Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

Bab IV Analisis. Batas

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

BAB VII STRUKTUR AGRARIA DESA CIPEUTEUY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

VI. GARIS BESAR PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) DI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI

IV. METODE PENELITIAN. Halimun Salak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

TATA CARA DAN ATURAN PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT BERDASARKAN HUKUM ADAT: Studi Kasus Kasepuhan Ciptagelar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB VII DAMPAK KONVERSI LAHAN TERHADAP KEBERLANJUTAN EKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

III. KERANGKA PEMIKIRAN Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development, IAD)

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug

2016 KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN SANITASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT KASEPUHAN CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI

Model Desa Mandiri Energi Berbasis Mikrohidro di Sekitar Taman Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Jarak dari Kecamatan Megamendung ke Desa Megamendung adalah 8 km,

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

IX. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI AKIBAT PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air merupakan kebutuhan vital setiap makhluk hidup. Dalam kehidupan

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Seorang diri, Sadiman memerdekakan desanya dari kekeringan

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moch Ali M., 2015

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

KAMPUNG NAGA MASYARAKAT ADAT YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN oleh : redaksi butaru *

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan yang

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Warisan Budaya Tak Benda (Nilai Tradisi, Kampung Adat Wae Rebo, Kab. Manggarai, NTT)

Gambar 2 Peta kawasan Kasepuhan Citorek di kawasan TNGHS.

BAB V SUMBER DAYA ALAM

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat baik bila industri ini dapat dikelola dan dikembangkan secara

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

TIPOLOGI EKOSISTEM DAN KERAWANANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

LAMPIRANSURAT UJI VALIDITAS SD MANGUNSARI 05 SALATIGA

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

LAPORAN VERIFIKASI PROKLIM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

Lailan Syaufina 1 dan Fransisxo GS Tambunan 1

Transkripsi:

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar merupakan komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Dan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai pusat pemerintahan dari adat Banten Kidul tersebut. Ada sekitar 560 kampung yang masih memegang teguh adat Banten Kidul, dan setiap kampung memiliki perwakilan yang melaporkan setiap perkembangannya kepada Ketua Adatnya. Adapun Ketua Adatnya tersebut berada di Kasepuhan Ciptagelar. Ciptagelar merupakan sebuah nama yang diberikan Ketua Adatnya terdahulu yaitu Encup Sucipta (Abah Anom). Dan nama itu diambil dari namanya sendiri yaitu Sucipta, sedangkan gelar artinya yaitu terbuka. Warga Kasepuhan Ciptagelar bisa dikatakan sebagai warga yang semi nomaden, karena mereka berpindah-pindah tempat sesuai dengan wangsit yang diterima oleh Ketua Adatnya. Ciptagelar merupakan daerah perpindahan mereka yang ke-11 sebelumnya di Ciptarasa. Sudah lima tahun mereka tinggal di Ciptagelar. Tidak ada yang tahu sampai kapan mereka tinggal di tempat yang sekarang ini. Hanya wangsit saja yang bisa membuat mereka pindah ke lokasi lain. III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar Kasepuhan Ciptagelar tepatnya berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah desa seluas sekitar enam hektar di tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dapat dilihat pada peta yang ditunjukkan pada gambar 3.1. Selama lima tahun terakhir desa itu dihuni masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar. Kasepuhan Ciptagelar berdiri tegak di leher Gunung Halimun pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Untuk menuju lokasi Kasepuhan Ciptagelar selain berjalan kaki, bisa juga dengan menggunakan kendaraan. Jalan menuju puncak bukit adalah barisan bebatuan yang hanya sedikit lebih lebar dari jalan setapak. Banyak terdapat sungai yang 22

