BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi pada PT QN

BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT. DS. Pada prinsipnya terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan beban antara

a. Rp ,00 d. Rp ,00 b. Rp ,00 e. Rp ,00.

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. berhubungan dengan penghasilan juga berhubungan dengan Pajak

BAB IV PEMBAHASAN. Penjelasan mengenai akun akun dalam laporan keuangan PT Mitra Wisata Permata

BAB IV. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT. EVALUASI PERHITUNGAN PPh BADAN PADA MPT

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ADIS

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK TERHADAP OPTIMALISASI BEBAN PAJAK PT ARTHA DAYA COALINDO.

BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN. IV.1 Evaluasi Perhitungan PPh Pasal 21 Karyawan

BAB IV EVALUASI PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK PPH BADAN PT LAM. diwajibkan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagai Wajib Pajak badan, PT

BAB IV EVALUASI PERENCANAAN PAJAK UNTUK MENGEFISIENSIKAN BIAYA PAJAK BADAN PADA PT. UB. IV.1. Analisis Biaya Pada Laporan Laba Rugi PT.

EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT SNI. Dalam rangka pemanfaatan Undang undang Perpajakan secara optimal untuk

BAB III METODOLOGI ANALISIS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 EVALUASI ATAS EFEKTIFITAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN BADAN DALAM MEMINIMALISASIKAN BEBAN PAJAK UNTUK MENGOPTIMALISASIKAN LABA

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Analisis Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Pada PT.NRI

ANALISIS PENERAPAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA PT SM ANUGRAH RAYA TAMA

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN. perusahaan perlu mendapat perhatian khusus dalam penetapan kebijakan baik

BAB IV PEMBAHASAN. Evaluasi Pendapatan dan Beban pada Laporan Laba Rugi PT MMS

BAB IV PEMBAHASAN. komersial, namun untuk menjadi dasar pelaporan SPT Tahunan, PT. Dipta Adimulia

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian maka dapat ditarik kesimpulan:

By Afifudin PSP FE Unisma 2

BAB IV EVALUASI DAMPAK PERENCANAAN PAJAK UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PADA PT ABS INDUSTRI INDONESIA

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Pada Laporan Laba Rugi PT Anugrah Setia Lestari

BAB IV REKONSILIASI KEUANGAN FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK. TERUTANG PADA PT. KERAMIKA INDONESIA ASSOSIASI. Tbk

MODUL V REKONSILIASI FISKAL

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Evaluasi Pada Laporan Laba Rugi PT Rysban Jaya Agung

BAB IV ANALISIS PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA PT. TS INDONESIA. Analisis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

BAB IV PERBANDINGAN LABA BERSIH MENURUT STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN DENGAN PENGHASILAN KENA PAJAK SEBELUM PAJAK

BAB IV PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK MENGEFISIENKAN BEBAN PAJAK PADA PT BPR WS

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB IV EVALUASI PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT TGS

BAB II LANDASAN TEORI. Ada berbagai pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli perpajakan,

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HUTANG JANGKA PENDEK DAN AKUNTANSI UNTUK GAJI DAN UPAH

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. untuk Tahun 2008, 2009, dan 2010 atas laporan keuangan, Surat Pemberitahuan (SPT)

BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Ketentuan Formal Perpajakan PT Cipta Sukma Mandiri Nomor Pokok Wajib Pajak

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Laporan Keuangan Perusahaan Tahun 2010, 2011, dan 2012 PT. PAS merupakan perusahaan yang bergerak dibidang distribusi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB IV. EVALUASI PROSES PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PPh PASAL 23/26 PADA PT. FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Alasan Perusahaan dalam Strategi tax planning PPh 21 Lebih. Memilih Menggunakan Natura dan kenikmatan.

BAB IV EVALUASI ATAS PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 PADA PT. JASA RAHARJA (PERSERO)

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1 EVALUASI PERHITUNGAN PPh PASAL 21 KARYAWAN. karyawannya dan PT. pelangi elasindo menanggung semua PPh Pasal 21 yang

Daftar Kuesioner. Peranan Perencanaan Pajak. ( Variabel X ) Menerapkan Peraturan Perpajakan. Dengan Benar

BAB IV EVALUASI ATAS PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 KARYAWAN PADA PT ADIMITRA KARYA

BAB IV EVALUASI ATAS PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BADAN (STUDI KASUS PADA PT BANK MAJU) Rekonsiliasi Laporan Keuangan Fiskal pada PT Bank MAJU.

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Abstrak. Kata Kunci: Eksposur Pajak; Pajak Ditanggung Perusahaan; PPh pasal 21; PPh Pasal 23. Abstract

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PERENCANAAN PAJAK DALAM RANGKA MENGEFISIENKAN PAJAK PENGHASILAN BADAN PADA PT PRIMA SINDO

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kewajiban Perpajakan PT.Klinik Sejahtera PT.Klinik Sejahtera adalah salah satu klien dari KKP Adiyanto Consultant

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Perencanaan Pajak melalui Pajak Penghasilan Pasal 21 yang. diterima karyawan dengan menggunakan Metode Net

RUGI LABA BIAYA FISKAL

BAB. 1V MANAJEMEN PAJAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MEMINIMALKAN BEBAN PAJAK PENGHASILAN PADA PERUSAHAAN PI

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. kewajiban perpajakannya, khususnya atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Setelah pembahasan pada bab sebelumnya dimana dilakukan evaluasi

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perencanaan Pajak (Tax Planning) Pada PT. Yusonda

lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI

By Afifudin PSP FE Unisma 2

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi yang Melatarbelakangi Kesalahan atas Kewajiban Pemotongan PPh 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan Negara. Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan Penerimaan

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Meminimalkan Beban

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB IV PEMBAHASAN. maksud agar perkembangan usaha pada akhir periode tertentu dapat diketahui.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB IV PEMBAHASAN. IV.1. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Fiskal. Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha diwajibkan untuk menyusun

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak PJ.091/PL/S/006/

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat

KLASIFIKASI BIAYA DAN KOMPENSASI KERUGIAN. Aris Munandar, SE., M.Si

Transkripsi:

