BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
|
|
- Yuliani Setiabudi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki peluang lebih besar untuk mengatur dan mengelola berbagai urusan penyelenggaraan pemerintah bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang sudah ditetapkan oleh pemeritah pusat. Sedangkan pada UU No. 33 Tahun 2004, menuntut kesiapan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber penerimaan tersebut antara lain mencakup pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman dan Hibah. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah diatur sendiri dalam UU No. 28 Tahun Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, semua kabupaten/kota diharapkan dapat memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor perdesaan dan perkotaan pada tahun 2014 mendatang. Pada tahun yang sama, pajak rokok juga akan dipungut di tingkat provinsi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). 1
2 digilib.uns.ac.id 2 Dana APBN (Pemerintah Pusat) yang ditransfer kepada Pemerintah Daerah (APBD) dalam satu kesatuan sistem transfer yang utuh, yang digunakan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah (vertical imbalance) dan mengurangi kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antardaerah disebut Dana Perimbangan. Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen pembentukan Dana Perimbangan. Selain itu, pemerintah daerah juga mendapatkan Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dalam APBN setiap tahunnya. Dana Otonomi Khusus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat guna mendanai pelaksanaan otonomi khusu di Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Dana Penyesuaian dialokasikan guna mendanai program peningkatan kualitas pendidikan (misalnya tunjangan profesi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah atau PNSD, dana tambahan penghasilan guru PNSD, dan Bantuan Operasional Sekolah atau BOS), Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:278). Perkembangan pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat dilihat dari: (1) Pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah; (2) Pelaksanaan anggaran transfer ke daerah; (3) Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi daerah; serta (4) Pelaksanaan kebijakan Pinjaman Daerah, Hibah ke daerah, dan Investasi Daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014: ).
3 digilib.uns.ac.id 3 Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2008 mencapai Rp 292,4 triliun (5,9% dari PDB) dan menjadi Rp 529,4 triliun pada tahun 2013 (5,7% dari PDB). Alokasi anggaran transfer ke daerah pada tahun 2013 tersebut lebih tinggi 10,2% bila dibandingan dengan alokasi anggaran pada tahun 2012 yang hanya sebesar Rp 480,6 triliun. Proporsi Belanja Negara (BN) yang digunakan untuk transfer ke daerah mengalami peningkatan sebesar 1% dari 29,7% pada tahun 2008 menjadi 30,7% pada tahun Perkembangan transfer ke daerah tahun dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1.
4 Tabel 1. 1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun (triliun rupiah) I. Dana Perimbangan URAIAN 2008 %thd BN a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khuus 2009 %thd BN 2010 %thd BN 2011 %thd BN 2012 %thd BN 2013 %thd BN (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) 278,7 78,4 179,5 20,8 28,3 8,0 18,2 2,1 287,3 76,1 186,4 24,7 30,6 8,1 19,9 2,6 316,7 92,2 203,6 21,0 30,4 8,8 19,5 2,0 347,2 96,9 225,5 24,8 26,8 7,5 17,4 1,9 411,3 111,5 273,8 25,9 27,6 7,5 18,4 1,7 445,5 102,7 311,1 31,7 25,8 5,9 18,0 1,8 II. Dana Otsus dan Penyesuaian a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian 13,7 7,5 6,2 1,4 0,8 0,6 21,3 9,5 11,8 2,3 1,0 1,3 28,0 9,1 18,9 2,7 0,9 1,8 64,1 10,4 53,7 4,9 0,8 4,1 69,4 12,0 57,4 4,6 0,8 3,8 83,8 13,4 70,4 4,9 0,8 4,1 Jumlah 292,4 29,7 308,6 32,9 344,7 33,1 411,3 31,8 480,6 32,2 529,4 30,7 Catatan: BN adalah Belanja Negara Sumber : Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal
5 digilib.uns.ac.id 5 Gambar 1.1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun Sumber : diolah dari Tabel 1.1 Pembangunan yang dilakukan di daerah kabupaten/kota merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang dilaksanakan secara bertahap untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional. Pembangunan tersebut membutuhkan sejumlah dana dalam pelaksanaannya. Pembangunan di daerah membutuhkan dana yang bisa diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD merupakan implementasi dari penerapan kebijakan desentralisasi fiskal dan operasionalisasi pelaksanaan berbagai program pemerintah daerah. Berbagai potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah terkait dengan peran penting dari APBD, sedangkan bidang atau fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
6 digilib.uns.ac.id 6 APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan daerah (kebijakan yang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah) dan sisi Belanja Daerah (dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa serta belanja modal telah memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah). Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan keluaran atau output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:295). Dengan seiring meningkatnya investasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Masterplan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menunjukkan angka yang positif dan relatif stabil. Secara umum, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 sampai 2012 ditopang oleh pertumbuhan industri non-migas dan industri pengolahan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5% dan menempatkan Indonesia sebagai negara Asia ketiga setelah China dan India yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi. Apabila dilihat menurut provinsi, pada tahun 2011, ada tiga puluh satu provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi positif dan dua provinsi yang mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Sedangkan pada tahun 2012, sebagian besar pertumbuhan
7 digilib.uns.ac.id 7 ekonomi provinsi di Indonesia mengalami penguatan, dimana sembilan belas provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional dan satu provinsi memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi negatif. Untuk lebih jelas, perhatikan Gambar 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4 berikut ini. Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi, Pertumbuhan PDB, Industri Non-Migas dan Industri Pengolahan Tahun (persen) Sumber: Bappenas dan BPS RI. (2013). Data dan Informasi Kinerja Pembangunan hal.22 (data diolah)
8 Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011 (persen) Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal
9 Gambar 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014, hal
10 digilib.uns.ac.id Selain dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga dapat dilihat dari indikator kesejahteraan masyarakat (meliputi pendapatan APBD per kapita, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan). Dari tahun 2010 sampai 2012, telah terjadi proses catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat dari beberapa daerah yang relatif masih tertinggal, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo. Sedangkan untuk wilayah Jawa-Bali masih memiliki tingkat kemiskinan yang relatif rendah dan cenderung tidak mengalami perubahan. Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antarprovinsi di Indonesia. Pada tahun 2012, Jawa Barat menjadi provinsi yang memiliki pendapatan daerah per kapita paling rendah, yaitu sebesar Rp ,00 per jiwa, sedangkan Papua Barat menjadi provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita paling tinggi, yaitu sebesar Rp ,00 per jiwa. Indikator tingkat kemiskinan pada tahun 2012 menempatkan Papua sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi yaitu sebesar 30,7%. Sedangkan DKI Jakarta memiliki tingkat kemiskinan sebesar 3,7%. Pada tahun 2012, Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta memiliki tingkat pengangguran yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 10,1% dan 9,9%. Perkembangan indikator kesejahteraan masyarakat daerah dapat dilihat dari Tabel 1.2 (Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran, 2014:297). 16
