BAB II DASAR TEORI. α = osilasi torsi. αα β. β = osilasi torsi pada control surface

dokumen-dokumen yang mirip
FLUTTER PADA T TAIL PLATE-KOMPOSIT THESIS

ANALISA BALOK SILANG DENGAN GRID ELEMEN PADA STRUKTUR JEMBATAN BAJA

Laporan Praktikum. Laboratorium Teknik Material III. Modul B Teori Laminat Klasik. oleh :

BAB II LANDASAN TEORI CORE WALL

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

LENDUTAN (Deflection)

BAB I PENDAHULUAN. fisik menuntut perkembangan model struktur yang variatif, ekonomis, dan aman. Hal

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Tegangan Dalam Balok

BAB III PEMODELAN SISTEM POROS-ROTOR

PUNTIRAN. A. pengertian

BAB IV EVALUASI KINERJA DINDING GESER

DEFORMASI BALOK SEDERHANA

FISIKA XI SMA 3

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

ANALISIS TEGANGAN PADA TABUNG KOMPOSIT SERAT KARBON UNTUK MOTOR ROKET BERDIAMETER 200 MM DENGAN METODE SINGLE LAYER LAMINATED ELEMENT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pemodelan Sistem Dinamik. Desmas A Patriawan.

ANALISIS CANTILEVER BEAM DENGAN MENGGUNAKAN METODE SOLUSI NUMERIK TUGAS KULIAH

STUDI PENGARUH KONSTANTA PEGAS TANAH TERHADAP RESPON TEGANGAN DAN PENURUNAN PADA PONDASI PELAT (MAT FOUNDATION) ABSTRAK

BAB II METODE ELEMEN HINGGA PADA STRUKTUR. 2.1 Jenis - Jenis Struktur pada Bangunan Teknik Sipil

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

BAB IV TEGANGAN, REGANGAN, DAN DEFLEKSI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

I.1 Latar Belakang I-1

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN

BAB III PEMODELAN RESPONS BENTURAN

PROGRAM ANALISIS GRID PELAT LANTAI MENGGUNAKAN ELEMEN HINGGA DENGAN MATLAB VERSUS SAP2000

BAB 4 Tegangan dan Regangan pada Balok akibat Lentur, Gaya Normal dan Geser

MODEL MATEMATIKA MANIPULATOR FLEKSIBEL

ANALISA STRUKTUR METODE MATRIKS (ASMM)

Tugas Akhir Bidang Studi Desain SAMSU HIDAYAT Dosen Pembimbing Dr. Ir. AGUS SIGIT PRAMONO, DEA.

DESAIN DAN ANALISIS SIRIP ROKET KOMPOSIT HYBRID SEBAGAI SIRIP KOMPOSIT OPTIMUM

Pertemuan 13 ANALISIS P- DELTA

Bab V Implementasi Dan Pembahasan Metode Elemen Hingga Pada Struktur Shell

BAB 3 MODEL ELEMEN HINGGA

Soal-Jawab Fisika Teori OSN 2013 Bandung, 4 September 2013

1. (25 poin) Sebuah bola kecil bermassa m ditembakkan dari atas sebuah tembok dengan ketinggian H (jari-jari bola R jauh lebih kecil dibandingkan

II. KAJIAN PUSTAKA. gaya-gaya yang bekerja secara transversal terhadap sumbunya. Apabila

DESAIN BALOK SILANG STRUKTUR GEDUNG BAJA BERTINGKAT ENAM

Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi

III. TEGANGAN DALAM BALOK

APLIKASI METODE ELEMEN HINGGA UNTUK ANALISA STRUKTUR STATIK LINIER DENGAN PROGRAM MSC/NASTRAN

BAB IV HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang paling utama mendukung beban luar serta berat sendirinya oleh momen dan gaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA. 1. Pangley, C.D,Wilson L.E Flutter of characteristic of a t tail.southwest Research institute.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan medan hidrodinamik. Pertama, dengan menentukan potensial listrik V dan

DAFTAR ISI. Halaman Judul Pengesahan Persetujuan Surat Pernyataan Kata Pengantar DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

DINAMIKA ROTASI DAN KESETIMBANGAN

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. dilakukan setelah mendapat data dari perencanaan arsitek. Analisa dan

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD


ANALISIS PERENCANAAN DINDING GESER DENGAN METODE STRUT AND TIE MODEL RIDWAN H PAKPAHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Laporan Tugas Akhir Analisis Pondasi Jembatan dengan Permodelan Metoda Elemen Hingga dan Beda Hingga BAB III METODOLOGI

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

Bab 3. Metodologi. Sebelum membahas lebih lanjut penggunaan single tube dalam aplikasi

Gambar 7.1 Sebuah benda bergerak dalam lingkaran yang pusatnya terletak pada garis lurus

ANALISA STRUKTUR GEDUNG 8 LANTAI DARI MATERIAL KAYU TERHADAP BEBAN GEMPA

ANALISIS LINIER STRUKTUR CANGKANG PADA SILO SEMEN DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

K 1. h = 0,75 H. y x. O d K 2

BAB II STUDI PUSTAKA

Bab 6 Defleksi Elastik Balok

PENGEMBANGAN PENGHALUSAN JARING ELEMEN SEGITIGA REGANGAN KONSTAN SECARA ADAPTIF

BAB I PENDAHULUAN. analisa elastis dan plastis. Pada analisa elastis, diasumsikan bahwa ketika struktur

ANALISIS KOLOM BAJA WF MENURUT TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG ( SNI ) MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2002

Saat mempelajari gerak melingkar, kita telah membahas hubungan antara kecepatan sudut (ω) dan kecepatan linear (v) suatu benda

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB 3 DINAMIKA STRUKTUR

BAB 1 Keseimban gan dan Dinamika Rotasi

BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN. Hooke pada tahun Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja

Bab V : Analisis 32 BAB V ANALISIS

ANALISIS MODUS NORMAL DAN KEKUATAN STRUKTUR SIRIP MOTOR ROKET-168 DARI BAHAN AL-PLATE

BAB II PERAMBATAN GELOMBANG SEISMIK

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Jl. Banyumas Wonosobo

ANALISA KEKUATAN CRANKSHAFT DUA-SILINDER KAPASITAS 650 CC DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA

Getaran Mekanik. Getaran Bebas Tak Teredam. Muchammad Chusnan Aprianto

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial

BAB III LANDASAN TEORI

PEMASANGAN STRUKTUR RANGKA ATAP YANG EFISIEN

Analisis Numerik Bilah Kipas Mesin Turbofan TAY Menggunakan Metode Elemen Hingga

KHAIRUL MUKMIN LUBIS IK 13

III. METODE PENELITIAN

Dosen Pembimbing: 1. Tavio, ST, MS, Ph.D 2. Bambang Piscesa, ST, MT

Bab III Metodologi Penelitian

BAB IV ANALISA STRUKTUR

PENGEMBANGAN EQUIVALENT PLATE MODEL UNTUK ANALISA DINAMIS PADA STRUKTUR PLATE-LIKE WING DENGAN MATERIAL KOMPOSIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

FRAME DAN SAMBUNGAN LAS

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

Transkripsi:

BAB II DASAR TEORI Aeroelastis merupakan ilmu yang mempelajari interaksi diantara aerodinamik dan struktur. Parameter struktur yang berhubungan yaitu inersia dan stiffness. Sehingga 3 aspek ini akan saling mempengaruhi. Pada bidang ini dikaji antara lain ketidakstabilan statik dan dinamik. Sehingga dalam initial design dibutuhkan prediksi yang tepat untuk mendapatkan karakteristik ketidakstabilan baik statik maupun dinamik. Untuk itu didapatkan cara untuk memodifikasi baik struktur yang mampu menahan ketidakstabilan yang timbul dan juga adanya bentuk dari struktur yang menghasilkan aspek aerodinamika yang menguntungkan..1 Persamaan aeroelastik Persamaan gerak aeroelastik diturunkan dengan prinsip perubahan energi, yang didekati dengan persamaan energi Lagrange dimana q = h,, β T = energi kinetik pada benda U = energi potensial pada benda D = damping osilasi h = osilasi heaving = osilasi torsi β = osilasi torsi pada control surface d T U D + + =.. Q dt q q q (1) Jika dijabarkan pada salah satu osilasi heaving yaitu........ ghωh M β β ωh M h+ S + S + M h+ h= Q h () ω 5

atau dalam bentuk umum dalam discrete coordinate dimana [M] = mass matrik [C] = discrete damping matric [K]= stiffness matric {u}= vector gerak benda... { Ft ()} = gaya luar / aerodinamik force [ M ]{ u} [ C]{ u} [ K]{} u { F() t } + + = (3) Dengan menggunakan asumsi vektor perpindahan tiap titik atau nodal merupakan kombinasi linear dari beberapa n m dari modus getaran frekuensi rendah yaitu { u} [ φ] = q (4) dengan kata lain bahwa koordinat gerak struktur dapat dinyatakan terpisah menjadi bidang spatial [ φ ] dan temporer q dimana [ φ] modus gerak struktur, yang berukuran (n m ) dengan n menyatakan jumlah titik yang ditinjau dan m menyatakan modus yang digunakan. Dengan memsubtitusi persamaan (4) ke (3) dan mengalikannya dengan [ ] T φ (3) dapat ditulis menjadi, maka persamaan aeroelastik pada persamaan... [ M ]{ q} [ C ]{ q} [ K ]{} q { F () t } + + = (5) s s s s dimana T [ M ] [ φ] [ M][ φ] s = = matrik massa rampat T [ K ] [ φ] [ K][ φ] s = = matrik kekakuan rampat T [ C ] [ φ] [ C][ φ] s = = matrik damping (6) 6

{ F () t } [ φ] T { F() } s = t = gaya luar / aerodinamik rampat q(t) = vector koordinat general Matrik massa dan matrik kekakuan mempunyai ukuran [m m] dengan m adalah jumlah modus..1.1 Beban Aerodinamik Tak Tunak Persamaan flutter adalah persamaan tidak homogen, dikarenakan adanya beban aerodinamik tak tunak. Persamaan untuk menyelesaikan load dan momen yang terjadi pada persamaan aeroelastik ini akan diselesaikan dengan persamaan DLM (Doublet Lattice Method). Dengan metode ini, lifting surface dibagi menjadi beberapa segment yaitu panel trapezoidal. Panel trapezoidal memiliki sisi yang sejajar dengan arah streamwise. Biasanya juga dipakai panel coplanar yaitu panel yang mempunyai lebar yang sama. Metode doublet Lattice ini biasanya juga digunakan pada finite elemen structural codes, tetapi tidak mungkin digunakan secara identik pada grid struktur dan aerodinamik grid. Dengan demikian diperlukan adanya splining tehnik yang digunakan untuk menghubungkan antara dua grid tersebut. Gambar.1. Panel pada Doublet Lattice Method Ref [10] Pada metode ini, distribusi pressure yang belum diketahui diasumsikan seragam pada panel panel yang telah dibagi. Sehingga tekanan tersebut dapat diintegralkan pada persamaan : wy (, ) ΔC = V 8π pj K( 0, y y0, M, k) ds (7) j 7

dimana j = sending panel S = luas permukaan panel W(,y) = downwash pada panel V = kecepatan K = fungsi kernel M= bilangan Mach Pada persamaan diatas bahwa suku kiri menunjukan pengaruh kecepatan secara eksplisit. Fungsi Kernel diintegrasikan pada arah aliran (streamwise) dengan menempatkan efek tekanan pada garis dari tekanan doublet pada ¼ chord line pada masing-masing panel. Sehingga persamaan diatas menjadi dimana wy (, ) ΔC pj = Cjcos β j K( o, y yo, M, k) V 8π dl (8) j l = garis integral (l) dihitung pda ¼ cord panel j th panel, C j = mean (tengah) chord dari j th panel β j = sweep angle paa ¼ cord line pada j th panel ds = c cos β dl lj Pada persamaan integral ini, kondisi batas normalwash w(,y) diketahui jika tekanan p j pada tiap panel tidak diketahui. Ketika kondisi batas pada normal wash terpenuhi pada beberapa point (collocation point) maka dihasilkan persamaan aljabar linear pada tiap panel. Collocation point ini diletakan pada tengah span, 3/4 cord tiap panel. Kondisi batas yang lain yang harus dipenuhi yaitu kondisi Kutta. Kondisi kutta ini dipenuhi pada titik control point. Secara simultan, integral pada metode doublet lattice dapat diselesaikan dengan persamaan wy (, ) V {} a = = [ D]{ p } Δ C (9) 8