76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, PT APP sebagai pemberi kerja wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak para pegawainya. Perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional mengelompokkan pegawainya ke dalam 2 kelompok, yaitu: 1. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima gaji dan tunjangan dalam jumlah tertentu secara berkala dan teratur sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Direktur, Manajer, Kepala Bagian dan Staf yang semuanya berjumlah 18 orang. 2. Pegawai tidak tetap yaitu pegawai yang menerima atau memperoleh upah berdasarkan jumlah hari kerja. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah karyawan yang bekerja di proyek. Pajak penghasilan Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang jumlahnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan pegawai tetap pada umumnya terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 karena penghasilan yang diperoleh melebihi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan penghasilan pegawai tidak tetap tidak terhutang Pajak Penghasilan Pasal 21 karena penghasilan mereka tidak melebihi dari jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak

77 Yang merupakan subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT APP adalah 1. Pegawai tetap yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima / memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 2. Penerima upah (pegawai tidak tetap) yaitu orang pribadi yang menerima upah harian dan upah borongan. 3. Penerima honorarium yaitu orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya. Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 PT APP adalah: a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, tunjangan istri, tunjangan jabatan, tunjangan anak, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apa pun. b. Upah harian adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar jumlah dari hari kerja (pegawai tidak tetap). c. Upah borongan adalah upah yang terhutang atau dibayarkan atas dasar borongan kepada mandor, dimana dalam pelaksanaan kerja di proyek, mandor borongan ini mempekerjakan lagi pegawai harian yang merupakan tanggung jawab mandor atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. d. Honorarium yang diterima oleh tenaga ahli arsitek dan komisi yang diterima oleh perantara proyek.

78 4.1.1 Perhitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pelaksanaan Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP adalah sebagai berikut: a. Untuk Pegawai Tetap Untuk menentukan besarnya penghasilan neto dilakukan dengan cara: Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto (setinggi-tingginya Rp 1.296.000,- setahun atau Rp 108.000 per bulan), jika perusahaan ikut program Jamsostek dikurangi juga dengan iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai seperti iuran pensiun, iuran THT, kemudian untuk mendapatkan penghasilan kena pajak, penghasilan neto dikurangi lagi dengan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan keadaan status pegawai pada awal tahun takwim. Tarif pemotongan untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan UU RI No.17 Tahun 2000. PT APP tidak ikut program Jamsostek, Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai tetap ditanggung oleh perusahaan dalam perhitungannya tidak memperhatikan adanya Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah (KMK No.70/KMK.03/2003 dan KMK No.486/KMK.03/2003). Menurut keputusan Menteri Keuangan tersebut, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat mengurangi Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang. Perhitungan

79 Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pegawai tetap tahun 2003 yang dilakukan oleh PT APP dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Untuk Honorarium Bagi Tenaga Ahli Dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan menggunakan tenaga ahli arsitek. Atas penghasilan bruto yang diterima akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan cara sebagai berikut: Pajak Penghasilan Pasal 21 = 15% x 50% x Penghasilan Bruto Selama tahun 2003, honorarium yang dibayarkan kepada tenaga ahli arsitek berjumlah Rp 122.500.000 dan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong sebesar 15% x 50% x Rp. 122.500.000,- = Rp. 9.187.500,- c. Untuk Komisi (Fee Proyek) bagi perantara Dalam usaha untuk mendapatkan pekerjaan atas proyek kadang-kadang perusahaan melalui referensi atau perantara. Atas jasa tersebut, perusahaan membayar komisi perantara yang jumlahnya bervariasi, ada yang dinyatakan dalam prosentase dari nilai proyek, dan ada juga dalam jumlah tetap, tergantung pada kesepakatan bersama. Atas penghasilan yang diterima oleh perantara orang pribadi dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menerapkan tarif pasal 17 UU No.17 Tahun 2000. Selama tahun 2003, perusahaan membayar komisi perantara sebesar Rp 579.750.000,- untuk 32 orang dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong sebesar 5% x Rp 579.750.000,- = Rp 28.987.500,-. Komisi yang diterima oleh masing-masing perantara selama tahun 2003

80 jumlahnya masih di bawah Rp 25.000.000,- sehingga pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan tarif 5% dari penghasilan bruto. Perincian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium arsitek dan komisi perantara orang pribadi selama tahun 2003 oleh PT APP adalah sebagai berikut: Tabel 4.1. Ikhtisar Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang Dipotong Dari Honorarium Arsitek dan Komisi Proyek Tahun 2003 Bulan Januari Pajak Jumlah Komisi Honorarium Penghasilan Orang Proyek Pasal 21 1 12.500.000 937.500 Februari 1 8.500.000 637.500 Maret 2 15.000.000 1.125.000 8 145.000.000 April 1 10.000.000 Mei 1 7.500.000 Juni 1 12.500.000 937.500 10 188.250.000 9.412.500 Juli 2 10.000.000 750.000 Agustus 1 12.500.000 937.500 September 1 8.000.000 600.000 Oktober 6 106.500.000 5.325.000 2 10.000.000 750.000 November 1 8.500.000 637.500 Desember 1 7.500.000 562.500 8 140.000.000 Jumlah 122.500.000 579.750.000 7.250.000 750.000 562.500 7.000.000 38.175.000

81 4.1.2 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Sesuai dengan UU No.7 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000, Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dipotong harus disetor dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Bank BUMN atau BUMD atau Bank Lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak Anggaran selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. Kekurangan setoran atas pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada akhir tahun harus disetor paling lambat pada tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir. Kemudian untuk pelaporan pajak yang terhutang setiap bulan digunakan SPT Masa dengan lampiran SSP lembar ke-3, sedangkan pelaporan pajak terhutang tahunan digunakan SPT Tahunan 1721. SPT Masa harus disampaikan oleh perusahaan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak, sedangkan SPT Tahunan paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak yaitu tanggal 31 Maret. Berikut ini adalah pelaksanaan penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP setiap bulan selama tahun 2003 adalah sebagai berikut:

