V. Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung

dokumen-dokumen yang mirip
5.1. Analisa Pengukuran Kinerja Supply Chain Pada Proyek Studi Kasus

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. proyek ini adalah metode kontrak umum (generally contract method), dengan

Bab VI Kesimpulan dan Saran

Bab IV Studi Kasus. Metode Pengumpulan Data

Bab III Metodologi Penelitian

BAB III SURVEY KETERSEDIAAN DATA

Analisis Kinerja Supply Chain Pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. proyek atau pekerjaan dan memberikannya kepada pihak lain yang mampu

BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. Manajemen Proyek adalah sebagai suatu proses dari perencanaan,

3.2 Struktur Organisasi Laporan Kerja Praktik Struktur organisasi adalah suatu kerangka kerja yang mengatur pola hubungan kerja antar orang atau badan

BAB II KARAKTERISTIK & MANAJEMEN PROYEK

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. keterbatasan terhadap waktu, anggaran dan sumberdaya serta memiliki spesifikasi




Gambar 1.2 View Design Hotel Travello Bandung Proses Pengadaan Proyek Jenis Lelang Proyek Proyek pembangunan Hotel Travello Bandung, o

BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB II TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB IV PENGEMBANGAN INDIKATOR PENILAIAN KINERJA SUPPLY CHAIN PADA PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG

DAFTAR PUSTAKA. 5. Indrajit, R.E, Djokopranoto, R (2003), Konsep Manajemen Supply Chain, PT. Gramedia Pustaka Utama

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB V ANALISIS SISTEM MANAJEMEN MUTU

BAB VI PENGENDALIAN PROYEK

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. digunakan dalam pelaksanaan pembangunan proyek, oleh karena itu dibutuhkan

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. proyek dengan tujuan mengatur tahap tahap pelaksanaan

BAB VII MANAJEMEN KONSTRUKSI


BAB II: TINJAUAN UMUM PROYEK

Penjelasan tentang proyek yang akan dikerjakan. Panitia lelang nengumumkan kontraktor yang lolos dalam tahap pra kualifikasi


BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK

BAB III METODA PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Supply Chain Management menurut para ahli, antara lain :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III. SISTEM ORGANISASI dan MANAJEMEN PROYEK

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK. sangatlah kompleks. Hal ini tentu memerlukan suatu manajemen yang baik

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Faktor Sukses, Kontraktor dan Perumahan

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. panjang dan di dalamnya dijumpai banyak masalah yang harus diselesaikan.

BAB III. SISTEM ORGANISASI dan MANAJEMEN PROYEK

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB III MANAGEMENT DAN ORGANISASI PROYEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi, yaitu sebuah dokumen tertulis antara pemilik dan kontraktor untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi dalam pelaksanaan proyek konstruksi gedung maupun sipil. penyempurnaan design yang sudah ada di dalam sebuah kontrak

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. sitematis. Dapat diartikan juga sebagai wadah dalam kegiatan sekelompok

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK. Kontraktor memerlukan strategi agar hasil yang dicapai sesuai dengan

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. Data ketidaksesuaian atau defect atau punch list yang terjadi pada 8 proyek yang

BAB I PENDAHULUAN. struktur, arsitektur, dan MEP yang telah dimulai pada tahun 2016.

PROJECT MANAGEMENT SOFTWARE

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG SEDANG BERJALAN

BAB VI PENGENDALIAN PROYEK DAN KEMAJUAN PEKERJAAN. secara menyeluruh mulai dari perencanaan, pembangunan fisik sampai dengan

Kontraktor. Konsultan Pengawas. Konsultan Perencana

PERANAN KONSULTAN MANAJEMEN KONSTRUKSI PADA TAHAP PELAKSANAAN MECHANICAL ELECTRICAL PLUMBING (ME-P) PROYEK PEMBANGUNAN PT.

BAB I TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

BAB IV AUDIT OPERASIONAL ATAS PENGELOLAAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU PADA PT NORITA MULTIPLASTINDO

BAB 4 OPERASIONAL 4.1 Legalitas dan Persyaratan Lisensi

BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK. (specification) biaya dan waktu yang direncanakan. Manajemen proyek

BAB IV PEMBAHASAN. PT. BIKA SOLUSI PERDANA adalah perusahaan yang bergerak. pelanggan dan pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder), PT.

Owner (Pemilik Proyek)

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK. tahapan tahapan tertentu dalam pengerjaannya. Berlangsungnya kemajuan

1.4 Manfaat Manajemen Konstruksi

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada titik awal dan titik akhir serta hasil tertentu. Dalam suatu proyek

BAB VI PENGENDALIAN MUTU PROYEK

Pembahasan Materi #5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Perencanaan MEP Proyek Whiz Hotel Yogyakarta di Yogyakarta, yang

STANDARD OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) DRAFT BERKAS SERAH TERIMA AKHIR PEKERJAAN (FHO)

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK PT.NUSA RAYA CIPTA

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. pengaturan, kepemimpinan dan pengendalian dari suatu proyek oleh para

BAB VI PENGENDALIAN PROYEK

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK

PROJECT MANAGEMENT SOFTWARE

BAB 3 ANALISA SISTEM INVENTORI PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan P.T Berkat Jaya Komputindo

Pengaruh Rantai Pasok terhadap Kinerja Kontraktor Bangunan Gedung di Jember. Sutoyo Soepiadhy NRP

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Skema Langkah-langkah Penelitian

BAB VI PENGENDALIAN MUTU PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. Wayu Hidayat. Faktor-faktor risiko,... FT UI., 2007.

BAB III MANAJEMEN DAN ORGANISASI PROYEK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersifat unik, membutuhkan sumber daya (manpower, material, machine, money,

BAB IV STRUKTUR ORGANISASI

PERAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TERHADAP PRESTASI KONTRAKTOR PADA PROYEK KONSTRUKSI BERSKALA KECIL

BAB VI KEMAJUAN PEKERJAAN DAN PENGENDALIAN PROYEK

Materi Kuliah Manajemen Konstruksi Dosen: Emma Akmalah, Ph.D. Pendahuluan

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

BAB III SISTEM ORGANISASI DAN MANAJEMEN PROYEK. pihak yang terkait satu sama lain yang mempunyai tugas dan wewenang masing

BAB IV Analisis Data

dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu. Kegiatan tersebut dapat berupa membangun pabrik, membuat produk baru atau melakukan

STUDI PENERAPAN MANAJEMEN RANTAI PASOK PENGADAAN MATERIAL PROYEK KONSTRUKSI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

V. Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung Kajian ini dimaksudkan untuk mencari gambaran kinerja supply chain dari masing-masing pola supply chain yang telah teridentifikasi terhadap implementasi dari konsep-konsep lean construction. Pengkajian dilakukan dengan mengacu pada indikator-indikator pengukuran kinerja supply chain dan konsep lean construction. V.1 Indikator Pengukuran Kinerja Supply Chain Pada pengukuran kinerja supply chain ini digunakan indikator-indikator pengukuran kinerja yang dikembangkan dalam penelitian Wirahadikusumah (2007) sebagaimana terlihat pada Tabel II.5. Namun dari hasil pengumpulan data di lapangan ternyata dari beberapa indikator yang diajukan dengan model penilaian yang telah direkomendasikan memerlukan beberapa penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukan terutama terhadap rumus penilaian kuantitaf dari indikator-6 yaitu waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) dan indikator-8 yaitu inventory material. Untuk indikator-6 semua rumus penilaian yang direkomendasikan adalah order deliver, dengan rumus penilaian tersebut dirasa tidak sesuai dan tidak akan memberikan gambaran terhadap penilaian kinerja yang diharapkan. Untuk itu dilakukan penyesuaian terhadap rumus tersebut dengan menggunakan #( actual lead time expected lead time > 0) persamaan x100%. Dengan menggunakan keda tan gan material persamaan ini diharapkan akan dapat diperoleh gambaran kinerja yang diharapkan. Terkait dengan indikator-8, semula tidak direkomendasikan suatu rumus penilaian tertentu, namun sejalan dengan analisis data yang dilakukan terjadi penyesuaian Volume material di gudang dengan menggunakan persamaan x 100%. Secara Volume total material yang dibeli 85

86 terperinci indikator-indikator beserta rumus penilaian yang akan digunakan disajikan pada Tabel V.1. Tabel V.1 Jenis indikator dan rumus penilaian kuantitatif Indikator 1. Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja 2. Intensitas kendala selama pelaksanaan pekerjaan 3. Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat 4. Intensitas defect pekerjaan 5. Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material 6. Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) 7. Intensitas kejadian reject material Rumus penilaian kuantitatif 8. Inventory material 9. Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan 10. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor & dari kontraktor kepada supplier V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus Pengukuran terhadap kinerja supply chain proyek studi kasus dilakukan dengan menggunakan 10 (sepuluh) indikator sebagaimana terlihat pada Tabel II.5. Pengukuran dilakukan terhadap lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan sub pekerjaan yang ditinjau adalah pekerjaan dinding bata ringan, pekerjaan plafond, pekerjaan pemasangan keramik dan pekerjaan mekanikal dan elektrikal. Terhadap pengadaan material dilakukan pengamatan terhadap material bata ringan, bata merah, plafond, keramik dan material M/E. Waktu

87 pengambilan data di lapangan dibatasi hanya antara bulan April 2007 sampai dengan bulan Oktober 2007. Untuk keempat proyek studi kasus hasil pengukuran kinerja terhadap data yang diperoleh disajikan pada Tabel V.2 berikut. No. Tabel V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus Indikator Proyek A Proyek C Proyek B Proyek D Kontraktor X Kontraktor Y Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4 Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta 1 Jumlah perubahan/revisi rencana kerja 59 kali 12 kali 48 kali 52 kali 2 3a 3b 3c Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi intern Intensitas rapat rutin mingguan koordinasi ekstern Intensitas rutin mingguan antara manajemen di proyek dengan kantor pusat 43 kali 8 kali 35 kali 42 kali 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali 28 kali 20 kali 28 kali 56 kali 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali 3d Intensitas rapat koordinasi khusus 15 kali 2 kali 4 kali 8 kali 4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2% 5 6 Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) 100% 100% 100% 100% 0% 0% 0% 0% 7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2% 8 Inventory material < 10 % < 10 % 5% - 10% 9 10a 10b Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan Intensitas complaint dari ownerkontraktor Intensitas complaint dari kontraktorsupplier Tidak ada Tidak ada Tidak ada 5% - 10% Tidak ada 15 kali 25 kali 44 kali 33 kali 1 kali 2 kali 2 kali 3 kali Secara detail kajian yang dilakukan terhadap aktivitas supply chain pada proyekproyek studi kasus berdasarkan indikator-indikator sebagaimana disajikan pada tabel di atas adalah sebagai berikut :

88 V.2.1. Indikator-1 : Jumlah perubahan/ revisi terhadap rencana kerja Change Order atau Variation Order adalah suatu persetujuan tertulis untuk memodifikasi, menambah atau perubahan lain pada pekerjaan yang telah diatur dalam kontrak pada saat pembukaan penawaran dengan catatan bahwa perubahan tersebut masih termasuk dalam lingkup proyek awal (Fisk, 1995). Perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan harga kontrak, jadwal pembayaran, jadwal penyelesaian proyek atau perubahan pada gambar dan spesifikasi. Change order dapat muncul karena berbagai sebab, beberapa diantaranya adalah : desain yang cacat atau tidak lengkap, perubahan permintaan, kondisi lapangan yang tidak diketahui, bahasa kontrak yang tidak jelas dan perintah percepatan (Gilbreath, 1992) Dari Tabel V.2 terlihat bahwa pada keempat proyek studi kasus, sangat sering terjadi revisi terhadap rencana kerja, baik itu proyek yang merupakan proyek pemerintah maupun proyek milik swasta. Salah satu alasan sering terjadinya perubahan adalah tidak sempurnanya hasil desain yang dilakukan oleh konsultan perencana, mengingat waktu perencanaan yang sangat singkat sehingga hasil desain tidak maksimal dan masih memerlukan penambahan dan perubahan terhadap hasil desain yang akan dilaksanakan. Selain itu juga ada kecenderungan yang dilakukan pemilik untuk membuat perubahan terhadap desain yang telah ada. Hal ini semakin besar terlihat pada proyek milik swasta dimana pihak owner terus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian terhadap desain pekerjaan sehingga sering terjadi perubahan pekerjaan (variation order) terutama jika terkait dengan pendanaan yang ada. Perubahan yang dilakukan oleh owner ini secara tidak langsung dapat saja mengganggu aliran pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan, sehingga kemungkinan terjadi keterlambatan penyelesaian proyek secara keseluruhan. Namun sebagai konsekuensi dari perubahan ini, juga dilakukan penyesuaian terhadap nilai pekerjaan dan waktu pelaksanaan pekerjaan.

89 Pada proyek A walaupun pemilik bangunan adalah pemerintah namun terlihat banyak terjadinya perubahan (variation order), perubahan yang terjadi antara lain disebabkan karena tidak lengkapnya hasil desain yang dilakukan konsultan perencana sehingga tidak mampu mengakomodir seluruh kebutuhan pemilik, selain itu juga terjadi penyesuaian desain atas keinginan pengguna (tenant) dalam hal ini dokter-dokter yang akan memanfaatkan ruang-ruang pada gedung yang akan dipakai meliputi perubahan peruntukan ruangan serta perubahan spesifikasi material. Segala perubahan dituangkan dalam suatu addendum kontrak. Selama masa pelaksanaan untuk proyek A terjadi 1 kali addendum terhadap waktu dan biaya pelaksanaan. Perubahan terhadap rencana kerja juga banyak terjadi pada proyek B, walaupun karakteristik proyek ini sama dengan proyek A yaitu proyek pemerintah, namun pemilik proyek juga melakukan banyak perubahan dan penyesuaian desain yang semula tidak terakomodir pada tahap desain mengingat waktu desain yang sangat singkat, sehingga dapat dikatakan proyek berjalan secara simultan dengan penyempurnaan desain. Sedangkan pada proyek C dan D dengan owner pihak swasta, perubahan yang terjadi dituangkan dalam suatu berita acara yang nantinya akan dilakukan addendum terhadap kontrak awal pekerjaan. Karena proyek swasta lebih longgar dalam regulasinya, maka terkadang perubahan-perubahan yang terjadi tidak dituangkan dalam suatu surat perjanjian addendum tetapi cukup dengan suatu berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. V.2.2. Indikator-2 : Intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan pekerjaan Keterlibatan banyak pihak menyebabkan banyaknya constraint (kendala) yang terjadi dan dapat mengganggu kelancaran flow pekerjaan, seperti ketersediaan sumber daya, desain gambar yang belum selesai, shop drawing dan material yang belum disetujui dan belum selesainya kegiatan downstream. Dari hasil wawancara dengan pihak manajemen pada keempat proyek studi kasus diketahui bahwa

