teater dalam masyarakat Bali pra-kolonial yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

I. PENDAHULUAN. yang cocok untuk kegiatan pertanian. Disamping itu pertanian merupakan mata

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

AgroinovasI. Badan Litbang Pertanian. Edisi Desember 2011 No.3436 Tahun XLII

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

I. PENDAHULUAN. revolusi hijau. Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam beragam bentuk, maksud, dan tujuan. Mulai dari keluarga, komunitas,

Diterbitkan melalui:

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

Transkripsi:

Bab Sembilan Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas jumlah penduduk Indonesia maupun dunia, maka penyediaan pangan pun akhirnya banyak yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Sehingga ancaman kerusakan alam mulai menghantui masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Walaupun Bali secara keseluruhan mengalami kemajuan ekonomi berkat sumbangan sektor pariwisata, akan tetapi di sisi lain, Bali mengalami degradasi sumber daya alam, sosial dan budaya. Hal ini terutama terjadi di Bali Selatan, di mana pembangunan sarana pariwisata tidak terkendali. Industri pariwisata yang mulai dikembangkan di Bali sejak tahun 1970-an, ternyata belum mampu menunjang kesejahteraan masyarakat Bali secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat di Bali masih berpenghasilan pokok sebagai petani. Di samping itu kestabilan perekonomian yang berbasis pertanian ternyata terbukti lebih kuat di bandingkan dengan ekonomi yang berbasis industri pariwisata. Hal ini disebabkan karena sektor pariwisata lebih rentan dengan isu-isu keamanan. Berkaitan dengan hal tersebut maka saat ini Bali berusaha untuk merevitalisasi pertaniannya dengan penguatan kearifan lokal dalam hal ini subak, sebagai sebuah organisasi yang tetap mempertahankan pertanian. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig) yang mengikat baik secara internal maupun eksternal, sangat 213

Perempuan Bali dalam Ritual Subak memiliki peluang untuk penjaminan keberhasilan ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Di samping itu dengan adanya 4 (empat) elemen subak yang mendasari terbentuknya subak, turut serta menguatkan posisi subak pada tingkat masyarakat pedesaan. Apalagi diikuti dengan konsep religius agama Hindu yang menjadi filosofi kehidupan subak yaitu Tri Hita Karana. Dengan konsep Tri Hita Karana ini subak mampu menjaga harmonisasi bagi seluruh segi kehidupan subak baik hubungan antar anggota, hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan alam. Atas panduan tersebut maka bagaimana subak sebagai sebuah kearifan lokal di Bali mampu menjadi penjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati, maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa simpulan. Posisi Sentral Perempuan dalam Ritual Subak Di tengah perubahan-perubahan yang dialami oleh elemen subak, ternyata keberadaan pura subak dan pelaksanaan ritual yang dilakukan tetap tidak berubah. Walaupun terjadi perubahan pada pola tanam, saluran irigasi dan keanggotaan tetapi pelaksanaan ritual di pura subak yang sudah terjadwal, tetap dilaksanakan. Malahan pelaksanaan ritual ini merupakan pendorong juga dalam mempertahankan lahan pertanian, sehingga penjaminan ketahanan pangan dapat berkelanjutan. Masa revolusi hijau yang mengharuskan subak untuk merubah pola tanam sehingga berdampak pada serangan hama penyakit yang merajalela, kondisi tanah tambah buruk, dan panen terus menurun merupakan pengalaman buruk bagi anggota subak. Anggota subak menganggap kejadian ini sebagai salah satu akibat dari tidak digunakannya caracara tradisional yang diwariskan oleh leluhur. Sehingga dengan tidak menanam padi lokal, anggota subak merasa bersalah, karena padi lokal sangat erat kaitannya dengan salah satu ritual yaitu ngusaba nini. Pada pelaksanaan ritual ini, padi lokal biasanya digunakan sebagai perlambangan dewa-dewi. Dominasi peran perempuan dalam pelaksanaan ritual menjadikan posisi sentral perempuan dalam subak. Dalam pelaksanaan ritual, anggota perempuan memerlukan waktu yang lebih banyak (Nakatani, 214

