BAB II LANDASAN TEORI
|
|
- Veronika Sudirman
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerma kekuatan dan kelemahan diri dengan apa adanya, memiliki tujuan hidup, menjadi pribadi yang mandiri, menggembangkan relasi yang positif dengan orang lain, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya suatu keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Ia juga menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari hari serta mengarah pada ungkapan perasaan perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalamannya (Ryff & Keyes, 1995). Menurut Lawton (1983) kesejahteraan psikologis merupakan gambaran seseorang mengenai hidup yang berkualitas yang dianggap baik atau memuaskan. Sedangkan menurut Bradburn (1969) juga menyatakan bahwa seorang akan memiliki tingktat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi bila ia merasakan lebih banyak afek positive dibandingkan afek negative dan 8
2 sebaliknya. Secara umum kesejahteraan psikologis diartikan sebagai kepuasan hidup, kebahagiaan dan pertumbuhan pribadi (Jarden, 2012). Selanjutnya, Huppert (2009) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan perpaduan antara feeling good dengan keberfungsian yang efektif. Ryff (1989) mengemukakan karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk kepada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person) pandangan Maslow mengenai konsep aktualisasi diri (self-actualization) adalah keinginan individu untuk menyempurnakan diri berdasarkan potensi yang dimilikinya, pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport yang menjelaskan tentang kematangan. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagian, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn (1989) kebahagian merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan suatu tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap individu. Ryff (1989) menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis sebagai suatu kondisi dimana individu dapat menerima segala kelebihan dan kekurangannya, menggembangkan potensi diri secara berkelanjutan, memiliki tujuan hidup dan menemukan kebermaknaan hidup, membangun hubungan positif dengan orang lain mampu mengatur lingkungan secara efektif sesuai dengan kebutuhannya, serta memiliki kemampuan dalam menentukan tindakan sendiri. Kesejahteraan psikologis juga merujuk kepada bagaimana individu mampu mengevaluasi diri mereka sendiri dan juga mengevaluasi kemampuan 9
3 mereka untuk memenuhi aspek-aspek tertentu di dalam kehidupan mereka, seperti hubugan baik dengan orang lain, pekerjaan maupun dukungan dari orang lain (Flouri & Buchanan, 2003; Wilkinson 2004). Selanjutnya kesejahteraan psikologis di defenisikan sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup dan pertumbuhan pribadi (Jarden, 2012). Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh penerimaa diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi. 2. Perkembangan Konsep Kesejahteraan Psikologis Ryan & Deci (2001) mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan psikologis, yang pertama pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well being sebagai kesenangan atau kebahagian dan pendekatan eudaimonic, yang berfokus pada realisasi diri, ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan kemampuannya. Perspektif hedonic ini memandang bahwa tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagian. Pandangan dominan diantara ahli psikologi yang beraliran hedonic adalah kesejahteraan tersusun atas kebahagian subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan kenikmatan. Diener dan Lucas (2000) mengembangkan model pengukuran untuk mengevaluasi rangkaian kenikmatan ataupun rasa sakit. Model pada pengukuran ini disebut sebagai 10
4 subjective well-being. konsep subjective well-being berasal dari konsep wellbeing dari perspektif hedonic. Subjective well-being terdiri dari tiga aspek yaitu kepuasan hidup, adanya afek positif dan tidak adanya afek negatif. Ketiga aspek ini seringkali disimpulkan sebagai konsep kebahagiaan. Perspektif eudaimonic ini merumuskan bahwa kesejahteraan psikologis dalam konsep aktualisasi potensi manusia dalam menghadapi tantangan hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, 2002). Waterman (1993) mengatakan bahwa eudaimonic terdiri dari pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Berdasarkan persepktif eudaimonic, laporan subjective seseorang mengenai perasaan kebahagiaan, keberadaan efek efek yang positif dan kepuasan hidup yang dirasakan pada saat kini atau pada waktu yang spesifik tidak berarti bahwa orang tersebut baik secara psikologis ataupun baik secara sosial (Ryan & Deci, 2001). Waterman (1993) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan psikologis eudemonic berfokus pada bagaimana manusia hidup dalam true self (diri mereka yang sebenarnya). Ia juga menjelaskan bahwa eudaimonic akan muncul apabila aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang berjalan dengan nilai nilai yang dimilikinya dan orang tersebut secara penuh terlibat di dalamnya. Akitivitas akitivitas hedonic yang dilakukan dengan mengejar kenikmatan dan menghindari kesakitan menghasilkan kesejahteraan yang bersifat sementara yang semakin lama akan semakin memudar sensasinya seiring berjalannya waktu. Sedangkan aktivitas akitivitas eudaimonic lebih 11
