III. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Total Bakteri Probiotik

SUSU EVAPORASI, SUSU KENTAL, SUSU BUBUK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KOPI INSTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA SUSU KAMBING

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang diijinkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

PAPER BIOKIMIA PANGAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah


BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk mengetahui mutu kerupuk ikan Selais (Crytopterus bicirhis) hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. populer di kalangan masyarakat. Berdasarkan (SNI ), saus sambal

Bab IV Hasil dan Pembahasan

pangan fungsional yang beredar di pasaran. Salah satu pangan fungsional yang

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

BAB I. PENDAHULUAN. harus diberi perhatian khusus karena menentukan kualitas otak bayi kedepan.

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. dan termasuk ke dalam famili Solanacea. Buahnya merupakan sumber vitamin

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengawetan pangan dengan pengeringan

Lampiran 1. Syarat Mutu Sosis Daging Menurut SNI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU PRODUK SUSU BUBUK TIPE-X PADA BERBAGAI SUHU DI PT FRISIAN FLAG INDONESIA, JAKARTA SKRIPSI ELISABETH SETYO F

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

Susut Mutu Produk Pasca Panen

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya selera masyarakat pada jajanan yang enak dan tahan lama

1. BAB I PENDAHULUAN. karena kandungan gizi yang ada didalamnya. Susu merupakan sumber protein,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

7. LAMPIRAN. Lampiran 1. Kandungan Gizi Labu Kuning. Tabel 5. Kandungan Gizi dalam 100 g Labu Kuning. Kandungan Gizi. 0,08 mg.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar. 9,70±0,10 8,37 10,45 3) Minimal 8,0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

PENJABARAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Minggu ke-9

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beras bahan makanan yang dihasilkan oleh padi. Meskipun sebagai bahan

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

I. PENDAHULUAN. daratan Malaya. Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) banyak ditemui

1 I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi. Pemikiran, (6) Hipotesis, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar Air dan Aktivitas Air

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA PANGAN KARBOHIDRAT II UJI MOORE. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Biokimia Pangan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state).tiga perempat dari luas wilayah

Minuman sari buah SNI

Karakteristik mutu daging

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Prinsipnya jumlah air di alam ini tetap dan mengikuti sebuah alur yang

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup murah. Selain itu, jambu biji juga memiliki khasiat untuk

Transkripsi:

III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%) dan padatan susu tanpa lemak (9%) yang mengandung mineral (0.7%), laktosa (4.9%) dan protein (3.4%). Susu segar cair sering diproses menjadi bubuk untuk menghasilkan produk susu yang stabil dengan kandungan solid tinggi. Selain dikonsumsi dengan cara direkonstusi menjadi susu cair, susu bubuk juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri pengolahan pangan contohnya untuk pembuatan produk bakery. Susu bubuk digunakan untuk meningkatkan nilai gizi dan sifat fungsionalnya seperti penerimaan sensori dan tekstur. Susu bubuk sering diaplikasikan sebagai bahan baku maupun bahan tambahan pada industri pangan. Hal ini karena komponen dalam susu bubuk dapat mudah berinteraksi dengan komponen lain ketika diformulasikan dan diproses menjadi suatu produk pangan (Augustin dan Clarke 2008). Adapun komposisi yang terdapat pada susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi (%w/w) pada beberapa susu bubuk (Chandan 1997) Komponen (%) Kadar air 3.0 Kadar lemak 27.5 Kadar protein 26.4 Kadar laktosa 37.2 Kadar mineral 5.9 Kandungan air yang tinggi pada susu segar menyebabkan perlu dilakukan pemekatan terlebih dahulu untuk menghasilkan susu dengan kadar air yang lebih rendah. Proses pemekatan awal ini melibatkan evaporasi sehingga terjadi perubahan kadar air menjadi 50% diikuti dengan pengeringan semprot sehingga dihasilkan susu bubuk dengan kadar air rendah, sekitar 3% (Widodo 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk susu bubuk ditunjukkan pada Tabel 2. Susu bubuk dibuat dengan menurunkan kadar airnya melalui proses pengeringan. Metode pengeringan yang dilakukan dapat dilakukan dengan cara pengeringan drum (drum drying) atau dengan pengeringan semprot (spray drying). Pengeringan semprot merupakan proses proses pengeringan yang umum digunakan di industri susu bubuk dimana terjadi atomisasi susu evaporasi dengan menggunakan udara panas (180-220 o C). Pengeringan susu dengan pengering semprot akan menghasilkan susu bubuk dengan kelarutan, flavor dan warna yang baik (Walstra et al. 1999). Pada pengeringan drum, susu evaporasi dikontakkan langsung dengan permukaan drum yang panas hingga menjadi kering. Proses ini akan menghasilkan mutu yang kurang baik karena akan memicu karamelisasi laktosa, reaksi Maillard, dan denaturasi protein pada susu bubuk yang dihasilkan (Walstra et al. 1999). Reaksi-reaksi yang terjadi akan meningkatkan partikel hangus dan menurunkan kelarutan dari susu bubuk sehingga proses pengeringan drum ini jarang digunakan di industri susu bubuk (Watson Dairy Consulting 2011). Menurut BPOM (2006), komposisi lemak total pada susu bubuk maksimal 40% dan minimal 26% dengan kadar air maksimal 5%. Dalam susu bubuk dapat ditambahkan komposisi lain seperti vitamin, carrier vitamin, emulsifier, stabilizer, anticaking, antioksidan, dan juga