mengalir disana yang berasal dari mata air yang terus mengalir. Dari situlah warga memanfaatkan untuk mengairi sawahnya, untuk keperluan sehari-hari seperti minum, memasak, dan mencuci. Selain itu mereka juga memanfaatkan sungai tersebut untuk memutar turbin yang mereka buat, sehingga bisa menghasilkan energi listrik. Topografi disana merupakan dataran tinggi yang memiliki sudut elevasi yang cukup ekstrim sehingga banyak sekali terdapat jurang-jurang yang sangat terjal. Dengan keadaan seperti itu mereka menggunakan prinsip terasering untuk membuat sawahnya. Gambar 3.1 Peta Lokasi TNGHS III.1.2 Karakteristik Warga Kasepuhan Ciptagelar Warga disana seperti yang diketahui yaitu sekumpulan orang yang memegang teguh adatnya yaitu adat Banten Kidul. Mereka sangat patuh akan hukum adat atau aturan-aturan yang berlaku disana, meskipun hukum adatnya atau aturanaturan tidak tertulis dalam suatu buku atau suatu catatan penting lainnya. Tidak ada paksaan untuk melaksanakan hukum adat tersebut, melainkan adanya kesadaran dan kepatuhan mereka pada hukum adat, juga rasa hormat mereka kepada Ketua Adatnya. Hal seperti itu merupakan turun temurun dari generasi sebelumnya (leluhur), dan akan terus berlanjut sampai generasi berikutnya. Warga Kasepuhan Ciptagelar menganut kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistis, atau biasa disebut Religio-magis. Sebagai contoh yaitu mereka masih 23

percaya akan wangsit dan hukuman berupa walatan atau kualat. Wangsit dan walatan tersebut mereka yakini berasal dari leluhur-leluhur mereka. Wangsit yaitu berupa nasihat atau pesan yang disampaikan oleh leluhur mereka, sedangkan walatan yaitu hukuman atau akibat yang ditimbulkan jika seseorang tidak mematuhi aturan-aturan adat. Hanya orang tertentu saja yang bisa menerima wangsit, yaitu Ketua Adatnya. Makanya warga disana sangat mernghormati dan menghargai kepemimpinannya. Mereka percaya bahwa Ketua Adat merupakan keturunan dari leluhur-leluhur mereka. Segala urusan disana mulai dari kependudukan, pertanian, kesenian, pertanahan dan lain-lain diatur oleh Ketua Adatnya. Tentu saja Ketua Adatnya memiliki bawahan-bawahan (baris kolot) yang membantu dalam menangani bidang-bidang tersebut di atas. Jadi Ketua Adat memegang peranan yang sangat penting di Kasepuhan Ciptagelar. Warga disana terkenal dengan sifat ramahnya, saling menghormati satu sama lain, patuh akan aturan adatnya dan jauh sekali dari sifat yang suka berlebihan. Mereka hidup dalam lingkungan sederhana, tetapi dalam hal tertentu mereka juga hidup dengan sesuatu yang modern. Hampir semua warga disana memiliki mata pencarian sebagai petani. Itu yang membuat mereka hidup sampai sekarang ini. Bisa dikatakan dalam hal pertanian mereka sangat berhasil, karena sampai sekarang mereka mempunyai persediaan beras untuk dua sampai lima tahun, dan tidak pernah ada warganya yang kelaparan. Oleh karena itu mereka sangat menjaga keseimbangan alam disana. Mereka memelihara dan menjaga hutan dan tanah mereka agar tetap lestari. Salah satu usahanya yaitu dengan menanam padi hanya satu kali dalam setahun. Hal itu dilakukan agar tanah tetap subur, walaupun tanpa menggunakan pupuk kimia. Dan itu juga merupakan salah satu dari hukum/aturan adat disana, yang melarang menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun. Bisa dikatakan bahwa urusan tanah merupakan urusan hidup-mati bagi warga Kasepuhan Ciptagelar. III.2 Karakteristik Pertanahan Adat Di Kasepuhan Ciptagelar Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, dikatakan bahwa unsur tanah adalah urusan hidup-mati warga kasepuhan yang menyebut dirinya sebagai keturunan langsung pancer pangawinan. Secara harfiah, pancer berarti sumber, 24

