BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA LANSIA DI GKJ PURBALINGGA

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. menengah, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan ke berbagai pilihan pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan mengambil metode

HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA

HUBUNGAN ANTARA PUSAT KENDALI (LOCUS OF CONTROL) DENGAN PERILAKU SEKSUAL

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Suryana (2008:2), mendefinisikan bahwa kewirausahaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Ryff dan Keyes (1995) menyatakan pula bahwa psychological wellbeing adalah suatu kondisi psikologi individu yang sehat, ditandai dengan terdapat kondisi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Gambaran tentang karakteristik individu yang memiliki psychological well-being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan, konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, dan pandangan Johada tentang tentang kriteria positif individu yang bermental sehat (dalam Ryff, 1989). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa psychological well-being adalah kondisi psikologis yang sehat, ditandai dengan berfungsinya aspek- aspek psikologi positif. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada definisi psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff dan Keyes (1995). Ryff (dalam Compton, 2005) memperoleh definisi ini berdasarkan proses integrasi dari teori klasik kesehatan mental dengan menambahkan hasil penelitian terbaru dari bidang perkembangan, 11

12 klinis dan psikologi kepribadian, sehingga definisi tersebut dapat mencakup pengertian psychological well-being. Di samping itu, penulis melihat bahwa definisi ini merupakan definisi yang jelas dan mudah dimegerti, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. Oleh karena itu, psychological well-being merupakan suatu gambaran kesehatan psikologis individu yang merujuk pada pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. 2. Teori Psychological well-being Psychological well-being merujuk pada kualitas fungsi dan pengalaman hidup yang optimal (Onraet, Hiel, & Dhont, 2013) serta aktualisasi potensi individu dalam menjalani kehidupan (Onraet et al., 2013). Di samping itu, psychological well-being diindikatorkan dengan keberadaan kebahagiaan dan kepuasan (Ryff, 1989), sehingga psychological well-being kerap kali dikaitkan dengan munculnya dampak positif (Greenglass & Fiksenbaum, 2009). Bradburn (dalam Salami, 2011) mendukung pernyataan ini dengan menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being akan memiliki dampak positif yang lebih tinggi dari pada dampak negatif. Bahkan keberadaan psychological well-being dapat berdampak pada terbentuknya mental yang sehat (Edwards, 2006). Individu dengan psychological well-being yang tinggi dapat mengatur tekanan sehari- hari (Arunya & John, 2005), memiliki angka kematian yang rendah (Chida & Steptoe, 2008), percaya diri dalam menghadapi tantangan dan dapat memberi respon pada peristiwa dalam kehidupan dengan baik (Andrews, 2001).

13 Sebaliknya, individu dengan psychological well-being yang rendah rentan mengalami depresi (Michael et al., 2006), sehingga cenderung memiliki angka kematian lebih tinggi (Iwasa, 2006) bahkan ada individu yang memiliki kecenderungan melakukan bunuh diri (Awata dalam Momtaz et al., 2011). 3. Dimensi Psychological well-being Ryff (1989) menyatakan bahwa psychological well-being terdiri dari 6 dimensi, yaitu: a. Penerimaan Diri (Self- Acceptance) Penerimaan diri didefinisikan sebagai sebuah ciri utama dari kesehatan mental seperti karakteristik aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya, mau mengakui dan menerima beberapa aspek diri, termasuk kualitas baik maupun yang buruk, dan berpikiran positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sedangkan individu yang tidak memiliki penerimaan diri adalah individu yang merasa tidak puas pada keadaan dirinya, merasa kecewa pada beberapa hal yang telah terjadi dalam hidup. Individu tersebut juga dapat merasa bermasalah dengan kualitas pribadi tertentu dan mempunyai harapan untuk menjadi pribadi yang berbeda. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah individu yang memiliki kehangatan, kepuasan, kepercayaan pada hubungan dengan orang lain, rasa empati,