82 Tabel 4.2. Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Masa Pajak Penghasilan Bruto PPh. Pasal 21 yang dipotong dan dibayar Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan Rp. Rp. Januari 66.800.000 4.689.450 5/2/2003 20/2/2003 Februari 62.800.000 4.389.450 10/3/2003 18/3/2003 Maret 214.300.000 12.126.950 10/4/2003 17/4/2003 April 64.800.000 4.501.950 12/5/2003 20/5/2003 Mei 61.800.000 4.314.450 9/6/2003 19/6/2003 Juni 255.050.000 14.101.950 9/7/2003 18/7/2003 Juli 64.300.000 4.501.950 8/8/2003 20/8/2003 Agustus 66.800.000 4.689.450 11/9/2003 18/9/2003 September 168.800.000 9.676.950 10/10/2003 10/10/2003 Oktober 64.300.000 4.501.950 10/11/2003 17/11/2003 November 62.800.000 4.389.450 9/12/2003 18/12/2003 Desember 201.800.000 11.314.450 9/1/2004 20/1/2004 Jumlah 1.353.850.000 83.198.400

83 4.1.3 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 21 Dari perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh PT APP dapat dilihat bahwa perusahaan tidak memperhitungkan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah yang telah dihitung selama tahun 2003 berjumlah Rp. 2.461.700,- (Lihat Lampiran 4). Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah dapat mengurangi jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terhutang. Jika dilihat dari segi perencanaan pajak, jumlah tersebut merupakan pengeluaran atau pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 yang tidak seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Selain itu perusahaan juga menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 atas pegawai tetap yang dibukukan sebagai beban perusahaan. Pajak Penghasilan Pasal 21 ini menurut ketentuan dan peraturan perpajakan yang berlaku merupakan pemberian kenikmatan/ natura kepada pegawai dan merupakan non deductible expense bagi perusahaan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Badan. Untuk tujuan perencanaan pajak dalam menghindari pengenaan pajak penghasilan badan yang lebih besar, sebaiknya perusahaan memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 karena tunjangan ini dapat dianggap sebagai penghasilan bagi pegawai perusahaan yang merupakan objek pajak penghasilan pasal 21 dan bagi perusahaan merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense). Pada dasarnya perlakuan Pajak Penghasilan pasal 21 yang terhutang ada 4 alternatif sebagai berikut:

84 1. Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh pegawai yang bersangkutan 2. Perusahaan menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai 3. Perusahaan memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 4. Perusahaan menggunakan gross up income dalam menghitung tunjangan pajak bagi pegawai. Perusahaan yang memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawainya memiliki perbedaan dengan perusahaan yang menggunakan metode gross up income dalam menghitung tunjangan pajak bagi pegawai. Pemberian tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 jumlahnya tidak boleh melebihi dari Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai yang terhutang. Perusahaan yang memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21, besarnya tunjangan pajak belum tentu sama dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi pegawai terhutang. Selisih antara Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang dengan tunjangan pajak yang diberikan dapat ditanggung oleh pegawai yang akan dipotong dari penghasilan pada bulan yang bersangkutan, atau ditanggung oleh perusahaan yang merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense), sedangkan untuk perusahaan yang menggunakan metode gross up income akan menghasilkan tunjangan pajak yang jumlahnya sama dengan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang pegawai. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut ini diberikan contoh perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas tunjangan pajak:

85 Tuan A memperoleh gaji pokok setahun sebesar Rp 84.000.000 dengan status K/2. Perusahaan memberikan Tunjangan Hari Raya sebesar Rp 5.000.000 dan tunjangan pajak sebesar Rp 9.000.000. Perusahaan ikut program Jamsostek dengan menanggung premi asuransi kecelakaan dan kematian masing-masing sebesar 1,23% dan 0,3% dari gaji pokok, sedangkan iuran THT (Tunjangan Hari Tua) yang dibayar sendiri oleh Tuan A sebesar 2% dari gaji pokok. 1. Pemberian Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 Gaji pokok setahun Rp 84.000.000,- Tunjangan Hari Raya Rp 5.000.000,- Premi asuransi kecelakaan Rp 1.033.200,- Premi asuransi kematian Rp 252.000,- Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 Rp 9.000.000,- Total penghasilan bruto setahun Rp 99.285.200,- Pengurang : Biaya Jabatan (Rp 1.296.000,-) Iuran THT ( 1.680.000,-) Total penghasilan neto setahun Rp 96.309.200,- Dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) : Wajib pajak sendiri = Rp 2.880.000,- Status kawin = Rp 1.440.000,- Tanggungan 2 orang anak = Rp2.880.000,- (Rp 7.200.000,-) Penghasilan Kena Pajak Rp 89.109.200,-

86 Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh Rp 89.109.000,- Pajak Penghasilan Pasal 21 Terhutang : 5% x Rp 25.000.000 = Rp 1.250.000 10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000 15% x Rp 39.109.000 = Rp 5.866.350 Rp 9.616.350,- Selisih sebesar Rp 616.350 (diperoleh dari pajak penghasilan pasal 21 terhutang sebesar Rp 9.616.350 dikurangi dengan tunjangan pajak yang diberikan oleh perusahaan sebesar Rp 9.000.000) ditanggung oleh perusahaan dan merupakan non deductible expense yang berarti tidak diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. 2. Pemberian Tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan Metode Gross Up. Dalam hal ini tunjangan pajak penghasilan pasal 21 yang diberikan kepada pegawai perusahaan adalah sebesar pajak penghasilan pasal 21 pegawai yang terhutang untuk masing-masing pegawai. Untuk mengetahui besarnya tunjangan pajak penghasilan pasal 21 terhutang yang akan diberikan oleh perusahaan harus melalui perhitungan dengan menggunakan rumus gross up income yang terdiri dari 5 (lima) rumus, yaitu:

87 1) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) lebih kecil atau sama dengan Rp 25.000.000 Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = (PKP x 5%) / 0,95 2) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000. Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 10%)-Rp 1.250.000) / 0,90 3) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000. Pajak penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 15%)-Rp 3.750.000) / 0,85 4) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000. Pajak Penghasilan Pasal 21 terhutang = ((PKP x 25%)-Rp 13.750.000) / 0,75 5) Untuk Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 200.000.000 Pajak Penghasilan pasal 21 terhutang = ((PKP x 35%) Rp 33.750.000) / 0,65 Berikut ini adalah contoh perhitungan pajak penghasilan pasal 21 terhutang dengan metode gross up income. Tuan A mempunyai penghasilan setahun adalah sebesar Rp 87.309.200 dengan status K/2.