sedangkan pangawinan adalah tempat mengawinkan atau tempat mempertemukan dua insan yang berbeda. Dalam konteks kehidupan nyata kasepuhan, hal itu berarti mempersatukan "Dewi Sri atau dalam bahasa setempat, Nyi Pohaci, yaitu dewi padi dengan tanah", mempersatukan "bumi dengan langit", dan mempersatukan "manusia dengan kemanusiaannya". Dalam pengertian lain, konsep itu juga bermakna mempersatukan "makro dengan mikro kosmos" untuk mencapai kesatuan dan keseimbangan hidup (Kuntari dan Badil, 2005). Dengan kata lain, mereka memberi penghargaan yang tinggi terhadap tanah. Mereka menggunakan tanah selain sebagai alas tempat tinggal mereka, juga mereka manfaatkan sebagai sumber kehidupan yaitu dengan mengarap lahan/tanah yang kosong menjadi sawah atau ladang. Jadi di Kasepuhan Ciptagelar memang diatur mengenai pertanahan yang tentunya menggunakan hukum adat atau aturan-aturan yang berlaku disana. Mereka memiliki cara-cara tersendiri dalam mengurusi masalah pertanahannya. Hal itu merupakan warisan turun temurun dari leluhur-leluhur nya. Dan mereka sangat menjaga serta menjalankan aturan-aturan tersebut tanpa adanya paksaan atau desakan dari Ketua Adatnya. Jika mereka melanggar aturan-aturan tersebut, mereka tidak akan mendapatkan teguran ataupun hukuman melainkan akan mendapatkan walatan atau kualat yaitu suatu hukuman yang tidak bisa dilihat secara fisik, namun dapat dirasakan langsung oleh si pelanggar hukum tersebut, bisa berupa sakit atau bahkan kematian. III.2.1 Aturan-aturan Yang Ada Dalam sistem pertanahan adat di Kasepuhan Ciptagelar terdapat aturan-aturan yang harus dipegang teguh oleh seluruh warganya serta Ketua Adatnya sekalipun. Mereka tidak bisa sembarangan dalam mengatur atau mempergunakan tanahnya. Meskipun aturan-aturan itu tidak tertulis, mereka sangat menghargai dan menjalankan aturan-aturan tersebut tanpa adanya paksaan melainkan dengan kesadaran warganya masing-masing. Sepatutnya kita malu sebagai warga yang tinggal di dekat kota yang pada umumnya memiliki pendidikan dan pengetahuan yang lebih baik mengenai hukum dan aturan-aturan yang ada di negara ini. 25

Apalagi mengenai masalah pertanahan yang sering terjadi dan sedang hangathangatnya dibahas di negara kita ini yaitu sengketa kepemilikan tanah atau sertifikat ganda. Mereka sangat patuh pada aturan yang ada disana, kesadaran mereka dalam mematuhi hukum atau aturan adat yang berlaku disana patut kita tiru dan kita aplikasikan di negara kita tercinta ini. Dari hasil penelitian langsung ke lapangan dapat diketahui bahwa di sana terdapat aturan-aturan mengenai bagian-bagian atau lokasi tanah mana saja yang tidak boleh dijadikan tempat tinggal atau untuk menggarap sawah. Adapun tempat atau lokasi tersebut yaitu (Sucipta, 2007): Sirah cai Sirah cai bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu sumber mata air. Mereka sangat percaya bahwa lokasi tersebut tidak boleh ditempati ataupun dimanfaatkan menjadi sawah. Sumber mata air memang seharusnya tidak boleh dijadikan sebagai tempat tinggal atau sawah, karena dapat mengganggu sumber mata air tersebut. Apalagi air merupakan salah satu sumber penghidupan, karena digunakan untuk mengairi sawahnya atau digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti memasak, mencuci, ataupun mandi. Lemah gunting Lemah gunting bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu pertemuan dua sungai kecil. Mereka percaya bahwa tempat itu merupakan pertemuan dua kekuatan yang ada hubungannya dengan mistis. Bila ada keluarga yang tinggal di tempat itu mereka percaya bahwa akan terjadi sesuatu di keluarga tersebut. Maksudnya yaitu keluarga tersebut bisa menjadi tidak rukun, atau salah satu dari anggota keluarganya terkena penyakit yang tidak jelas berasal dari mana penyakit tersebut. Pamatangan Pamatangan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yaitu gundukan tanah. Mereka percaya di tempat tersebut merupakan tempat mahluk gaib 26

