BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu
|
|
- Harjanti Kusumo
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999). Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004). Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang dengan orientasi seksual yang memiliki ketertarikan estetis, psikologis, emosional dan seksual baik kepada laki-laki maupun perempuan. 2. Perkembangan Identitas Pada Biseksual
2 20 Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas mereka (Weinberg dkk, 1994): a. Initial Confusion Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati dengan perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan. b. Finding And Applying The Label Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan seseorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari temanteman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual. c. Settling into the identity Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam selflabeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu memperhatikan sikap negatif dari orang lain
3 21 d. Continued uncertainity Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka karena hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif dengan pasangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara mereka mempertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka. Sebaliknya, setelah terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai mempertanyakan komponen heeroseksual dalam seksualitas mereka. B. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Istilah Psychological Well-Being (PWB) berawal dari tulisan filsuf Aristoteles mengenai eudaimonia (Ryff,1989). Istilah ini tidak hanya sekedar berarti kebahagiaan atau menunjukkan antara kepuasaan terhadap keinginan yang benar dan salah (Hedonistic), melainkan Eudaimonia lebih memberikan karakteristik yang tertinggi dari keberadaan manusia, yaitu berjuan untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan merealisasikan potensi yang sebenarnya. Aristoteles (dalam Ryff,1989) berpendapat bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggungjawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.
4 22 Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan kondisi mental yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep selfactualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyebutnya dengan konsep Maturity (Ryff,1989). PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa psychological wellbeing (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasaan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi. 2. Dimensi Psychological Well-Being
5 23 Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu: 1. Penerimaan Diri (Self-Acceptance) Self-acceptance dalam PWB ini berkaitan dengan penerimaan individu pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan adanya penilaian positif atas kondisi diri sendiri. Seseorang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri adalah mereka yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai yang rendah adalah mereka yang menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, mengalami masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri. 2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others) Komponen lain dari PWB adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan empati dan afeksi terhadap sesama manusia,
6 24 memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan identifikasi yang baik dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai hubungan yang intim, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Selain itu, ia memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan bimbingan serta pengarahan kepada orang lain (generativity). Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif menunjukkan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli dengan orang, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan interpersonalnya, serta tidak bersedia untuk melakukan kompromi agar dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Otonomi (Autonomy) Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur tingkah laku, dan kemampuan untuk mandiri. Ia mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain,
7 25 berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. 4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya, individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya. 5. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Allport (1961) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa keterarahan (sense of directedness) dan tujuan (intentionality). Selain itu, Rogers (1961) mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan cita-
8 26 cita serta rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989). Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran hidup yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995). 6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth) Individu yang matang secara psikologis tidak hanya mampu mencapai karakteristik-karakteristik pribadi dan pengalaman terdahulu., melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu yang fully functioning. Untuk dapat berfungsi sepenuhnya, individu harus memiliki keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka pada pengalaman akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan tidak berhenti pada pendapat-pendapat sebelumnya yang kemungkinan tidak benar. Rogers menyebutnya sebagai keinginan untuk menjadi. Individu yang mencapai kondisi tersebut tidak berhenti pada suatu keadaan statis dan berhenti mengembangkan dirinya. Justru keterbukaan terhadap pengalaman, selalu menghadapi tantangan dan tugas-tugas baru pada setiap fase kehidupannya. Individu yang matang selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya dan menyadari potensi-potensi yang dimiliki.
9 27 Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff, 1995). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang antara lain: 1. Usia. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor psychological well-
10 28 being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan diri. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001). 2. Jenis Kelamin Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. 3. Status sosial ekonomi Ryff dkk., (dalam Ryan & Decci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik darinya. Menurut Davis (dalam Robinson &
11 29 Andrew, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. 4. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. D. Gambaran Psychological Well-Being Pada Individu Biseksual Yang Berpacaran. Masa dewasa awal atau dewasa dini memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satu diantaranya adalah memilih pasangan. (dalam Hurlock, 1999). Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran. Gembeck dan Patherick (2006) menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa ini. Hal ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual. Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan heterogenitas. Masters (1992) mengatakan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada pria dan wanita (Robin & Hammer dalam Matlin, 2004). Selain
12 30 itu, biseksual juga dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual yang mempunyai ciriciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Orang-orang yang memiliki orientasi biseksual, dapat mengalami pengalaman seksual, emosional dan ketertarikan afeksi kepada sesama jenis dan lawan jenis (dalam wikipedia, 2008). Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006). Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Secara khusus, kaum biseksual sering mendapatkan penolakan dari komunitas heteroseksual dan homoseksual. Pada umumnya, individu biseksual memiliki fluktuasi dalam ketertarikan yang romantis. Mereka merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis lebih awal dibandingkan merasakan ketertarikan terhadap sesama jenisnya (Fox & Weinberg et al dalam Matlin, 2004). Bagi individu biseksual, hubungan romantis ataupun pacaran dapat berpengaruh terhadap Psychological Well-Being mereka. Psychological Well- Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Ryff (dalam Keyes,1995) juga menyatakan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi.