Kesimpulan 2003) dibandingkan dengan anggota pria. Hal ini karena dalam pelaksanaan ritual ada tahapan persiapan ritual yang dilakukan oleh anggota perempuan. Walaupun dalam pelaksanaannya sudah ada pembagian kerja yang khas, akan tetapi khusus dalam pelaksanaan ritual, perempuan berperan lebih banyak dibandingkan anggota pria. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dalam subak menempati posisi penting, bahkan pada posisi pengambil keputusan terutama berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ritual yang dilakukan di pura subak. Dari realitas ini maka penghayatan religius masing-masing individu (dalam hal ini perempuan) akan berdampak pada proses internalisasi dalam diri masing-masing individu anggota subak perempuan. Dengan adanya internalisasi tersebut maka akan timbul kesadaran untuk melaksanakan secara mandiri kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas subak, menurut istilah (Berger and Luckman,1996) disebut pemaknaan. Pemaknaan individu ini akan mendorong terjadinya kegiatan kolektif dimana menurut Bourdieu (1990) disebut habitus. Jadi pembentukan habitus dalam pelaksanaan ritual sebenarnya lebih berpeluang pada anggota subak perempuan. Karena pada kenyataannya, perempuan lebih intens dalam pelaksanaan seluruh proses ritual yang dilakukan subak. Di tengah keraguan akan keberlanjutan subak sebagai elemen pelestari pertanian di Bali, maka sumber daya perempuan justru menjadi penopang kehidupan keluarga subak. Karena dengan sempitnya lahan, secara realistis sangat sulit untuk menyebutkan kalau kesejahteraan keluarga anggota subak dapat terpenuhi hanya melalui hasil pertanian. Oleh karena itu maka adanya jiwa kewirausahaan yang ditunjukkan perempuan dengan pengolahan padi menjadi kopi dan teh beras organik melalui kelompok Kuntum Sari menunjukkan peran penting perempuan dalam subak. Di samping itu keterlibatan dalam kegiatan di lahan pertanian dari pembibitan sampai panen, juga merupakan bukti betapa eksisnya perempuan dalam subak. Akan tetapi kajian-kajian perempuan masih sangat kurang mendapat perhatian dari peneliti-peneliti subak di Bali. Melalui penelitian ini dengan adanya keterikatan antara keberlanjutan subak dengan pura subak, maka perempuan memiliki posisi penting dalam menjaga keberlanjutan 215

Perempuan Bali dalam Ritual Subak tersebut, sehingga keterjaminan ketahanan pangan dan ketahanan hayati sangat terkait dengan peran perempuan dalam subak. Bercermin pada teori gender yang dikemukakan oleh penganut feminisme barat (western feminism) (Saulnier, 2000) maka kenyataan yang terjadi di Subak Wongaya Betan sangat berbeda. Pendekatan gerakan feminisme barat adalah kesamaan peran antara laki-laki dan perempuan, sedangkan pendekatan feminisme di Indonesia adalah kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Pada komunitas subak, peran perempuan dalam berbagai aktivitas baik sosial, ritual maupun di lahan pertanian didasarkan pada kesetaraan peran dan kekhasan peran. Jadi pendekatan isu gender dalam hal ini lebih menekankan pada pendekatan budaya dan agama. Menurut penulis percepatan gerakan kesetaraan gender di Indonesia memerlukan pendekatan dengan mempertimbangkan waktu, tempat dan latar belakang budaya dan agama di masing-masing daerah. Konsep habitus yang terbentuk dalam subak agak berbeda dengan konsep habitus Bourdieu yang masih sangat kuat dipengaruhi oleh struktur sosial. Habitus yang terbentuk pada anggota subak ini adalah habitus tanpa pembatas status sosial. Karena begitu seseorang bergabung dalam subak (baik laki-laki maupun perempuan), maka yang ada adalah status petani. Jadi menurut analisa penulis dengan adanya hubungan yang sejajar antar individu dalam habitus akan lebih menguatkan dalam mendorong kegiatan-kegiatan kolektif untuk kepentingan bersama. Subak sebagai Penjamin Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati Subak adalah kearifan lokal di Bali yang mampu melestarikan lingkungan termasuk lahan pertanian secara berkelanjutan. Sesuai dengan gagasan Triguna (2006) bahwa landasan kearifan lingkungan adalah ajegnya pertanian. Dengan elemen pendukung seperti lahan pertanian, anggota subak, pengorganisasian air dan pura subak maka subak memiliki kekuatan secara vertikal maupun horisontal dalam mengikat anggotanya. Apalagi dengan adanya awig-awig yang menga- 216

