8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat di sekitar hutan dengan lembaga-lembaga tradisionalnya yang telah mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan jauh sebelum diklaim sebagai hutan negara. Perbedaan pemaknaan dan tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan akan lebih jelas dan menjadi masalah ketika keberadaan institusi/ kelembagaan baru melemahkan atau bahkan meniadakan keberadaan kelembagaan lain. Konflik sumberdaya hutan selalu melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Setidaknya pada kasus TNGHS ada dua pihak yang berkonflik yaitu negara dan Masyarakat Kasepuhan, sedangkan pada kasus Sungai Utik melibatkan banyak pihak yaitu negara (pemerintah pusat) yang kemudian melibatkan perusahaan (swasta), negara (pemerintah daerah) yang juga melibatkan perusahaan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan hutan Sungai Utik, konflik sumberdaya hutan secara ringkas dapat dikatakan sebagai konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. Konflik tersebut terjadi karena adanya perbedaan pandangan tentang hutan, tumpang tindih kelembagaan hutan, perebutan otoritas atas teritori hutan yang melibatkan adanya dua kelembagaan dengan klaim penguasaan atas sumberdaya hutan yang sama serta perbedaan perlakuan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Konflik pemaknaan terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap fungsi hutan. Perbedaan pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pengetahuan. Pengetahuan masyarakat bersumber dari tradisi budaya berdasarkan aspek historis yang diturunkan secara turun temurun, sedangkan pengetahun negara bersumber dari peraturan perundang-undangan. Pengetahuan memberi kekuasaan kepada para pihak untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya hutan. Negara memaknai hutan sebagai sumber ekonomi sementara masyarakat 243
memaknai hutan sebagai ruang kehidupan. Pemaknaan dari negara atas hutan cenderung mendominasi pemaknaan masyarakat atas hutan, karena negara memainkan peraturan perundang-undangan sebagai alat kekuasaan, sementara masyarakat dipaksa untuk mematuhi aturan yang datang dari negara sebagai konsekuensi warga negara Indonesia. Konflik tenurial terjadi karena adanya tumpang tindih klaim atas penguasaan lahan/ tanah. Klaim penguasaan lahan oleh negara didasarkan atas peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, antara lain: Pasal 33 UUD 1945, UUPA dan UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyiratkan bahwa negara menjadi penguasa atas seluruh tanah/ hutan dan kekayaan alam didalamnya. Sedangkan masyarakat adat mengklaim kepemilikan lahan/ hutan berdasarkan hukum adat/ ulayat. Klaim masyarakat adat atas tanah berbenturan dengan klaim oleh negara selaku penguasa seluruh tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara. Bila dilihat dari aspek kesejarahan, Masyarakat Kasepuhan selalu terlibat konflik dengan negara sejak dulu, sejak zaman penjajahan, namun, konflik selalu mereda ketika masyarakat mempunyai akses terhadap tanah untuk kepentingan livelihood dan akses terhadap pengaturan hutan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakatnya. Sekalipun mereka kehilangan hak (property right) atas tanah tersebut, selama memiliki akses terhadap kawasan, masyarakat dapat menerima keberadaan penguasaan tanah yang diklaim oleh negara. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, sejarah membuktikan bahwa keberadaan mereka di kawasan tersebut sangat dominan. Mereka memiliki semua hak akses terhadap hutan, bahkan keberadaan kebijakan pemerintah (baik pusat maupun daerah) tidak mampu mengeluarkan masyarakat dari kawasan tersebut. Sekalipun secara formal mereka tidak memiliki property right, namun mereka mempunyai akses, mereka mempunyai ability untuk mengelola dan mengambil manfaat dari kawasan hutan. Namun demikian, mereka tetap hidup dalam kecemasan karena klaim penguasaan negara atas kawasan tersebut tidak pernah dicabut. Oleh karena itu, hak kepemilikan merupakan hal yang penting bagi kedua masyarakat baik Kasepuhan maupun Dayak Iban dalam rangka menjamin kelangsungan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 244