11 digilib.uns.ac.id 17 Tabel 1.2 Perbandingan Pendapatan APBD per Kapita dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Tahun Provinsi Pend APBD/Kapita (ribu rupiah) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat Pengangguran (%) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Aceh ,0 19,6 18,6 8,4 7,4 9,1 Sumatera Utara ,3 11,3 10,4 7,4 6,4 6,2 Sumatera Barat ,5 9,0 8,0 7,0 6,5 6,5 Riau ,7 8,5 8,1 8,7 5,3 4,3 Jambi ,3 8,7 8,3 5,4 4,0 3,2 Sumatera Selatan ,5 14,2 13,5 6,7 5,8 5,7 Bengkulu ,3 17,5 17,5 4,6 2,4 3,6 Lampung ,9 16,9 15,7 5,6 5,8 5,2 DKI Jakarta ,5 3,8 3,7 11,1 10,8 9,9 Jawa Barat ,3 10,7 9,9 10,3 9,8 9,1 Jawa Tengah ,6 15,8 15,0 6,2 5,9 5,6 DI Yogyakarta ,8 16,1 15,9 5,7 4,0 4,0 Kawa Timur ,3 14,2 13,1 4,3 4,2 4,1 Kalimantan Barat ,0 8,6 8,0 4,6 3,9 3,5 Kalimantan Tengah ,8 6,6 6,2 4,1 2,6 3,2 Kalimantan Selatan ,2 5,3 5,0 5,3 5,2 5,3 Kalimantan Timur ,7 6,8 6,4 10,1 9,8 8,9 Sulawesi Utara ,1 8,5 7,6 9,6 8,6 7,8 Sulawesi Tengah ,1 15,8 14,9 4,6 4,0 3,9 Sulawesi Selatan ,6 10,3 9,8 8,4 6,6 5,9 Sulawesi Tenggara ,1 14,6 13,1 4,6 3,1 4,0 Bali ,9 4,2 4,0 3,1 2,3 2,0 Nusa Tenggara Barat ,6 19,7 18,0 5,3 5,3 5,3 Nusa Tenggara Timur ,0 21,2 20,4 3,3 2,7 2,9 Maluku ,7 23,0 20,8 10,0 7,4 7,5 Papua ,8 32,0 30,7 3,6 3,9 3,6 Maluku Utara ,4 9,2 8,1 6,0 5,6 4,8 Banten ,2 6,3 5,7 13,7 13,1 10,1 Bangka Belitung ,5 5,8 5,4 5,6 3,6 3,5 Gorontalo ,2 18,8 17,2 5,2 4,3 4,4 Kepulauan Riau ,1 7,4 6,8 6,9 4,8 5,4 Papua Barat ,9 31,9 27,0 7,7 8,9 5,5 Sulawesi Barat ,6 13,9 13,0 3,3 2,8 2,1 Sumber: Kementrian Keuangan RI/Direktorat Jenderal Anggaran. (2014). Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 (data diolah)
12 digilib.uns.ac.id 18 Dari Tabel 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4, perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi dan indikator kesejahteraan masyarakat provinsi Jawa Tengah menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan sosial-budaya kabupaten/kota di Jawa Tengah. Indikator pertumbuhan ekonomi berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menunjukkan kondisi kabupaten/kota di Jawa Tengah yang positif. Pada tahun 2012, Kabupaten Kudus menjadi daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, diikuti oleh Kabupaten Sragen (6,60%), Kota Magelang (6,51%), Kota Semarang (6,42%), Kabupaten Purbalingga (6,26%), Kabupaten Grobogan (6,16%), Kota Surakarta (6,12%), Kabupaten Demak (4,64%), Kabupaten Rembang (4,88%) dan Kabupaten Blora (4,99%) Sedangkan indikator tingkat kemiskinan menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah menunjukkan angka yang berfluktuatif dari tahun 2008 sampai Pada tahun 2012, Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50% dan 24,21% tahun Kabupaten Kebumen pada tahun 2012 sebesar 22,40% dan tahun 2011 sebesar 20,38%. Kabupaten Rembang tahun 2012 sebesar 21,88% dan 23,71% tahun Kota Surakarta tahun 2012 sebesar 12,01% dan tahun 2011 sebesar 12,90%. Kota Magelang sebesar 10,31% tahun 2012 dan 11,06% tahun Kota Tegal tahun 2012 sebesar 10,04% dan 10,81% pada tahun Indikator selanjutnya adalah keuangan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data realisasi menunjukkan bahwa kemampuan daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan
13 digilib.uns.ac.id 19 karena besarnya penerimaan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan pengeluaraan daerahnya. Pada tahun 2012, Kabupaten Cilacap memiliki PAD sebesar Rp ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp ribu. Pada tahun yang sama, Kabupaten Banyumas memiliki PAD sebesar Rp ribu dan realisasi belanja daerah sebesar Rp ribu. Kota Surakarta memiliki PAD sebesar Rp ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp ribu. Kota Semarang memiliki PAD sebesar Rp ribu dengan realisasi belanja daerah sebesar Rp ribu. Dengan adanya uraian di atas, maka dampak pemberlakuan kebijakan desentralisasi fiskal dari tiap Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dalam rangka meningkatkan sumber pembiayaan daerah guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti akan Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Kabupaten/Kota Provinsi B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah?