13 31 Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Kepuasan hubungan romantisme, komitmen terhadap pasangan dan coming out ataupun self-disclosure dapat menimbulkan masalah atau konflik intrapersonal maupun interpersonal seperti stress, kecemasan dan ketakutan yang akan berpengaruh terhadap PWB individu biseksual yang berpacaran (dalam Savin-William & Cohen, 1995).
BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological
15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya
Lebih terperinciPaket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING
Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif
Lebih terperinciBab 2. Landasan Teori
Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan pengertian dari Psychological well-being, dimensi-dimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)
Lebih terperinciPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI
PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan
Lebih terperinciKesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)
Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau
Lebih terperinciBAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi
BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas
BAB II LANDASAN TEORI II.A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being merujuk pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran
Lebih terperinciBab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh dari sel-sel
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prostitusi merupakan fenomena yang tiada habisnya. Meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantasnya dengan menutup lokalisasi, seperti yang terjadi di lokalisasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial
BAB II LANDASAN TEORI II. A. Pengertian Psychological Well-Being Pekerja Sosial Kesehatan mental (Ryff, 1989) seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial
Lebih terperinciKesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi
Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan Psikologis 2.1.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai kesejahteraan. Pendekatan hedonik, yang mendefinisikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki kebutuhan yang tidak terbatas dan tidak akan pernah berhenti sampai mengalami kematian. Untuk bisa memenuhi kebutuhan yang beragam
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing
67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan
Lebih terperinciPENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA. Diajukan Kepada Fakultas Psikologi
PENGARUH KECERDASAN EMOSI DAN RASA SYUKUR TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL BEING MAHASISWA YANG KULIAH SAMBIL BEKERJA Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan
Lebih terperinci2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau yang dikenal dengan HIV merupakan sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah kurang lebih lima hingga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa kemajuan dan perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia. Hal ini menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilalui seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Keunikan pada masa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan terpenting yang dilalui seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Keunikan pada masa ini adalah individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup
Lebih terperinciBAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya
Lebih terperinciB A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.
B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis
BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian eksperimen (True Experimental Research) yaitu suatu penelitian
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 TIPE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis eksperimen dengan cara memberi perlakuan sesuatu pada situasi tertentu, kemudian membandingkan hasil tersebut
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan pemilihan Teori Penelitian ini menggunakan teori dari Carol D. Ryff mengenai psychological well-being. Alasan menggunakan teori tersebut dalam penelitian ini adalah berdasarkan
Lebih terperinciSM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA
1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seksualitas merupakan salah satu topik yang bersifat sensitif dan kompleks. Istilah ini menyangkut hal-hal pribadi dan dipengaruhi oleh banyak aspek kehidupan individu
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Istilah Eudaimonia (kebahagiaan) dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah psychological well-being.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) Ryff (dalam Lianawati, 2008) membangun model Kesejahteraan
Lebih terperinciBAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan
BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI II.A. Penyesuaian Diri terhadap Pensiun II.A.1. Penyesuaian diri Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan diri
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah psychological well
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah psychological well being dari Caroll D. Ryff (1989). Alasan menggunakan teori ini adalah bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan bahwa psycological
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Penelitian mengenai Psycological well-being pertama kali dikembangkan oleh Ryff (Astuti, 2011) yang mengatakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya sebagai manusia, kita membutuhkan untuk dapat berinteraksi dan bersosialisasi. Karena manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditariklah suatu kesimpulan yaitu : 5.1.1 Indikator kepuasan Seksual Subyek A, B dan C menyatakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari
BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
67 BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia dan kemudian mengemukakan bahwa individu
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab 5 ini, akan dijelaskan mengenai kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Kemudian, saran-saran juga akan dikemukakan untuk perkembangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar mereka. Data yang dilansir
Lebih terperinci