Konflik otoritas adalah konflik yang timbul karena pertentangan kekuasaan/ kewenangan diantara dua kelembagaan. Konflik otoritas ini melibatkan kelembagaan sebagai alat otoritas. Otoritas inilah yang menjadi legitimasi masingmasing pihak yang saling berhadapan. Dalam kasus konflik sumberdaya hutan di TNGHS dan Hutan Sungai Utik, setidaknya terdapat dua otoritas yang saling berhadapan yaitu otoritas negara dan otoritas masyarakat. Otoritas negara bersumber dari peraturan perundang-undangan (kebijakan negara), sedangkan. otoritas masyarakat adat bersumber dari tradisi budaya (kelembagaan lokal). Dalam kasus Sungai Utik, negara dengan otoritas formalnya telah memberikan otoritas pemanfaatan hutan pada aktor pengusaha, sehingga konflik otoritas di Hutan Sungai Utik pada level grassroot menghadapkan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dengan pengusaha selaku pemegang otoritas IUPHHK dan pengusaha pemegang IUP. Setiap otoritas berusaha untuk menyingkirkan otoritas lain dan menjadi otoritas satu-satunya di kawasan tersebut. Semakin tajam konflik sumberdaya hutan maka semakin terlihat adanya pihak yang tersubordinasi dan pihak lain yang menjadi superordinat. Dalam kasus konflik di TNGHS dan Hutan Sungai Utik ditemukan bahwa negara dengan otoritas formalnya menduduki posisi otoritas superordinat sedangkan masyarakat menjadi pihak yang subordinat. Sebagai pihak yang subordinat, masyarakat adat melakukan perjuangan untuk memperoleh otoritas atas penguasaan sumberdaya hutan. Dalam kasus TNGHS, distribusi otoritas yang tidak merata antar kelompok konflik inilah yang menyebabkan konflik terus terjadi. Dalam kasus Sungai Utik, soliditas kelembagaan membuat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik selaku pihak yang tersubordinasi mampu mempertahankan otoritasnya dengan menguasai kontrol atas sumberdaya Hutan Sungai Utik. Konflik livelihood terjadi ketika ada perbedaan tindakan sosial akan sumberdaya hutan yang didasarkan atas kepentingan yang berbeda. Kepentingan masyarakat adat berhadapan dengan keberadaan kepentingan negara. Dalam kasus di TNGHS, Konflik menghadapkan kepentingan negara (BTNGHS) dengan Masyarakat Kasepuhan. Sebenarnya baik BTNGHS (negara) maupun Masyarakat 245
Kasepuhan sama-sama berkepentingan terhadap hutan untuk konservasi, hanya saja model konservasi yang dikembangkan kedua belah pihak berbeda. Dalam konsepnya Masyarakat Kasepuhan, hutan disamping untuk konservasi juga merupakan basis livelihood mereka. Pada kasus Sungai Utik, konflik terjadi antara Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha. Masyarakat adat mempertahankan sumberdaya hutan karena alasan konservasi dan ekonomi livelihood, sementara negara dan pengusaha menginginkan sumberdaya hutan atas alasan ekonomi komersial pasar global (kapitalis). Basis konflik pada level grassroot ini adalah akuisisi materi, dimana ada tarik menarik kepentingan ekonomi. Perbedaan kepentingan membuat perbedaan perlakuan terhadap hutan. Dalam konsep masyarakat adat hutan bukan hanya sebagai kumpulan vegetasi melainkan sumber livelihood masyarakatnya. Namun demikian, pemanfaatan hutan menurut masyarakat adat tersebut diatur dengan tradisi budaya, dimana tidak setiap tempat boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan, begitupun dengan pengambilan manfaat dari kayu mensyaratkan adanya pembatasan pengambilan dan tindakan penanaman sebelum pengambilan. Masyarakat memanfaatkan hutan dengan mempertimbangkan keberlangsungan hutan dan kehidupan makhlukmakhluk lain yang hidupnya bergantung pada hutan. Hal ini berbeda dengan konsep hutan dalam kepentingan negara. Negara (dalam kasus hutan produksi) boleh memanfaatkan hutan baik kayu maupun non kayu dalam jumlah sesuai dengan kepentingan pasar, tanpa memperhitungkan terganggunya ekosistem hutan. Dampak dari konflik