BAB IV HASIL DAN ANALISIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BERITA RESMI STATISTIK

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang mampu. ekonomi menjadi target utama dalam pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif,

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. regional merupakan pelaksanaan dari pembangunan nasional pada wilayah

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

PROFIL PEMBANGUNAN PROVINSI JAWA TENGAH

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

ANALISIS DISTRIBUSI PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2011 PUBLIKASI ILMIAH. Disusun Oleh: FREDY ADI SAPUTRO B

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TENGAH

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Katalog BPS :

STRUKTUR EKONOMI, KESEMPATAN KERJA DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN ANALISIS A. Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah 1. Letak Geografis dan Wilayah Pembentukan Provinsi Jawa Tengah berdasarkan UU No. 10 Tahun 1950 tentang Penetapan Provinsi Jawa Tengah yang berlaku mulai 15 Agustus 1950. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang dibatasi langsung tiga provinsi, yaitu : - bagian barat : Provinsi Jawa Barat - bagian selatan : Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - bagian timur : Provinsi Jawa Timur Jawa Tengah memiliki luas sebesar 3,25 juta hektar atau 25,04 persen dari luas Pulau Jawa (1,70 persen dari luas Indonesia). Letak astronomis Jawa Tengah antara 5 40' dan 8 30' Lintang Selatan dan antara 108 30' dan 111 30' Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur (tidak termasuk Pulau Karimunjawa) adalah 263 km dan dari Utara ke Selatan 226 km.1) 2. Penggunaan Lahan Lahan di Jawa Tengah 30,47 persen atau 992 ribu hektar merupakan lahan sawah, dan 69,53 persen atau 2,26 juta merupakan lahan 1 Jawa Tengah dalam Angka, 2014

63 bukan sawah. Lahan bukan sawah yang digunakan untuk bangunan/pekarangan sebesar 537,29 hektar. 2) Gambar 4.1 Provinsi Jawa Tengah Sumber : http://www.soloraya.net/wp-content/uploads/2013/peta-jawa-tengah.jpg Diakses tanggal 12 November 2014 3. Pembagian Wilayah Administratif Provinsi Jawa Tengah memiliki 35 wilayah administratif yaitu 29 kabupaten dan 6 kota, terdiri dari 573 kecamatan dengan 7.809 desa dan 769 kelurahan. Kabupaten Banyumas merupakan kabupaten dengan kecamatan terbanyak, yaitu 27 kecamatan, sedangkan kabupaten dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah Kabupaten Purworejo dengan 494 desa/kelurahan. Kabupaten terluas adalah Kabupaten Cilacap dengan luas wilayah sebesar 213,85 ribu hektar, sedangkan Kabupaten Kudus adalah kabupaten dengan luas wilayah terkecil yaitu 42,52 ribu hektar. Wilayah administrasi 2 Jawa Tengah dalam Angka, 2014

64 kota terluas adalah Kota Semarang dengan luas wilayah sebesar 37,37 ribu hektar sedangkan kota terkecil adalah Kota Magelang dengan luas wilayah sebesar 1,81 ribu hektar. 4. Keadaan Penduduk dan Ketenagakerjaan a. Kependudukan Data kependudukan merupakan informasi penting dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil serta kegiatan yang sedang berjalan. Data kependudukan juga dapat digunakan untuk memprediksi kegiatan yang akan datang. Permasalahan kependudukan bisa melebar ke berbagai permasalahan sosial ekonomi lain. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan bisa menciptakan sumber konflik baru antara pemerintah dan masyarakat yang bisa mengganggu legitimasi pemerintah.3) Penting bagi pemerintah untuk mampu membuat kebijakan kependudukan dengan memahami isu yang berkembang dan tantangan terkait perubahan permasalahan kependudukan, seperti pertumbuhan penduduk, distribusi penduduk, kualitas penduduk, dan lain-lain. Jumlah penduduk Jawa Tengah tahun 2013 hasil proyeksi Sensus Penduduk (SP) 2010 sebanyak 33.264.339 jiwa, dengan komposisi 16.499.377 penduduk laki-laki dan 16.764.962 penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin sebesar 98,42 berarti bahwa diatara 100 penduduk perempuan hanya terdapat 98 penduduk laki-laki. 3 Faturochman dan Agus Dwiyanto, Reorientasi Kebijakan Kependudukan

65 Gambar 4.2 Piramida Penduduk Provinsi Jawa Tengah 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Distribusi penduduk Jawa Tengah belum merata dan umumnya terkonsentrasi pada pusat-pusat kabupaten/kota. Kabupaten Brebes merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu sebanyak 1.764.648 jiwa, sedangkan wilayah dengan penduduk paling sedikit adalah Kota Magelang, sebanyak 119.935 jiwa. Kota Surakarta merupakan wilayah terpadat. Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta sangat tinggi sekali yaitu sebesar 11.534 jiwa/km2, sebelas kali lipat tingkat kepadatan Jawa Tengah yang hanya 1.022 jiwa/km2. Sebaliknya, kabupaten dengan kepadatan penduduk terendah adalah Kabupaten Blora dengan tingkat kepadatan sebesar 471jiwa/km2.

66 Tabel 4.1 No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten/Kota di Povinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Kabupaten/kota (2) Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jawa Tengah Jumlah Penduduk Luas Wilayah (Ha) Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) (3) (4) (5) 1.676.089 1.605.579 879.880 889.921 1.176.722 705.483 769.318 1.221.681 951.817 1.148.994 849.506 942.377 840.171 871.989 1.336.304 844.444 608.903 1.218.016 810.810 1.153.213 1.094.472 974.092 731.911 926.812 729.616 861.082 1.279.596 1.415.009 1.764.648 119.935 507.825 178.594 1.644.800 290.870 243.860 213.851 132.759 77.765 106.974 128.274 103.482 98.468 108.573 101.507 65.556 46.666 182.237 77.220 94.649 197.585 179.440 101.410 149.120 42.517 100.416 89.743 94.686 87.023 100.227 78.895 83.613 101.190 87.970 165.773 1.812 4.403 5.296 37.367 4.496 3.449 784 1.209 1.131 832 917 682 781 1.125 938 1.753 1.820 517 1.088 921 676 471 600 817 1.907 1.148 1.220 1.029 841 925 925 1.030 1.265 1.609 1.064 6.619 11.534 3.372 4.402 6.470 7.070 33.264.339 3.254.412 1.022 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014 data diolah.