90 kontraktor melakukan pencatatan dan analisis terhadap constraint yang terjadi selama pelaksanaan pekerjaan, dan memberikan perhatian yang besar terhadap kendala-kendala apa saja yang dapat mengganggu flow pekerjaan. Baik kendala yang mungkin disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor sendiri, maupun kendala yang bisa disebabkan oleh pihak di luar kontraktor seperti owner dan konsultan pengawas. Untuk kendala yang disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor sendiri, pemecahaannya didiskusikan dalam rapat rutin intern kontraktor, dan hasilnya didokumentasikan dalam risalah rapat serta disampaikan pada pihakpihak yang terkait dengan permasalahan tersebut. Sementara untuk kendala yang disebabkan oleh pihak diluar kontraktor, maka pemecahannya didiskusikan dalam rapat rutin ekstern, dan hasilnya juga didokumentasikan dalam risalah rapat. Untuk kejadian khusus yang memerlukan penanganan segera dari pihak-pihak pengambil keputusan dilakukan melalui rapat khusus yang bersifat insidentil, sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pada setiap rapat yang dilakukan harus dihadiri oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan sehingga segala sesuatu yang akan dibahas akan dapat dengan segera diputuskan. Kendala pada proyek A antara lain : banyaknya perubahan desain yang terjadi dikarenakan perubahan peruntukan ruangan, jenis material yang digunakan, keinginan penggunaan yang tidak terakomodir oleh konsultan perencana, keterlambatan dari owner dalam memutuskan jenis material yang diajukan oleh kontraktor, keterlambatan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor. Kendala pada proyek B antara lain : waktu pelaksanaan design sangat singkat sehingga kontraktor menerima gambar design tidak lengkap, sebagai akibatnya penyempurnaan design dilakukan sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan hal ini menyebabkan agak terlambatnya progres kemajuan pekerjaan lapangan. Akibat tidak sempurnya desain maka banyak terjadi variation order hal ini menyebabkan timbulnya masalah baru yaitu ketidaksamaan persepsi terhadap penambahan/perubahan pekerjaan yang dikaitkan dengan waktu, dimana

91 dengan adanya penambahan/ perubahan akan diikuti dengan berarti penambahan waktu yang terkait dengan proses produksi yang dilakukan, baik itu pemesanan material, pendatangan material ke lokasi sampai dengan proses pemasangan. Selama ini persepsi yang ada di pihak pemilik bahwa penambahan pekerjaan hanya dilihat secara linear, artinya jika penambahan untuk pekerjaan tersebut secara finansial mempunyai besaran 10 % dari nilai kontrak artinya penambahan waktu juga akan dilinearkan sesuai dengan waktu pelaksanaan, sedangkan penambahan pekerjaan yang dilakukan terkait dengan pemakaian material yang harus didatangkan dari luar negeri. Untuk proses pendatangan material tersebut dengan segala prosedurnya akan memakan waktu yang lebih lama dari nilai finansial dan asumsi dari pihak pemilik. Selain itu terdapat pula kendala akibat persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor yang sering terlambat diterima oleh kontraktor, juga terdapat kendala dengan produktivitas kerja dari subkontraktor terutama terkait dengan keterlambatan kedatangan material dan jumlah tenaga kerja yang tidak mencukupi di lapangan. Kendala pada proyek C dan D secara umum sama, antara lain : banyaknya perubahan terhadap desain akibat keinginan pemilik yang tidak terakomodir pada tahap desain, perubahan peruntukan desain yang ada, keterlambatan penunjukan nominated subcontractor dan nominated supplier, keterlambatan persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor, perubahan desain pekerjaan, keterlambatan yang dilakukan subkontraktor dan nominated subcontractor, keterlambatan penyelesaian pekerjaan unit defect list baik yang disebabkan oleh pelaksanaan pekerjaan kontraktor, subkontraktor atau nominated subcontractor. V.2.3. Indikator-3 : Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat Penyebarluasan informasi tentang hasil analisa proses produksi di proyek konstruksi akan meningkatkan pemahaman semua pihak yang terlibat dalam proses produksi tentang kondisi proyek, sehingga diharapkan secara bersamasama akan lebih meningkatkan kinerjanya.

92 Dari hasil studi kasus diketahui bahwa penyebarluasan informasi tentang hasil analisa kemajuan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian engineering dilakukan dalam rapat rutin yang dilaksanakan setiap minggu di proyek konstruksi. Selain dalam rapat rutin tersebut, jika terjadi permasalahan yang membutuhkan analisa yang mendalam, maka akan dilakukan analisa secara detail dan hasilnya akan diberikan kepada semua pihak yang terkait. Hasil analisa tersebut dituangkan dalam media kertas. Tetapi jika permasalahan tersebut bersifat signifikan dan semua orang harus mengetahuinya, maka hasil analisa tersebut akan ditempel di papan pengumuman. Analisa terhadap permasalahan tersebut hanya diberikan kepada pihak-pihak yang terkait dalam struktur organisasi intern kontraktor. Sedangkan pemberian informasi ke pihak mandor dan subkontraktor lebih ditekankan melalui forum rapat rutin antara kontraktor dengan mandor dan subkontraktor. Forum yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah rapat rutin yang selalu diadakan di proyek konstruksi. Rapat rutin tersebut berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan personil yang menghadirinya. Adapun jenis rapat rutin yang selalu diadakan berkaitan dengan proses produksi, yaitu: a. Rapat rutin mingguan intern kontraktor Rapat rutin intern kontraktor terdiri dari rapat harian, rapat mingguan, dan rapat bulanan. Rapat harian dilakukan setiap hari antara staf personil di bagian operasi lapangan. Rapat mingguan dilakukan setiap minggu dan di hadiri oleh staf personil di bidang engineering, operasi, dan keuangan. b. Rapat rutin mingguan ekstern Merupakan rapat rutin yang dilaksanakan di proyek konstruksi antara kontraktor, owner, subkontraktor, Nominated subcontractor dan konsultan pengawas, dilaksanakan setiap minggu.