Kesimpulan tur masing-masing hubungan tersebut, awig-awig akan mengikat masyarakat petani untuk tetap taat pada aturan subak. Konsep lumbung (jineng) sebagai cadangan pangan, juga merupakan konsep ekonomi yang memiliki visi keberlanjutan dan gotong royong serta semangat penjaminan ketahanan pangan. Penggunaan pupuk organik atau kembali ke pertanian organik juga merupakan konsep penjaminan ketahanan hayati. Walaupun organisasi subak mengalami perubahan karena adanya perubahan-perubahan pada tatanan aturan pemerintah, akan tetapi ada elemen subak yang tidak mengalami perubahan dan tetap dilaksanakan dengan taat oleh anggotanya. Konsep ini mengikuti Nordholt (2004) tentang changing and continuities. Elemen-elemen subak yang mengalami perubahan adalah luas lahan garapan, jumlah anggota dan sistem irigasi yang digunakan oleh subak. Luas lahan garapan sangat terkait dengan alih fungsi lahan untuk keperluan perumahan dan lainnya, sehingga untuk saat ini petani hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit. Akan tetapi seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya, walaupun dengan lahan garapan yang relatif sempit, tetapi mereka tetap berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati bagi kota Tabanan (Kompas, 2011). Jumlah anggota subak juga terkadang mengalami perubahan, hal ini karena beberapa anggota subak memiliki mobilitas cukup tinggi berkaitan dengan pekerjaan dan tempat tinggal. Sejak adanya program pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian melalui revolusi hijau, pola tanam dan penggunaan benih lokal pun diubah dengan menggunakan bibit unggul. Penggunaan bibit unggul selain meningkatkan kebutuhan akan pupuk kimia juga meningkatkan kebutuhan air tanaman. Di samping itu perubahan sistem irigasi tradisional menjadi irigasi teknis yang di fasilitasi oleh pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum (PU) ternyata juga menyebabkan perubahan-perubahan pada elemen-elemen subak. Secara umum perubahan-perubahan yang dialami pada masa revolusi hijau pada elemen subak menimbulkan dampak negatif. Misalnya saja dengan perubahan sistem menjadi irigasi teknis lebih sering terjadi konflik terhadap pembagian air di antara anggota subak. Di sisi lainnya dengan 217

Perempuan Bali dalam Ritual Subak penggunaan bibit unggul yang sangat responsif terhadap pupuk kimia, berdampak negatif bagi keseimbangan lingkungan serta kelembagaan. Tri Hita Karana Spirit Harmonisasi Pencapaian Ketahanan Pangan dan Hayati Kearifan lokal subak ternyata bukan semata berkaitan dengan pertanian dan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi rumah tangga, akan tetapi lebih pada pemeliharaan hubungan sosial dan religius antara anggota yang menganut agama Hindu, sehingga setiap pikiran, tindakan dan ucapan selalu berlandaskan pada nilai-nilai keseimbangan Tri Hita Karana. Dengan konsep kebersamaan seperti ini maka sering usahausaha ekonomis subak dikelola secara komunal (bersama). Akan tetapi dengan konsep ini setiap anggota subak merasa aman dan tetap menjaga etika dalam pelaksanaan kegiatan di lahan pertanian mereka. Dalam situasi seperti ini akan terbangun suasana saling menghargai karena pelanggaran pola tanam oleh salah satu anggota subak akan mempengaruhi pola tanam anggota subak yang lainnya. Di samping itu dengan melakukan pelanggaran pola tanam, dikhawatirkan akan menimbulkan serangan hama dan terkena sanksi. Kepercayaan dan keyakinan akan karma pala dan reinkarnasi juga membuat anggota subak enggan untuk melakukan pelanggaran, karena mereka merasa bahwa apa yang dilakukan saat ini tidak hanya akan dinikmati hari ini tetapi juga akan dinikmati oleh generasi berikutnya. Identitas Hindu Melekat dalam Kearifan Subak Gerakan kembali ke pertanian organik, semakin menguatkan kedudukan subak baik di aras anggotanya maupun di aras pemerintah daerah dan nasional, maka di sini terbukti ada pendorong yang mengarahkan untuk kembali ke warisan leluhur. Pendapat Gough (1977) dalam Triguna (2006) juga menegaskan bahwa kearifan lokal termasuk pengetahuan lokal akan secara turun temurun diwariskan, dan sering menjadi teladan dalam kehidupan generasi berikutnya. Sehingga dalam 218