67 Rasio Ketergantungan Jawa Tengah tahun 2010-2013 menunjukkan penurunan, kondisi tersebut mengindikasikan tengah berlangsungnya proses Bonus Demografi yang erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Tabel 4.2 Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Rasio Ketergantungan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2013 Jenis Kelamin Tahun 2010 2011 2012 2013 (2) (3) (4) (5) Laki-laki 16.091.555 16.231.847 16.367.703 16.499.377 Perempuan 16.352.331 16.493.531 16.630.989 16.764.962 Jumlah Rasio Ketergantungan 32.443.886 32.725.378 32.998.692 3.3264.339 49,86 49,54 49,14 48,74 (1) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah Bonus demografi adalah munculnya suatu kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat atau the window of opportunity dimana keuntungan ekonomis disebabkan oleh menurunnya Rasio Ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang. b. Ketenagakerjaan Penduduk merupakan salah satu faktor produksi penyedia tenaga kerja di suatu wilayah. Masalah ketenagakerjaan menjadi point penting bagi pemerintah, karenanya salah satu fokus Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah

68 pembangunan di bidang ketenagakerjaan yang diharapkan dapat menurunkan tingginya tingkat pengangguran. BPS mendefinisikan penduduk usia kerja sebagai penduduk umur 15 tahun ke atas, dimana terbagi dalam angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk bekerja dan pengangguran. Tabel 4.3 Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Daerah di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Lapangan Pekerjaan Utama (1) 1. 2. Pertanian Pertambangan dan Penggalian 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Industri Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa dan lainnya Jumlah Daerah Perkotaan Perdesaan (2) (3) Jumlah (4) 855.641 23.483 4.070.988 43.258 4.926.629 66.741 1.730.848 15.506 422.364 2.101.755 332.609 240.745 1.404.911 1.313.580 4.896 528.214 1.483.841 271.253 73.501 1.046.655 3.044.428 20.402 950.578 3.585.596 603.862 314.246 2.451.566 7.127.862 8.836.186 15.964.048 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja di daerah perdesaan lebih banyak dari pada daerah perkotaan. Sebaran penyerapan penduduk bekerja antara perkotaan dan perdesaan memiliki pola yang berbeda. Sektor penyerap tenaga kerja terbesar di daerah perkotaan adalah sektor perdagangan yang menyerap 2.101.755 tenaga kerja, disusul sektor industri sebanyak 1.730.848 tenaga kerja, dan sektor jasa dan lainnya sebanyak 1.404.911 tenaga kerja.

69 Sektor penyerap tenaga kerja terbesar di daerah perdesaan masih pada sektor pertanian yang menyerap 4.070.988 tenaga kerja. Urutan kedua penyerap tenaga kerja terbesar adalah sektor perdagangan, dan disusul sektor industri. Penyerap tenaga kerja terkecil baik di perkotaan maupun perdesaan adalah sektor listrik, gas, dan air minum. Gambar 4.3 Persentase Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah. Sektor Pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Jawa Tengah tahun 2013 yaitu sebesar 30,86 persen. Penyerap tenaga kerja terkecil adalah dan sektor pertambangan dan penggalian yang menyerap 0,42 persen dan sektor listrik, gas, dan air minum yaitu sebesar 0,13 persen 5. Keadaan Ekonomi PDRB baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu. PDRB pada

70 dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB ADHB dengan migas tahun 2013 sebesar 623.749.617,33 juta rupiah dan tanpa migas sebesar 561.952.493,97 juta rupiah. PDRB ADHK dengan migas sebesar 223.099.740,34 juta rupiah dan tanpa migas sebesar 212.304.850,66 juta rupiah. Besaran pendapatan perkapita yang mencerminkan tingkat produktivitas penduduk di Jawa Tengah tahun 2013 ADHB sebesar 18.751.300,52 rupiah, dan ADHK sebesar 6.706.874,30 rupiah. Tabel 4.4 PDRB ADHB dengan Migas dan Andilnya menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 (juta Rupiah) Lapangan Usaha (1) PDRB (juta Rp) Andil (%) (2) (3) 1. Pertanian 114.142.758,60 18,30 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa 5.980.687,98 203.104.060,25 6.599.849,53 37.196.092,85 129.303.763,70 37.611.878,39 23.280.361,13 66.530.164,90 0,96 32,56 1,06 5,96 20,73 6,03 3,73 10,67 Jumlah 623.749.617,33 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2013 sebesar 5,81 persen, dengan kontribusi penyumbang PDRB terbesar adalah sektor industri sebesar 32,56 persen. Kontribusi terkecil dalam perekonomian di

71 Jawa Tengah disumbang sektor pertambangan dan penggalian dengan kontribusi sebesar 0,96 persen. Tabel 4.5 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2013 Tahun PDRB ADHK (juta Rp) Laju Pertumbuhan (%) (1) (2) (3) 2009 176.673.456,57 5,14 2010 186.992.985,50 5,84 2011 198.270.117,94 6,03 2012 210.848.424,04 6,34 223.099.740,34 5,81 2013 *) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Laju pertumbuhan tahun 2013 menunjukkan penurunan dibanding tahun 2010-2012, walaupun nilai PDRB ADHK mengalami peningkatan sebesar 12.251.316,30 juta rupiah. Gambar 4.4 PDRB ADHK dan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah

72 B. Analisis Data dan Interpretasi 1. Analisis Kinerja Ekonomi Daerah Kinerja ekonomi daerah sebagai evaluasi kinerja pemerintah daerah di bidang ekonomi tersusun dari empat indikator, yaitu pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, peran perekonomian daerah dalam provinsi, serta tingkat kemiskinan daerah tersebut. Bashir dan Syamsurijal AK (2012) menyatakan kinerja perekonomian daerah merupakan rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcomes) terhadap rencana dan standar dengan tujuan membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah dan peningkatan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah. a. Pertumbuhan dan Kontribusi Ekonomi Definisi pertumbuhan ekonomi yang beragam memiliki persamaan arti sebagai indikator ekonomi yang dapat menunjukkan gerak berbagai sektor pembangunan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan kuantitas produksi atau peningkatan nilai tambah. Peningkatan produksi dapat dimungkinkan andil dari penciptaan lapangan kerja yang bertambah. Adanya peningkatan nilai tambah di perekonomian mengisyaratkan peningkatan aktivitas ekonomi, baik yang sifatnya