5 dapat mempertahankan dalam waktu yang relative lama dan konsisten (Steger, Kashdan & Oishi, 2009). Seseorang akan merasakan kebahagian dan kepuasan hidup yang lebih lama ketika individu mengalami pengalaman membina hubungan yang baik dengan orang lain dan merasa menjadi bagian dari kelompok tertentu, dapat menerima dirinya sendiri dan memiliki tujuan hidup (Steger, Kashdan & Oishi, 2009). Pandangan eudaimonic mengenai kesejahteran ini kemudian menjadi dasar munculnya kesejahteraan psikologis. Ryff dan Keyes (1995) membedakan antara kesejahteraan psikologis dan subjective psychological well-being. Kesejahteraan psikologis merepresentasikan perspektif eudaimonic, sedangkan subjective psychological well-being merepresentasikan perspektif hedonism (Ryan & Deci, 2001). Kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang multidimensional yang terdiri dari enam dimensi yang menggambarkan aktualisasi diri manusa yaitu penerimaan diri, otonomi, pertumbuhan pribadi, lingkungan, tujuam hidup, penguasaaan lingkungan dan hubungan yang positif dengan orang lain (Ryan & Deci, 2001). 3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) mengemukakan bahwa konsep kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi yaitu: dimensi penerimaan diri (self-acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose life) dan pertumbuhan diri (personal growth). 12
6 a. Penerimaan Diri (Self Acceptance) Dimensi ini di artikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental, kematangan, berfungsi secara optimal dan aktualisasi diri. Dimensi penerimaan diri ini berkenaan dengan sikap individu terhadap diri sendiri dan mengenai kehidupannya di masa lalu, serta menunjukkan sikap dalam memandang kekurangan dan kelebihan dengan segala batasan-batasan yang dimiliki dalam dirinya. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, menerima dan mengetahui segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan dan kekurangan yang ia punya serta juga memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu. Sebaliknya, individu yang memiliki penerimaan diri yang kurang baik akan memiliki perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalunya, kecewa terhadap apa yang terjadi di masa lalu serta keinginan untuk tidak menjadi dirinya. b. Hubungan Positive dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, saling percaya dengan orang lain, memuaskan, serta memungkinkan untuk timbulnya empati dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positive yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat pada orang lain, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, mampu menunjukkan rasa empati, rasa sayang, 13
7 memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya, individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain akan susah untuk bersikap hangat pada orang lain, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi ini mencerminkan individu yang memiliki sikap kemandirian, kekukuhan terhadap standar tersendiri dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri tanpa dibebankan oleh tekanan sosial. Ciri ciri individu yang menunjukkan terpenuhinya dimensi otonomi adalah mandiri serta tidak terbebani oleh tekanan sosial dalam berpikir dan bertindak. Namun individu yang terlalu memikirkan pendapat orang lain dan bergantung pada orang lain untuk mengambil keputusan akan menandakan bahwa individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik. d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau menghasilkan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan individu yang memiliki kemampuan untuk memilik dan menciptkan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal sumber-sumber 14
8 peluang yang ada dilingkungannya. Individu juga akan mampu menggembangkan dirinya secara kreatif yang melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, jika inidvidu kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Dimensi ini menekankan pada pentingnya memiliki tujuan. Dimensi ini juga menggambarkan seorang individu yang memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan tersebut. Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan cita cita serta merasa bahwa baik kehidupan dimasa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu. Individu juga akan mampu memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki tujuan hidup yang baik. f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Dimensi ini meliputi potensi yang dimiliki oleh individu yang berkaitan dengan perkembangan diri secara berkelanjutan dan keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki nilai positif dalam dimensi ini akan memiliki keinginan untuk terus berkembangan, mengalami perubahan dalam sikap maupun 15