Kesimpulan konteks penelitian yang mendasari tulisan ini maka subak adalah salah satu kearifan lokal di Bali yang harus dilestarikan karena memiliki kekuatan untuk mempertahankan budaya pertanian di Bali. Di samping itu keberhasilan Subak Wongaya Betan untuk bangkit kembali setelah adanya revolusi hijau dengan melakukan gerakan kembali ke pertanian organik karena adanya dorongan spiritualitas dan religiositas anggota subak. Hal ini dibuktikan dengan keyakinan dan kepercayaan akan ritual yang mengikat hampir semua sisi kehidupan anggota subak. Kekuatan spiritualitas dan religiositas anggota subak juga sangat dipengaruhi oleh historical capital, human capital dan social capital mereka untuk bergerak kembali ke nilai-nilai leluhur yang dirasakan lebih memiliki keseimbangan dan keharmonisan antara tiga unsur Tri Hita Karana. Pelestarian subak sebagai organisasi yang bersifat religius, tidak terlepas dari identitas anggota subak sebagai umat Hindu. Kalau dikaitkan dengan konsep identitas Castlles (2002) maka identitas subak adalah identitas yang sahih (legitimizing identity) karena berkaitan dengan kepercayaan terhadap agama Hindu yang dianut anggota subak. Jadi sebagai umat Hindu akan terasa tidak nyaman kalau tidak melaksanakan ritual dalam subak, dan akan merasa bersalah kalau tidak melaksanakan ritual Subak Wongaya Betan dalam subak. Hal ini juga diperkuat dengan adanya sanksi ritual bagi anggota subak yang melanggar pelaksanaan ritual yang telah ditetapkan dalam awig-awig subak. Jadi subak selain berperan pada tata kelola ketahanan pangan dan hayati di Subak Wongaya Betan, ternyata elemen pura subak menempatkan ritual sebagai spirit untuk tetap menjamin tercapainya ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Dengan kekuatan mengikat secara internal maupun eksternal dari awig-awig subak, maka subak merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pertanian di wilayah pedesaan. Pada masa sekarang subak merupakan alat yang paling tepat untuk menggaungkan gerakan pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati dalam rangka menyongsong pembangunan berkelanjutan. 219

Perempuan Bali dalam Ritual Subak Tantangan dan Peran Kearifan Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan Menyikapi batasan pembangunan berkelanjutan dari Bank Dunia (1998) bahwa penekanannya ada pada keberlanjutan dari kelestarian sumberdaya alam agar berguna bagi generasi berikutnya, maka revitalisasi kearifan lokal adalah suatu gerakan yang bernilai positif. Di tengah kerusakan sumber daya alam dan kesulitan pencapaian ketahanan pangan (terutama di tingkat rumah tangga), maka spirit yang ada pada subak di Bali sangat prospektif untuk dikembangkan. Spirit yang berlandaskan Tri Hita Karana, menjaga harmonisasi dengan Tuhan, manusia dan alam yang sangat relevan untuk menjadi landasan pembangunan berkelanjutan, karena spirit pembangunan yang dianut subak adalah pencapaian tujuan kesejahteraan dengan tetap menjaga hubungan yang seimbang dengan alam. Keyakinan dan kepercayaan terhadap agama (religius capital) ternyata mampu dimanfaatkan sebagai modal spiritual (spiritual capital) untuk mendorong peningkatan kualitas human capital dan sosial capital masyarakat. Dengan kesadaran individu, gerakan pembangunan akan didorong ke arah gerakan masyarakat yang lebih luas. Subak yang memiliki otonomi dalam mengatur kebutuhan mereka melalui awigawig subak, akan dapat dimanfaatkan sebagai kontrol dan perpanjangan tangan pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan terutama di bidang pertanian. Jadi prinsip pemberdayaan masyarakat dengan sistem bottom up yang dikemukanan oleh Ife (2002) dan Crewe (1998) yang menekankan bahwa pembangunan memerlukan peran dan keterlibatan nilai-nilai lokal masyarakat (agama dan budaya) sangat sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan dalam subak. Segala keputusan untuk pembangunan di ambil secara bersama dan masing-masing menyumbangkan peran yang khas dalam proses pembangunan tersebut. Pembangunan pada negara yang memiliki multi budaya dan multi etnik sangat dianjurkan untuk tetap memperhatikan kearifan lokal, yang berlandaskan kepentingan rakyat. Memberikan kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan akan mendorong masyarakat untuk mandiri dan kreatif, sehingga masyarakat tidak 220