73 internal di daerah yang bersangkutan, maupun dalam kaitannya dengan interaksi antar daerah (Bappenas dan UNDP, 2007) Laju pertumbuhan ekonomi (tanpa migas (LPE)) kabupaten/kota di Jawa Tengah dari tahun 2010 2013 sangat fluktuatif, utamanya LPE Kabupaten Klaten, Wonogiri, Grobogan, dan Blora pada tahun 2010 dan 2011. Fluktuasi tersebut salah satu ditengarahi oleh sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang sensitif terhadap perubahan harga, pergantian musim maupun iklim. Perubahan pada komponen tersebut akan sangat berpengaruh pada pembentukan PDRB utamanya pada kabupaten/kota dengan sektor pertanian sebagai penyangga utama perekonomian. Kabupaten/kota dengan LPE yang lebih stabil periode 2010 2013 pada umumnya disokong oleh sektor industri pengolahan sebagai penyangga perekonomian. Rentang LPE terlebar periode tersebut terjadi pada tahun 2011 dengan rentang sebesar 4,57 persen dan LPE berkisar antara 1,96 6,53 persen. Kabupaten Sragen merupakan kabupaten dengan LPE tertinggi tiap tahunnya bahkan di atas LPE Jawa Tengah (kecuali tahun 2012). Rata-rata LPE antara wilayah administratif kabupaten dan kota secara umum memiliki pola yang sama, dimana pada tahun 2010 2012 terjadi peningkatan sedangkan di tahun 2013 kembali menurun. Rata-rata LPE kabupaten lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata LPE kota.

74 Gambar 4.5 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi antara Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah LPE ditinjau menurut wilayah eks karesidenan (Gambar 4.6) menunjukkan bahwa eks Karesidenan yang paling stabil adalah eks Karesidenan Pekalongan (Kabupaten Batang, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal). Eks karesidenan yang menunjukkan gerak LPE yang sangat fluktuatif adalah eks Karesidenan Surakarta (Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, KabupatenWonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, dan Kota Surakarta) Kondisi tersebut bila dicermati dari penyokong perekonomian tiap wilayah menunjukkan bahwa wilayah di eks Karesidenan Pekalongan pada umumnya penyangga perkonomian di wilayah tersebut tidak didominasi oleh satu sektor utama (kecuali KabupatenBrebes).

75

76 Kontribusi PDRB kabupaten/kota dalam total PDRB provinsi relatif konstan selama periode 2010 2013 dan memiliki pola yang sama. Kabupaten/kota yang memiliki peranan kecil dalam perekonomian provinsi selama periode tersebut tidak menunjukkan peningkatan kontribusi, demikian juga sebaliknya kabupaten/kota yang memiliki peranan besar tetap memberikan kontribusi yang tinggi. Gambar 4.7 Perkembangan Kontribusi PDRB Kabupaten/ Kota terhadap PDRB Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah Tabel 4.6 menunjukkan bahwa perananan kabupaten/kota dalam perekonomian di Jawa Tengah semakin timpang. Ketimpangan peran tersebut ditunjukkan dari besarnya disparitas perananan kabupaten/kota dalam perekonomian provinsi dari tahun ke tahun yang semakin melebar. Sebaliknya, disparitas LPE periode 2010 2013 berangsur mengalami penurunan. Penurunan tersebut mengindikasikan bahwa kabupaten/kota berusaha untuk meningkatkan

77 produktivitas mengejar ketertinggalan ekonomi dari kabupaten/kota lain. Tabel 4.6 Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013

78 Disparitas kontribusi kabupaten/kota dalam perekonomian di Jawa Tengah dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya pertama dominasi sumber-sumber perekonomian seperti kawasan industri yang belum menyebar maupun kreativitas pemanfaatan sumber daya alam produktif belum optimal. Kedua, investasi swasta di kabupaten/kota dengan kontribusi relatif kecil tidak mengalami banyak perubahan sehingga belum mampu mendongkrak perekonomian daerah. Ketiga, pemerintah daerah belum mampu menggerakkan perekonomian dengan optimal karena kurang efektifnya program-program yang diterapkan maupun pengalokasian anggaran pemerintah yang belum optimal. b. Pendapatan Perkapita dan Kemiskinan Pendapatan perkapita dalam penelitian ini didekati dengan PDRB per kapita sebagai indikator makro yang secara agregat dapat juga digunakan masyarakat. untuk Tabel menggambarkan kondisi kesejahteraan 4.7 memperlihatkan perkembangan PDRB perkapita dan persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Jawa Tengah periode 2010 2013. Peningkatan PDRB per kapita setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah diikuti dengan penurunan angka kemiskinan..

79 Tabel 4.7 PDRB perkapita dan Penduduk Miskin Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Ditinjau dari wilayah administrasi, wilayah administrasi kota memiliki tingkat PDRB perkapita lebih baik dari pada wilayah administrasi kabupaten. Kondisi tersebut sesuai dengan jumlah penduduk yang merupakan faktor penentu besarnya PDRB perkapita.

80 Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit dengan kualitas sumber daya ekonomi yang lebih baik akan memiliki PDRB perkapita tinggi. PDRB perkapita periode penelitian mengindikasikan terjadinya ketidakmerataan pendapatan perkapita antar kabupaten/kota di Jawa Tengah. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh perbandingan antar pendapatan perkapita kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB per kapita di Jawa Tengah. Terlihat bahwa terjadi ketimpangan pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk pada masing-masing kabupaten/kota. Angka kemiskinan memberi gambaran mengenai intensitas penduduk dengan tingkat pendapatan terendah di dalam perekonomian. Kota Surakarta menunjukkan fenomena yang menarik, dimana PDRB per kapita tiap tahunnya tinggi akan tetapi tingkat kemiskinan masih relatif tinggi. Kabupaten/kota dengan angka kemiskinan yang tinggi pada umumnya memiliki PDRB per kapita yang rendah. Fenomena tersebut perlu penelitian lebih lanjut untuk mengupasnya. Kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan tinggi pada umummnya dominasi perekonomian berada di sektor pertanian, sedangkan sektor lain cenderung memiliki kontribusi yang sedikit. Umumnya sektor pertanian menyumbang kemiskinan cukup tinggi yakni sekitar 60 persen (Ikhsan,2001).