88 Perhitungan pajak penghasilan pasal 21 terhutang untuk Tuan A : Penghasilan Neto setahun Rp 87.309.200,- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP): Wajib pajak sendiri : Rp 2.880.000,- Status kawin : Rp 1.440.000,- Tanggungan anak 2 : Rp 2.880.000,- Rp 7.200.000,- Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 80.109.200,- Penghasilan Kena Pajak (PKP) dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh Rp 80.109.000,- Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan metode gross up income (rumus ketiga) : = ((Rp 80.109.000 x 15%) Rp 3.750.000) /0,85 = Rp 9.725.118 setahun Perbandingan dari keempat alternatif perencanaan pajak penghasilan pasal 21 untuk Tuan A dapat dilihat pada Lampiran 2. Kalau dilihat dari perbandingan, metode gross up income akan memberikan beban gaji yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (deductible expense) yang terbesar yaitu Rp. 103.118.318,- sedangkan untuk pajak penghasilan yang dibebankan ke pegawai dan pajak penghasilan pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan sama-sama memberikan beban gaji yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebesar Rp 93.393.200,- tetapi untuk pajak

89 penghasilan pasal 21 sebesar Rp. 8.266.350,- tidak diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan (non deductible expense). Jadi perencanaan pajak penghasilan pasal 21 dengan menggunakan metode gross up income merupakan alternatif yang terbaik, karena menghasilkan beban gaji yang paling besar dibandingkan dari alternatif yang lain, akibatnya laba kena pajak perusahaan dapat mengurangi jumlah penghasilan yang dikenakan tarif pajak tertinggi, yaitu sebesar 30%. Penyajian perhitungan gaji pegawai perusahaan dengan menggunakan metode gross up income secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari lampiran dapat dilihat, bahwa dengan metode gross up income diperoleh Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp. 62.425.470,- yang merupakan deductible expense, sedangkan menurut perhitungan perusahaan (Lihat Lampiran 1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dibayar merupakan non deductible expense. Kalau dibandingkan kedua cara perhitungan tersebut akan diperoleh penghematan pajak (Tax Saving) sebesar Rp. 8.248.371,- dengan perhitungan sebagai berikut: Penghematan dari Pajak Penghasilan Badan : 30% x Rp. 62.425.470,- Rp. 18.727.641,- Tambahan pembayaran PPh Pasal 21 dengan metode gross up: Rp. 62.425.470 Rp. 51.946.200 Rp. 10.479.270, - Jumlah penghematan pajak (Tax Saving) Rp. 8.248.371,-

90 Dalam penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dilakukan oleh perusahaan terjadi keterlambatan sebanyak 2 kali dalam tahun 2003 yaitu untuk masa April dan Agustus, sedangkan untuk pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atas keterlambatan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP). 4.2 Pajak Penghasilan Pasal 23 Sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku, apabila wajib pajak dalam negeri memiliki penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan di Indonesia akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 ini dilakukan oleh pihak pemberi kerja dengan memberikan bukti pemotongan yang merupakan kredit pajak bagi pihak yang dipotong. Kegiatan usaha pokok PT APP adalah melakukan penyerahan jasa konstruksi, design dan interior kepada pemberi kerja. Atas penghasilan ini akan dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto untuk jasa pelaksanaan konstruksi, 6% untuk jasa design dan interior. Dalam menjalankan kegiatannya di proyek, perusahaan menggunakan jasa sub kontraktor perorangan dan perusahaan lain serta menyewa peralatan kerja. Semua jasa ini merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23.

91 4.2.1 Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Yang merupakan subjek Pajak Penghasilan Paal 23 pada PT APP adalah pihak sub kontraktor baik perorangan maupun badan yang memberikan jasa konstruksi, design dan interior serta pihak yang menyewakan peralatan kerja kepada perusahaan. Sedangkan yang merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa yang telah diberikan kepada perusahaan. Atas imbalan jasa ini, perusahaan wajib menghitung, memotong dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 23, kemudian menyampaikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong sebagai kredit pajak. Besarnya pajak yang harus dipotong atas jasa tersebut adalah 2% dari penghasilan bruto untuk jasa pelaksanaan konstruksi, 6% untuk jasa design, interior dan persewaan peralatan kerja. Dalam pelaksanaannya, PT APP hanya memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas jasa sub kontraktor badan, dan tidak memotong jasa sub kontraktor perorangan dan jasa persewaan peralatan kerja dengan alasan mereka tidak mau dipotong. Dalam pembukuan perusahaan jasa sub kontraktor ini dicatat sebagai upah borongan. 4.2.2 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, bahwa Pajak Penghasilan Pasal 23 yang terhutang wajib disetor oleh pemotong pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dan harus memberikan bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang telah dibebani membayar pajak untuk diperhitungkan sebagai kredit pajak dengan pajak penghasilan