flavor. Susu bubuk berasal baik dari susu segar dengan atau tanpa rekombinasi dengan zat lain seperti lemak atau protein yang kemudian dikeringkan. Fennema (1985) memaparkan adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan pangan dengan umur simpannya. Pengurangan kadar air dengan pengeringan membantu memperpanjang umur simpan bahan pangan dengan cara mengurangi kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi. Umur simpan susu bubuk maksimal adalah dua tahun dengan penanganan yang baik dan benar. Susu bubuk dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu susu bubuk berlemak (full cream milk powder), susu bubuk rendah lemak (partly skim milk powder), dan susu bubuk tanpa lemak (skim milk powder). Tabel 2 Spesifikasi persyaratan mutu susu bubuk berlemak No Jenis Satuan Persyaratan 1 Keadaan Bau Rasa - - Normal Normal 2 Air b/b, % Maks. 4.0 3 Abu b/b, % Maks. 6.0 4 Lemak % Min. 26.0 5 Protein % Min. 25.0 6 Pati % Tidak terdapat 7 Cemaran Logam Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Hg) Maks. 20.0 Maks. 0.3 Maks. 40.0 Maks. 40.0/250.0* Maks. 0.03 8 Arsen Maks. 0.1 9 Cemaran mikroba Angka lempeng total Bakteri Coliform E. coli Salmonella S. aureus *untuk kemasan kaleng Sumber : SNI 01-2970-1999 koloni/g APM koloni/g koloni/100g koloni/g Maks. 5x10 5 Maks. 20 Negatif Negatif 1x10 2 B. PENURUNAN MUTU PRODUK PANGAN Stabilitas produk pangan dihubungkan dengan mudah tidaknya produk mengalami perubahan. Produk pangan mengalami penurunan mutu apabila terjadi perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis, maupun organoleptik yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan kecepatan penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan, seperti suhu, intensitas cahaya, konsentrasi O 2 dan CO 2, kelembaban relatif, dan tekanan (Arpah 2001). Penurunan mutu pada makanan umunya terjadi selama pengolahan, penyimpanan, dan 8