Dimana : = vektor normal wash non dimensional [D] = matrik persegi dari aerodynamic influence coefficient pada panel ij th D ij c jcos β j = Kijdl 8π (10) { Δ C p } = vector dari comple pressure coeficient l j Untuk mendapatkan gaya aerodinamik, yaitu dengan mensubstitusikan persamaan aerodinamik pada persamaan aeroelastik, diperlukan gaya aerodinamik dalam bentuk generalized forces yang digunakan pada persamaan Lagrange seperti pada persamaan (1) yaitu variable Q. Prosedur umum yang biasa digunakan yaitu menuliskan kedua bentuk energi yaitu energi kinetik dan potensial dalam bentuk structural mode shape, w(,y), dimana dapat diperoleh dengan menggunakan finite elemen model. Prinsip virtual work digunakan untuk menghitung gaya Q. Matrik gaya ini Q, dihitung untuk masing-masing mode yang saling berpengaruh yaitu dalam bentuk aerodinamik. Kerja yang dilakukan pada gerak struktur mode shape w (, ) adanya osilasi dalam modus w (, ) i y yaitu (, ) (, ) i y dikarenakan δ wi y pj y ds (11) s dimana mode shape w (, ) i y dapat ditulis sebagai ( ) w, y = l f (, y) (1) i i i dimana l i adalah amplitude dari mode shape yang sifatnya undertemined dan fi ( yadalah, ) nondimensional shape function (bentuk geometri dari suatu mode). li adalah generalized coordinate (biasanya Oleh karena itu ( ) qi th = ) yang digunakan pada i mode. l i δw, y = δl f (, y) (13) i i i 9

Biasanya untuk menyatakan generalized forces, yaitu dalam hal ini non dimensional variable. Sehingga untuk menyatakan tekanan dalam bentuk koefisien tekanan Δ C p (, y), maka ( ) j(, ) ρ p j, Q i, digunakan py (, ), ditulis p y= VΔ C y (14) Sehingga kerja virtual yang dilakukan oleh gaya aerodinamik yaitu (, ) Δ (, ) δlρv f y C y ds (15) i i p j s Dengan melakukan keseimbangan pada virtual work yang dilakukan oleh generalized force, maka diperoleh persamaan δlp = δld Q (16) i ij i ij dimana : d = refensi panjang 1 Q = f (, y) ΔC (, y) ds ij i p d j s (17) Dengan asumsi yang digunakan pada Doublet Lattice Method, bahwa pressure diasumsikan konstan untuk setiap panel, maka persamaan (17) dapat ditulis menjadi dimana : n k k Qij = fi ΔCp A j k (18) k= i k f i = nondimensional displacement pada titik ¼ cord ditengah-tengah panel pada th i mode tiap th Δ = nondimesional tekanan pada k panel pada k C p j th j mode d A k = area pada th k panel. Sehingga jumah semua panel yang digunakan merupakan model permukaan aerodinamik. 10

.1. Finite Elemen Model Pada tesis ini digunakan elemen pelat, dengan berbagai property dan sifat material. Dengan menggunakan Metode elemen hingga, maka diperoleh persamaan pada sisi struktur. Dibawah ini gambar model pada Software Nastran- 45 dengan pemodelan finite elemen. gambar. finite elemen model T tail Pada pemodelan finite elemen ini, akan diperoleh variable atau matrik yang diperlukan untuk menyelesaikan persamaan gerak (1). Dengan adanya batasan derajat kebebasan dan nilai kekakuan material tertentu maka akan didapat matrik yang sesuai dengan batasan tersebut. Pada metode finite elemen ini akan diperoleh matrik massa [M] dan matrik kekakuan [K]. Sedangkan untuk matrik damping [C] akan tergantung dalam pemodelan, yaitu kita butuhkan atau tidak. Sehingga dalam penyelesaian persamaan gerak akan terpengaruh dengan ada atau tidaknya nilai damping tersebut. Penjelasan finite elemen untuk Nastran dapat dilihat pada lampiran A. 11

. Persamaan aeroelastik D (Typical wing section) Konsep dimensi ini sangat penting untuk memberikan hitungan atau gambaran awal pada aeroelastik analisis. Metode ini digunakan untuk menurunkan tingkat komplektisitas, sehingga biasa digunakan pada awal perhitungan untuk eksperimen dalam skala laboratory. Tipe wing section ini (D) mempunyai karakterisitik yang sama pada sayap dengan aturan bahwa kondisi D ini diambil pada 70-75% pada sayap 3 D. Asumsi yang biasa digunakan yaitu : Small swept angle (wing is almost straight). Sayap homogen, baik kekakuan dan distribusi massa Sayap mempunyai aspek ratio yang besar Ada beberapa alasan D ini digunakan : Analisis cenderung mudah Typical wing section tidak membutuhkan perhitungan yang komplek. Tipe ini akan tetap digunakan untuk mewakili kasus 3 D khusus untuk syap dengan struktur dengan aspek rasio yang besar. Parameter sayap seperti geometri, kekakuan dan aerodinamik pada tipe wing section ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar.3. Typical Wing Section [13] 1

Dimana Center of gravity (c.g, centre of mass), adalah titik acuan masa dari sayap. Elastic ais (e.a), titik referensi untuk vibrasi Aerodynamic center (a.c), adalah titik dimana momen aerodinamik bekerja dan tetap, tidak tergantung pada sudut serang sayap. h, defleksi yang disebabkan oleh bending, sudut serang atau defleksi puntir cenderung pada elastik ais. K h, Kekakuan bending. K, Kekakuan torsi m, adalah masa dari typical wing section. I, adalah momen inersia ( I = m.. b ). S, Momen statik pada sumbu elastis. ( S = m.. b ) I r, radius dari giration pada sumbu elastik. ( r = m.b ) U, kecepatan free stream. L, gaya aerodinamik. M ac, adalah momen aerodinamik pada aerodynamic centre. c (chord), adalah garis yang mengubungkan leading edge and trailing edge dari typical wing section. Parameter b adalah didefinisikan pada semi chord, dimana b = c/. e, eccentricity factor or chord fraction yaitu yang menyatakan jarak diantara a aerodynamic centre dan elastic ais, dimana nilai positif untuk a.c terletak didepan e.a., semi chord fraction yaitu menyatakan jarak diantara elastic ais dan centre of mass, dimana nilai positif untuk e.a terletak didepan c.g. a, semi chord fraction yaitu menyatakan jarak diantara mid-chord dengan elastic ais (e.a dimana nilai positif untuk e.a, a terletak dibelakang mid-chord point. μ adalah rasio masa. ( μ = m πρb ) 13