berada. Jika ada yang tinggal di tempat tersebut mereka juga percaya akan terjadi sesuatu pada keluarga tersebut, bisa berupa tidak rukunnya keluarga tersebut ataupun bisa berupa penyakit. Mengingat masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tinggal di wilayah hutan, yaitu di Gunung Halimun mereka juga memiliki aturan mengenai pemanfaatan kayu yang ada di hutan tersebut. Sebenarnya mereka menjaga kelestarian lingkungan daerah tersebut. Hal itu terbukti dengan adanya aturan dalam hukum adat mereka yang tidak membolehkan semua lahan di daerah tersebut untuk digarap. Adapun bagian-baginnya yaitu (Sucipta, 2007): Leuweung Titipan Leuwung titipan yaitu hutan yang tidak boleh digarap oleh warga, kecuali untuk keperluan adat. Biasanya pohon yang diambil dari leuweung titipan digunakan untuk keperluan umum, seperti untuk membangun jembatan dan lain-lain. Mereka juga tidak lupa menanam kembali dengan pohon-pohon baru untuk menggantikan pohon yang ditebang. Leuweung Tutupan Leuwung tutupan yaitu hutan yang tidak boleh digarap oleh warga maupun untuk keperluan adat. Bila diterjemahkan dengan bahasa lain, leuweung tutupan berarti hutan rimba. Leuweung Garapan Leuweung garapan yaitu hutan yang bisa digarap oleh warga. Warga boleh mengambil kayu untuk keperluannya, seperti untuk membuat tempat tinggal, kayu bakar, dan lain-lain. Bisa dikatakan bahwa mereka mematuhi semua aturan yang ada disana dikarenakan mereka takut akan walatan atau kualat yang mereka terima jika mereka melanggar aturan-aturan tersebut. Dan selain itu juga, mereka ingin agar lingkungan sekitar mereka tidak rusak oleh perbuatan mereka sendiri. 27

III.2.2 Peran Ketua Adat Dalam Pembagian Tanah Sebelum kepindahan Abah Anom dan beberapa orang kepercayaannya ke Ciptagelar, ternyata di Ciptagelar sudah ada sawah dan hal itu berarti di daerah tersebut sudah ada yang menggarap terlebih dahulu. Namun dengan pindahnya Abah Anom dari Ciptarasa ke Ciptegelar maka pengaturan akan lahan yang ada disana menjadi wewenangnya. Mengingat mereka sangat menghargai dan menghormati Ketua Adatnya, maka warga mematuhi semua perintah dan nasihatnya. Adapun penentuan lokasi untuk pemukiman dan lokasi untuk garapan sawah semuanya di atur oleh Ketua Adat. Itu pun harus tetap mengikuti aturanaturan adat, yaitu dengan menghindari lokasi-lokasi yang dilarang untuk membuat rumah atau menggarap sawah seperti sirah cai, lemah gunting, dan pamatangan. Jadi bisa dikatakan Ketua Adat memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan lokasi dimana yang paling baik untuk pemukiman dan sawah. III.2.3 Identifikasi Batas Untuk menentukan luas, bentuk serta lokasi suatu bidang persil tanah maka dibutuhkkan suatu batas tanah yang ada kaitannya juga dengan kepemilikan suatu bidang tanah. Batas yaitu penanda dari suatu wilayah, selain itu batas juga dapat didefinisikan dalam segi hukum yaitu suatu garis khayal yang tak kasat oleh mata, namun di dalamnya terkandung suatu hukum yang tidak membolehkan seseorang untuk menggunakan hak dari suatu bidang tanah atau wilayah yang masih di dalam batasnya. Diperlukan batas yang jelas untuk mempermudah dalam pendaftaran tanah jika tanah itu memang nantinya akan didaftarkan. Batas yang digunakan untuk suatu bidang tanah dengan bidang tanah lainnya umumnya menggunakan pohon Hanjuang, seperti ditunjukkan pada gambar 3.2. Pada awalnya pohon Hanjuang digunakan warga untuk penolak bala pada sekeliling rumah atau suatu garapan tanah. Dan seiring berjalannya waktu, pohon Hanjuang tersebut dianggap sebagai penanda batas dari suatu garapan tanah milik warga. Selain itu, alasan mereka menggunakan pohon Hanjuang yaitu karena batangnya tegak, dan tidak terlalu besar, selain itu juga jika pohon Hanjuang 28