14 afeksi dan kelekatan. Selain itu, individu dapat memahami arti memberi dan menerima di dalam suatu hubungan antar manusia. Sedangkan, individu yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain adalah individu yang mempunyai sedikit kedekatan dan rasa percaya pada suatu hubungan dengan orang lain. Individu tersebut juga menemukan kesulitan dalam memiliki kehangatan, keterbukaan dan keterkaitan dengan orang lain. Di samping itu, individu tersebut terisolasi dan merasa frustasi dalam menjalin suatu hubungan interpersonal. Individu tersebut bahkan tidak bersedia melakukan kompromi atau diskusi guna mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Otonomi (Autonomy) Individu yang memiliki otonomi adalah individu yang mandiri, mampu mengatur perilaku dan dapat mengevaluasi dirinya sesuai standar pribadi. Sedangkan, individu yang tidak memiliki otonomi adalah individu yang berkaitan pada ekspektasi, harapan, evaluasi atau penilaian orang lain, sehingga individu mengandalkan penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting. Di samping itu, individu berpikir dan melakukan suatu tindakan berdasarkan tekanan- tekanan sosial. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Penguasaan lingkungan dimiliki oleh individu yang mempunyai rasa penguasaan dan kompetisi dalam mengelola lingkungan. Individu ini pun mampu mengontrol hal- hal yang berasal dari aktifitas luar, menggunakan kesempatan dengan efektif, serta memilih atau menciptakan suatu konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

15 Sedangkan individu yang tidak memiliki penguasaan lingkungan adalah individu yang mempunyai kesulitan dalam mengatur kegiatannya sehari- hari. Selain itu, individu tersebut tidak dapat mengubah atau mengembangkan konteks di sekitarnya, tidak menyadari kesempatan yang ada di sekitarnya, serta tidak berminat mengontrol dunia luar. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Individu yang memiliki tujuan dan rasa untuk mengarahkan kehidupan serta merasakan makna dari masa sekarang dan masa lalu adalah individu yang mempunyai tujuan, arah atau sasaran hidup. Selain itu, Individu tersebut memiliki kepercayaan atau keyakinan pada tujuan hidup yang dia tentukan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan hidup adalah individu yang kurang memiliki makna, arah dan tujuan hidup. Di samping itu, individu tersebut tidak dapat melihat makna dari masa lalu serta tidak memiliki gambaran atau keyakinan pada yang memberi makna hidup. f. Perkembangan Pribadi (Personal Growth) Individu yang memiliki rasa untuk terus berkembang, melihat dirinya sebagai suatu pertumbuhan dan perkembangan serta terbuka dengan pengalaman baru adalah individu yang memiliki perkembangan pribadi. Di samping itu individu tersebut sadar akan kemampuan atau potensi diri, mampu melihat peningkatan perilaku dirinya dari waktu ke waktu, serta dapat melakukan perubahan dengan efektif sesuai perkembangan pengetahuan. Di lain pihak, individu yang tidak mengalami perkembangan pribadi yaitu individu yang tidak mengalami peningkatan dari

16 waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak dapat mengembangkan sikap atau perilaku baru. Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada enam dimensi psychological well-being yang dinyatakan oleh Ryff (1989), sebab dimensi- dimensi tersebut dapat menjelaskan fenomena psychological well-being pada mahasiswa dengan baik. Selain itu, sejauh penelusuran penulis, enam dimensi yang dinyatakan oleh Ryff (1989) telah digunakan dalam banyak penelitian secara luas hingga masa kini. 4. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being a. Faktor Demografis Faktor demografis mencakup beberapa area seperti, usia, jenis kelamin, budaya dan status ekonomi. Ryff (1989) menyatakan bahwa faktor- faktor demografis seperti perbedaan usia, jenis kelamin dan budaya memiliki kontribusi yang bervariasi terhadap psychological well-being. Bakare (2013) menyatakan bahwa psychological well-being dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Pada faktor jenis kelamin, diketahui bahwa perempuan memiliki psychological well-being yang lebih baik (Eme dalam Bakare, 2013). Jika ditinjau berdasarkan faktor usia, individu yang lebih tua memiliki psychological well-being yang lebih tinggi hingga pada usia tertentu (Isaacowitz & Smith, dalam Bakare, 2013). Selain itu faktor budaya (Grossi, Blessi, Sacco & Buscema, 2012) dan faktor status ekonomi (Bakare, 2013) turut berefek pada psychological well-being. b. Kesehatan Fisik