sumberdaya hutan tersebut pada level kelompok menyebabkan kelentingan masyarakat meningkat. Kelentingan tersebut dinilai berdasarkan kemampuan bertahan (survival), kemampuan konsolidasi, kemampuan mengulur waktu dan kemampuan memeluk pihak lain. Kelentingan pada Masyarakat Kasepuhan ditunjukkan dengan kemampuan masyarakat menghindari serangan, menghindari konflik terbuka, menggalang aliansi dengan kelompok Masyarakat Kasepuhan lain dan membentuk kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul (SABAKI), menggalang bantuan dari pihak lain, kemampuan mengembangkan web of powernya dengan cara merangkul LSM dan pemerintah 246
daerah untuk bernegosiasi dengan BTNGHS mendialogkan kembali tentang tata batas, akses bahkan zonasi Kelentingan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik ditunjukkan dengan cara melawan dan konflik terbuka, mempertahankan hak akses atas hutan dan mengusir lawan dari kawasan, meningkatkan soliditas dengan seluruh anggota Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan sesama suku Dayak Iban dalam Ketemenggungan Jalai Lintang, mengembangkan web of powernya dengan merangkul LSM baik nasional maupun internasional, yang membantu masyarakat dalam hal pemetaan, meraih sertifikat ekolabeling, propaganda mengenai pengelolaan hutan lestari berbasis pengetahuan masyarakat adat dalam rangka perjuangannya memperoleh pengakuan sebagai hutan adat. Berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan dilapangan, maka konflik sumberdaya hutan pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melahirkan teori baru yaitu Teori Kelentingan Sosial Dalam Perebutan Sumberdaya Hutan. Kelentingan tersebut dipahami sebagai struggle for survival. Dengan kata lain bahwa complex social conflict menghadirkan kelentingan sosial. Setiap masyarakat mempunyai tingkat kelentingan yang berbeda-beda. Masyarakat dengan kelentingan yang tinggi memungkinkan terjadinya penyelesaian konflik dengan cara dialog. 8.2. Saran Konflik penguasaan sumberdaya hutan merupakan konflik yang terjadi karena adanya perbedaan pemaknaan, perebutan tenurial, perebutan otoritas dan perbedaan kepentingan livelihood,. Konflik menjadi tidak terhindarkan ketika kebijakan negara menegasikan hak dan akses masyarakat adat yang sudah lama tinggal di lokasi dan mengklaim bahwa kawasan tersebut adalah miliknya yang diperoleh secara turun temurun. Hilangnya hak dan akses terhadap sumberdaya hutan menyebabkan masyarakat juga kehilangan otoritas dalam pengaturan tata kelola sumberdaya hutan. Oleh karena itu penyelesaian konflik pada konflik penguasaan sumberdaya hutan harus dapat menyelesaikan fenomena konflik pemaknaan, konflik tenurial, konflik otoritas dan konflik livelihood. 247
Konflik sumberdaya hutan tersebut tidak dapat hanya diselesaikan melalui pendekatan yuridis formal, namun juga harus mempertimbangkan perspektif kesejarahannya. Dalam konteks tersebut, konflik tidak semata-mata terletak pada legitimasi hukum dan perundang-undangan yang menetapkan sebuah status kawasan hutan sebagai hutan negara, namun penetapan status sebuah kawasan hutan juga harus mengakomodir keberadaan kawasan lahan serta hutan adat sebagai hak masyarakat adat. Hutan bukan hanya dipandang dari aspek aturan namun juga harus mempertimbangkan aspek kultural masyarakat yang hidup dari dan berada di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Penyelesaian konflik sumberdaya hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan tipe masyarakat yang terlibat dalam konflik tersebut dan jenis hutan menurut kebijakan negara. Pada Masyarakat Kasepuhan, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict resolution, yaitu penyelesaian konflik yang memungkinkan hasil positif bagi kedua belah pihak (win-win solution). Dalam penyelesaian konflik di TNGHS, pemerintah daerah merupakan kolaborator masyarakat adat, karena berani berhadap-hadapan dengan negara (Kementerian Kehutanan) dalam rangka menyelesaikan konflik dan memperjuangkan hak akses Masyarakat Kasepuhan. Persoalan