9 tingkah laku kearah yang positif dari waktu ke waktu dan menyadari potensi-potensi yang ia miliki. Sebaliknya, individu yang memiliki kekurangan dalam dimensi ini akan memandang dirinya sebagai seorang yang tidak dapat berkembang, tidak merasakan adanya potensi yang positif dalam dirinya. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu : a. Usia Ryff (1998) menemukan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Peningkatan pada aspek usia yang semakin dewasa terjadi pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri dan hubungan positif. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi akan menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa. b. Gender Perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis antara pria dan wanita dipengaruhi oleh stereotype gender yang cenderung menggambarkan pria adalah sebagai sosok yang agresif dan mandiri sedangkan wanita adalah sosok yang pasif, sensitive terhadap perasaan orang lain dan tergantung (Papalia, Fedlman & Gross, 2001). Ryff(1989) Hal ini yang mengakibatkan sebagian 16
10 besar wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada pria pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. c. Tingkat Pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wling (1999) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang baik pula. d. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, pertumbuhan diri dan penguasan lingkungan. Status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. Individu dengan tingkat pengahasilan tinggi, status menikah dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. e. Lingkungan Pekerjaan Fisher (1993) menyebutkan bahwa lingkungan pekerjaan, baik itu lingkungan kelompok kerja ataupun perusahaan akan menyebabkan timbulnya kebosanan. Page (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor pekerjaan seperti jam kerja, kondisi kerja, keamanan kerja, gaji akan berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis seseorang. 17
11 f. Budaya Faktor lainnya yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah budaya. Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Lu (2008), budaya seseorang akan mempengaruhi cara individu tersebut memaknai kebahagiaan. Hal ini disebabkan karena budaya memegang pernanan penting dalam membentuk cara seseorang berpikir serta cara mengatasi masalah masalah yang di dapatkan di dalam kehidupan sehari-hari. g. Kepribadian Kepribadian seseorang juga ternyata mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Huppert (2009) mengemukakan bahwa kepribadian kepribadian extraversion dan neuroticism memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis. Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan kepribadian neuroticism akan selalu identik dengan tipe emosi yang negatif. Begitu juga sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positive (Diener, Lucas & Smith, 1999). h. Relatedness Beberapa teoritis telah mendefeniskan relatedness sebagai kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kesejateraan manusia 18
12 (Baumeister & Leary, 1995). Hubungan interpersonal dapat dikaitkan dengan relatedness dan banyak juga penelitian telah menujukkan bahwa hubungan interpersonal yang suportif, hangat dan penuh kepercayaan akan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang (Ryan & Deci, 2001) Pada beberapa penelitian, telah menemukan bahwa kuantitas dari interaksi dengan orang lain tidak dapat mempredisksi kesejahteraan psikologis seseorang, melainkan kualitas interaksi dengan orang lain yang dapat memprediksi kesejahteraan psikologis (Nezlek 2000; Ryan & Deci, 2001). Menurut (Brotheridge & Grandey, 2002) komponen penting ketika karyawan yang bekerja dengan cara berinteraksi dengan orang lain adalah kontrol emosi, ini yang disebut dengan emotional labor. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa faktor relatedness ini, faktor penting untuk karyawan yang menggunakan emotional labor. i. Marital Status Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa individu yang telah menikah akan memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi (Myers, 1999). Bierman, Milkie dan Fazio (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dari kesejahteraan psikologis yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa individu yang telah 19