17 Grossi et al. (2012) menyatakan bahwa kesehatan fisik turut berpengaruh pada psychological well-being. Kesehatan fisik memainkan peranan penting dalam mendeterminasi distress maupun psychological well-being. Di samping itu, dinyatakan bahwa psychological well-being memiliki koneksi dengan ketiadaan penyakit (Grossi et al., 2012). c. Pendidikan Tingkat pendidikan turut mempengaruhi psychological wellbeing. Ketika individu menempuh pendidikan pada level atau tingkatan yang lebih tinggi, individu akan mempunyai informasi yang lebih baik. Kemudian, individu akan memiliki kesadaran yang lebih baik dalam membuat suatu pilihan. Hal ini berdampak pada determinasi diri dan perilaku memelihara kesehatan. Sehingga berdampak pada munculnya psychological well-being (Grossi et al., 2012). d. Agama dan Spiritualitas Ivtzan, Chan, Gardner, & Prashar (2013) menyatakan bahwa agama dan spiritualitas memiliki pengaruh pada psychological well-being. Terdapat hubungan positif yang kuat diantaranya, sebab psychological well-being dapat tercipta ketika ada pengembangan spiritual (Hafeez & Rafique, 2013). e. Dukungan sosial Dukungan sosial adalah kesadaran individu akan lingkungan dan hubungan interpersonal yang menawarkan sumber kelekatan, integrasi sosial, kesempatan untuk pemeliharaan atau pengasuhan, penghiburan diri sebagai seorang pribadi yang berada di dalam pencapaian peran serta bantuan dan bimbingan

18 yang menyediakan informasi, emosi dan bantuan material (Weinert & Brandt, dalam Zabalegui et al., 2011). Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Darbyshire dan Kroese (2012) didapati bahwa ketika dukungan sosial ditingkatkan, psychological well-being akan turut meningkat. f. Pengalaman emosi Pengalaman emosi seperti rasa senang dapat meningkatkan psychological well-being daripada emosi negatif seperti rasa sedih (Adler & Hersfield, 2012). g. Kepribadian Ciri-ciri kepribadian menggambarkan kecenderungan individu pada sebuah pola perilaku dan pemikiran yang stabil, bukan berdasarkan baik atau buruknya (Schmutte & Ryff dalam Salami, 2011). Penelitian yang dilaksanakan oleh Salami (2011) menunjukan bahwa faktor kepribadian memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well-being. h. Makna Hidup Menurut Ryff (1989) makna hidup, sebagai pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi kontribusi yang sangat besar terhadap tercapainya psychological well-being. Salah satu pengalaman hidup yang dapat memberikan kontribusi tersebut adalah pengalaman memaafkan orang lain dalam kehidupan sosialnya, dimana terdapat pemulihan hubungan interpersonal. i. Locus of Control

19 Locus of control dibagi dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Bakare (2012) menyatakan bahwa locus of control, yaitu internal locus of control dan external locus of control turut mempengaruhi psychological well-being. Individu dengan internal locus of control lebih cenderung memiliki psychological well-being daripada individu yang berorientasi pada external locus of control (Bakare, 2012). Selain itu, banyak teori- teori lain yang menonjolkan hubungan antara internal locus of control dan external locus of control dengan psychological well-being (Spector et al., 2002). Oleh karena itu, locus of control (internal locus of control dan external locus of control) merupakan salah satu elemen penting dalam melihat psychological well-being dalam diri individu (Ganster & Fusilier dalam Spector et al., 2002). B. Locus of Control 1. Definisi Locus of Control Tiap individu memiliki perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka. Konsep keyakinan ini disebut dengan locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, locus of control merupakan konsep keyakinan sejauh mana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Levenson (1981) menyatakan pula bahwa locus of control merupakan suatu harapan yang digeneralisasikan untuk mempersepsikan penguat sebagai kesatuan dari perilaku dirinya

20 sendiri (internal locus of control) atau sebagai hasil dari kekuatan yang berada di luar kendali, seperti nasib, kebetulan, atau kekuatan lain (external locus of control). Hal tersebut seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Rotter (1966) bahwa locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control. Oleh karena itu, locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada diri mereka, apakah sebagai kesatuan dari perilakunya sendiri atau sebagai hasil dari kekuatan diluar kendali, seperti kebetulan, nasib atau kekuatan yang lain. Pada penelitian ini, penulis akan mengacu pada definisi locus of control yang diungkapkan oleh Rotter (1966). Walaupun definisi ini telah lama diungkapkan, definisi ini masih terus digunakan dalam berbagai penelitian secara luas hingga sekarang, sehingga definisi tersebut masih relevan untuk digunakan pada penelitian ini. Di samping itu, penulis merasa bahwa definisi locus of control tersebut dapat menjelaskan internal locus of control dan external locus of control dengan baik, sehingga sesuai dengan penelitian yang akan penulis laksanakan. 2. Teori Locus of Control Locus of control dibedakan menjadi dua, yaitu internal locus of control dan external locus of control (Rotter, 1966). Terdapat perbedaan pada individu yang memiliki orientasi keyakinan pada internal locus of control dengan individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control. Individu dengan internal locus of control percaya bahwa diri mereka sendiri yang menguasai nasib mereka sendiri (Kreitner & Kinicki, 1995) dan bertanggung