..1 Steady Aerodinamik Model Pada kasus ini diasumsikan bahwa sudut serang sama dengan inidence angle. Aliran dianggap steady state. Dengan memperhatikan gambar () maka untuk kasus binary system yaitu sistem dimana hanya bending dan torsi yang menginduksi gaya aerodinamik. ( M L ) () t = qsc () t (19) l ( M M ) () t = 0 (0) AC dengan demikian M EA = Leb + M AC = qsebcl (1) Sehingga persamaan fluter menjadi mh&& + S && + K h + qsc = 0 h L S h&& + I && + K qsebc = 0 L () atau dalam bentuk matrik [ M]{ } + ([ K] q[ A0 ]){ } = { 0} dengan && (3) [ M ] [ K ] m S = S I Kh. =. K h (Inertia ) (4) (structural stiffness) (5) L [ A ] (aerodynamic stiffness) (6) 0 =. SC. SebC L Dengan melihat ketiga matrik diatas ternyata aerodinamik matrik mempunyai karakteristik dengan bentuk asymmetric matric. Dengan mengasumsikan bahwa solusi dari persamaan flutter () h= he ˆ pt = e ˆ atau dalam bentuk matrik pt { } { ˆ} (7) pt = e (8) dengan mensubstitusi persamaan (8) ke dalam () maka diperoleh 14

( mp Kh) h ( S p qscl ) ˆ Sp h ( Ip K qsebcl ) + ˆ + + ˆ = 0 + + ˆ = 0 (9) Sehingga solusi nontrivial ĥ dan [ ] ([ ] [ ]) ˆ dapat diperoleh dari determinan persamaan M p + K q A 0 = 0 (30) Dengan mereduksi persamaan diatas maka diperoleh persamaan karakteristik ap + ap + a = 4 4 0 0 dengan (31) 0 a4 = mi S a = m( K qsebcl ) + I Kh qss C L (3) a = K ( K qsebc ) h L sehingga diperoleh akar akar dari persamaan karakteristik diatas (31) 1 ( ω) 1..4 ( 4 ) P = G+ i =± a ± a a a (33) 1..4 4 0 a4 tipe tipe dari solusi tersebut { } { } ( + ω ˆ ) { ˆ j j j} G j = damping ω j = frekuensi { ˆ j } = mode shape Gj i t Gt j iω jt = e = e e dimana j = 1..4 Stabiliti dari gerak dapat diindikasikan dari nilai G (damping) : G>0 tidak stabil (amplitude naik) G=0 netral (constant amplitude) G<0 stable (menurunnya amplitude) Sehingga dapat dilihat tipe instability dari typical section sebagai berikut 15

Gambar.4. tipe instability wing section pada steady model Ref [8].. Low Frequency Aerodynamic Model Pada model ini,model aerodinamik tidak sama dengan model steady. Persamaan yang digunakan yaitu A. dyn () t ( ) ht & = + U () t (34) h& ( t) ab B. dyn () t = + () t & () t (35) U U atau bisa dilihat dari gambar berikut : Gambar.5. tipe wing section pada low frekuensi aerodinamik model 16

Sehingga persamaan (19) dan (0) menjadi h& L() t = qscl + (36) U h& M EA () t = qsebcl + (37) U dengan mengulang prosedur pada steady aerodynamic model maka penyelesaian persamaannya sebagai berikut : [ M]{ } + [ B]{ } + ([ K] q[ A] ){ } = { 0} [ B] Dengan solusi yang sama && & (38) q SC L. U = q SebC L. U { } { ˆ} (39) pt = e (40) maka diperoleh persamaan karakteristik sebagai berikut : Dimana ap + ap+ ap + ap+ a = (41) 4 3 1 4 3 1 0 0 a = mi S 4 0 q a3 = SCL + ( ebs I ) + U a = mk + I K meb + S qsc q a1 = SCL K U a = K ( K qsebc ) h ( ) h L L (4) 17

dengan menyelesaikan persamaan diatas sesuai dengan prosedur yang dilakukan pada steady aerodynamic model, maka diperoleh type dari ketidakstabilan sebagai berikut : Gambar.6a. tipe instability model A. Ref [8] Gambar.6b.tipe nstability model [8].3 Material Komposit Pada tesis ini akan digunakan material komposit dengan dengan beberapa model yaitu bahwa penggunaan material komposit ini akan ditujukan untuk menambah efek damping pada osilasi yang terjadi pada efek T tail. Untuk kasus aeroelastik dibutuhkan hanya kekakuan ekuivalen dari bahan komposit ini. Sehingga ada beberapa batasan yang timbul dengan pemakaian komposit ini. Unsur pembentuk material komposit adalah fiber dan matri yang umumnya bersifat keras dan getas misalnya serat carbon, Kevlar dan gelas dan matrik yang umumnya bersifat lunak (seperti plastic dan logam-logam lunak). Serat merupakan unsur utama material yang sangat menentukan karakteristik atau sifatsifat material komposit, seperti kekakuan dan kekuatannya. Serat menahan sebagian besar gaya-gaya yang bekerja pada material komposit. Sedangkan matrik bertugas mengikat dan melindungi serat agar berfungsi dengan baik. 18