13 menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada sub-skala ini dibandingkan dengan yang tidak menikah. B. EMOTIONAL LABOR 1. Defenisi Emotional Labor Istilah emotional labor didefenisikan Robbin & Judge (2008) sebagai kemampuan dimana seorang karyawan memperlihatkan emosi-emosi yang diinginkan secara organisasi selama transaksi antarpersonal ditempat kerja. Emotional Labor merupakan istilah yang relatif baru, Menurut Hochchild (1983) mengartikan konsep emotional labor sebagai manajemen perasaan untuk menciptakan ekspresi muka dan jasmani yang dapat dilihat secara umum. Menurut dari defenisi ini, para karyawan mengatur ekspresi emosi melalui ekspresi wajah yang mereka berikan kepada orang lain. Cara untuk melibatkan emosi untuk mengubah ekspresi. Hochchild (1983) juga mengatakan bahwa individu mengontrol emosinya dalam kehidupan pribadi dan juga dalam pekerjaan. Emotional Labor adalah kontrol perilaku seseorang untuk menampilkan emosi yang tepat (Chu, 2002) hal ini mununjukkan bahwa seseorang harus membangkitkan atau menekan emosi tertentu sehingga harus menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial. Konsep dari emotional labor ini tidak terbatas hanya pada tempat kerja saja, ini juga akan terjadi pada setiap aspek kehidupan. Hochschlid (2013) mendefenisikan emotional labor sebagai mengacu 20
14 pada pengendalian emosi dari pekerja yang sering kontak dengan pelanggan. Kontrol ini menghasilkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Organisasi dan sistem penghargaan gajinya menentukan bahwa pekerja harus mengontrol emosi mereka ditempat kerja dan mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi organisasi. Menurut Grandey (2013) bahwa emotional labor adalah proses mengatur baik perasaan dan ekspresi untuk tujuan organisasi. Ketika personal line pertama berinteraksi dengan pelanggan, emotional labor adalah tindakan mengekspresikan emosi yang tepat, dalam tuntutan organisasi pekerja harus mengontrol perilaku mereka dan menampilkan emosi yang sesuai. Ashforth dan Humphrey (1993) mendefenisikan emotional labor sebagai tindakan menampilkan emosi yang tepat. Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian dari emotional labor adalah kesesuaian emosi yang berlaku bagi organisasi sesuai dengan tuntutan peran yang mengharuskan seseorang untuk menampilkan perilaku emosional yang menutupi perasaan mereka sebenarnya didalam suatu perusahaan. 2. Dimensi Emtional Labor Menurut Robbin & Judge (2008) dimensi dari emotional labor ada dua yaitu sebagai berikut : 1. Surface Acting Surface Acting adalah menyembunyikan perasaan terdalam seseorang dan menghilangkan ekspresi-ekspresi emosional sebagai respons terhadap aturan-aturan penampilan. Surface Acting ini mengekspresikan emosi tanpa merasa bahwa sedang emosi 21
15 (Hochschild, 1983). Surface Acting sering juga disebut dengan berpura-pura menampilkan emosi yang berbeda. Saat suasana hati sedang negative, karyawan harus bisa menampilkan wajah yang riang, senyuman, keramahaan dan emosi emosi yang positif. Surface acting berfokus pada ketidak sesuaian antara emosi yang sebenarnya dan yang ditampilkan. Surface Acting paling sering melibatkan emosi negative, seperti marah, jengkel, sedih kemudian ketika melihatkan emosi positive seperti bahagia, gembira. 2. Deep Acting Deep Acting adalah berusaha untuk mengubah perasaan seseorang berdasarkan aturan-aturan penampilan. Deep Acting juga sering disebut dengan berupaya mengelola emosi negative menjadi benar-benar positive sehingga konsisten antara emosi yang dirasakan dan emosi yang ditampilkan atau ditunjukkan. 3. Frequency Frequency telah menjadi dimensi yang paling penting pada emotional labor dan hal ini masih tetap merupakan indikator penting karena semakin sering sebuah organisasi atau perusahaan membutuhkan menampilkan emosi yang tepat secara sosial maka semakin besar juga permintaan tenaga kerja atau karyawan yang harus menggunakan emotional labor. 4. Variety 22
16 Variety merupakan emosi yang sangat luas untuk diekspresikan, karena karyawan harus menampilakn berbagai macam emosi sesuai dengan aturan dari perusahaan. 5. Intensity Setiap orang memiliki intensitas dalam mengekspresikan emosi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada individu yang hampir tidak pernah menunjukkan perasaannya, tetapi ada juga orang yang sangat emosional. 3. Dampak dari Emotional Labor Dalam literatur emotional labor, para peneliti membahas hasil yang tidak menguntungkan. Hasil yang paling sering dikutip adalah kelelahan (Hochschild, 1983; Kahn, 1993; Morris & Feldman, 1996) dan job dissatisfaction (Morris & Feldman, 1996; Grandey, 1999; Wharton, 1993). Emotional Labor menyebabkan peningkatan kelelahan, emosi antara karyawan dengan otonomi kerja yang rendah, masa kerja lebih lama dan bekerja dengan waktu yang lama. Menurut Hochchild (1983) secara umum, emosi ditangani dalam kaitannya dengan emosi umum yang diharapkan oleh organisasi atau pekerjaan dari karyawan mereka. Akibatnya, perspektif ini menyatakan bahwa secara umum dapat membedakan emosi yang dirasakan oleh seorang karyawan dari emosi yang ia tampilkan, yang memiliki bentuk ekspresi wajah, gerak isyarat, nada, suara dan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan 23