92 terhutang. Setelah disetor kemudian harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan dilampiri daftar bukti potong, bukti potong dan SSP lembar ke-3. Berikut di bawah ini adalah ikhtisar pelaksanaan penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dilakukan oleh perusahaan selama tahun 2003 : Masa Pajak Tabel 4.3 Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23 Penghasilan Bruto Rp. PPh. Pasal 23 yang dipotong Rp. Tanggal Penyetoran Tanggal Pelaporan Januari 29.715.300 633.518 5/2/2003 20/2/2003 Februari 13.130.600 467.836 10/3/2003 18/3/2003 Maret 17.650.000 353.000 10/4/2003 17/4/2003 April 86.966.070 3.138.604 12/5/2003 20/5/2003 Mei 102.288.896 2.369.738 9/6/2003 19/6/2003 Juni 188.120.385 3.990.408 9/7/2003 18/7/2003 Juli 573.000 34.380 8/8/2003 20/8/2003 Agustus 129.432.014 2.596.078 11/9/2003 18/9/2003 September 113.557.500 5.415.850 10/10/2003 10/10/2003 Oktober 142.944.382 5.432.773 10/11/2003 17/11/2003 November 129.680.985 3.935.005 9/12/2003 18/12/2003 Desember 60.706.041 3.119.677 9/1/2004 20/1/2004 Jumlah 1.014.705.173 31.486.867

93 4.2.3 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 23 Dilihat dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan oleh PT APP selama tahun 2003 telah sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang berlaku yaitu UU No. 7 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 17 tahun 2000. Akan tetapi ada objek pajak yang belum dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh perusahaan dengan alasan mereka adalah orang pribadi dan tidak mau dipotong. Objek pajak yang belum dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah : a. Jasa sub kontraktor orang pribadi Jasa ini oleh perusahaan dicatat ke akun upah borongan yang selama tahun 2003 berjumlah Rp 6.105.508.252,-. Jumlah tersebut terdiri dari jasa pelaksanaan konstruksi, design dan interior yang menurut ketentuan perpajakan yang berlaku harus dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan tarif yang bervariasi tergantung dari jenis jasa yang diberikan. Untuk jasa pelaksanaan konstruksi 2% dari penghasilan bruto dan 6% untuk jasa design dan interior. Besarnya kewajiban perpajakan perusahaan di masa yang akan datang, jika terjadi pemeriksaan atas akun ini adalah : Misalkan pakai tarif pajak penghasilan pasal 23 yang terendah 2% dari penghasilan bruto : Pokok Pajak 2% x Rp 6.105.508.252 = Rp 122.110.165

94 Sanksi Administrasi : - Bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan Rp 58.612.875 Jumlah estimasi kewajiban perpajakan Rp 180.723.044 b. Sewa Peralatan Kerja Menurut ketentuan perpajakan yang berlaku, sewa sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali tanah dan bangunan merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan tarif efektif 6% dari penghasilan bruto, jumlah beban sewa peralatan kerja yang terjadi di perusahaan selama tahun 2003 berjumlah Rp 362.500.000,-. Besarnya kewajiban perpajakan perusahaan di masa yang akan datang, jika terjadi pemeriksaan atas akun ini adalah sebagai berikut : Pokok Pajak 6% x Rp 362.500.000 = Rp 21.750.000 Sanksi Administrasi : - Bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan 2% x 24 x Rp 21.750.000 Rp 10.440.000 Jumlah estimasi kewajiban perpajakan Rp 32.190.000 Untuk menghindari dari pengenaan sanksi administrasi berupa bunga, sebaiknya perusahaan melakukan pemotongan atau penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan metode gross up. Dilihat dari segi perencanaan pajak, metode ini adalah yang paling menguntungkan dalam kondisi perusahaan laba.

95 Dalam pelaksanaan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dilakukan oleh perusahaan terjadi keterlambatan sebanyak 2 kali dalam tahun 2003 yaitu untuk masa April dan Agustus, sedangkan untuk pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Atas keterlambatan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan yang akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP). 4.3 Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan dalam tahun berjalan. Angsuran ini merupakan kredit pajak yang dapat direstitusi atau diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Badan yang terhutang pada akhir tahun. Kekurangan Bayar Pajak Penghasilan Badan pada akhir tahun. setelah dikurangi dengan kredit pajak merupakan Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar sendiri (Pajak Penghasilan Pasal 29). 4.3.1 Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terhutang menurut SPT tahun lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan Pasal 22, 23 dan 24 yang telah dipotong dan dipungut oleh pihak lain, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tiap tahun pajak. Pelaksanaan perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 pada PT APP untuk tahun 2003 adalah sebagai berikut:

96 Berdasarkan SPT PPh. Badan Tahun 2002 Penghasilan Neto Rp. 839.880.000,- Kompensasi Kerugian Tahun-tahun Lalu Rp. 0,- Penghasilan Kena Pajak Rp. 839.880.000,- Pajak Penghasilan Terhutang: 10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,- 15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,- 30% x Rp.739.880.000,- = Rp. 221.964.000,- Jumlah Rp. 234.464.000,- Kredit Pajak: Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp. 230.373.200,- Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri Rp. 4.090.800,- Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2003 1/12 x Rp. 4.090.000,- = Rp. 340.900,- 4.3.2 Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 harus dibayar sendiri oleh wajib pajak setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak yang bersangkutan berakhir dan harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak yang bersangkutan berakhir. Berikut dibawah ini adalah ikhtisar pelaksanaan

97 pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dilakukan oleh PT APP selama tahun 2003: Tabel 4.4. Ikthisar Tanggal Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak PPh. Pasal 25 yang dibayar Tanggal Pembayaran Tanggal Pelaporan Rp. Januari 108.300 5/2/2003 20/2/2003 Februari 108.300 10/3/2003 18/3/2003 Maret 340.900 10/4/2003 17/4/2003 April 340.900 12/5/2003 20/5/2003 Mei 340.900 9/6/2003 19/6/2003 Juni 340.900 9/7/2003 18/7/2003 Juli 340.900 8/8/2003 20/8/2003 Agustus 340.900 11/9/2003 18/9/2003 September 340.900 10/10/2003 10/10/2003 Oktober 340.900 10/11/2003 17/11/2003 November 340.900 9/12/2003 18/12/2003 Desember 340.900 9/1/2004 20/1/2004 Jumlah 3.625.600

98 4.3.3 Hasil Analisis Pajak Penghasilan Pasal 25 Berdasarkan uraian perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang telah dilakukan oleh PT APP telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku dan dalam pembayaran dan pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak selama tahun 2003 tidak ada keterlambatan. 4.4 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik untuk konsumsi barang maupun konsumsi jasa. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja dan dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai perusahaan. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dilaksanakan berdasarkan sistem faktur, sehingga atas penyerahan barang atau jasa wajib dibuat faktur pajak sebagai bukti transaksi penyerahan barang atau penyerahan jasa yang terhutang pajak. Pengusaha Kena Pajak hanya diharuskan membayar kepada negara sebesar selisih antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak (Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar kepada penjual Barang Kena Pajak atau pemberi Jasa Kena Pajak (Pajak Masukan).