tersebut ditebang, maka suatu saat akan tumbuh kembali sehingga batas bidang tanah tersebut tidak hilang (Muhtar, 2007). Gambar 3.2 Pohon Hanjuang Hanjuang Batas Tanah Gambar 3.3 Batas sebidang tanah Pada gambar 3.3 tersebut, dapat terlihat dengan jelas batas suatu rumah atau sebidang tanah milik salah satu warga Kasepuhan Ciptagelar. Batas tersebut ditandai dengan adanya pohon Hanjuang di pojok/sudut sebidang tanah milik warga tersebut. 29

Hanjuang Batas Gambar 3.4 Batas sebidang tanah Bila kita memperhatikan gambar 3.4 di atas, ternyata ada juga beberapa warga yang membatasi tanahnya dengan menggunakan pagar yang terbuat dari kayu. Pagar tersebut digunakan warga untuk membatasi daerah atau wilayah garapannya bukan untuk membatasi kepemilikannya. Umumnya disana hanya menggunakan pohon Hanjuang untuk dijadikan batas fisik tanah, namun dengan semakin majunya pola pikir warga Kasepuhan Ciptagelar apalagi dengan adanya televisi dan stasiun radio maka membuat mereka terpengaruh dengan hidup yang modern. Ada juga beberapa warga Kasepuhan Ciptagelar yang tidak membuat batas tanah garapannya. Mereka merasa tidak perlu membatasi rumahnya dengan batas atau tanda fisik yang tampak oleh mata. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 3.5 berikut ini. Gambar 3.5 Batas tanah garapan (rumah) 30

Untuk suatu lahan garapan tanah yang digunakan untuk persawahan, mereka juga memperlakukan hal yang sama dalam penentuan batasnya. Mereka bebas saja membuka lahan untuk membuat sawah semampu mereka dalam menggarapnya. Adapun anggapan bahwa batas yang digunakan untuk memisahkan satu sawah dengan sawah lainnya sama seperti halnya yang biasa kita lihat di suatu persawahan di pinggir kota, yaitu adanya pematang atau gundukkan tanah. Selain untuk dapat menahan air agar tetap berada dalam lahan sawah tersebut, pematang atau gundukkan tanah tersebut digunakan sebagai batas garapan antara satu sawah dengan sawah lainnya seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.6. Batas sawah Gambar 3.6 Batas Tanah garapan (sawah) Untuk keperluan adat mereka juga menggunakan batas untuk memisahkan antara leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan. Batas tersebut mereka gunakan untuk mengetahui daerah mana yang termasuk leweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan. Hal itu ada kaitannya dengan aturan yang ada di adat Kasepuhan Ciptagelar tersebut yang membagi hutan menjadi bagian yang bisa digarap oleh warga atau yang tidak bisa digarap. Adapun yang mereka gunakan untuk membatasi bagian-bagian hutan tersebut sama seperti halnya untuk membatasi suatu bidang tanah dengan bidang tanah lainnya yaitu berupa pohon Hanjuang dan pohon Botol. Alasan mereka menggunakan pohon tersebut yaitu karena selain batangnya tegak dan tidak tidak terlalu besar, juga karena pohon tersebut jika sudah ditebang sampai habis suatu saat nanti pasti akan tumbuh kembali, sehingga batas tersebut tidak akan hilang. 31