81 Keterbatasan managerial, akses, maupun jaringan sosial dari petani di Jawa Tengah pada umumnya mejadikan rangsangan untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka mengurangi penduduk miskin dalam waktu singkat tidaklah mudah. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan tidak stabilnya harga-harga produk petanian dibanding produk industri karena faktor musim, hama, bencana, dan sebagainya. Kemungkinan petani untuk memaksimalkan potensi sumber daya yang ada cenderung rendah. Petani lebih memilih menstabilkan produktivitas untuk menghindari kerugian. Faktor lain karena pendidikan petani yang pada umumnya masih rendah sehingga pengetahuan untuk melakukan efisiensi dan diversifikasi pertanian juga rendah. c. Indeks Kinerja Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Pembangunan Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu memperkecil disparitas hasil pembangunan antar daerah. Melalui desentralisasi fiskal pemerintah daerah didorong mampu meningkatkan pembangunan perekonomian daerah masing-masing. Pemerintah daerah memiliki peran utama dan dituntut mampu meningkatkan perekonomian daerah berdasarkan karakteristik daerahnya. Indikator-indikator digunakan untuk yang telah membandingkan diuraikan kinerja sebelumnya ekonomi antar

82 kabupaten/kota di Jawa Tengah melalui Indeks Kinerja Ekonomi Daerah (IKE). Perkembangan IKE setiap kabupaten/kota tahun 2010 2013 terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dapat mencerminkan bahwa setiap kabupaten/kota berusaha meningkatkan kinerja perekonomian daerah masing-masing. Dilihat berdasarkan wilayah administratif, kota cenderung memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik daripada wilayah administratif kabupaten. Keseluruhan kabupaten/kota dengan kinerja perekonomian daerah di atas rata-rata hanya sebanyak 11 kabupaten/kota atau 31,43 persen dari 35 kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah, sedangkan 24 kabupaten/kota lainnya memiliki kinerja di bawah rata-rata. Kota Tegal merupakan satu-satunya wilayah administrasi kota yang memiliki kinerja ekonomi di bawah kinerja rata-rata. Kabupaten Kudus adalah kabupaten dengan peningkatan kinerja ekonomi tertinggi. Besaran IKE tahun 2010 sebesar 15,185 naik menjadi 18,829 di tahun 2013. Kota Semarang dan Kabupaten Cilacap menempatkan pada posisi kedua dan ketiga. Kota Semarang memiliki kinerja ekonomi daerah paling stabil selama periode penelitian. Kestabilan tersebut dapat dilihat pada semua variabel penyusun IKE yaitu pergerakan laju pertumbuhan ekonomi, PDRB perkapita, tingkat kemiskinan, dan sumbangannya terhadap perekonomian di Jawa Tengah dari tahun ke tahun.4) 4 dapat dilihat pada Lampiran B

83 Kestabilan Kota Semarang didukung oleh sektor perekonomian yang tidak hanya tertumpu pada satu sektor saja, berbeda dengan kabupaten/kota lainnya yang pada umumnya titik berat perekonomian hanya pada satu sektor. Gambar 4.8 Rata-rata Kontribusi PDRB Kota Semarang menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah. Sektor perekonomian Kota Semarang selain ditopang oleh sektor perdangan, hotel, dan restoran sebagai penyangga utama dengan rata-rata kontribusi per tahun 28,28 persen, sektor industri (24,48 persen), sektor bangunan (19,49 persen), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (9,61 persen). Kontribusi lapangan usaha dalam pembentukan PDRB Kota Semarang menunjukkan bahwa tidak ada satu sektor yang mendominasi perekonomian di Kota

84 Semarang, akan tetapi cenderung merata di sektor primer, sekunder dan tertier. Berbeda dengan Kabupaten Kudus dan Cilacap. Kedua kabupaten tersebut sektor yang mendominasi perekonomian di kabupaten tersebut adalah sektor industri dengan rata-rata kontribusi sebesar 62,30 persen untuk Kabupaten Kudus dan 60,19 persen untuk Kabupaten Cilacap. Dilihat dari luas wilayah dan geografis, Kabupaten Cilacap memiliki kekayaan potensi sumber daya alam sehingga masih terbuka peluang peningkatan sumber-sumber ekonomi dari sektor lain seperti pertanian, perdagangan, dan lain sebagainya. Gambar 4.9 Perbandingan Rata-rata Kontribusi PDRB menurut Lapangan Usaha Kota Semarang, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Cilacap Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah

85 Kabupaten Kudus, sebagai kabupaten dengan luas wilayah terkecil dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki tidak sebanyak Cilacap dan Kota Semarang akan tetapi dengan kreatifitasnya mampu memiliki kondisi perekonomian yang lebih baik dari pada kabupaten/kota lain pada umumnya. Kinerja Kabupaten Kudus yang tinggi ditopang dengan pencapaian PDRB perkapita yang tinggi, tingkat kemiskinan rendah, dan perananannya dalam perekonomian di Jawa Tengah. Perbedaannya adalah laju pertumbuhan ekonomi di Kota Kudus tidak se-stabil Kota Semarang. Perekonomian di Kabupaten Kudus bertumpu pada sektor industri, sehingga apabila sektor industri terpuruk maka akan berakibat negatif pada perekonomian Kabupaten Kudus. Kinerja Ekonomi kabupaten/kota yang lain menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan kinerja, akan tetapi peningkatan IKE lebih cenderung didorong oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan kemiskinan. Pendapatan perkapita kabupaten/kota lainnya meningkat akan tetapi peningkatan tersebut masih jauh di bawah peningkatan pendapatan perkapita pada Kabupaten Kudus, Kabupaten Cilacap, dan Kota Semarang. Rata-rata kontribusi kabupaten/kota terhadap perekonomian di Jawa Tengah secara umum adalah sektor pertanian. Sektor pertanian masih menduduki penyumbang utama, kemudian sektor industri, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.