distribusi. Pada selang penyimpanan dengan suhu tertentu, satu atau lebih atribut mutu akan mencapai kondisi yang tidak diinginkan dimana penurunan mutu produk pangan tersebut dapat menyebabkan penolakan konsumen atau bahkan berbahaya bagi orang yang mengonsumsinya (Man 2000). Hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi (Syarief dan Halid 1993). Perubahan fisik, kimia dan mikrobiologi merupakan faktor utama yang menyebabkan penuruanan mutu pada produk pangan (Man 2000). Dalam Man (2000), penurunan mutu fisik pada produk pangan dapat disebabkan oleh kesalahan penanganan pada saat panen, proses, dan distribusi. Produk pangan kering akan meningkat kadar airnya dan menjadi lembab jika disimpan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, produk snack kering yang hancur selama distribusi akan menurun kualitasnya, dan memar pada buah selama pemanenan akan mempercepat kebusukannya. Umumnya, perubahan fisik pada produk pangan akan mempengaruhi kualitas dari pangan tersebut. Selama proses dan penyimpanan, perubahan kimia dapat terjadi pada produk pangan yang disebabkan faktor lingkungan dan faktor dari dalam pangan itu sendiri. Perubahan kimia yang paling sering terjadi pada produk pangan adalah reaksi enzimatik, reaksi oksidasi dan reaksi pencoklatan non enzimatik (Man 2000). Reaksi enzimatik akan berlangsung dengan cepat pada suhu yang sesuai, umumnya pada suhu ruang. Selain dipengaruhhi oleh suhu, enzim juga dapat dipicu oleh faktor-faktor lingkungan seperti oksigen, air, dan ph. Keberadaan asam lemak tidak jenuh pada produk pangan juga memicu reaksi oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan selama penyimpanan. Laju oksidasi lemak dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti ketersediaan oksigen, suhu, dan cahaya. Reaksi pencoklatan non enzimatik atau reaksi Maillard menjadi penyebab penurunan gizi dan kualitas pada sejumlah produk pangan. Reaksi Maillard terjadi sebagai akibat interaksi antara gula pereduksi dan asam-asam amino (Man 2000). Penurunan mutu pangan dengan kadar lemak tinggi oleh oksigen telah menjadi masalah utama dalam penyimpanan produk pangan (Arpah 2001). Lemak yang bereaksi dengan oksigen akan membentuk produk primer dan sekunder. Produk primer oksidasi lemak adalah hidroperoksida sedangkan produk sekundernya antara lain aldehida, asam keton, dan asam hidroksi. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat memicu terjadinya reaksi peroksidasi lemak yaitu autooksidasi oleh radikal bebas, fotooksidasi, dan reaksi yang melibatkan enzim (Raharjo 2006). Autooksidasi merupakan proses rantai-radikal yang melibatkan tiga tahapan yaitu inisiasi, propogasi dan terminasi dengan serangan dari spesies oksigen reaktif. Reaksi oksidasi lemak berlangsung secara spontan oleh adanya radikal bebas, dimana radikal bebas yang dimaksud adalah oksigen yang dengan semakin lama waktu penyimpanan dan meningkatnya suhu akan menjadi senyawa yang reaktif. Dalam Arpah (2001), autooksidasi merupakan rangkaian reaksi radikal yang terbagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah inisiasi dimana senyawa lemak yang tidak (atau belum) mengandung radikal peroksida mengalami serangan senyawaan oksigen reaktif pada ikatan karbon tidak jenuh sehingga oksigen dengan mudah melepaskan satu atom hidrogen membentuk radikal. Radikal rantai karbon yang terbentuk cenderung melakukan stabilisasi dengan membentuk diena terkonjugasi. Diena terkonjugasi kemudian bergabung dengan oksigen membentuk radikal peroksil (ROO*). Tahap yang kedua yaitu propagasi merupakan tahap autoreaksi berantai dimana redikal peroksil memiliki kemampuan untuk menarik atom H dari molekul lemak didekatnya. Radikal peroksil akan bergabung dengan atom H membentuk 9