Material komposit menggabungkan kekuatan dan kekakuan serat dengan massa jenis matriks yang rendah, sehinga dihasilkan material yang ringan tetapi kuat dan kaku (high specific modulus and specific strength). Material komposit diklasifikasikan berdasarkan goemetri dan jenis seratnya. Secara garis besar, material komposit dibedakan atas material partikel( particulate composite) yang bahan penguatnya terdiri atas partikel-partikel dan material komposit serat (fibrous composit) yang bahan penguatnya berupa serat. Dalam istilah komposit istilah lamina dan laminat (laminate). Lamina adalah sekelompok serat-serat searah (unidirectional fibers) atau sekelompok anyaman serat-serat (woven fibers) yang disusun dan diikat olah matriks. Sumbu material utama adalah lamina sejajar arah serat (sumbu serat, arah longitudinal atau arah - 1) dan tegak lurus arah serat (arah matriks, arah ternsversal, atau arah -). Sedangkan laminat adalah setumpukan lamina yang disusun dengan orientasi sumbu utama almina berbeda untuk memebentuk elemen struktur yang menyatu sedimikian rupa sehingga didapat sifat-sifat kekuatan dan kekakuan yang diinginkan. Laminat dibuat agar elemen struktur mampu menahan beban multiaksial, sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan lamina tunggal yang cocok untuk menahan beban uniaksial. Lapisan-lapisan laminat yang bervariasi itu diikat menjadi satu oleh material matrik yang sama dengan yang digunakan pada lamina. Proses peletakan seratserat dalam lamina seperti juga proses peletakan lamian-lamina dalam laminat dikenal sebagai proses lay-up. Proses curing dilakukan dengan mengeringkan serat-serat dalam lamina atau lamina-lamina dalam laminat untuk membuat ikatan antar serat atau lamina..3.1 Hubungan Tegangan-Regangan Material Komposit Material komposit termasik dalam kelompok material anisotrop yaitu material yang sifat-sifatnya berubah terhadap perubahan arah. Karena itu material komposit mempunyai sifat yang berbeda dengan material konvensional lain, sehingga material komposit mempunyai hubungan tegangan-regangan khusus. Bentuk hubungan tegangan-regangan material anisotropic yang paling umum : σ = C ε I,j= 1,,3 (43) ij ijkl kl 19

dimana : σ ij = tensor tegangan linier ε kl = tensor regangan linier C ijkl = tensor modulus elastic berderajat empat Umumnya σ ij, memiliki 9 komponen, ε kl memiliki 9 komponen, dan Cijkl memiliki 81 komponen. Hubungan simetri padaσ dan ε kl menjadikan σ ij memiliki 8 komponen, ε kl memiliki 6 komponen dan C ijkl memiliki 36 ij komponen. Adanya fungsi energi regangan atau simetrisitas C ijkl menjadikan C ijkl memiliki 1 komponen. Dengan menuliskan σ1 = σ11, σ = σ, σ3 = σ33, σ4 = σ9, σ5 = σ31 dan σ 6 = σ1, demikian juga untuk regangan serta menggunakan notasi C untuk C, maka diperoleh hubungan tegangan regangan sebagai berikut i ij ij σ = C ε i,j = 1,..,6 (44) j ijkl Persamaan () menunjukan adanya kopel antara tegangan normal ( σ1, σ, σ3) dengan regangan geser ( ε 4, ε5, ε6) dan antara tegangan geser ( σ 3, σ4, σ 6) dengan regangn normal ( ε 1, ε, ε 3 ), yang secara fisik berarti bila material ditarik uniaksial akan terjadi regangan geser disamping regangan tarik Untuk material ortotropik yang menjadi dua bidang simetri sifat yang orthogonal relative terhadap bidang orthogonal ketiga tegangan-regangan menjadi σ1 C11 C1 C13 0 0 0 ε1 σ C1 C C3 0 0 0 ε σ 3 C31 C3 C33 0 0 0 ε 3 : = σ 4 0 0 0 C44 0 0 ε 4 σ 5 0 0 0 0 C55 0 ε 5 σ 6 0 0 0 0 0 C66 ε 6 Ada 9 konstanta bebas dalam hubungan tegangan-regangan diatas. (45) Untuk benda-benda tipsi seperti pelat (material ortotropik -D), dapat dianalisis dengan kondisi plane stress (tegangan bidang), : 0

σ = 0, σ = 0, danσ = 0 3 4 5 dengan menuliskan σ 6 = σ 1 danε 6 = ε1, maka hubungan tegangan regangan dalam arah sumbu utama material pada pers (3) menjadi : σ1 C11 C1 0 ε11 σ C1 C 0 = ε σ 1 0 0 C 66 ε 1 (46) dimana E 1 C 11 =, 1 υ1υ 1 C E = 1 υ υ 1 1 υ E 1 1 C 1 =, C 66 = G 1 (47) 1 υ1υ 1 υ = υ 1 1 E E 1 Dengan demikian ada 4 konstanta bebas dalam hubungan di atas. Bila sumbu-sumbu utama material membentuk sudut θ terhadap sumbu, matriks elastisitas harus ditransformasikan pada sumbu (,y,z) tersebut. Gambar. menunujukan sumbu (1,,3) yang membentuk sudut θ terhadapa sumbu (,y,z). Sumbu z berhimpit dengan sumbu 3, yang merupakan poros perputaran sudut. Sudut θ positif jika berarah melawan arah jarum jam (counter clockwise). Dapat ditunujukan bahwa persamaan transformasi tegangan untuk mentransformasikan tegangan-tegangan dari system koordiant 1- ke system koordinat X-Y dinyatakan sebagai: σ σ1 σ = [ U ] σ y σ y σ 1 dimana U (48) cos θ sin θ sinθ cosθ sin θ cos θ sinθcosθ sinθ cosθ sinθ cosθ cos θ sin θ 1

gambar.7 sumbu (-y membentuk sudut θ terhadap sumbu utama (1,). Dapat pula ditunjukan bahwa hubungan tegangan-regangan dalam system koordinat X-Y yang berubah-ubah dinyatakan sebagai σ ε _ σ y = C ε y σ y ε y (49) = T dimana C [ U] [ C][ U] C C C C C [ ] 0 11 1 = 1 0 0 0 C 66 (50).3. Teori Laminat Klasik Pelat berlapis atau laminat merupakan material komposit yang terbentuk dari penyusunan beberapa buah lamina dengan orientasi sudut tertentu. Pelat berlapis dibuat agar suatu struktur mampu menahan beban multiaksial. Susunan laminat yang terdiri dari beberapa buah lamina dengan tebal dan orientasi struktur yang berbeda-beda diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

Gambar.8 Susunan lamina komposit. Laminat komposit dapat dianalisis dengan menggunakan teori pelat berlapis klasik (classical lamination theory). Teori pelat berlapis klasik, dibangun dengan beberapa buah asumsi penting, yaitu : 1. Setiap lapisan dalam pelat berlapis terekat satu sama lain dan bahan perekat sangat tipis, sehingga tidak mempengaruhi kekuatan pelat berlapis secara keseluruhan, serta tidak teregang geser (non-shear deformable). Dengan anggapan seperti ini, berarti tidak ada slip antar lapisan dan deformasi pelat dianggap kontinyu.. Benda yang dikaji tipis, sehingga garis yang semula tegak lurus dan rata bidang tengah pelat dianggap tetap rata dan tegak lurus, bila pelat tersebut teregang atau terlentur (perhatikan gambar di bawah ini). Dengan demikian asumsi plane stress tetap berlaku. Gambar.9 Deformasi pelat komposit 3