86 Gambar 4.10 Rata-rata Kontribusi PDRB Kabupaten/Kota menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah Peningkatan IKE dari tahun ke tahun diharapkan berbanding terbalik dengan ketimpangan pembangunan. Artinya peningkatan kinerja ekonomi daerah akan memperkecil ketimpangan pembangunan. Ketimpangan pembangunan dalam analisis ini dibahas untuk melihat peningkatan kondisi dan perkembangan pembangunan daerah sebagai salah satu capaian kinerja ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Ketimpangan pembangunan merupakan hal yang umum terjadi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah adalah (Sjafrizal, 2008:104) : Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan

87 perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masingmasing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong pembangunan juga berbeda. Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Alat bantu yang digunakan untuk mengukur ketimpangan antar kabupaten/kota dalam analisis ini sepeti yang telah diuraikan sebelumnya adalah Indeks Williamson. Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai PDRB dan penduduk yang berada pada lingkup wilayah yang dikaji dan dianalisis. Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama empat tahun pengamatan menunjukkan ketimpangan regional yang besar. Hasil penelitian menunjukkan walaupun setiap tahunnya Indeks Williamsons mengalami penurunan akan tetapi besaran nilainya masih mendekati 0,7. Kriteria Indeks Williamson adalah semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dengan kata lain makin

88 merata, dan bila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar (Sjafrizal, 2008:109). Tabel 4.8 menjelaskan dari tahun 2010 2013 nilai Indeks Williamson mengalami penurunan yang sedikit sekali, bisa dikatakan cenderung stagnan. Tahun 2010 nilai ketimpangan Indeks Williamson sebesar 0,697 pada tahun 2011 terjadi penurunan Indeks Williamson menjadi 0,695, dan terus menurun sampai tahun 2013 menjadi 0,692. Penurunan yang sedikit sekali tersebut menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata tidak diikuti dengan penurunan ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Jawa Tengah. Gambar 4.11 Perkembangan Indeks Wiliamsons di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014. Data diolah.

89 Tabel 4.8 Indeks Kinerja Ekonomi dan Indeks Williamsons Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013

90 Gambar 4.12 Hubungan antara IKE dan Indeks Williamsons Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 2014. Data diolah Gambar 4.12 menunjukkan hubungan antara IKE provinsi periode penelitian dengan Indeks Williamson. Hubungan tersebut sejalan dengan ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah. Tabel 4.9 Gini Ratio Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2007 2013 Tahun Gini Ratio (1) (2) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 September 2013 0,326 0,310 0,320 0,340 0,380 0,030 0,416 Sumber : Badan Pusat Statstik, 2013. Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 2007 2013 ketimpangan pendapatan penduduk Jawa Tengah terus mengalami pelebaran. Ketimpangan pembangunan sejalan dengan ketimpangan

91 pendapatan masyarakat, jarak antara yang kaya dan yang miskin semakin jauh. Ketimpangan pembangunan antar daerah akan berimplikasi pada masalah kependudukan. Kabupaten/kota yang maju akan menjadi daya tarik bagi penduduk dari kabupaten/kota yang terbelakang untuk bermigrasi dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan seperti mendapatkan prasarana yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar. Arus migrasi yang tidak terkontrol akan menyebabkan masalah kabupaten/kota maju. sosial Bagi yang lebih kabupaten/kota kompleks bagi terbelakang akan mengurangi sumber daya manusia berkualitas apabila yang bermigrasi adalah penduduk dengan kemampuan pendidikan dan ketrampilan yang baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pembangunan sangat kompleks sehingga perlu suatu penelitian dan kajian lain untuk menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerh. 2. Hasil Analisis Faktor-Faktor Kesejahteraan a. Indek Kinerja Ekonomi Daerah Deskripsi indeks kinerja ekonomi daerah telah dibahas pada bagian sebelumnya. Indeks ini digunakan untuk melihat kinerja perekonomian kabupaten/kota di Jawa Tengah.

92 b. Rasio Ketergantungan Dampak transisi demografi adalah meledaknya jumlah penduduk usia kerja muda sebagai implikasi dari tingginya angka kelahiran masa lalu, disertai dengan penurunan kematian bayi dan mencapai usia kerja muda. Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan fasilitas kesehatan terjadi peningkatan usia harapan hidup. Implikasinya adalah peningkatan permintaan kesempatan kerja dan memicu permasalahan apabila penciptaan lapangan kerja yang dibutuhkan, terutama bagi angkatan kerja muda tidak mencukupi. Jumlah penduduk usia (0 14) tahun dan (65+) tahun sebagai penduduk yang tidak produktif tentunya akan menjadi tanggungan bagi penduduk produktif atau penduduk usia kerja (15 64) tahun. Tabel 4.10 memperlihatkan Rasio Ketergantungan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam periode penelitian. Perkembangan Rasio Ketergantungan kabupaten/kota secara umum terus mengalami penurunan, hal ini menunjukkan bahwa beban penduduk usia produktif dari tahun ke tahun cenderung menurun. Kondisi tersebut juga menunjukkan proses bonus demografi mulai berlangsung.

93 Tabel 4.10 Dependency Ratio, Dependency Ratio Muda dan Dependency Ratio Tua menurut Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah

94 Bonus demografi merupakan suatu kondisi dimana proporsi penduduk usia produktif terus meningkat, apabila kondisi tersebut terus berlangsung maka akan terbuka windows of opportunity. Kondisi tersebut hanya berlangsung sekali sehingga apabila kualitas penduduk dan pendukungnya tidak dipersiapkan maka windows of opportunity akan berubah menjadi bencana demografi. 5) Gambar 4.13 Rata-rata Dependency Ratio Muda dan Tua menurut Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011 2014. Data diolah. c. Tenaga Kerja Industri dan Pertanian Kontribusi lapangan usaha dalam perekonomian di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2010 2013 sesuai dengan pembahasan sebelumnya didominasi oleh sektor pertanian dan industri. Tabel 4.10 memperlihatkan perkembangan persentase tenaga kerja di sektor industri dan pertanian kabupaten/kota di Jawa Tengah 5 Kutipan wawancaranya Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna dengan Radio Idola FM Semarang, Selasa (4/3/2014) dalam program Panggung Civil Society.