hidroperoksida. Tahap yang ketiga yaitu tahap terminasi berlangsung jika terdapat dua radikal yang berinteraksi sehingga membentuk senyawa yang relatif stabil. Untuk menetapkan pengaruh mikroorganisme terhadap penurunan mutu suatu produk pangan, perlu diketahui laju pertumbuhan mikroorganisme pada berbagai kondisi lingkungan. Kecepatan pertumbuhan mikroorganisme akan meningkat jika tersedia kondisi lingkungan yang tepat seperti suhu, ketersediaan air dan nutrisi, ph, dan ketersediaan O 2 atau CO 2 (Man 2000). Perubahan mutu produk pangan selama penyimpanan dapat dipicu oleh berbagai faktor, dimana salah satu yang paling sering mempercepat penurunan mutunya adalah suhu. Kenaikan suhu penyimpanan akan meningkatkan penurunan mutu produk pangan (Man 2000). Fluktuasi suhu juga akan meningkatkan potensi penurunan mutu produk pangan. Oleh karena itu, sering digunakan suatu model matematika untuk memprediksi penurunan mutu produk pangan sebagai fungsi dari suhu penyimpanan yang bervariasi (Labuza 1982). C. KINETIKA REAKSI Dalam produk pangan, dimana sulit untuk menentukan keseluruhan mekanisme reaksi yang menyebabkan perubahan mutu dalam komponen pangan. Oleh karena itu perlu suatu pendekatan matematika untuk memperkirakan reaksi yang terjadi dalam bahan pangan dimana faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban dianggap konstan. Penurunan atau degradasi mutu dalam hal ini dipandang sebagai suatu reaksi kimia yang dapat dikuantifikasikan mengikuti kinetika reaksi. Kinetika kimia menunjukkan kecepatan dan mekanisme perubahan kimia suatu atribut mutu terhadap waktu pada suhu tertentu. Kecepatan reaksi kimiawi ditentukan oleh massa produk yang dihasilkan atau reaktan yang digunakan setiap unit waktu (Man 2000). Menurut Labuza (1982), permodelan perubahan mutu berdasarkan sifat kimia dapat didekati dengan dua cara, yaitu pendekatan mekanis dan pendekatan semi empiris. Pendekatan mekanis adalah pendekatan yang ditekankan kepada mekanisme reaksi, tahap-tahap reaksi serta pengaruh berbagai komponen terhadap reaksi sedangkan pada pendekatan semi empiris mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahap-tahapnya tidak menjadi fokus perhatian namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung atau kinetika reaksi. Laju reaksi merupakan penambahan konsentrasi produk atau pengurangan konsentrasi reaktan per satuan waktu. Laju reaksi dapat ditentukan dari konsentrasi reaktan maupun konsentrasi produk suatu reaksi. Secara matematis laju reaksi dinyatakan sebagai : dimana: da/dt k [A] n da n k[ A] dt = laju perubahan konsentrasi A pada waktu tertentu = konstanta laju reaksi = konsentrasi pereaksi = ordo reaksi Dalam Labuza (1982), laju reaksi hampir selalu sebanding dengan konsentrasi pereaksi. Mengubah konsentrasi suatu zat dalam suatu reaksi dapat mengubah laju reaksinya juga. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh konsentrasi dalam kecepatan reaksi suatu bahan pangan dengan cara menentukan ordo reaksinya. Ordo reaksi merupakan bagian dari persamaan laju reaksi. Penentuan ordo reaksi tidak dapat diturunkan dari persamaan reaksi tetapi hanya dapat ditentukan berdasarkan eksperimen dengan menggunakan sederet konsentrasi pereaksi. 10

Konstanta laju reaksi bersifat konstan terhadap konsentrasi pereaksi namun akan berubah jika terjadi perubahan kondisi lingkungan seperti suhu. Lebih lanjut, Labuza (1983) menyatakan sebagian besar reaksi deteriorasi pada produk pangan termasuk reaksi kinetika ordo nol dan ordo satu. 1. Ordo Reaksi Nol Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya degradasi enzim, pencoklatan non enzimatis dan oksidasi lemak pada bahan pangan. Pada reaksi ordo nol dimana n = 0, laju reaksi tidak tergantung pada konsentrasi pereaksi dan bersifat konstan pada suhu tetap. Jadi laju reaksi ordo nol hanya tergantung pada konstanta laju reaksi yang dinyatakan sebagai k, dimana dinyatakan dalam persamaan: 2. Ordo Reaksi Satu Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya ketengikan pada lemak atau minyak, pertumbuhan mikroorganisme, off flavor oleh mikroba, kerusakan vitamin, dan kehilangan mutu protein (Labuza, 1982). Laju reaksi menurut ordo satu dimana n = 1, dipengaruhi oleh konsentrasi pereaksi dimana laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi pereaksi. Hal ini berarti peningkatan konsentrasi akan meningkatkan pula laju reaksi. Laju reaksi ordo satu berdasarkan penurunan konsentrasi pereaksi A terhadap waktu, maka 11

12