93 c. Rapat rutin antara manajemen di proyek dengan kantor pusat Merupakan rapat rutin antara pihak manajemen di proyek konstruksi dengan pihak manajemen kantor pusat, dilaksanakan setiap minggu. d. Rapat koordinasi khusus Merupakan rapat yang dilakukan manakala terjadi permasalahan yang harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya. Rapat bersifat insidentil dan melibatkan hanya pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang akan di bahas. Selain itu koordinasi juga dilakukan dengan surat menyurat, komunikasi lisan melalui telepon dan memorandum. Dari Tabel V.2 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas antara rapat rutin mingguan ekstern yang dilakukan pada masing-masing proyek. Hal ini disebabkan keterlibatan banyak pihak di mana tidak hanya subkontraktor akan tetapi juga terdapat nominated subcontractor menyebabkan intensitas rapat yang diadakan lebih banyak, karena kontraktor tidak hanya mengadakan rapat dengan pihak subkontraktor tapi juga dengan pihak nominated subcontractor. V.2.4. Indikator-4 : Intensitas defect pekerjaan Pada pengumpulan data di lapangan terkait dengan rumus pengukuran untuk indikator ini sebagaimana direkomendasikan ternyata sulit untuk pengaplikasian dengan data yang ada, karena kontraktor tidak melakukan pencatatan terhadap kegagalan dalam pelaksanaan inspeksi, tetapi hanya melakukan pencatatan terhadap jenis-jenis defect yang terjadi. Untuk itu pengukuran hanya dilakukan terhadap intensitas defect yang terjadi. Terhadap defect yang terjadi, kontraktor juga melakukan pencatatan (list of defect), untuk kemudian dilakukan perbaikan. Namun demikian pada pelaksanaan setiap pekerjaan direncanakan sedemikian rupa dan pada masa pelaksanaan dilakukan pengawasan secara terpadu antara pelaksana dan konsultan pengawas

94 serta perwakilan pemilik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya cacatcacat selama masa pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian hasil pelaksanaan akan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan. Sehingga keseluruhan subkontraktor berhasil memenuhi mutu pekerjaan yang disyaratkan. Jikapun terjadi kesalahan pada pelaksanaan maka akan dilakukan pencacatan (list of defect) terhadap cacat-cacat yang terjadi untuk kemudian dilakukan perbaikan secara bersamaan, namun jika cacat yang terjadi bersifat penting karena jika tidak segera diperbaiki akan mengganggu aktifitas pekerjaan yang mengikutinya maka akan menjadi prioritas penanganan. Terdapat perbedaan sistem pencacatan defect antara satu proyek dengan proyek lainnya, di mana pada proyek A dan C tidak dilakukan pencacatan secara terstruktur, perbaikan terhadap defect dilakukan berdasarkan memo lapangan yang merupakan hasil inspeksi antara konsultan pengawas dengan personil Quality Control proyek. Sedangkan pada proyek B dan D pencacatan dilakukan setiap hari untuk kemudian direkap secara mingguan dan dilakukan perbaikan. Inspeksi yang dilakukan oleh kontraktor X dilakukan dengan melibatkan pihak konsultan MK, dan subkontraktor. Kriteria inspeksi yang dilakukan oleh kontraktor X antara lain : Tidak berfungsi Area yang tidak menggunakan Perlu perbaikan/ pengulangan Belum diuji fungsi Berfungsi baik/ kondisi baik V.2.5. Indikator-5 : Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material Perusahaan kontraktor X telah menerapkan sistem pengadaan material yang strategis secara tersentralisasi, dimana pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi pengadaan. Material atau barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proyek

95 konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda. Dalam pengelolaan proyeknya, kontraktor X melakukan strategi pembelian secara terpadu terhadap beberapa material atau jasa yang dianggap strategis. Pembelian ini dilakukan dalam bentuk kontrak payung, yang tidak secara spesifik mengacu pada proyek tertentu. Adapun yang termasuk dalam material atau jasa strategis adalah material atau jasa yang dibutuhkan oleh setiap proyek dengan volume kebutuhan yang cukup besar. Dalam praktek yang sudah dilakukan oleh kontraktor X, pengadaan besi beton merupakan bagian dari pengadaan jenis ini dalam tonase tertentu, dan juga mulai menjajagi untuk melakukan hal yang sama pada pengadaan material berulang lainnya seperti wiremesh, paku dan bendrat, dan hebel. Sedangkan pada kontraktor Y, walaupun belum ada suatu divisi khusus yang menangani masalah pengadaan, tetapi telah menerapkan sistem pengadaan material secara terpadu juga. Di mana untuk beberapa material yang dianggap strategis telah dilakukan perencanaan terhadap prediksi kebutuhan proyek dalam kurun waktu tertentu, biasanya 6 (enam) bulanan, sehingga dilakukan pengadaan secara terpadu untuk pembelian dengan volume yang besar. Pada awal pelaksanaan pekerjaan telah dilakukan perencanaan material yang akan digunakan yang disesuaikan dengan rencana kerja keseluruhan. Pihak supplier dalam pengiriman material mengacu pada schedul yang telah disampaikan oleh pihak kontraktor. Jika ternyata pekerjaan di lapangan mengalami perubahan maka pihak kontraktor berkewajiban untuk memberitahukan pihak supplier tentang perubahan yang terjadi.

96 Prosedur pengadaan material dimulai dengan penyampaian Surat Permintaan Pembelian dari pelaksana di lapangan kepada bagian logistik dengan mengetahui site manager. Kemudian pihak logistik akan mengeluarkan Surat Pembelian Material (Purchase Order) kepada pihak supplier dengan mencantumkan jadwal penerimaan material di site dan jadwal pemakaian material. Berdasarkan analisa yang dilakukan terlihat bahwa untuk proyek ini diperoleh bahwa kinerja supplier dalam memenuhi permintaan pesanan material dari kontraktor utama sangat baik di mana tidak pernah terjadi keterlambatan penerimaan material di lapangan untuk pekerjaan yang langsung ditangani oleh kontraktor utama dengan material yang pengadaannya langsung dilakukan oleh pihak kontraktor. Hal ini dimungkinkan dengan sistem kontrak payung yang telah diterapkan oleh perusahaan terhadap beberapa material strategis yang pengirimannya dilakukan berdasarkan schedule yang disampaikan pada awal pekerjaan. Untuk material yang di supplied by owner (SBO), pernah terjadi keterlambatan pengiriman material yang disebabkan karena supplier tidak mau mengirimkan material ke lapangan akibat pembayaran belum dilakukan oleh owner terhadap progres yang telah lalu. Namun secara keseluruhan keterlambatan ini tidak mengganggu terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan. V.2.6. Indikator-6 : Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan pengiriman (deliver) Pemesanan material dilakukan berdasarkan skedul pemakaian material di lapangan, sehingga tidak terjadi waktu tenggang yang panjang terhadap kedatangan material. Proses pemesanan material dilakukan paling lambat 2 hari menjelang jadwal pemakaian material di lapangan, hal ini di lakukan untuk menghindari inventory material yang menumpuk di gudang. Begitu pula terhadap material yang di supplied by owner, pemesanan dilakukan dengan mengacu pada skedul pemakaian material yang diketahui oleh owner.