Berdasarkan asumsi yang telah ditentukan dan pengamatan terhadap deformasi laminat yang diberi beban, diketahui bahwa tegangan lamina pada lapisan ke k dari laminat merupakan fungsi dari regangan dan kelengkungan bidang tengah. Hubungan tersebut dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : τ σσ y y k = C C C ' ' ' 11 1 16 C C C ' ' ' 1 6 C C C ' ' ' 16 6 66 K o ε o ε o γ y y + z χ χ y χ Matriks C ij pada persamaan di atas berbeda antara lapisan satu dengan lainnya, sehingga terjadi variasi tegangan, regangan dan modulus elastisitas. Variasi regangan yang terjadi pada laminat umumnya linear, tetapi variasi tegangan pada laminat tersebut tidak harus linear. Resultan gaya dan momen yang bekerja pada pelat berlapis diperoleh melalui integrasi tegangan yang terjadi pada setiap lapisan, sepanjang arah ketebalan pelat berlapis. Resultan gaya dan momen diberikan sebagai berikut : y (51) N N N y y = σ n zk σ y dz = / k = zk τ y 1/ 1 1 1 τ σ σ y dz y M σ n z σ 1/ k dan M y = σ y zdz = σ y zdz (5) k = zk M 1/ 1 1 y τ y τ y atau dalam bentuk lain, dengan: N N N M M M y y y y A A A = B B B 11 1 16 11 1 16 A A A B B B 1 6 1 6 A A A B B B 16 6 66 16 6 66 B B B D D D 11 1 16 11 1 16 B B B D D D 1 6 1 6 B B B D D D 16 6 66 16 6 66 0 ε 0 ε y 0 γ y χ χ y χ y N, N y dan N y = gaya gaya bidang persatuan panjang. (53) 4

M, M y dan M y = momen bidang persatuan panjang n Aij k k = 1 ' = C ( ) ij zk zk 1 1 n ' Bij = Cij ( zk zk 1 ) (54)(a, b dan c) k k = 1 1 n ' 3 D ( 3 ij = Cij zk z k k 1 3 k = 1 ) Gambar.10 Pembebanan pada pelat komposit. Matriks A ij disebut sebagai matriks kekakuan panjang (etensional stiffness matri). Matriks B ij adalah matriks kekakuan kopel (couple stiffness matri), sedangkan matriks D ij adalah matriks kekakuan lentur (bending stiffness matri). Suku-suku dan A menunjukkan adanya kopel antara tegangan normal dan A16 6 regangan geser, atau tegangan geser dan regangan normal. Hal ini berarti apabila pelat seperti ini diberi beban tarik uniaksial maka akan timbul juga regangan geser, demikian juga sebaliknya. Suku-suku ini akan hilang bila susunan lapisan dibuat balans, dimana bila terdapat lapisan dengan arah serat bersudut θ, harus ada lapisan dengan sudut sebesar sama. θ dengan ketebalan dan jenis bahan yang 5

Matriks menggambarkan adanya kopel atara gaya-gaya bidang B ij ( N dann ) dengan lenturan atau puntiran ( χ, χ, danχ ). Bila pelat N, y, y y y tersebut diberi gaya-gaya bidang, bidang tengah pelat tersebut juga akan melengkung atau memuntir. Suku-suku pada matriks ini akan menjadi nol, bila susunan lapisan simetri. Sedangkan suku-suku dan D pada matriks B ij D16 6 kekakuan lentur D ij menunjukkan adanya kopel antara lenturan dan puntiran..3.3 Modulus Elastisitas Ekuivalen Pada bidang tertentu, seperti aeroelastisitas diperlukan data modulus elastisitas ekuivalen pelat berlapis. Ini berarti pelat berlapis dianggap sebagai bahan homogen dengan harga modulus elastisitas tertentu. Untuk susuan yang simetri seimbang, harga modulus elastisitas ekivalen ini dapat dicari dengan mudah, yaitu dengan persamaan-persamaan : E E y A11 A A 1 = (55) A h A11A A 1 = (56) Ah 11 A A A66 υ = Gy = (57) h 1 1 υ y = y A A11 dimana E y E = modulus elastisitas ekivalen dalam arah longitudinal = modulus elastisitas ekivalen dalam arah transversal υ y = nisbah poison rasio dalam arah longitudinal υ y = nisbah poison rasio dalam arah transversal G y = modulus geser h = tebal pelat berlapis total Sedangkan pada pelat berlapis tidak seimbang, maka penentuan modulus elastis ekivalen menjadi lebih rumit, yaitu dengan menginverskan lebih dulu persamaan (53) sehingga diperoleh matrik 6

ε H H H H H H N 0 11 1 13 14 15 16 0 ε y H1 H H3 H4 H N 5 H 6 y 0 γ N y H13 H3 H33 H34 H35 H 36 y = χ H14 H4 H34 H44 H45 H M 46 χ M y H15 H5 H35 H45 H55 H 56 χ M y H16 H6 H36 H46 H56 H66 dimana y y (58) ( ) 1 E = hh (59) y 11 ( ) 1 E = hh (60) H 1 υ y = (61) H H 1 υ y = (6) H11 y ( ) 1 G = hh (63) 33.4 Pemodelan pada NASTRAN Pemodelan pada Nastran, digunakan beberapa kartu yang berhubungan dengan parameter yang digunakan. Pada tesis ini digunakan solusi 145 yaitu solusi untuk flutter. Pada Tesis ini ada 3 pembagian kartu-kartu yang digunakan : 1. Kartu Struktur Kartu yang digunakan pada bagian sturktur meliputi Kartu GRID Kartu CQUAD4 Kartu CBEAM Kartu PBEAM Kartu CONM Kartu MAT. Kartu Aerodinamik Kartu AERO KArtu PAERO Kartu MKAERO 7