konflik pada kawasan TNGHS adalah persoalan ketidak-merataan distribusi penguasaan sumberdaya. Oleh karena itu penyelesaian konflik Masyarakat Kasepuhan dapat dilakukan melalui pendekatan kekuasaan, yaitu pendistribusian kekuasaan negara kepada Masyarakat Kasepuhan yang dapat menjamin kelangsungan Masyarakat Kasepuhan untuk memiliki akses (bundle of power) terhadap hutan, termasuk menjamin kelangsungan livelihood mereka di kawasan hutan. Pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan conflict transformation yaitu merubah konflik yang tadinya negatif kearah penyelesaian yang positif. Dalam penyelesaian konflik di Sungai Utik, pemerintah daerah bukan kolaborator masyarakat adat karena dengan otoritas otonomi daerahnya, pemerintah daerah malah menyebabkan konflik semakin kompleks dengan menerbitkan IUP untuk pengusaha. Oleh karena itu, penyelesaian konflik pada kawasan hutan Sungai Utik harus bersifat kelembagaan/ institusi, melalui penerbitan kebijakan negara yang memberikan 248
hak pengelolaan kawasan hutan Sungai Utik pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang nyata-nyata diakui melalui sertifikat ekolabeling mempunyai pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan yang lestari. Persolannya konflik sumberdaya hutan pada kawasan TNGHS dan hutan Sungai Utik terjadi juga karena adanya pemaknaan atas hutan yang didasarkan karena adanya perbedaan pengetahuan dalam tata kelola hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada pengetahuan masyarakat lokal jauh lebih baik dibandingkan dengan penguasaan hutan berdasarkan tata kelola negara, karena bagaimanapun juga tindakan negara didasarkan atas dualisme kepentingan, yaitu kelestarian hutan dan pemanfaatan hutan sesuai mekanisme pasar. Sementara itu diketahui bahwa mekanisme pasar telah gagal mendorong keberlanjutan dan kesetaraan dalam manajemen SDA. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya hutan lebih baik diserahkan kepada masyarakat, karena masyarakat lokal lebih berkepentingan terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan dibanding siapapun. Kolaborasi manajemen bisa dilakukan antara negara dan masyarakat, dimana negara memegang kontrol atas sumber daya hutan tersebut sementara pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat. Keterlibatan pengusaha dimungkinkan selama tidak merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Salah satu pemicu konflik juga karena ada campur tangan pemerintah daerah yang membuat konflik semakin kompleks. Hal ini terjadi karena otonomi daerah masih dijalankan setengah hati. Selama pemerintah pusat masih mengontrol pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, maka peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk hutan hanya akan membuat konflik sumberdaya alam semakin rumit dan masyarakat adat semakin jauh dari perjuangannya untuk memperoleh hak kelola hutan sebagai hutan adat mereka. Oleh karena itu perlu adanya kepastian hukum dan peningkatan kemampuan daerah dalam mengatasi berbagai macam kendala desentralisasi, sehingga daerah mampu mengelola sumberdaya alam. Dengan demikian disarankan bahwa orientasi kebijakan sumberdaya alam kedepan adalah pembangunan ekonomi lingkungan yang berkelanjutan, yaitu mensinergikan antara pembangunan lingkungan (lingkungan lestari) dan 249
keberlanjutan masyarakatnya. Masyarakat yang berkelanjutan memungkinkan setiap orang untuk memiliki kualitas hidup yang tinggi baik secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, intervensi kelembagaan negara dan introduksi teknologi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, harus layak dan berlaku untuk kondisi setempat. Artinya harus mengadopsi budaya lokal. Masalah lingkungan adalah masalah manusia tidak hanya masalah teknologi. Pendidikan tentang lingkungan harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum intervensi kebijakan dilakukan, dengan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal agar terciptanya masyarakat yang berkelanjutan. 250