97 V.2.7. Indikator-7 : Intensitas kejadian reject material Pemesanan material yang dilakukan dengan menggunakan sistem terpadu dimana kualitas material yang didatangkan telah ditentukan terlebih dahulu sehingga jumlah material yang dikembalikan karena tidak sesuai dengan spesifikasi atau cacat dalam pengiriman berdasarkan hasil wawancara di lapangan < 2 %. Pada saat kedatangan material di lapangan dilakukan pengecekan kualitas material sesuai tidak dengan spesifikasi yang diminta, jika ternyata ada material yang tidak sesuai dengan spesifikasi akan langsung dikembalikan. Pemeriksaan dilakukan oleh bagian logistik dengan mengetahui site manager. Seiring dengan pemeriksaan material ini juga dilakukan evaluasi terhadap kinerja dari supplier, sebagai bahan masukkan bagi evaluasi secara keseluruhan. Sehingga material yang tidak dapat diterima karena cacat atau tidak sesuai dengan speksifikasi dapat langsung diketahui dan segera dikembalikan ke supplier yang bersangkutan untuk dilakukan pengiriman ulang material tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari penumpukan material di gudang. Pada proyek C reject material yang terjadi disebabkan perubahan desain yang dilakukan owner, sehingga material yang telah didatangkan ke lokasi pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi yang baru. Material tersebut kemudian dikembalikan ke supplier untuk dilakukan pengiriman ulang sesuai dengan desain yang baru. Sedangkan pada proyek D reject material yang pernah dilakukan akibat kesalahan dari supplier melakukan perhitungan pasokan materialnya sehigga terjadi kelebihan pengiriman dari jumlah pemesanan material dari proyek. V.2.8. Indikator 8 : Inventory material Dengan sistem supply material yang dilakukan sesuai dengan jadwal pekerjaan yang telah disampaikan, maka material hanya akan berada di gudang untuk beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau penumpukan material di

98 gudang. Pengelolaan inventory di gudang sudah dilakukan secara optimal sehingga tidak terjadi penumpukan material yang dapat menimbulkan penambahan biaya (meminimalisir waste). Pada proyek-proyek yang dikelola oleh kontraktor X, dilakukan suatu pencacatan terhadap sediaan material di gudang secara rutin setiap hari oleh petugas gudang. Untuk selanjutnya dilakukan opname persediaan material di gudang pada akhir bulan yang dilakukan oleh bagian logistic dengan melibatkan manajemen proyek, di mana pada saat ini kondisi stock material yang ada di gudang sebesar < 10 % nilai pembelian material bulan berjalan. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu aliran cash flow proyek. Sedangkan pada kontraktor Y sediaan material di gudang pada akhir bulan berjalan berkisar antara 5%- 10% nilai pembelian yang dilakukan. Namun kedua ketentuan yang telah ditetapkan pada kedua kontraktor tersebut bukanlah merupakan suatu angka pasti yang tidak dapat dirubah. Besaran nilai inventory di gudang juga ditentukan berdasarkan material yang akan disimpan di gudang tersebut. Pada proyek A, B dan C, dengan memperhatikan kondisi lalu lintas dan aktifitas lingkungan sekitar, maka biasanya pengiriman material dilakukan pada malam hari. Selain untuk menghindari kemacetan lalu lintas, juga adanya peraturan yang membatasi tonase kendaraan yang dapat melalui jalan-jalan tertentu pada siang hari. Sedangkan pada proyek D, pasokan material dilakukan pada siang hari, mengingat lokasi proyek yang bukan berada pada daerah yang ramai. Pada kontraktor X, telah diberlakukan kebijakan untuk material yang merupakan sisa dari pekerjaan di lapangan dilakukan pemilahan. Untuk besi tulangan material yang tersisa akan dikumpulkan untuk kemudian dilakukan pengumpulan secara menyeluruh dari semua proyek yang sedang ditangani oleh perusahaan pada suatu tempat dan selanjutnya akan dilakukan proses daur ulang dengan melibatkan supplier yang bersangkutan. Selain itu juga dilakukan optimalisasi perhitungan

99 kebutuhan material untuk pelaksanaan pekerjaan di lapangan, sehingga dapat mengurangi sisa material yang mungkin terjadi. Untuk material yang di supplied by owner kontraktor hanya melakukan pencatatan pada saat kedatangan material di lapangan dengan mengikut-sertakan perwakilan dari owner, subkontraktor yang akan menggunakan material tersebut. Untuk selanjutnya material tersebut diserahkan pada subkontraktor yang akan menggunakannya dengan segala pencacatan dan penyimpanan menjadi tanggung jawab dari subkontraktor yang bersangkutan. Material yang tidak sesuai dengan spesifikasi atau cacat pada saat pengiriman akan langsung dikembalikan kepada supplier yang bersangkutan. V.2.9. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan Pada keempat proyek studi kasus tidak ditemukan keterlibatan subkontraktor dalam proses perencanaan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Hal ini menggambarkan bahwa proses perencanaan terhadap produksi yang akan dilakukan menjadi tanggung jawab kontraktor utama, sedangkan subkontraktor dan nominated subcontractor diberi kewenangan penuh untuk mengatur rencana kerjanya masing-masing dengan mengacu pada rencana kerja yang telah dipersiapkan oleh kontraktor utama. Jadi tidak ada suatu perencanaan terpadu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat terhadap keseluruhan operasional di lapangan. V.2.10. Indikator-10 : Intensitas compliant dari owner-kontraktor dan kontraktor-supplier Kesesuaian mutu antar hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor dengan mutu yang diharapkan oleh owner merupakan suatu hal yang sangat penting. Ketidaksesuaian mutu ini akan menimbulkan terjadi complaint dari owner terhadap kinerja dari kontraktor. Penanganan yang cepat terhadap komplain dari konsumen (customer complaint) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan

100 kepuasan konsumen (customer satisfaction) terhadap kinerja kontraktor di proyek konstruksi. Penanganan terhadap customer complaint sangat terkait dengan kebijakan mutu yang ditetapkan kantor pusat dalam pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi. Dari hasil studi kasus di proyek konstruksi diketahui bahwa setiap kontraktor memberikan perhatian terhadap penanganan customer complaint, hal ini terlihat dengan adanya personil intern kontraktor yang bertugas sebagai Quality Control, yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses produksi agar produk yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan owner. Bahkan pada salah satu kontraktor yang menjadi studi kasus, diketahui mempunyai suatu kebijakan dan sasaran mutu yang berkaitan dengan penanganan customer complaint yang harus dilakukan oleh proyek konstruksi. Kebijakan tersebut adalah semua permintaan/ keluhan pelanggan eksternal harus direspon dalam waktu satu hari kerja. Complaint di sini dibagi menjadi dua, yaitu complaint dari owner terhadap kontraktor utama selaku koordinator pekerjaan, baik itu menyangkut pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor utama maupun pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor yang berada dibawah koodinator kontraktor utama, dan complaint yang disampaikan oleh kontraktor utama terhadap supplier material. Complaint yang disampaikan owner terutama terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan menyangkut antara lain mutu pekerjaan yang dilaksanakan oleh tidak sesuai dengan standard mutu yang telah ditetapkan, keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh subkontraktor atau nominated subcontractor terkait dengan kekurangan tenaga kerja dan material di lapangan. Selain itu owner juga menyampaikan complaint yang disampaikan pihak ketiga, antara lain kebisingan akibat pekerjaan lembur yang dilakukan kontraktor pada malam hari sehingga mengganggu ketenteraman lingkungan sekitar, kerusakan bangunan yang berada di samping lokasi proyek akibat aktifitas pekerjaan kontraktor, serta kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja.