95 periode penelitian. Dilihat dari kuantitasnya secara umum tenaga kerja di sektor pertanian lebih banyak dibandingkan di sektor industri kecuali di wilayah administratif kota. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Jawa Tengah, akan tetapi bila dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian di Jawa Tengah maka tenaga kerja di sektor pertanian pemberi kontribusi ketiga setelah sektor industri dan perdagangan. Dilihat dari perkembangan tenaga kerja menunjukkan bahwa tenaga kerja di sektor pertanian berangsur-angsur menurun sedangkan tenaga kerja di sektor industri berangsur-angsur meningkat. Peningkatan perkembangan tenaga kerja di sektor industri pada beberapa kabupaten terlihat sangat tinggi, seperti Kabupaten Cilacap, Purbalingga, Kebumen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, dan Pekalongan. Peningkatan tenaga kerja di sektor industri dan penurunan tenaga kerja di sektor pertanian menunjukkan bahwa telah terjadi proses transformasi struktur perekonomian di Jawa Tengah.

96 Tabel 4.11 Persentase Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja di Industri dan Pertanian menurut Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, data diolah

97 d. Desentralisasi Fiskal Perkembangan desentralisasi fiskal merupakan representasi dari kemandirian daerah. Perbandingan rata-rata rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) tahun 2010-2013 ditunjukkan Tabel 4.11. Derajat Desentralisasi Fiskal (DFF) PAD tertinggi adalah Kota Semarang sebesar 27,25 persen dan Kota Tegal sebesar 22,96 persen yang berarti bahwa kemandirian keuangan daerah dua kota tersebut lebih tinggi dari kabupaten/kota lainnya. Terlihat pula bahwa hanya 16 kabupaten/kotakota yang memiliki DFF PAD di atas 10 persen. DFF DAU tertinggi adalah Kabupaten Purworejo sebesar 65,78 persen dan Kabupaten Pemalang 64,99 persen. DFF DAK tertinggi adalah Kota Magelang dan Kabupaten Grobogan masing-masing sebesar 7,22 persen dan 7,13 persen. DFF DBH tertinggi adalah Kabupaten Kudus sebesar 14,46 persen dan Kota Semarang 9,97 persen. Kondisi tersebut menunjukkan masih tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat. Tabel 4.11 menunjukkan pula bahwa semakin tinggi DFF PAD dan DFF DBH maka DFF DAU dan DFF DAK semakin rendah. DAK dan DAU merupakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah khususnya DAU yang akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan

98 pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya, hal tersebut untuk mengurangi ketimpangan pembangunan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah. Tabel 4.12 Desentralisasi Fiskal Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2010-2013 Sumber : Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, 2010-2013. Data diolah.

99 e. Estimasi Model Spesifikasi model regresi berganda yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Data yang digunakan adalah data cross section (kabupaten/kota) dan data time series (tahun) untuk mengolah data tersebut dilakukan penggabungan data menjadi data panel. Pengolahan dilakuakan dengan menggunakan program E-Views. 1) Estimasi Model Persamaan regresi berganda yang diperoleh dari hasil pengolahan sebagai berikut : a) Model Common Effect Model Common Effect yang terbangun adalah : IPMit = 82,16821+ 0,053490IKE1it - 0,224888 DRmuda+ 0,077399DRtua + 1,264753Tind - 4,827436Ttani + 11,87268DFF1it - 0,464218DFF2it - 5,467751DFF3it - 10,59967DFF4it + εit b) Model Fixed Effect Model Fixed Effect yang terbangun adalah : IPMit = 72,82155 + 0,278559IKE1it + 0,022743DRmuda + 0,007709DRtua + 0,010664 Tind - 2,830820Ttani + 2,422754DFF1it - 1,216373DFF2it 13,63182DFF3it - 4,399037DFF4it + εit -

100 c) Model Random Effect Model Random Effect yang terbangun adalah : IPMit = 74,73681 + 0,214843IKE1it - 0,017024DRmuda + 0,037360DRtua + 0,092988Tind - 3,506786Ttani + 4,952999DFF1it - 1,881777DFF2it - 12,60149DFF3it - 4,033559DFF4it + εit f. Pengujian Sifnifikansi Model Pemilihan model yang terbaik dari ketiga model analisis di atas dilakukan beberapa pengujian.6) Berdasarkan hasil ketiga pengujian tersebut menunjukkan bahwa Fixed Effect Model yang terbaik untuk analisis penelitian ini, sehingga model yang digunakan adalah : IPMit = 72,82155 + 0,278559IKE1it + 0,022743DRmuda 0,007709DRtua + 0,010664 Tind - 2,830820Ttani 2,422754DFF1it - 1,216373DFF2it - 13,63182DFF3it - 4,399037DFF4it + εit g. Pengujian Kriteria Statistik 1) Pengujian Signifikansi Simultan (Uji F) Untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara keseluruhan signifikan secara statistik mempengaruhi variabel terikat maka dilakukan pengujian terhadap hubungan antara variabel tidak bebas dengan sekelompok variabel bebas. Hasil pengujian menunjukkan F hitung sebesar 632.6615 lebih besar F 6 Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran F

101 tabel sebesar 1,54 F(0,05,35;104). Dengan demikian dapat diputuskan dengan α = 0,05 H0 ditolak. Artinya bahwa setidaknya ada minimal 1 variabel penjelas yang tidak bernilai nol dimana variabel penjelas secara serentak dan bersama-sama mempengaruhi variabel yang dijelaskan secara signifikan. Dilihat dari tingkat signifikansinya 0,00 (dibawah 0,05) menunjukkan hasil yang sama bahwa H0 ditolak. Keputusan yang diperoleh adalah dengan tingkat keyakinan 95 persen model yang diperoleh layak digunakan dalam analisis.7) 2) Pengujian Signifikansi Parameter Individual (Uji t) Uji signifikansi parameter individual (uji t) dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara individual dan menganggap variabel lain adalah konstan. Berdasarkan hasil pengolahan dengan E-Views terlihat bahwa dari sembilan variabel bebas terdapat enam variabel bebas dengan t hitung lebih besar dari t tabel (t(0,05;104) = 1,65964) yaitu IKE, Rasio Ketergantungan Muda, Tenaga Kerja sektor pertanian, Desentralisasi Fiskal DAU terhadap TPD, Desentralisasi Fiskal DAK terhadap TPD, dan Desentralisasi Fiskal DBH terhadap TPD. Tiga variabel lainnya secara individu tidak berpengaruh signifikan terhadap IPM.8) 7&8 Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran F