3. Kartu penghubung aerodinamik dan struktur Kartu SPLINE Kartu SET 4. Kartu penyelesaian flutter Kartu EIGR Kartu EIGC Kartu FLFACT Kartu PARAM Semua penjelasan kartu diatas dapat dilihat pada Lampiran A..4.1 Analisis Material Komposit dalam Nastran Sejak versi 81, MSC NASTRAN menyediakan analisis material komposit laminat, yang mentransformasikan elemen pelat dan elemen SHELL menjadi elemen berlapis-lapis. Komposit laminat dapat dimodelkan langsung dengan menggunakan kartu PCOMP dan MAT8 pada bulk data. Kartu PCOMP mendefinisikan bentuk secara fisik laminat, yaitu orientasi lamina dan tebalnya. Setiap lapisan didefiniskan mulai dari permukaan bawah sampai permukaan atas. Untuk setiap lapisan, material ID (nomor identifikasi material) pada kartu MAT8, ketebalan, orientasi lamina dan output tegangan harus didefinisikan. Kartu PCOMP juga membutuhkan input Z 0, jarak dari bidang grid ke permukaan bawah laminat(z 0 selalu negative). Melalui kartu PCOMP, MSC/NASTRAN menyediakan output kekakuan ekuivalen, regangankelengkungan tegangan normal dan tegangan geser, tegangan inter laminar dan kriteria kegagalan untuk setiap lapisan, pada setiap elemen, setiap sub kasus.dengan PCOMP pemakai dapat meminta penggunaan kriteria kegagalan untuk menguji apakah elemen sudah gagal atau belum. NASTRAN akan menampilkan indeks kegagalan untuk setiap lamina jika output tegangan diminta.indeks kegagalan baik untuk tegangan bidang/ inplane (FP) maupun tegangan interlaminar (FB) akan ditampilkan untuk setiap lamina. Juga indeks kegagalan maksimum setiap elemen. Teori kegagalan yang disediakan MSC?NASTRAN adalah teori Hill, Hoffman, Tsai-Wu dan regangan maksimum. 8

Sedangkan kartu MAT8 mendefinisikan property material ortotropik lamina (data kekakuan ortotropik) dan tegangan material yang diijinkan. Kartu MAT8 mengacu pada kartu PCOMP dan sebaliknya. Material komposit laminat secara konseptual dapat dipandang sebagai tumpukan lamina dengan orientasi arah material yang berbeda. Gambar (.11) menunjukan 3 pelat laminat jenis cross-ply. Gambar.11 laminate model Lamina ke-n (n=1,,3,4) dari setiap konfigurasi adalah tegak lurus terhadap sumbu-z system koordinat. Sumbu-1 dan sumbu- pada tiap lamina menunjukan arah sumbu material. Bidang y didefinisikan sebagai bidang tengah lamina. Sejumlah tumpukan lamina dapat dimodelkan dengan sebuah pelat tungal atau elemen shell kaena property material tumpukan tercermin secara lengkap pada matriks kekakuan elemen. MSC/NASTRAN menyediakan elemen shell dan elemen pelat seperti QUAD4, QUAD8, TRIA3, dan TRIA6 untuk menyatakan komposit laminat dalam model elemen hingga. MAtriks kekakuan elemen secara otomatis dihitung dalam MSC/NASTTRAN dari definisi ketebalan, property material dan orientasi setiap lamina yang dimasukan pemakai dalam Bulk data. Kemampuan penggambaran komposit laminat otomatis ini tersedia dengan analisa aeroelastis maupun optimasi struktur. 9

.4.1.1 Perbedaan Cara Analisis NASTRAN dengan teori Laminat Classic Ada perbedaan antara cara analisis NASTRAN dengan Teori CLT sehingga untuk elemen pelat ada hal utama yang harus diperhatikan. Pertama, definisi gaya aksial dan gaya geser adalah adalah sama, baik pada NASTRAN maupun CLT, sedangkan momen didefinisikan secara berlawanan. Pada NASTRAN, kompresi adalah pada permukaan Z positif. Kedua, pada NASTRAN matriks kekakuan kopel didefiniskan berbeda pada CLT. CLT mendefinisikan matriks kekakuan kopel sebagai N B = C t Z (64) ij ij k k k = 1 k Sedangkan NASTRAN mendefinisikan sebagai : 1 G4 Z G e t dz (65) [ ] = ( )[ ] dapat dibuktikan bahwa [ G ] e k C = dan integrasi dari t/ sampai t/ pada persamaan diatas menjadi k (66) N tg4 = ij Cij tk zk k = 1 k (67) Ini menunjukkan bahwa matrik kekakuan kopel didefinisikan tepat berlawanan tanda satu dengan yang lain. Tetapi laminat didefinisikan sama, sehingga penomeran layer tetap dimulai dari dasar laminat ke atas seperti ditunjukan pada gambar dibawah ini Gambar.1 Susunan laminate 30

Karena itu, pada MSC/NASTRAN hubungan gaya-regangan untuk elemen QUAD4 maupun TRIAD3 didefinisikan sebagai : F tg1 t G4 0 ε M = tg4 IG1 0 X Q 0 0 TG s 3 γ (68) dimana : F F, gaya pada membrane perunit panjang F z = Fy M M = M y M z, momen lentur per unit panjang Q Q =, gaya geser transversal per unit panjang Qy ε χ ε = ε y, regangan membran ε zy χ = χy χ zy, kelengkungan (curvature) γ γ =, regangan geser transversal γ y t= tebal membrane (elemen QUAD4, TRIA3) I = factor inersia (T 3 /1), NASTRAN Computed Homogeneous inertia, yang dimasukan pada SHELL T s = [TS/T}(T), factor geser transversal, dimasukan pada PSHELL [G 1 ]= matrik membran 3 3 [G ]= matrik lentur 33 [G 4 ]=matrik kopel silang aksial/lentur 33 31