101 V.3 Perbedaan Nilai Indikator Kinerja Supply Chain Proyek Mengacu pada Tabel V.2, sebagai rekapitulasi hasil pengukuran kinerja supply chain keempat proyek studi kasus, terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan nilai indikator kinerja supply chain dari keempat proyek studi kasus antara lain : 1. Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja 2. Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan 3. Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat 4. Inventory material 5. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor Perbedaan nilai indikator yang terjadi pada masing-masing proyek studi kasus kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Perbedaan pola supply chain Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh tiga pola supply chain dari proyek studi kasus yang mendekati pada pola supply chain yang telah ada, yaitu pola-1 jaringan SC, pola-2 jaringan SC dan pola-4 jaringan SC, sebagaimana terlihat pada Tabel V.3 berikut. Tabel V.3 Pola supply chain proyek studi kasus Kontraktor X Y Proyek Proyek A Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas Rumah Sakit, Jakarta Proyek C Proyek Pembangunan Gedung Apartemen, Jakarta Proyek B Proyek Gedung Perkantoran, Jakarta Proyek D Proyek Pembangunan Kompleks Apartemen, Jakarta Pola Supply chain Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4 Pada proyek A dengan pola-1 dan proyek B pola-2, seluruh subkontraktor yang ada berada dibawah koordinasi kontraktor utama, walaupun pada proyek B terdapat nominated subcontractor. Hal ini akan lebih mempermudah mekanisme yang dilakukan mengingat jalur koordinasi yang diperlukan tidak terlalu panjang

102 walaupun banyak pihak yang terlibat dalam proses operasi di lapangan dan berada pada satu mata rantai atau pimpinan dari keseluruhan supply chain yang ada. Sedangkan pada dua proyek yang mempunyai pola-4 dengan praktek pembagian pekerjaan kepada pihak-pihak lain selain kontraktor utama, terdapat perbedaan mekanisme koordinasi yang dilakukan dengan pihak nominated subcontractor (NSC) oleh kontraktor utama. Pada proyek C, owner memberlakukan sistem koordinasi secara sebagian terhadap lingkup tanggungjawab dari NSC, di mana kontraktor utama hanya menerima fee koordinasi jauh lebih kecil dari besaran nilai fee yang selama ini dilakukan oleh owner. Dengan demikian tanggungjawab yang dibebankan pada kontraktor X selaku kontraktor utama hanya bersifat koordinasi masalah pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Sedangkan pada proyek D, owner melakukan pembagian pekerjaan terhadap beberapa kontraktor dengan melakukan proses pengadaan sampai dengan pengawasan tersendiri di bawah koordinasi konsultan manajemen konstruksi. Sehingga kontraktor Y yang bertindak selaku kontraktor utama tidak dibebankan tanggungjawab dalam konteks koordinasi pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Kontraktor Y hanya bertindak bertanggungjawab dalam mengadakan fasilitas kerja bagi para kontraktor lain dan subkontraktor, di mana fasilitas yang disediakan tersebut nantinya akan dikompensasikan secara finansial terhadap para kontraktor lain, subkontraktor dan nominated subcontractor berdasarkan kesepakatan bersama terhadap besaran nilainya. Hal ini ditenggarai dilakukan owner sebagai usaha untuk melakukan penghematan secara finansial, dengan anggapan tidak adanya fee koordinasi yang diberikan pada kontraktor utama akan lebih menghemat. Dengan tinjauan terhadap jenis pekerjaan yang sama yaitu pekerjaan arsitektur dan pekerjaan M/E dalam periode pengamatan data untuk waktu yang sama terlihat perbedaan nilai indikator-indikator antara proyek A, B, C dan D. Hal ini ditenggarai terkait dengan perbedaan pola supply chain pada masing-masing

103 proyek, yaitu pola-1 untuk proyek A dengan pola kontrak umum dan tidak ada keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat, pola-2 untuk proyek B dengan pola kontrak umum tetapi ada keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat dan melakukan pengadaan beberapa material yang dibutuhkan, serta pola-4 untuk proyek C dan D dengan pola kontrak terpisah dan terdapatnya nominated subcontractor serta adanya hubungan langsung antara owner dengan supplier. Dimana dengan adanya perbedaan pola supply chain pada setiap proyek juga akan berpengaruh pada banyaknya pihakpihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan kompleksitas proyek secara keseluruhan. Ketidaksetaraan proyek studi kasus Berdasarkan Tabel IV.8 terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terjadi ketidaksetaraan yang mencolok terhadap kompleksitas proyek, baik itu dari jenis kontrak yang digunakan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pemilik bangunan, besaran nilai pekerjaan, luasan bangunan, lingkup pekerjaan dan jumlah pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan, baik subkontraktor, supplier maupun nominated subcontractor. Ketidaksetaraan ini ditenggarai akan dapat mengakibatkan pengukuran yang dilakukan akan menghasilkan suatu perbandingan yang tidak linear antara satu proyek dengan proyek lainnya. Sebagai konsekuensi dari ketidaksetaraan ini maka gambaran yang diperoleh terhadap kinerja dari masing-masing pola yang ada tidak akan dapat memberikan suatu rekomendasi yang valid terhadap efektifitas dan efisiensi dari supply chain yang dimaksud. Namun ketidaksetaraan ini mungkin akan dapat diperkecil dengan melakukan pengamatan secara kontinyu selama umur proyek sehingga akan dapat diperoleh gambaran yang lebih akurat. Walaupun belum secara keseluruhan dapat dilakukan perbandingan untuk mendapatkan gambaran kinerja yang paling efektif.

104 Perbedaan kompleksitas proyek Praktek pemecahan kontrak pekerjaan menjadi paket-paket pekerjaan kecil yang biasa dilakukan oleh owner seperti terlihat pada pola-4 mengakibatkan banyak pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Keterlibatan banyak pihak dalam konteks pola-1 dan pola-2 dimana pihak-pihak yang terlibat berada di bawah koordinasi kontraktor utama berbeda dengan konteks pola-4 dimana pihak-pihak yang terlibat berada di bawah koordinasi owner yang diwakili oleh konsultan manajemen konstruksi. Pada pola-1 dan pola-2 terlihat kompleksitas organisasi proyek yang lebih sederhana, walaupun banyak pihak yang terlibat, namun sistem koordinasi yang berada di tangan kontraktor utama lebih menyederhanakan mekanisme koordinasi yang diperlukan. Seluruh tanggung jawab yang menyangkut pelaksanaan di lapangan baik itu metoda pelaksanaan maupun kualitas hasil pekerjaan menjadi tanggungjawab kontraktor utama. Sementara pada pola-4 dengan pemecahan kontrak yang dilakukan owner sehingga banyak melibatkan pihak-pihak yang saling terpisah dalam proses produksi dan masing-masing kontraktor berkoordinasi langsung dengan owner melalui konsultan manajemen konstruksi bahkan kadang-kadang koordinasi langsung dilakukan oleh owner tanpa melibatkan peran konsultan manajemen konstruksi yang ada. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan baik yang menyangkut koordinasi antar pihak, kesalahpahaman dalam proses produksi dan hal-hal lainnya. Pada dasarnya kompleksitas organisasi proyek dan pola supply chain ini sebagian besar ditentukan oleh kompleksitas proyek yaitu nilai kontrak, jumlah lantai, volume kerja, teknologi. Semakin besar proyek maka kompleksitas proyek juga akan semakin besar dan sebagai konsekuensinya dibutuhkan tingkat koordinasi tertentu antar pihak yang terkait.