102 3) Koefisien Determinasi (R2) sebagai Penilaian Kelayakan Model R2 atau koefisien determinasi mengukur kebaikan suai (goodness of fit) dari persamaan regresi, yaitu memberikan proporsi atau persentase variasi total dalam variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel bebas. Berdasarkan hasil output pengolahan dapat dilihat bahwa R2 sebesar 99,65 persen. Ini menunjukkan kemampuan kesembilan variabel bebas dalam menjelaskan variabel terikat baik, atau dapat dikatakan bahwa kesembilan variabel bebas dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel terikat. Adjusted -R2 output menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 95 persen kesembilan variabel bebas yang tercakup dalam persamaan mampu menjelaskan variasi IPM atau secara keseluruhan pengaruh kesembilan variabel bebas terhadap IPM sebesar 99,49 persen. Sisanya sebesar 0,51 persen lainnya dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain di luar model. (9) h. Pengujian Asumsi Klasik 1) Uji Multikolinieritas Hasil penghitungan matriks koefisien korelasi antara masing-masing variabel bebas dengan perangkat Eviews 7 menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara dua variabel bebas tidak ada yang lebih besar dari 0,8 sehingga dapat 9 Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran F

103 dikatakan tidak terjadi masalah kolinearitas berganda yang serius atau multikolinieritas. Hasil yang sama ditunjukkan dengan nilai VIF dan TOL hasil pengolahan dengan perangkat SPSS 17. Output pengolahan menunjukkan bahwa semua variabel bebas memiliki nilai TOL > 0,10 dan nilai VIF < 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas.10) 2) Uji Heteroskedasitas Pengujian heteroskedasitas untuk memastikan bahwa residual memiliki varian yang konstan atau homoskedasitas. Hasil uji White dengan perangkat Eviews 7 menghasilkan bahwa (6,032497) < (9,03715) sehingga H0 berada dalam daerah diterima. Kesimpulan dari hasil tersebut adalah tidak terjadi heteroskedasitas.11) 3) Uji Autokorelasi Autokorelasi merupakan adanya korelasi antar residual dari observasi satu dengan observasi lain. Pengujian dalam penilitian ini dengan menggunakan Uji Durbin-Watson. Hasil output pengolahan diperoleh nilai Durbin-Watson sebesar 1,890420 dan berada di antara du (1,874) dan 4-du (2,126) sehingga disimpulkan tidak terjadi autokorelasi. 12) 10,11 &12 Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran F

104 4) Uji Normalitas Pengujian normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah residual memiliki distribusi normal atau tidak. Output hasil pengolahan diberoleh nilai J-B 1,38629 sehingga nilai J-B hitung hitung sebesar 0,720645 dan < = dan dapat disimpulkan bahwa residual berdistribusi normal.13) i. Penafsiran Model 1) Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) IKE memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Jawa Tengah. Ini terlihat dari hasil nilai p-value sebesar 0.0000 lebih kecil daripada taraf signifikasni (α) yang ditentukan sebesar 5 persen. IKE tersusun dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi, kontribusi terhadap perekonomian provinsi, pendapatan perkapita dan penurunan penduduk miskin. Peningkatan nilai IKE akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan, dan sebaliknya. Kenaikan IKE sebesar 1 satuan akan meningkatkan IPM sebesar 0,278559 dengan asumsi variabel lain tetap. Hasil tersebut menunjukkan berlakunya hipotesis pertama bahwa Indeks Kinerja Ekonomi berpengaruh positif terhadap IPM. Artinya bahwa kinerja perekonomian pemerintah daerah masing-masing kabupaten/kota menjadi salah satu faktor penentu 13 Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran F

105 tingkat kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota atau kemampuan pemerintah kabupaten/kota signifikan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Simpulan tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Hariadi (2010), Nasution (2007), dan Bappenas & UNDP (2008) yang secara garis besar menyimpulkan bahwa kinerja pemerintah daerah lewat kemampuan dan kebijakannya akan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan. Peningkatan kesejahteraan tentunya tidak hanya bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi saja, akan tetapi pertumbuhan peningkatan ekonomi ekonomi akan yang berdampak berkualitas pada dimana peningkatan kesejahteraan secara utuh. Pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah hendaknya menyusun target-target pembangunan dengan jelas dan responsif terhadap permasalahan dan peluang yang ada, didukung dengan ketersediaan informasi pendukung yang lengkap. Pertanggungjawaban kinerja pemerintah daerah harus didasarkan pada target dan hasil yang direncanakan tidak hanya normatif pelaporan penggunaan dana. 2) Rasio Ketegantungan Muda (DRM) DRM memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil ini terlihat dari nilai p-value sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf signifikasni

106 (α) yang ditentukan sebesar 5 persen. Kenaikan 1 persen DRM akan meningkatkan IPM sebesar 0,022743 dengan asumsi faktor lain tetap. Pengujian ini menunjukkan hipotesa kedua bahwa DRM tidak berpengaruh negatif akan tetapi untuk study kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2010 2013 DRM berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian sebelumnya Prawoto (2012) menyimpulkan bahwa Rasio Ketergantungan secara signifikan berpengaruh negatif terhadap IPM yang hasilnya serupa dengan penelitian Vijayakumar (2013) yang menyimpulkan dependency ratio berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Pengaruhnya yang positif dalam penelitian ini dimungkinkan masih banyaknya pekerja anak (dibawah 15 tahun) yang aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menambah penghasilan rumah tangga, utamanya di daerah pertanian dengan pandangan bahwa anak merupakan aset ekonomi (nuclear family). Hasil tersebut tidak menjadikan pemerintah daerah dapat mengabaikan pertumbuhan penduduk dan pekerja anak. Pertumbuhan penduduk harus tetap dikendalikan karena terkait dengan masalah sosial ekonomi daerah, seperti penyiapan lapangan kerja, penyediaan sarana dan prasaran sosial, ketahanan pangan dan lain sebagainya. Peningkatan kapasitas SDM perlu