Kesimpulan sepenuhnya bergantung pada negara, akan tetapi mampu berperan sebagai mitra negara dalam proses pembangunan. Tema-tema Kajian di Masa Mendatang Keberadaan subak di Bali memiliki dua sisi yang dewasa ini menimbulkan permasalahan baru. Pada satu sisi keajegan subak merupakan berkah bagi pelestarian lahan pertanian dan keberlanjutan kelestarian lingkungan, di sisi lainnya ternyata legitimasi subak oleh pemerintah memunculkan permasalahan klasik. Permasalahan yang akhir-akhir ini muncul adalah menjamurnya organisasi subak yang baru, karena diprediksi hanya untuk memperoleh bantuan material dari pemerintah setiap tahunnya. Pemerintah Daerah (kabupaten dan kota) sampai saat ini belum memiliki aturan setingkat Perda dalam pengaturan pembentukan subak. Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka kajian-kajian yang mengarah pada penguatan kebijakan pemerintah dalam mendorong penguatan sumber daya manusia (human capital) dalam subak sangat dibutuhkan agar subak tetap pada konsep-konsep nilai adi luhung Tri Hita Karana. Kajian lainnya adalah penguatan elemen terkait dalam upaya memberdayakan subak dalam rangka menyongsong pengakuan sebagai kawasan budaya dunia (world heritage). Karena penguatan sumberdaya manusia terutama petani di wilayah kawasan budaya dunia sangat penting untuk memperkuat dan menjaga agar penduduk setempat termasuk petani tetap memiliki kedaulatan di wilayah mereka sendiri. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kasus-kasus rakyat menjadi orang asing di negeri mereka sendiri. Karena keberhasilan pembangunan adalah menyejahterakan masyarakat secara spiritual, moril dan materiil. Bercermin pada realitas bahwa perempuan memiliki posisi penting dalam kegiatan-kegiatan subak baik sebagai mitra dalam pelaksanaan pertanian maupun sebagai aktor dalam pelaksanaan ritual, maka kajian tentang penguatan posisi perempuan dan pengakuan terhadap kredibilitas anggota subak perempuan menjadi tema kajian yang cukup menarik dan penting bagi peneliti-peneliti berikutnya. 221

Perempuan Bali dalam Ritual Subak Catatan Akhir Penulis Di tengah banyaknya pertanyaan dan kerisauan tentang kemampuan subak untuk bertahan sebagai satu-satunya lembaga yang ajeg mempertahankan pertanian, maka Subak Wongaya Betan justru bangkit dengan kekuatan sendiri untuk tetap bertahan. Walaupun pada akhirnya ada perhatian dari pemerintah, akan tetapi kesabaran, keuletan, kemauan keras dan keyakinan warga subak akan kekuasaan Sang Pencipta melalui pelaksanaan ritual yang berkelanjutan mencerminkan bagaimana spirit (kekuatan) kebertahanan mereka sangat diinspirasi oleh keinginan untuk tetap menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati di lingkungan mereka. Spirit ini tentu saja harus menjadi kekuatan bagi kita sebagai orang Bali yang cinta Bali dan meyakini Hindu sebagai agama. Maka kata terakhir yang terucap adalah semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberikan petunjuk dan bimbingan-nya kepada semua yang menggantungkan kehidupan pada alam untuk tetap mempertahankan sumberdaya alam dan lahan sawah sebagai sumber pangan pokok rakyat Indonesia. 222