99 4.4.1 Perhitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pada PT APP yang menjadi Subjek Pajak Pertambahan Nilai adalah perusahaan sendiri sebagai Pengusaha Kena Pajak yang membeli atau menjual Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Objek Pajak Pertambahan Nilai pada PT APP dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha dimana Jasa Kena Pajak tersebut berupa jasa konstruksi, design dan interior. Penerimaan uang muka proyek dari pemberi kerja juga merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut pada saat diterima pembayaran. Rumus menghitung PPN adalah : PPN yang terhutang = tarif PPN x DPP Dimana DPP itu adalah harga jual. PT APP mempunyai Pajak Masukan yang merupakan pajak atas Barang/Jasa Kena Pajak dari perusahaan lain (PKP) dan ada juga Pajak Keluaran yang merupakan pajak yang harus dibayar atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang harus dipungut dari perusahaan lain (PKP). Contoh perhitungan Pajak Pertambahan Nilai bulan Januari 2003 pada PT APP adalah sebagai berikut: Perusahaan selama bulan Januari 2003 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dan menerima Uang Muka Proyek sebesar Rp. 2.042.567.140,- termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak kepada pihak Pemungut PPN

100 sebesar Rp 100.521.860,-. Atas penyerahan dan penerimaan uang muka proyek ini akan terhutang PPN sebesar 10% yang harus dipungut dari penerima Jasa Kena Pajak, kecuali kepada pihak pemungut PPN, dimana PPN yang terhutang akan dipungut dan disetor sendiri oleh pemungut PPN dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama PT APP sebagai pihak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak. Disamping itu, selama bulan Januari 2003 perusahaan juga melakukan pembelian Barang Kena Pajak sebesar Rp 856.595.970,- dengan PPN yang dipungut sebesar 10% dari pembelian Barang Kena Pajak. Perhitungan PPN yang harus disetor bulan Januari 2003 PPN keluaran 10% x Rp 2.042.567.140,- = Rp 204.256.714,- Dikurangi: PPN atas penyerahan kepada pihak pemungut pajak 10% x Rp 100.521.861,- (10.052.186),- PPN Keluaran yang harus dipungut Rp 194.204.528,- Dikurangi: PPN Masukan 10% x Rp 856.595.970,- (85.659.597),- PPN yang harus disetor Rp 108.544.931,- 4.4.2 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang setiap bulan harus disetor selambatlambatnya pada tanggal 15 bulan takwim berikutnya. Jika tanggal 15 tersebut

101 jatuh pada hari libur, maka penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya. Setelah disetor, selanjutnya harus dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan SPT Masa PPN dengan lampiran SPP lembar ke-3 selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Jika tanggal 20 tersebut jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Keterlambatan penyetoran PPN yang terhutang akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan dan keterlambatan pelaporannya akan dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp 50.000,- untuk setiap masa pajak. Penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang pada PT APP selama tahun 2003 adalah sebagai berikut: Tabel 4.5. Ikhtisar Tanggal Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak PPN Keluaran PPN Keluaran kepada pemungut PPN Masukan PPN yang harus disetor Rp. Rp. Rp. Tanggal Penyetoran Tanggal Penyetoran Januari 204.256.714 10.052.186 85.659.597 108.544.931 14/2/2003 20/2/2003 Februari 161.695.235 50.204.596 111.490.639 14/3/2003 19/3/2003 Maret 141.020.632 40.095.842 100.924.790 28/4/2003 1/5/2003 April 140.691.906 59.927.348 80.764.558 19/5/2003 20/5/2003 Mei 113.819.515 25.072.609 88.746.906 13/6/2003 19/6/2003 Juni 92.131.499 68.069.989 24.061.510 15/7/2003 18/7/2003

102 Juli 216.462.183 160.797.748 55.664.435 21/8/2003 22/8/2003 Agustus 250.917.954 85.561.730 165.356.224 30/9/2003 1/10/2003 September 123.015.233 100.983.002 22.032.231 15/10/2003 17/10/2003 Oktober 317.938.740 71.295.138 246.643.602 13/11/2003 17/11/2003 November 284.899.371 38.869.379 246.029.992 15/12/2003 18/12/2003 Desember 132.351.384 131.869.379 482.005 15/1/2004 20/1/2004 Jumlah 2.179.200.366 10.052.186 918.406.357 1.250.741.823 4.4.3 Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai Menurut ketentuan UU RI No. 18 Tahun 2000, pembuatan Faktur Pajak Standar dapat dilakukan: 1. Dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya, maka faktur pajak standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau 2. Dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran; atau 3. Dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran termin; atau

103 4. Dalam hal penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN, harus dibuat paling lambat pada saat Pengusaha Kena Pajak menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN. Akibat adanya perbedaan waktu dalam pembuatan Faktur Pajak Standar dengan pengakuan penghasilan dalam pembukuan akan menyebabkan saldo akhir bulan PPN yang terhutang menurut buku besar berbeda dengan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Perbedaan ini setiap bulan harus dilakukan rekonsiliasi atau menurut fiskus lebih dikenal dengan istilah Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai. Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai bulan Desember 2003 pada PT APP adalah sebagai berikut: Saldo PPN Keluaran menurut Buku Besar Rp. 344.108.499,- Dikurangi: PPN atas penghasilan yang telah dicatat tahun 2003, tetapi Faktur Pajak dilaporkan pada tahun 2004. (Rp. 211.757.115),- Saldo PPN Keluaran menurut SPT Masa Rp. 132.351.384,- Saldo PPN Masukan menurut Buku Besar Rp. 172.463.272,- Dikurangi: PPN atas pembelian yang telah dicatat tahun 2003, tetapi Faktur Pajak dilaporkan tahun 2004. (Rp. 40.593.893),- Saldo PPN Masukan menurut SPT Masa Rp.131.869.379,- PPN yang harus disetor. Rp. 482.005,-