17 perasaan (Kurniasari, 2011). Memperlihatkan emosi yang berbeda dari apa yang seseorang rasakan meliputi pengaturan emosi, yang merupakan upaya untuk mempengaruhi emosi yang dimiliki dan bagaimana emosi ini dialami atau diekspresikan (Gronross, 1990). Aktivitas ini dianggap sebagai tugas atau pekerjaan karena karyawan dibayar atau digaji untuk menampilkan emosi terbaik mereka ketika berhadapan dengan konsumen atau orang-orang dalam organisasi dan menghasilkan keadaan emosi yang tepat. Menurut Hochschild, (1983) dan Karabanow (1999) untuk memenuhi kebutuhan emosi organisasi, karyawan juga perlu berlatih untuk memainkan peran seperti tersenyum atau tertawa. Dengan kata lain, ketika karyawan sedang berinteraksi dengan klien atau pelanggan, karyawan harus menampilkan emosi yang diinginkan oleh perusahaan atau organisasinya. Ashforth dan Humphrey (1993) mengatakan bahwa emotional labor sebagai pedang bermata dua. Pada satu sisi emotional labor ini dapat memfasilitasi kinerja tugas dan mengatur interaksi dan mampu menghalangi masalah interpersonal. Pada sisi lain, hal ini dapat mengganggu kinerja karyawan dengan harapan dari karyawan yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini akan berdampak pada kesejahteraan psikologis (Ashforth & Humphrey, 1993). 24
18 C. DINAMIKA PENGARUH EMOTIONAL LABOR DENGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS KARYAWAN Karyawan merupakan sumber utama dalam suatu perusahaaan. Karyawan juga merupakan sumber penentu keberhasilan utama disebuah organisasi. Organisasinya tentunya akan memerlukan karyawan yang mampu bekerja secara inovatif, produktif dan memiliki performa kerja yang baik. Untuk mendapatkan karyawan yang memilki kemampuan kerja yang baik, salah satu dengan caranya dengan mensejahterakan psikologis karyawan (Vallerand, 2012). Karyawan yang baik secara fisik maupun psikologis akan memiliki performa kerja yang baik serta akan mampu bekerja semaksimal mungkin ditempat ia bekerja. Manepothi (2007) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan merupakan suatu situasi dimana ketika individu yang berkerja merasakan senang dan tidak senang seperti apa perkerjaan mereka, apa pekerjaan itu efektif dan memiliki target dalam pencapaian kerjanya baik itu untuk dirinya sendiri maupun untuk perusahaan dimana ia kerja. Kesejahteraan psikologis karyawan akan rendah ketika karyawan tersebut berada dalam ketidak nyamanan tempat kerja, terganggu dan mengalami stress ditempat kerja yang nantinya akan berpengaruh kepada produktivitas kerja, performansi kerja dan kepuasan kerja (Akintayo, 2012). Karyawan yang memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi akan lebih kooperatif, memiliki perasaan positif atau emosi yang positif, mudah membantu sesama karyawan, tepat waktu dan efisien, lebih produktif dan 25
19 dapat bekerja lebih lama di suatu perusahaan (Harter, Schmidt & Keyes, 2002). Aspek aspek yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis antara lain usia, gender, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, lingkungan pekerjaan, budaya, kepribadian, relatedness, dan marital status (Ryff & Keyes, 1995). Pada konteks organisasi, kesejahteraan psikologis karyawan sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerjannya (Briner, 2000). Penelitian yang meneliti tentang kesejahteraan psikologis setuju bahwa kehadiran dari perasaan emosi yang positif, penilaian yang juga positif terhadap pekerja dan hubungan pekerja dengan tempat kerja yang baik akan meningkatkan performa dan kualitas hidup dari pekerja (Harter, Schmidt, & Keyes, 2002). Hal ini berhubungan dengan faktor relatedness yang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. relatedness ini berhubungan dengan hubungan interpersonal, hubungan interpersonal ini merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mencapai kesejahteraan (Ryan & Deci, 2001). Hubungan interpersonal ini dapat dikaitkan dengan berbagai macam hal di dalam kehidupan sehari hari seperti kepuasan hidup dan kesehatan psikologis (Reis & Collins, 2004). Berhubungan positif dengan orang lain juga merupakan salah satu dari dimensi yang terdapat di dalam kesejahteraan psikologis (Ryff, 1989). Park, Peterson dan Seligman (2005) mengatakan bahwa hubungan interpersonal yang baik dapat menyebabkan peningkatan kepuasan hidup. Hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain juga akan dapat meingkatkan kesejahteraan psikologis (Lansford, 2000). 26