107 disiapkan dengan optimal, baik dari sisi pendidikan dan ketrampilan hidup, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sehingga mereka akan menjadi genarasi yang tangguh, bermoral, dan siap menghadapi masa depan. 3) Rasio Ketegantungan Tua (DRT) DRT berpengaruh positif terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Jawa Tengah, sama halnya DRM faktor ini tidak signifikan. Hasil ini terlihat dari hasil nilai p-value sebesar 0, 6183 lebih besar daripada taraf signifikasni (α) yang ditentukan sebesar 5 persen. Kenaikan 1 persen DRM akan meningkatkan IPM sebesar 0,010664 dengan asumsi faktor lain tetap. Pengujian ini menunjukkan hipotesi ketiga yang berlaku adalah DRT tidak berpengaruh terhadap IPM secara signifikan pada kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Minh Quang Dao, 2012, Population and Economic Growth in Developing Countries, yang menyimpulkan bahwa dependency ratio tua berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan. Vijayakumar (2013), memberi kesimpulan bahwa dependency ratio berpengaruh positif terhadap kemiskinan. Pemerintah kabupaten/kota tetap harus memperhatikan kebijakan kependudukan, yang sering terabaikan karena kurang strategis untuk kepentingan tertentu dan sifatnya investasi jangka

108 panjang sehingga akan sulit untuk langsung dinikmati. Kebijakan kependudukan merupakan upaya sistematis dan terencana untuk meningkatkan kesejateraan melalui program-program kependudukan menyangkut masalah pokok demografis seperti fertilitas, morbiditas, mortalitas, dan mobilitas seperti pengendalian laju pertumbuhan, urbanisasi, dan sebagainya. Permasalahan di bidang kependudukan sangat kompleks, karena. Disamping itu permasalahan kependudukan akan menyangkut pada kualitas dan kuantitas penduduk. 4) Tenaga Kerja Sektor Industri (TKInd) TKInd tidak signifikan berpengaruh positif terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota di Jawa Tengah, sama halnya DRM dan DRT faktor ini juga tidak signifikan. Hasil ini terlihat dari hasil nilai p-value sebesar 0,9804 lebih besar daripada taraf signifikasni (α) yang ditentukan sebesar 5 persen. Kenaikan 1 persen TKInd akan meningkatkan IPM sebesar 0,010664 dengan asumsi faktor lain tetap. Pengujian ini menunjukkan hipotesis keempat yang berlaku adalah TKInd tidak berpengaruh signifikan terhadap IPM pada kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Sasana (2009) mengenai Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah dalam hal bahwa tenaga kerja berpengaruh positif, akan tetapi perbedaannya adalah dalam

109 penelitian ini tenaga kerja tidak signifikan. Penilitian Koromath (2012) dengan menganalisis Dampak Belanja Modal dan Tenaga Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat tahun 2007 2010 dengan Fixed Effect Model menyatakan bahwa tenaga kerja dan belanja modal berdampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. 5) Tenaga Kerja Sektor Pertanian (TKTani) Hasil nilai p-value sebesar 0.0000 lebih kecil daripada taraf signifikasni (α) yang ditentukan sebesar 5 persen menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini TKTani memiliki keterkaitan secara signifikan negatif terhadap IPM kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kenaikan 1 persen TKTani akan menurunkan IPM sebesar 2,830820 dengan asumsi faktor lain tetap. Peningkatan TKTani akan berdampak pada penurunan kesejahteraan, dan sebaliknya. Hasil tersebut memberikan rujukan bagi penentu kebijakan ketenagakerjaan di daerah untuk dapat menggarap sektor pertanian lebih serius. Peningkatan sektor pertanian masih sangat dimungkinkan, banyak kabupaten di Jawa Tengah yang menyimpan potensi luas lahan yang sangat luas dan keaneka ragaman hayati yang sangat beragam.

110 Persoalan utama sektor pertanian sangat komplek, karena pertanian menyangkut masalah aspek sosial dan budaya, tradisi, dan cara hidup petani. Permasalahan yang lain adalah jeda waktu antara memulai bertanam dan menunggu hasil produksi mempunyai tenggang waktu yang cukup lama dan berbeda-beda. Permasalahan faktor musim juga bisa menjadi kendala petani untuk mengotimalkan produksi. Petani cenderung menahan produksi untuk menghindari kerugian yang lebih besar, belum lagi biaya produksi pertanian yang semakin tahun semakin meningkat akan tetapi nilai jual relatif stabil, infrastruktur pertanian yang kurang, dan lain sebagainya. Pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan mengoptimalkan sektor pertanian sehingga dengan kebijakan yang tepat, sektor pertanian akan menambah kontribusi perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan. 6) Desentralisasi Fiskal 1 (DDF1) DFF1 merupakan perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah dengan Total Pendapatan Daerah. Pengujian keterkaitan pada variabel DFF1 dilihat dari nilai p-value t-statistik, hasil regresi menunjukkan dengan tingkat signifikansi 95 variabel DFF1 berada di daerah H0 ditolak. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah variabel Desentralisasi Fiskal

111 Pendapatan Asli Daerah secara signifikan berpengaruh positif terhadap IPM kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Kenaikan 1 persen DFF1 akan meningkatkan IPM sebesar 2,422754 dengan asumsi faktor lain tetap. Hasil penelitian ini seiring dengan penelitian sebelumnya. Badrudin (2012), dalam Evaluasi terhadap Implementasi Otonomi Daerah : Tinjauan Empiris di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta memberi simpulan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan positif terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah. Peneliti lain Abdul Bashir dan Syamsurijal AK, 2012, Potret Perekonomian Daerah setelah Desentralisasi Fiskal di Provinsi Sumatera Selatan, yang menyimpulkan desentralisasi fiskal memiliki hubungan searah dengan IPM. Penelitian Aisyah (2004;129) menyatakan secara umum keterkaitan desentralisasi fiskal terhadap peningkatan IPM dapat dilihat dari sisi penerimaan yaitu menggali potensi daerah dan mendorong peningkatan investasi atau penanaman modal daerah domestik maupun pihak asing ke daerah. Tingginya pendapatan asli daerah menunjukkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pembangunan dengan lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan pada transfer pusat. DFF1 sering dipahami juga sebagai derajat otonomi