104 4.4.4 Hasil Analisis Pajak Pertambahan Nilai Dari uraian perhitungan dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh PT APP pada dasarnya telah mengikuti Peraturan dan Ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku, baik dalam penerapan tarif maupun cara perhitungan dan pemungutannya. Tetapi dalam memenuhi kewajiban penyetoran dan pelaporan terdapat keterlambatan yaitu untuk setoran masa pajak bulan Maret, April, Juli dan Agustus 2003, sedangkan untuk pelaporan terjadi keterlambatan pada masa pajak bulan Maret, Juli dan Agustus 2003. Atas keterlambatan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda bunga sebesar 2% per bulan dan bagian dari bulan dihitung satu bulan. Untuk keterlambatan pelaporannya akan dikenakan sanksi administrasi Rp. 50.000,- untuk setiap masa pajak. Berikut ini adalah perhitungan sanksi adiministrasi atas keterlambatan penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai: 1. Untuk Masa Pajak Maret Terjadi keterlambatan setor selama 13 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp 2.018.495,- (2% x Rp 100.924.790,-). Sanksi administrasi keterlambatan lapor Rp 50.000,- untuk setiap masa pajak. 2. Untuk Masa Pajak April

105 Terjadi keterlambatan setor selama 4 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp 1.615.291,- (2% x Rp 80.764.558,-). 3. Untuk Masa Pajak Juli Terjadi keterlambatan setor selama 6 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp 1.113.288,- (2% x Rp 55.664.435,-). Sanksi administrasi atas keterlambatan lapor Rp 50.000,- untuk setiap masa pajak. 4. Untuk Masa Pajak Agustus Terjadi keterlambatan lapor selama 15 hari, menyebabkan perusahaan akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar Rp 3.307.124,- (2% x Rp 165.356.224,-). Sanksi administrasi atas keterlambatan lapor Rp 50.000,- untuk setiap masa pajak. Semua sanksi administrasi perpajakan akan ditagih oleh pihak Fiskus dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Mengenai Equalisasi Pajak Pertambahan Nilai, perusahaan telah melakukan rekonsiliasi setiap bulan antara saldo menurut buku besar dengan saldo menurut SPT Masa. 4.5 Rekonsiliasi Laporan Keuangan Komersial dan Fiskal Laporan keuangan akuntansi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan pada umumnya berbeda dengan laporan keuangan fiskal, karena laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan Peraturan dan Ketentuan Undang-undang perpajakan,

106 sedangkan laporan keuangan komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan metode atau prinsip dalam pengakuan penghasilan dan beban dalam laporan keuangan yang dapat digolongkan menjadi Perbedaan Temporer (Temporary Difference) dan Perbedaan Tetap (Permanent Difference). Neraca, Laporan Laba Rugi Komersial, Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Fiskal, Perhitungan Pajak Penghasilan, Daftar Penyusutan Aktiva Tetap menurut Komersial dan Fiskal tahun 2003 yang telah dilakukan oleh PT APP masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 5, 6, 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan Rekonsiliasi Laporan Laba Rugi Fiskal yang dilakukan oleh PT APP berkaitan dengan beban dan penghasilan yang terkena koreksi fiskal yang disebabkan oleh perbedaan temporer dan perbedaan tetap baik koreksi fiskal positif maupun negatif dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perbedaan Temporer (Temporary Difference) a. Beban Penyusutan Aktiva Tetap Beban penyusutan aktiva tetap dilakukan koreksi fiskal positif sebesar Rp 37.895.383,-, karena adanya perbedaan metode atau tarif dalam perhitungan penyusutan. Untuk komersial, perusahaan menggunakan metode garis lurus dengan taksiran umur manfaat untuk semua aktiva tetap selama 5 tahun tanpa nilai sisa atau dengan tarif 20% per tahun, sedangkan untuk tujuan laporan fiskal perusahaan juga menggunakan metode garis lurus dengan pengelompokkan aktiva tetap menurut ketentuan perpajakan yang berlaku

107 yaitu untuk kelompok 1 tarif 25% per tahun dari harga perolehan dan golongan 2 tarif 12,5% dari harga perolehan. b. Piutang Tak Tertagih Beban ini merupakan penghapusan atas piutang usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan secara akuntansi merupakan kerugian piutang, perlakuan perpajakannya menurut UU No.17 tahun 2000 dan Kep.238/PJ/2001 dapat dikurangkan sebagai beban dengan syarat: - Telah dibebankan sebagai beban dalam laporan laba rugi komersial. - Telah diserahkan penagihannya kepada Pengadilan Negeri. - Telah diumumkan dalam penerbitan umum (Koran, majalah, atau media cetak). - Daftar nominatif dilampirkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan. Karena perusahaan tidak memenuhi semua syarat tersebut di atas, maka kerugian piutang sebesar Rp 23.750.400,- dilakukan koreksi fiskal positif. 2. Perbedaan Tetap (Permanent Difference) a. Beban Pengobatan Beban pengobatan untuk pegawai yang dibayarkan langsung oleh perusahaan ke klinik / rumah sakit, dokter dan apotik merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai perusahaan, sehingga beban pengobatan tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Beban pengobatan yang terjadi selama tahun 2003 sebesar Rp 35.649.850,- dilakukan koreksi fiskal positif, karena merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai. Untuk

108 tujuan perencanaan pajak, beban pengobatan dapat diberikan dalam bentuk penggantian pengobatan, pemberian uang pengobatan atau pemberian tunjangan pengobatan yang merupakan beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan merupakan objek PPh. Pasal 21. b. Beban Perjamuan dan Sumbangan Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No.27/PJ.22/1986 untuk beban representasi; perjamuan tamu dan sejenisnya dalam rangka untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan yang bersifat fiskal, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dengan syarat harus dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Badan. Beban Perjamuan dan Sumbangan perusahaan tahun 2003 sebesar Rp 39.433.860,- untuk bagian beban pokok proyek dan Rp 38.251.200,- untuk bagian beban operasi dilakukan koreksi fiskal positif, karena perusahaan tidak membuat daftar nominatif yang harus dilampirkan dalam SPT PPh. Badan c. Beban Lain-lain Beban lain-lain perusahaan yang terjadi selama tahun 2003 untuk bagian beban pokok proyek sebesar Rp 39.725.442,- dan Rp 16.388.717,- untuk beban operasi dilakukan koreksi fiskal positif, karena tidak didukung dengan bukti yang cukup.