14 digilib.uns.ac.id Bagaimanakah pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? 3. Bagaimanakah pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 2. Untuk menganalisis pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 3. Untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan referensi kepada pihak yang berkepentingan dan masyarakat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota se-jawa Tengah. 2. Memberikan sumbangan terhadap pemikiran dan perkembangan ilmu ekonomi khususnya mengenai pengaruh pelaksanaan desentralisasi fiskal di Jawa Tengah dan umumnya di Indonesia. 3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
15 digilib.uns.ac.id Diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan dan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait dalam penyusunan perencanaan dan kebijakan pembangunan daerah agar dapat menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia dianggap sebagai titik sentral dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan dikendalikan oleh sumber
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian
Lebih terperinciDAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009
ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik pada tahun 2001 telah menimbulkan dampak dan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia (Triastuti
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA
KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA DIREKTORAT FASILITASI DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada
Lebih terperinci4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan
4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara, baik negara ekonomi berkembang maupun negara ekonomi maju. Selain pergeseran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya
Lebih terperinciBAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH
BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun 2000-an kondisi agribisnis tembakau di dunia cenderung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun
Lebih terperinciEVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH
EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH Rapat Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Penanganan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah Surakarta, 9 Februari 2016 Kemiskinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Fisik Daerah Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Provinsi besar, yaitu
Lebih terperinciA. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki
Lebih terperinciPopulasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),
Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan
Lebih terperinciKATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii
1 ii Deskripsi dan Analisis APBD 2014 KATA PENGANTAR Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan
Lebih terperinciFungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154
ALOKASI ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR (Alokasi Anggaran Dekonsentrasi Per Menurut Program dan Kegiatan) (ribuan rupiah) 1 010022 : DKI Jakarta 484,909,154
Lebih terperinciBPS PROVINSI SUMATERA SELATAN
BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran
Lebih terperinciV. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam
V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga-lembaga sosial. Perubahan
Lebih terperinciPREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi
LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4
Lebih terperinciPOKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017
POKOK-POKOK PIKIRAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS 2017 Kepala Subdirektorat Keuangan Daerah Bappenas Februari 2016 Slide - 1 KONSEP DASAR DAK Slide - 2 DAK Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan
Lebih terperinciTransfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN ISBN:
Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN ISBN: 978-602-74661-8-0 Copyright @ 2017 Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Disusun oleh Pusat Kajian Anggaran Penanggungjawab Dr.
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun
1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing
Lebih terperinciTABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011
TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI tahun 1945, pemerintah daerah berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
Lebih terperinciKEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam
KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan.
No.526, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAPPENAS. Pelimpahan Urusan Pemerintahan. Gubernur. Dekonsetrasi. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Dimasa pergantian era reformasi pembangunan manusia merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, bahkan tidak hanya di Indonesia di negara-negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi
Lebih terperinciNusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.
LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi
Lebih terperinciRUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN
Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22
Lebih terperinciMENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG
KEPUTUSAN NOMOR 23 / HUK / 2012 TENTANG PENETAPAN NAMA NAMA PENERIMA DANA PROGRAM ASISTENSI SOSIAL LANJUT USIA TAHUN 2012 Menimbang :, a. bahwa jumlah lanjut usia yang membutuhkan perhatian dan penanganan
Lebih terperinciBAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh
BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data
1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk
Lebih terperinciPERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN disampaikan pada: Sosialisasi
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN
No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk
Lebih terperinciBAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009
BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009 5.1.Pendahuluan Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka
Lebih terperinci- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018
- 1 - KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5/HUK/2018 TENTANG PENETAPAN PENERIMA BANTUAN IURAN JAMINAN KESEHATAN TAHUN 2018 MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mulai menempuh babak baru dalam kehidupan masyarakatnya dengan adanya reformasi yang telah membawa perubahan segnifikan terhadap pola kehidupan baik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG
SALINAN KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA DEKONSENTRASI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN ANGGARAN 2017 MENTERI PENDIDIKAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang
Lebih terperinciCatatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011
Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang
Lebih terperinci2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.112, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. DBH. Cukai Hasil Tembakau. Alokasi Sementara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI SEMENTARA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan
Lebih terperinciTabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi
Boks 2 REALISASI INVESTASI DALAM MENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU I. GAMBARAN UMUM Investasi merupakan salah satu pilar pokok dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, karena mampu memberikan multiplier effect
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN
No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan
BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat UUD RI Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN
BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah, Dalam UU tersebut perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem
Lebih terperinci- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,
- 1 - SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN
No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu, karena pada
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan
Lebih terperinciPERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016
2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 45/08/34/Th.XVIII, 5 Agustus 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2016 TUMBUH 5,57 PERSEN LEBIH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Otonomi daerah adalah
Lebih terperinciHUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI
Lebih terperinciPELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER
PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER Disampaikan Pada Acara : Rapat Penyajian dan Publikasi Data Informasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT
BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik
Lebih terperinciTINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017
No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan
Lebih terperinciBAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL
BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari reformasi. Undang-Undang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social
Lebih terperinci