105 Kompleksitas supply chain sangat terkait dengan kompleksitas dari proyek konstruksi di mana supply chain tersebut terbentuk. Kompleksitas struktur supply chain sangat berpengaruh dalam pengelolaan supply chain tersebut. Keterlibatan banyak pihak dalam suatu supply chain akan memberikan peluang timbulnya berbagai konflik kepentingan antara pihak-pihak yang membentuk mata rantai jaringan tersebut. Selain itu ketidakpastian juga merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi dalam pengelolaan supply chain. Peran konsultan manajemen konstruksi Dalam praktek yang dilakukan selama ini, dengan penempatan konsultan manajemen konstruksi sebagai perpanjangan tangan owner dan sebagai media komunikasi dan koordinasi antar pihak yang terlibat baik untuk proyek dengan pola-1, pola-2 dan pola-4 diharapkan mampu memperkecil konflik kepentingan yang dapat terjadi akibat banyaknya pihak yang terkait dalam pelaksanaan produksi di lapangan. Namun pada kenyataan di lapangan dari keempat proyek studi kasus, tiga di antaranya merasakan bahwa peran yang diharapkan dari konsultan manajemen konstruksi tidak terlalu dirasakan dampaknya terhadap proses koordinasi antar pihak. Hal ini ditenggarai sebagai akibat kurangnya pemahaman konsultan yang bersangkutan terhadap tugas dan kewajibannya, di sisi lain keterbatasan wewenang yang diberikan owner kepada konsultan tersebut. Konsultan manajemen konstruksi pada kasus proyek swasta hanya berwenang melakukan koordinasi terhadap kelancaran proses produksi di lapangan. Sementara secara keuangan langsung ditangani oleh owner. Jadi jika ternyata dalam pelaksanaan pekerjaan, owner terlambat melaksanakan kewajibannya membayar pihak-pihak yang berikatan kontrak dengannya dan menimbulkan akibat tidak lancarnya pelaksanaan pekerjaan, pihak konsultan manajemen konstruksi tidak dapat berbuat banyak selain hanya melaporkan permasalahan yang terjadi.

106 Lingkup kajian dan waktu pengambilan data Pada keempat proyek studi kasus, pengkajian yang dilakukan hanya terfokus pada pekerjaan tertentu, yaitu pekerjaan finishing arsitektur dan M/E dengan kurun waktu pengukuran yang telah dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk menselaraskan ketersediaan data pada masing-masing proyek mengingat tahapan pelaksanaan yang sedang dikerjakan dari keempat proyek adalah tahapan pekerjaan finishing. Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi pengaruh kompleksitas proyek terhadap kinerja supply chain, terutama dalam hal kebutuhan koordinasi. Pada awalnya diharapkan dengan adanya pembatasan terhadap lingkup kajian dan waktu pengambilan data telah cukup untuk mewakili seluruh kegiatan proyek. Namun ternyata dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa terdapat beberapa kekurangan dari hasil pengukuran yang dilakukan dan hal ini mungkin terjadi akibat hal tersebut. Sebagai contoh, pada indikator-3 yaitu intensitas rapat koordinasi antar pihak, pada kasus proyek A dan B data yang dapat dikumpulkan hanya berupa intensitas rapat koordinasi umum untuk membahas semua permasalahan yang menyangkut pelaksanaan pekerjaan pada periode waktu kajian dilakukan, bukan rapat koordinasi yang dilakukan khusus untuk membahas pekerjaan finishing arsitektur dan M/E saja. Berbeda dengan kasus pada proyek C dan D, di mana kontraktor telah melakukan pemisahan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan sesuai dengan kontrak yang sedang dilakukan, begitu pula terhadap aktifitasaktifitas pelaksanaan di lapangan. Hal ini terkait dengan pemisahan antara kontrak pekerjaan struktur dengan kontrak pekerjaan finishing arsitektur. Pemisahan ini sangat mempermudah proses pengumpulan data yang dibutuhkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan indikator intensitas rapat koordinasi antara proyek A, dan B masih belum memberikan kesimpulan yang signifikan. Perlu dilakukan penelaahan secara mendalam terhadap intensitas rapat koordinasi yang hanya terkait dengan pelaksaanaan pekerjaan Arsitektur dan M/E

107 untuk melihat pengaruh pola supply chain terhadap indikator intensitas rapat koordinasi ini. Selain itu pada kasus proyek C, ternyata untuk batasan waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak terpenuhi. Data yang dikumpulkan hanya untuk kurun waktu bulan Juli 2007 sampai degan Oktober 2007 sedangkan pada proyek lain dilakukan untuk bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007. Hal ini dikarenakan waktu dimulainya kontrak pekerjaan arsitektur adalah akhir bulan Juni 2007. Perbedaan waktu pengambilan data secara tidak langsung akan mempengaruhi hasil pengukuran yang dilakukan. Karakteristik pemilik proyek Selain itu, karakteristik pemilik proyek, di mana proyek A dan B merupakan proyek pemerintah sedangkan untuk proyek C dan D milik swasta, juga memberikan kontribusi kepada perbedaan nilai indikator-indikator kinerja supply chain untuk keempat pola supply chain yang dikaji pada studi kasus ini. Pemerintah pada dasarnya memiliki peraturan-peraturan tertentu yang lebih pasti dan tuntutan akuntabilitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kontraktor akan lebih mempunyai peluang untuk meningkatkan performance kerjanya. Karena peraturan yang jelas akan memberikan keleluasaan bagi kontraktor untuk melakukan pekerjaannya. Dengan kata lain, proyek yang ditangani oleh pemerintah akan lebih terbuka dengan segala perubahan yang terjadi, seperti misalnya terjadi penambahan item pekerjaan yang semula tidak ada di kontrak, maka akan dilakukan negosiasi harga yang baru. Kemungkinan perubahan nilai kontrak dari nilai kontrak awal sering terjadi, selama hal tersebut masih dalam batasan maksimal 10 % dari nilai kontrak awal. Sebaliknya pemilik swasta cenderung memiliki prinsip yang mengedepankan pencapaian keinginan dan kebutuhannya serta menomorduakan prosedur dan akuntabilitas, selama keinginan dapat dipenuhi dengan sumber daya yang