21 jawab pada segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka (Rotter, 1966). Hal ini menyebabkan mereka dapat mengambil tanggung jawab dan percaya pada standar pribadi mengenai apa yang benar dan apa yang salah guna memandu perilaku mereka (Robbins & Coulter, 2012). Sebaliknya, individu yang memiliki orientasi keyakinan pada external locus of control percaya bahwa keberuntungan, nasib dan kekuatan orang lain merupakan hal- hal yang mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupan mereka (Rotter, 1966). Oleh karena itu, individu tersebut cenderung bergantung pada faktor kekuatan dari luar dan tidak mengandalkan kemampuan pribadi dalam menangani konsekuensi perbuatan dan perilaku yang mereka lakukan. (Robbins & Coulter, 2012). 3. Dimensi Locus of Control Rotter (1966) membagi locus of control ke dalam dua dimensi, yaitu: a. Internal Locus of Control Ketika individu memiliki keyakinan bahwa mereka bertanggung jawab atas konsekuensi perilaku mereka, mereka adalah individu yang memiliki konsep internal locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu yang berorientasi pada internal locus of control adalah individu yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol apa yang terjadi pada diri mereka (Robbins & Judge, 2012), nasib dan tujuan hidup mereka sendiri (Robbins & Coulter), serta kejadian dan konsekuensi yang berdampak pada kehidupan mereka (Kreitner & Kinicki, 1995). Oleh karena itu, internal locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab

22 terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah diri sendiri. b. External Locus of Control Ketika individu menafsirkan bahwa konsekuensi atau akibat dari perilaku mereka tersebut dikontrol oleh keberuntungan, nasib, atau kekuatan orang lain, individu tersebut memiliki memiliki konsep external locus of control (Rotter, 1966). Di samping itu, individu dengan orientasi keyakinan external locus of control merupakan individu yang percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah karena keberuntungan atau kesempatan (Robbins & Judge, 2007 dan Robbins & Coulter, 2012). Kreitner & Kinicki (1995) memberi pernyataan pula bahwa external locus of control dimiliki oleh individu yang percaya bahwa kinerja mereka adalah hasil dari keadaan yang berada di luar kontrol mereka, seperti faktor lingkungan, keberuntungan atau nasib. Oleh karena itu, external locus of control merupakan konsep keyakinan bahwa yang mengontrol dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan adalah keberuntungan, kesempatan, nasib atau kekuatan orang lain. Setelah itu, Levenson (1981) mengembangkan dimensi locus of control yang telah dinyatakan oleh Rotter (1981), yaitu: a. Internality Internality (I) ditandai dengan keyakinan bahwa peristiwa yang mereka alami terutama dikendalikan oleh kemampuan dan

23 usaha mereka sendiri. Internality merupakan dimensi yang menyatakan Internal locus of control. b. Powerful Others Powerful others merupakan kecenderungan individu berperilaku dan berpikir bahwa ada orang lain di luar kendali dirinya yang lebih berkuasa dalam mengontrol kehidupan dirinya. Powerful others merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. c. Chance Sedangkan chance (C) merupakan fokus individu pada persepsi individu mengenai suatu kendali yang memberikan peluang karena takdir, nasib, atau kesempatan. Chance merupakan dimensi yang menyatakan external locus of control. Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan dimensi internality sebagai dimensi yang menyatakan internal locus of control dan dimensi powerful others serta chance sebagai dimensi yang menyatakan external locus of control (Levenson, 1981) sebagai panduan dalam mengukur internal locus of control dan external locus of control. Dimensi tersebut merupakan modifikasi dan pengembangan dari dimensi yang telah dinyatakan oleh Rotter (1966), sehingga sesuai dengan definisi yang diacu dalam penelitian ini. C. Perbedaan Psychological well-being ditinjau dari Internal Locus of Control dan External Locus of Control Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mencerdaskan bangsa, sesuai dengan pembukaan Undang- undang Dasar 1945 alinea ke- 4. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat membentuk sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehingga pendidikan dilaksanakan hingga tingkat