20 Salah satu komponen yang fundamental pada pekerjaan dibidang pelayanan merupakan kontrol emosi untuk mengelola hubungan positif dengan klien ( Grandey & Brotheridge, 2002). Pengelolaan emosi yang tepat sesuai dengan harapan organisasi dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi, maka dari itu dibutuhkan emotional labor yang merupakan proses regulasi perasaan dan ekspresi yang dilakukan oleh individu pada saat bekerja sesuai dengan aturan perusahaan. Penelitian Wharton (1993) mengatakan bahwa pekerja yang bekerja dengan menggunakan emotional labor maka karyawan tersebut akan memiliki tingkat kepuasan kerja yang cukup tinggi sehingga membuat karyawan akan semakin menyenangin pekerjaannya. Emotional labor merupakan aspek yang kritis pada beberapa pekerjaan dimana para pekerjanya berinteraksi secara langsung dengan customer, teman sekerja dan public (Levy, Dahling, Dienfendorf & Chau, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Hwa (2009) mengatakan bahwa menyatakan emotional labor dapat meningkatkan kualitas pelayanan, loyalitas konsumen, meningkatkan keuntungan finansial, kepuasan karyawan, kepuasan kerja, komitmen organisasi, turn over dan kesejahteraan psikologis karyawan. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka peneliti ingin melihat pengaruh emotional labor dengan kesejahteraan psikologis karyawan perbankkan. 27
21 D. Hipotesa Penelitian Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa ada pengaruh positif emotional labor terhadap kesejahteraan psikologis karyawan perbankkan. Hal ini berarti bahwa emotional labor akan meningkatkan kesejahteraan psikologis karyawan perbankkan. 28
BAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu
19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan
Lebih terperinciKesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)
Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI
PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing
67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan
Lebih terperinciPaket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING
Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological
15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari ( Ryff, 1995). Ryff (1989) mengatakan kebahagiaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki konsep ideal dalam hidupnya, salah satunya menurut Gavin dan Mason (2004) adalah kesejahteraan. Dewasa ini, kesejahteraan tidak hanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini, sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, semakin banyak sumber daya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS
11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang
Lebih terperinciEmployee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat
Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk dapat mempertahankan karyawannya yang bertalenta.
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah
1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah perempuan yang berada dalam dunia kerja (bekerja maupun sedang secara aktif mencari pekerjaan) telah meningkat secara drastis selama abad ke-20. Khususnya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Psikologis 2.1.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan. Pendekatan hedonik, yang mendefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau
Lebih terperinciPENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh karyawan lebih dari sekedar kegiatan yang berhubungan dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bekerja merupakan tuntutan hidup bagi seseorang. Harter, Schmidt dan Keyes (2003) mengatakan bahwa pekerjaan merupakan bagian yang signifikan dalam hidup individu yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. organisasi dengan kesejahteraan psikologis karyawan. Peran organisasi dan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu penunjang keberhasilan sebuah organisasi adalah keberadaan dan kontribusi karyawan. Produktifitas dan kinerja karyawan yang tinggi akan memberikan kontribusi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama
Lebih terperinciSM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang menginginkan kesejahteraan didalam hidupnya, bahkan Aristoteles (dalam Ningsih, 2013) menyebutkan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan utama dari eksistensi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Subjective Well-Being A. Subjective Well-Being Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang ( pleasure), kepuasan hidup, emosi positif, hidup bermakna,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Studi tentang kesejahteraan psikologis pada karyawan dalam beberapa tahun
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Studi tentang kesejahteraan psikologis pada karyawan dalam beberapa tahun terakhir mendapat perhatian yang cukup besar. Menurut Russel (2008) kesejahteraan psikologis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari
BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 11
MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 11 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