[G 3 ]=matrik geser transversal 3 3 dan F dalam lb/in, M dalam in.-lb/in, dan Q dalam lb./in. Persamaan tersebut serupa dengan persamaan gaya-regangan pada CLT, dimana tg 1 =A t G 4 =B IG =D MSC NASTRAN tidak hanya mengimplementasikan teori laminat klasik. MSC/NASTRAN mampu memperhitungkan tegangan inter laminerτ yz danτ z yang pada CLT tidak dapat ditentukan karena adanya asumsi tegangan bidang. Untuk itu MSC/NASTRAN menggunakan teknik pendekatan dengan dasar asumsi antara komponen dan y dari tegangan tidak terjadi kopel satu sama lain..4. Penyelesaian persamaan flutter Nastran Untuk penyelesaian kasus flutter pada T tail ini dipilih dengan menggunakan metode P-K yaitu dipilih pada kartu FLUTTER. Persamaan solusi flutter pada nastran yaitu Dimana 1 I 1 R Mhh p + Bhh ρcvqhh / k p+ Khh ρv Qhh { uh} = 0 4 (69) I Q hh = Modal aerodynamic damping matrik yaitu fungsi dari M (mach number ) dan k (reduced frekuensi) R Q hh = Modal aerodynamic stiffness matrik yaitu fungsi dari M (mach number ) dan k (reduced frekuensi) p =eigenvalue = ωγ± ( i) γ = koefisien rata-rata transient ( g = γ ) I R Bentuk matrik dalam persamaan (69) adalah real. dan adalah bagian real Q hh Q hh dan imaginer dari Q ( m, k). Untuk circular frekuensi dan reduced frekuensi hh adalah tidak tergantung pada k = ωc /V tetapi tergantung 3

c k = Im p (70) V Pada metode P-K persamaan (69) ditulis dalam bentuk state space [ A pi]{ u h } = 0 (71) dimana A adalah real matrik o I I M hh Khh ρv Qhh Mhh Bhh ρv Qhh / k [ A] = 1 1 R 1 1 (7) dimana { u h } adalah vector modal displacement dan velocities. Hasil eigenvalue dari matrik A mempunyai real dan pasangan komplek conjugate. Akar-akar real mengindikasi kekonvergenan atau kedivergenen yaitu ketika kasus rigid body atau (torsi ) divergensi mode.untuk akar real, damping menunjukan sebagai koefisien rata penundaaan yaitu jarak pergerakan (dihitung dari panjang cord) sampai setengah (double) amplitude. g = γ = ρc ( ln ) V Bagaimanapun, akar dari eigen value akan menghasilkan pasangan komplek conjugate. Solusi osilasi yang terjadi sebagai solusi persamaan (69) membutuhkan solusi iterative yang persamaan (70) selalu terpenuhi pada persamaan (69). Pada kasus static atau divergence akar-akar tidak membutuhkan iterasi yaitu dengan menyeting k = 0.Untuk kasus akar-akar osilasi rigid body dicapai dengan algoritma diatas. Algoritma ini didasarkan pada kemampuan untuk menentukan kestabilan dengan diberikannya kecepatan yang tidak tergantung pada kecepatan rendah maupun tinggi. Persamaan (69) adalah persamaan yang bervariasi terhadap reduced frekuensi. I R Interasi dimulai pada k=0 ( dan diekstrapolasi terhadap k=0 dari nilai Q hh Q hh (73) Q ( m, k) dan akar real memenuhi persamaan (70) tetapi untuk akar komplek hh tidak. Untuk iterasi akar omplek mengikuti proses sebagai berikut : secara umun akar pasangan komplek dapat ditulis sebagai berikut 33

p ( γ i) = ω ± (74) ( j) ( j) ( j) rs rs rs dimana r menunjukan angka urutan modes tertentu dengan frekuensi ( ω < ω <...) dan s menunjukan angka dari mode osilasi yang dicari dan j 1s s menunjukan iterasi sehingga untuk nonzero reduced frekuensi yaitu k c = ω V ( j) ( j) s ss (75) Untuk menemukan akar akar pertama osilasi nonzero reduced frekuensi yaitu diambil dari k c = ω V (0) 1 11 Dan konvergen untuk akar yang pertama yaitu dengan syarat k ε _ for _ k < 1.0 ( j 1) ( j) ( j 1) 1 1 k1 ( j 1) ( j 1) ε k1 for k1 1. 0 (76) (77) dimana ε adalah input dengan default angka 0.001.Sehingga eigenvalue komplek konvergen dengan syarat ( ) p = ω γ ± i (78) ( c) ( c) ( c) rs rs rs dimana hanya p ( c) harus memenuhi syarat pada persamaan (69) dan (7). ss Kemudian untuk mencari modus osilasi berikutnya mulai dengan menaikan nilai s dengan angka 1, dan estimasi pertama dari net reduce frekuensi adalah k c = ω (79) V ( c) ( c) s s, s 1 dan iterasi akan dilanjutkan sampai ( j 1) ( j 1) k k < ε _ for_ k atau < ε k _ for_ k 1. 0terpenuhi. (80) ( ) ( 1) ( 1) s s s Persamaan (78) dan (79) digunakan lagi untuk modus gerak yang lebih tinggi lagi. s s.5 Dasar Struktur Beam Pada tesis ini material beam digunakan untuk momodelkan fuselage. Karena pada tesis ini ditujukan untuk mengetahui ketidakstabilan dinamik khususnya flutter, maka pada kasus ini sangat dekat dengan efek getaran. 34

.5.1 Persamaan defleksi dan torsi pada beam Pada kasus bending pada beam diperoleh bahwa hubungan antara load, shear dan momen sebagai berikut :.13 Gambar bending Beam σ = Mη I radius curvature R terjadi dalam hubungan 1 R (81) = M (8) EI dimana E adalah young modulus, sehingga dapat diperoleh d = d d = d ( ) S( ) p ( ) M ( ) S d y d M = (83) EI (84) d d ( ) = M ( ) p (85) Sehingga dapat diperoleh hubungan untuk distribusi gaya dan defleksi beam ( ) p d d = EI d d y (86) Untuk kasus torsi juga diperoleh Td dθ = (87) GJ 35

.5. Getaran Lateral pada Beam Homogen Persamaan (86) adalah persamaan differential yang menghubungkan antara gaya dengan defleksi untuk beam dengan kekakuan EI. Jika beam bergetar pada getar bebas, beam dapat diperhatikan terkena gaya yang bervariasi terhadap panjang beam.sehingga persamaan tersebut menjadi dimana m= masa perunit panjang y= lateral defleksi E= modulus young I= momen inersia dari struktur y EI = m t y (88) Dengan beam homogen maka persamaan (88) menjadi 4 y y EI = m (89) 4 t dengan mengasumsikan bahwa normal mode dari vibrasi beam pada setiap posisi sepanjang beam, defleksinya diasumsikan berosilasi harmonik, maka dengan frekuensi harmonik ω, maka yt (, ) = y ( )sinωt (90) dengan mensubstitusi (87) ke (88) diperoleh 4 d y mω 4 y k y d dimana = = (91) EI k = ω / EI m Dengan prosedur yang sama untuk torsi diperoleh bahwa θ θ GJ = m t (9) 36