24 pendidikan tinggi. Calon- calon SDM yang menempuh pendidikan di pendidikan tinggi disebut dengan nama mahasiswa. Namun, tidak mudah membentuk mahasiswa menjadi SDM yang berkualitas. Banyak tekanan yang dapat menjadi hambatan, salah satunya adalah tekanan psikologis. Tekanan psikologis tersebut dapat disebabkan oleh perubahan geografis, kerasnya akademisi, lingkungan interpersonal yang baru serta beberapa tekanan lainnya. Bila mahasiswa tak dapat menyesuaikan diri dengan tekanan tersebut, kondisi piskologis mereka akan memburuk (Michael et al., 2006). Hal ini dapat mengarah pada menurunnya tingkat psychological well-being pada diri mahasiswa terkait. Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff & Keyes, 1995). Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi psychological well-being, salah satunya adalah locus of control (April, Dharani, & Peters, 2012). Bakare (2012) menyatakan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Locus of control merupakan perbedaan konsep keyakinan dalam meletakan dimana tanggung jawab atas kejadian yang terjadi pada mereka, apakah pada diri mereka sendiri atau pada hal- hal yang berada di luar diri mereka (Rotter, 1966). Locus of Control dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu internal locus of control dan external locus of control Rotter (1966). Levenson (1981) mengembangkan dan memodifikasi cara mengukur LOC, yaitu internality (I) guna mengukur internal locus of control, serta powerful others (P) dan chance (C) guna mengukur external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control percaya pada kemampuan yang mereka miliki dalam mencapai suatu

25 tujuan (Klein & Wasserstein, dalam April, Charani & Peters, 2012) dan dalam merubah lingkungan dimana mereka berada (Andrisani & Nestel, dalam April et al., 2012). Mereka juga percaya bahwa kerja keras dan kemampuan pribadi membawa dampak yang positif (Carrim et al., dalam April et al., 2012). Hal ini menyebabkan individu tersebut tidak mudah mengalami tekanan (Llyoyd & Hastings, 2009), karena mereka dapat menyesuaikan diri dengan tekanan yang mereka dapatkan (Roddenberry & Renk, 2010). Mereka bahkan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan yang muncul (Bakare, 2012). Hal senada turut terjadi pada mahasiswa, dimana mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control tidak mudah mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Llyoyd & Hastings, 2009). Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa mahasiswa yang memiliki orientasi pada internal locus of control memiliki kondisi psikologi yang positif. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa internal locus of control cenderung terkait dengan munculnya keadaan psikologis yang positif (Lloyd & Hastings, 2009). Kondisi psikologis yang positif membawa mahasiswa kepada keadaan psikologis yang sehat, sehingga mereka memiliki psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki orientasi pada external locus of control cenderung mengalami kecemasan (Sandler & Lakey, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Terdapat pula penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara depresi dengan external locus of control (Benassi, Sweeney, & Dufour, dalam Lloyd & Hastings, 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa individu dengan external locus of control cenderung mengalami distress (Holder & Levi, dalam April et al., 2012), rentan terhadap depresi (Ganellen & Blaney, dalam April et al., 2012) dan mempunyai respon yang buruk pada antidepresan (Reynaert et

26 al., dalam April et al., 2012). Individu tersebut bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan bunuh diri (Marks,dalam April et al., 2012). Dapat dilihat bahwa individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki kondisi psikologis yang positif. Ketika tidak memiliki kondisi psikologis yang positif, individu tersebut cenderung tidak memiliki psychological well-being (Barnett & Marshall, dalam Noor, 1995). Berdasarkan hal- hal tersebut, penulis melihat bahwa terdapat perbedaan psychological well-being ketika ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control. Individu yang memiliki orientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological wellbeing. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological well-being. Hal ini turut dinyatakan oleh Lee (2004) bahwa semakin internal orientasi locus of control semakin tinggi psychological well-being pada individu, begitupun sebaliknya. Lloyd dan Hastings (2009) menyatakan pula bahwa individu yang berorientasi pada internal locus of control cenderung memiliki psychological well-being. Sebaliknya, individu yang berorientasi pada external locus of control cenderung tidak memiliki psychological wellbeing (Lloyd & Hastings, 2009). D. Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah penulis kemukakan, maka dibuat suatu hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Hipotesis Empirik Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus

27 of control. Mahasiswa yang berorientasi pada internal locus of control memiliki psychological well-being yang lebih tinggi dibanding mahasiswa yang berorientasi pada external locus of control. 2. Hipotesis Statistik H 0 : µ1 = µ2 Yang artinya tidak terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control H 1 : µ1 µ2 Yang artinya terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan pada mahasiswa Progdi BK FKIP UKSW ditinjau dari internal locus of control dan external locus of control.