25 BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1995) mengatakan kesejahteraan psikologis dapat disebut dengan psychological well being yang merupakan pencapaian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Menurut Achour (2011) kesejahteraan pada karyawan adalah seseorang yang memiliki semangat kerja, dedikasi, disiplin,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia kerja merupakan tempat sekumpulan individu melakukan suatu aktivitas kerja. Aktivitas tersebut terdapat di dalam perusahaan atau organisasi. Pada zaman
Lebih terperinciPEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU
PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU Program Studi PG-PAUD FKIP Universitas Riau email: pakzul_n@yahoo.co.id ABSTRAK Kesejahteraan guru secara umum sangat penting diperhatikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological
Lebih terperinciRELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi)
RELIGIUSITAS ISLAM DAN KEBAHAGIAAN (Sebuah Telaah dengan Perspektif Psikologi) Ros Mayasari Abstrak: Psikologi menjelaskan kebahagiaan dengan dua pendekatan yang berbeda yaitu tercapainya kepuasaan hidup
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai
Lebih terperinciBab 2. Landasan Teori
Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Lebih terperinciBAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak
Lebih terperinciGAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA
GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA INDIENA SARASWATI ABSTRAK Studi yang menggunakan teori kebahagiaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pet Attachment II.1.1 Pengertian Pet Attachment Konsep pet attachment diambil langsung dari teori Bowlby (dalam Quinn, 2005) mengenai gaya kelekatan atau attachment. Bowlby menjelaskan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang
Lebih terperinciHUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA
HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA ISTRI YANG TINGGAL DI RUMAH MERTUA Nellafrisca Noviasari dan Agoes Dariyo Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara ABSTRAKSI Tujuan penelitian
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut pendapat Ryff (Widyati Ama & Utami, 2012) psychological well
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Psychological Well Being 2.1.1 Pengertian Psychological Well Being Menurut pendapat Ryff (Widyati Ama & Utami, 2012) psychological well being merupakan istilah yang digunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam
Lebih terperinciANALISA PSIKOMETRIK ALAT UKUR RYFF S PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (RPWB) VERSI BAHASA INDONESIA: STUDI PADA LANSIA
ANALISA PSIKOMETRIK ALAT UKUR RYFF S PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (RPWB) VERSI BAHASA INDONESIA: STUDI PADA LANSIA Sofa Amalia Mahasiswa Magister Sains Psikologi Perkembangan, Universitas Padjadjaran Bandung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
1 BAB I PENDAHULUAN A LATAR BELAKANG MASALAH Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.secara umum dapat diketahui bahwa sikap remaja saat ini masih dalam tahap mencari jati
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Subjective Well Being dari Russell (2008) adalah persepsi manusia tentang keberadaan atau pandangan subjektif mereka tentang pengalaman hidupnya, menurut beberapa
Lebih terperinci2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke- 21, banyak pengembangan berbagai teknologi strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya trend Boarding School
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan melewati berbagai tahapan perkembangan yang berbeda dalam hidupnya. Tahapan perkembangan yang terakhir dalam hidup manusia adalah masa lansia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan anggota
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk individu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidik yang kemudian terjadi interaksi di antara keduanya. Interaksi tersebut. didik atau siswa, dalam suatu konteks tertentu.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan merupakan wadah bagi para peserta didik untuk mendapatkan pembelajaran dan pengembangan pengetahuan juga keterampilan. Dunia pendidikan tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang
Lebih terperinciSubjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra
Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra Chintia Permata Sari & Farida Coralia Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Email: coralia_04@yahoo.com ABSTRAK. Penilaian negatif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki kondisi jasmani dan rohani yang sehat. Namun, banyak anak yang lahir kurang sehat,
Lebih terperinciS E M I N A R A S E A N 2 nd PSYCHOLOGY & HUMANITY Psychology Forum UMM, Februari 2016
Analisa Psikometrik Alat Ukur Ryff s Psychological Well-Being (RPWB) Versi Bahasa Indonesia: Studi pada Lansia guna Mengukur Kesejahteraan dan Kebahagiaan Sofa Amalia Universitas Muhammadiyah Malang amaliasofa@gmail.com
Lebih terperinci