108 dimilikinya. Selain itu pemilik swasta sangat terikat dengan kondisi pendanaan yang ada sehingga kadang-kadang hasil design yang semula telah disetujui dapat dilakukan perubahan. Di samping itu, terkait dengan strategi pemasarannya, pemilik swasta cenderung melakukan pemecahan kontrak menjadi beberapa paket untuk mendapatkan penghematan-penghematan dalam jangka waktu pendek tanpa melihat efek jangka panjang yang mungkin terjadi. Perbedaan karakteristik ini menimbulkan terjadinya perbedaan kebutuhan perubahan rancangan pada saat pelaksanaan berjalan, implementasi pekerjaan rancangan dan pelaksanan proyek yang simultan (fast tract), pasokan khusus pada material dan pekerjaan yang diinginkan, serta prosedur administrasi proyek. Hal tersebut terlihat mencolok pada proyek C dan D yang pemiliknya swasta, yaitu terdapatnya banyak perubahan/ revisi yang diminta pada rencana kerja, banyaknya complaint dari pemilik, serta banyaknya kendala yang menyebabkan keterlambatan seperti pada proses persetujuan material, pemilihan supplier khusus, dan saat pembayaran. Pada proyek pemerintah, jumlah revisi akan sangat diminimalkan dengan adanya batasan rancangan harus matang sebelum dilakukan pelelangan serta batasan pekerjaan tambah kurang. Selain itu, kinerja pemerintah akan dilihat pula pada sejauhmana pemilik proyek mematuhi kewajiban pembayaran. Pengecualian terlihat pada proyek B, walaupun proyek milik pemerintah, ternyata banyak terjadi revisi terhadap rencana kerja yang dikarenakan terlalu singkatnya waktu perencanaan sehingga hasil perencanaan tidak mampu mengakomodir seluruh kebutuhan di lapangan. Sebagai konsekuensinya terjadinya penyesuaian terhadap kebutuhan lapangan dengan dengan hasil desain. Namun hal ini sangat disadari oleh pihak owner, sehingga memberikan kelonggaran bagi kontraktor baik dari waktu pelaksanaan maupun penambahan biaya yang diakibatkan dari terjadinya perubahan tersebut. Praktek seperti ini hampir sama dengan praktek yang dilakukan oleh pihak swasta. Selain itu pada beberapa hal di atas sebaliknya sangat longgar terjadi pada proyek swasta.

109 Kebijakan perusahaan Dalam melaksanakan proses produksinya, masing-masing perusahaan mempunyai kebijakan dan arahan manajemen tersendiri. Terlebih lagi kedua perusahaan responden merupakan kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam melaksanakan proses bisnisnya. Telah adanya suatu standarisasi terhadap tahapantahapan yang harus dilakukan di lapangan merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan efisiensi proses produksinya. Selain itu pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat terkait dengan pola pengelolaan yang diterapkan oleh masing-masing tim manajemen yang akan mengelola proyek tersebut, selain kebijakan umum yang diberlakukan oleh perusahaan. Masing-masing project manager atau kepala lapangan mempunyai kewenangan penuh dalam mengelola proyek yang dipimpinnya dan bertindak sebagai pimpinan dari supply chain proyek yang bersangkutan. Karena pada suatu supply chain sangat diperlukan keberadaan seorang pimpinan sebagai fokus dalam koordinasi dan sebagai pengambil kebijakan dalam supply chain -nya. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari proyek secara keseluruhan dan supply chain yang terlibat secara khusus. Berdasarkan hasil analisis terhadap proyek studi kasus terlihat bahwa masingmasing proyek mempunyai kebijakan sendiri dalam mengelola supply chain -nya. Terlihat perbedaan terhadap pendekatan metoda pengelolaan yang dilakukan oleh masing-masing pemimpin supply chain walaupun proyek tersebut berada di bawah payung perusahaan yang sama. Dari keempat proyek studi terlihat bahwa masing-masing tim manajemen melakukan pola pengelolaan yang berbeda. Hal ini juga terkait dengan kemampuan dan gaya kepemimpinan dari project manager dan kepala lapangan dalam melakukan pengelolaan pelaksanaan pekerjaan di lapangan yang secara tidak langsung juga mempengaruhi setiap mata rantai dari supply chain yang dibentuk. Terutama sekali terhadap kinerja dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan secara menyeluruh.

110 Sebagai contoh terkait dengan pengelolaan manajemen inventory, pada keempat proyek studi kasus tidak terdapat suatu acuan yang pasti terhadap material yang harus tersimpan di gudang pada akhir bulan berjalan. Sehingga hanya memberlakukan acuan yang menurut pengelola logistik dari proyek tersebut tidak akan mengganggu kelancaran cash flow proyek secara tidak langsung akibat dari penumpukan material di gudang tersebut. Namun dari kedua perusahaan konstruksi terlihat walaupun tidak terlalu sama, namun batasan terhadap maksimal sediaan material yang harus ada digudang relatif sama. Penilaian terhadap kinerja dari subkontraktor, nominated subkontraktor dan supplier Terkait dengan penilaian terhadap kinerja dari nominated subcontractor dan supplier pada proyek bukan merupakan wewenang dari kontraktor utama. Karena tidak ada ikatan apapun terkait dengan kewajiban dari kontraktor utama untuk melakukan penilaian kinerja dari nominated subcontractor dan supplier yang secara langsung berikatan kontrak dengan pihak owner. Kontraktor hanya ikut pada proses penerimaan material dan memberikan laporan hasilnya ke owner. Demikian pula terhadap kesalahan yang dilakukan oleh NSC yang terkait dengan mutu. Sedangkan untuk subkontraktor dan supplier yang berikatan kontrak dengan kontraktor utama dan merupakan rekanan perusahaan, secara administrasi selama masa pelaksanaan pekerjaan kedua kontraktor melakukan evaluasi kinerja terhadap masing-masing subkontraktor dan supplier tersebut. Penilaian dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam melakukan proses kerjasama dengan para vendor. Mekanisme evaluasi kinerja ini merupakan mekanisme rutin yang dilakukan oleh kontraktor, sehingga seolah-olah hanya kinerja penyedia barang dan atau jasa saja yang dinilai. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan kinerja dari penyedia barang dan atau jasa, yang tidak hanya datang dari keterbatasan penyedia barang dan atau jasa itu sendiri, tapi juga dari kontraktor

111 sendiri. Salah satu contoh adalah mengenai keterlambatan pembayaran dari kontraktor kepada penyedia barang dan atau jasanya. Menurut studi yang dilakukan oleh Hinze (1993) dalam studinya mengenai hubungan kontraktor dan subkontraktornya, terdapat kecenderungan kontraktor untuk melakukan penundaan pembayaran, atau melakukan praktek membayar bila sudah dibayar oleh owner (pay if paid), dimana hal ini tidak dilengkapi dengan mekanisme akses informasi kepada pihak yang terkait, apakah pembayaran tersebut sudah dilakukan atau belum, mengingat bahwa pihak tersebut tidak memiliki hubungan kontrak dengan owner. Masing-masing kontraktor mempunyai kriteria penilaian dan persyaratan kelulusan dari evaluasi yang dilakukan. Pada akhir pelaksanaan pekerjaanya, penyedia barang atau jasa akan mendapat rekomendasi dari kontraktor. Referensi ini akan menambah pengalaman subkontraktor atau supplier tersebut untuk digunakan pada proses seleksi pada proyek-proyek lainnya. Namun jika dari proses evaluasi tersebut dinilai tidak baik, maka penyedia barang atau jasa tersebut akan mendapat peringatan, dan harus melakukan perbaikan kinerja berupa mengejar keterlambatan pekerjaan dari target yang sudah ditentukan. Dalam kasus yang terjadi pada penyedia jasa pelaksanaan pekerjaan, ketidaklulusan bisa muncul dari hasil kinerja yang tidak memenuhi syarat sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan tertentu, hingga pekerjaan tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada. V.4 Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction Terkait dengan tujuan implementasi konsep lean construction, maka berdasarkan hasil pengukuran terhadap kinerja supply chain keempat proyek studi kasus diperoleh temuan antara lain :