Bila dilihat mengenai bentang alam di daerah Kasepuhan Ciptagelar yang banyak terdapat sungai, dan jurang-jurang yang curam ternyata hal itu dapat membatasi seorang warga yang akan menggarap sebidang tanah. Batas yang dimaksudkan yaitu batas alam, karena bagian dari alam (sungai, jurang) yang menjadi pembatas seorang warga dalam menggarap/memanfaatkan tanahnya. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.7 dan gambar 3.8 di bawah ini. Jadi dalam hal ini bentang alam di daerah Kasepuhan Ciptagelar dapat membatasi seorang warga dalam menggarap/memanfaatkan sebidang tanah, khususnya untuk sebidang sawah. Gambar 3.7 Aliran sungai Gambar 3.8 Dataran dengan perbedaan tinggi yang curam (jurang) 32

III.2.4 Pengukuran Batas Tanah Yang Digunakan Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, dikatakan bahwa suatu bidang persil tanah jika sudah mempunyai batas, pasti dapat dihitung luasnya. Satuan ukuran yang digunakan dapat bermacam-macam, begitu juga dengan alat ukur yang digunakannya. Dalam studi kasus ini yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, mereka menggunakan satuan ukuran sendiri dalam menentukan ukuran luas suutu bidang tanahnya yaitu Salelemaheun (Muhtar, 2007). Salelemaheun bila dikonversikan dalam ukuran metrik yaitu 6 x 10 meter. Ketika ditanyakan bagaimana sejarah bisa ada satuan ukuran salelemaheun, beberapa warga Kasepuhan Ciptagelar kurang begitu mengetahuinya. Namun saat ini mungkin ukuran itu sudah mulai tidak dipakai lagi oleh warga, karena mereka sebenarnya bebas saja membuat rumah dengan luas yang mereka tentukan sendiri, tetapi tetap saja mereka tidak berlebihan mengenai ukuran rumahnya. Tidak jelas alat ukur apa yang dipakai untuk menghitung ukuran salelemaheun itu. Tapi jika ditelusuri tentang kehidupan disana, walaupun mereka tinggal di atas gunung bukan berarti mereka tidak mengerti teknologi. Contohnya saja mereka mempunyai stasiun pemancar radio yang mereka buat sendiri, adapun listrik yang dihasilkan yaitu berasal dari turbin yang juga mereka buat sendiri. Jadi ada kemungkinan bahwa mereka juga mempunyai alat ukur meskipun hanya sederhana yaitu pita ukur. Dengan pita ukur tersebut warga bisa menghitung panjang ataupun lebar dari tanah garapannya. III.2.5 Status Tanah Dari Pembagian/Pengkaplingan Tanah Adat Dalam aturan adat mereka, kepemilikan atas suatu bidang tanah bukan seperti yang kita lihat seperti biasanya. Mereka tidak mengakui adanya kepemilikan tanah, melainkan hanya garapannya sedangkan tanahnya hanya milik adat. Maksudnya yaitu mereka hanya mengakui garapannya yang bisa berupa sawah atau tempat tinggalnya yang berupa rumah panggung. Jadi garapan mengandung arti bahwa suatu pemanfaatan lahan di atas sebidang tanah, bisa berupa bangunan atau olahan lainnya (sawah, ladang, kolam). Jadi sebenarnya yang warga dapatkan yaitu hanya izin garap. Izin tersebut bisa didapatkan oleh semua warga Kasepuhan Ciptagelar, 33

dengan syarat harus mengikuti aturan-aturan/hukum adat yang berlaku. Bila kita hubungkan dengan sistem pertanahan kita, hal tersebut biasa disebut hak pakai, bukan sebagai hak milik. Seorang warga boleh saja menjual hasil garapannya tersebut. Namun perlu diingat bahwa yang dijual tersebut bukan tanahnya, melainkan hasil dari garapannya tersebut, bisa berupa rumah, sawah, kolam, ladang dan lain-lain. Sebagai contoh jika ada proses jual beli sawah disana, sebenarnya uang tersebut digunakan untuk membayar biaya, tenaga dan waktu untuk merubah suatu lahan menjadi sawah. Dan jika ada yang ingin membeli rumah, uang tersebut hanya digunakan untuk membayar biaya, tenaga, dan waktu untuk membuat rumah tersebut. 34