109 d. Beban Telepon Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.220/PJ/2002 yang berlaku efektif tanggal 18 April 2002 untuk telepon selular (handphone) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu, karena jabatan dan pekerjaannya, maka dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan sebesar 50% dari jumlah beban berlangganan atau pengisian ulang pulsa dalam tahun yang bersangkutan dan penyusutan atas telepon selular tersebut juga diakui sebesar 50% dari beban penyusutan yang dihitung menurut fiskal (termasuk kelompok 1). Beban pengisian ulang pulsa untuk pemakaian telepon selular milik perusahaan oleh pegawai tertentu, karena jabatan dan pekerjaannya selama tahun 2003 adalah sebesar Rp 8.452.000,-. Beban yang dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto adalah 50% x Rp 8.452.000,- = Rp 4.226.000,-. Untuk itu dilakukan koreksi fiskal positif sebesar Rp 4.226.000,-. e. Beban Pajak Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf h UU Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan Badan serta kredit pajak bukan merupakan biaya perusahaan. Sanksi administrasi perpajakan karena keterlambatan penyetoran dan pelaporan yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) akibat dari hasil pemeriksaan pajak merupakan beban yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

110 Beban pajak penghasilan dan denda pajak yang terjadi selama tahun 2003 sebesar Rp 73.439.942,- dilakukan koreksi fiskal positif karena tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Pajak penghasilan yang terjadi pada PT APP adalah PPh Pasal 23 atas penghasilan proyek tahun 2002 yang dipotong pada tahun 2003 dengan bukti pemotongan juga tahun 2003. Hal ini menyebabkan kredit pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan Terhutang tahun 2003 dan juga tidak dapat diakui sebagai beban untuk tujuan fiskal. f. PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah PPh Pasal 21 atas penghasilan karyawan yang ditanggung oleh perusahaan merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai. Pengeluaran ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dan bagi pegawai juga bukan merupakan penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 21. Selama tahun 2003 perusahaan menanggung PPh Pasal 21 sebesar Rp 51.946.200,- dan dilakukan koreksi fiskal positif karena merupakan pemberian kenikmatan kepada pegawai (benefit in kind). g. Jasa Giro Jasa Giro sebesar Rp 18.246.942,- merupakan penghasilan bunga neto atas saldo simpanan uang perusahaan dalam bentuk rekening koran di Bank. Penghasilan Jasa Giro dilakukan koreksi fiskal negatif, karena penghasilan tersebut merupakan objek pajak penghasilan final pasal 4 ayat 2 yang telah

111 dipotong dengan tarif 20% oleh Bank. Koreksi fiskal ini dilakukan juga untuk menghindari terjadi pengenaan pajak berganda. 4.5.1 Hasil Analisis Rekonsiliasi Laporan Keuangan Berdasarkan rekonsiliasi laporan laba rugi fiskal yang telah dilakukan oleh perusahaan, pada dasarnya sudah mengikuti Peraturan dan Ketentuan UU Pajak Penghasilan yang berlaku. Akan tetapi terdapat transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi atas 1 unit kendaraan yang belum dilakukan koreksi fiskal. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.SE-29/PJ.42/1992 tentang transaksi sewa guna usaha disebutkan: 1. Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut. Penyusutan dilakukan mulai tahun pajak digunakannya hak opsi. 2. Dasar penyusutan yang dipakai setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut adalah nilai sisa buku (residual value) barang modal yang bersangkutan. 3. Pembayaran sewa guna usaha yang dibayarkan atau terhutang, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut dapat digolongkan sebagai sewa guna dengan hak opsi.

112 Selama tahun 2003 jumlah pembayaran sewa guna usaha yang dilakukan oleh perusahaan sebesar Rp 97.012.800,- (12 bulan x Rp 8.084.400,-) termasuk bunga sewa guna usaha Rp 25.680.000,- yang telah dibebankan oleh perusahaan dalam laporan laba rugi komersial, sedangkan penyusutan atas aktiva sewa guna usaha yang telah dibebankan adalah sebesar Rp 33.437.500,-. Atas transaksi ini menurut Surat Edaran tersebut di atas harus dilakukan koreksi fiskal sebagai berikut: 1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha sebesar Rp 97.012.800,- yang meliputi cicilan pokok dan bunga sewa guna usaha merupakan pengeluaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga harus dilakukan koreksi fiskal negatif. 2. Beban bunga sewa guna usaha dan penyusutan aktiva sewa guna usaha masing-masing sebesar Rp 25.680.000,- dan Rp 33.437.500,- merupakan beban yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga harus dilakukan koreksi fiskal positif. Akibat adanya koreksi fiskal atas transaksi sewa guna usaha pada tahun 2003, perusahaan terjadi kelebihan pembayaran pajak penghasilan badan dengan perhitungan sebagai berikut: Koreksi Fiskal Negatif : - Pembayaran Sewa Guna Usaha Rp 97.012.800,- Koreksi Fiskal Positif : - Bunga Sewa Guna Usaha Rp 25.680.000,-

113 - Penyusutan Aktiva Sewa Guna Usaha Rp 33.437.500,- Jumlah bersih koreksi fiskal negatif Rp 37.895.300,- Tarif Pajak Tertinggi 30% Kelebihan Bayar Pajak Penghasilan 30% x Rp 37.895.300 = Rp 11.368.590,-