Model Matematika Penyebaran Eksternal Demam Berdarah Dengue

dokumen-dokumen yang mirip
Kesimpulan serta Masalah yang masih Terbuka

Model Matematika Penyebaran Internal Demam Berdarah Dengue dalam Tubuh Manusia

Inisialisasi Sistem Peringatan Dini Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue

Dengan maraknya wabah DBD ini perlu adanya suatu penelitian dan pemikiran yang

Bab II Teori Pendukung

MODEL MATEMATIKA EKSTERNAL DAN INTERNAL PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE DISERTASI NUNING NURAINI NIM :

III PEMBAHASAN. μ v. r 3. μ h μ h r 4 r 5

BAB II KAJIAN TEORI. representasi pemodelan matematika disebut sebagai model matematika. Interpretasi Solusi. Bandingkan Data

Bab 3 MODEL DAN ANALISIS MATEMATIKA

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL KAPLAN

BAB III MODEL KAPLAN. 3.1 Model Kaplan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Model Matematika Transmisi Filariasis Tanpa Pengobatan

BAB IV ANALISIS MODEL 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kestabilan Model Matematika AIDS dengan Transmisi. atau Ibu menyusui yang positif terinfeksi HIV ke anaknya.

Dinamik Model Epidemi SIRS dengan Laju Kematian Beragam

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. ekuilibrium bebas penyakit beserta analisis kestabilannya. Selanjutnya dilakukan

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

BAB III BASIC REPRODUCTION NUMBER

ANALISIS STABILITAS SISTEM DINAMIK UNTUK MODEL MATEMATIKA EPIDEMIOLOGI TIPE-SIR (SUSCEPTIBLES, INFECTION, RECOVER)

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

Bab III Model Awal Kecanduan Terhadap Rokok

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Analisa Kualitatif pada Model Penyakit Parasitosis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADLN PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB IV PEMBAHASAN. optimal dari model untuk mengurangi penyebaran polio pada dengan

BAB II KAJIAN TEORI. digunakan pada bab pembahasan. Teori-teori ini digunakan sebagai bahan acuan

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

IV PEMBAHASAN. jika λ 1 < 0 dan λ 2 > 0, maka titik bersifat sadel. Nilai ( ) mengakibatkan. 4.1 Model SIR

Studi Penyebaran Penyakit Flu Burung Melalui Kajian Dinamis Revisi Model Endemik SIRS Dengan Pemberian Vaksinasi Unggas. Jalan Sukarno-Hatta Palu,

MODEL MATEMATIKA PENYAKIT DIABETES DENGAN PENGARUH TRANSMISI VERTIKAL

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada

III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD

BAB III PEMBAHASAN. tenggorokan, batuk, dan kesulitan bernafas. Pada kasus Avian Influenza, gejala

Model Deterministik Masalah Kecanduan Narkoba dengan Faktor Kontrol Terhadap Pemakai dan Pengedar Narkoba

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS STABILITAS DARI PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

Pemodelan dan Simulasi Matematika Pengendalian Epidemi DBD di Wilayah Bandung dan Sekitarnya

ANALISIS MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN KOINFEKSI MALARIA-TIFUS

MODEL MATEMATIKA DALAM KASUS EPIDEMIK KOLERA DENGAN POPULASI KONSTAN. Renny, M.Si Program Studi Matematika Universitas Jenderal Soedirman

BIFURKASI PADA MODEL SUSCEPTIBLE INFECTED RECOVERED (SIR) DENGAN WAKTU TUNDA DAN LAJU PENULARAN BILINEAR SKRIPSI

KESTABILAN MODEL SUSCEPTIBLE VACCINATED INFECTED RECOVERED (SVIR) PADA PENYEBARAN PENYAKIT CAMPAK (MEASLES) (Studi Kasus di Kota Semarang)

ANALISIS KESTABILAN PADA MODEL TRANSMISI VIRUS HEPATITIS B YANG DIPENGARUHI OLEH MIGRASI

Analisis Kestabilan Pada Model Transmisi Virus Hepatitis B yang Dipengaruhi Oleh Migrasi

ANALISIS DINAMIKA PENYEBARAN VIRUS DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN DUA SEROTIPE AHMAD SUYUTI LATIF

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema

Model Matematika SIV Untuk Penyebaran Virus Tungro Pada Tanaman Padi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DINAMIKA PROBLEMA PENYAKIT MALARIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alam, Universitas Lampung pada semester genap tahun akademik 2011/2012.

Abstrak: Makalah ini bertujuan untuk mengkaji model SIR dari penyebaran

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TUGAS AKHIR. Oleh Erdina Sri Febriyanti NRP Dosen Pembimbing Dr. Erna Apriliani, M.Si Drs. Setijo Winarko, M.Si

perpindahan, kita peroleh persamaan differensial berikut :

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD

ANALISIS KESTABILAN DAN PROSES MARKOV MODEL PENYEBARAN PENYAKIT EBOLA

MODEL EPIDEMIK SIR UNTUK PENYAKIT YANG MENULAR SECARA HORIZONTAL DAN VERTIKAL

Oleh : HASNAN NASRUN SUBCHAN, MAHMUD YUNUS

Model Dan Simulasi Transmisi Virus Dengue Di Dalam Tubuh Manusia

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

MODEL SEIR PENYAKIT CAMPAK DENGAN VAKSINASI DAN MIGRASI

KESTABILAN TITIK EQUILIBRIUM MODEL SIR (SUSPECTIBLE, INFECTED, RECOVERED) PENYAKIT FATAL DENGAN MIGRASI

Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB 2015 Vol. I : ISBN :

ANALISIS KESTABILAN MODEL DINAMIKA PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

Tingkat Vaksinasi Minimum untuk Pencegahan Epidemik Berdasarkan Model Matematika SIR

METODE PENELITIAN Sumber Data

SISTEM DINAMIK KONTINU LINEAR. Oleh: 1. Meirdania Fitri T 2. Siti Khairun Nisa 3. Grahani Ayu Deca F. 4. Fira Fitriah 5.

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Proses Pencabangan model DTMC SIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

III MODEL MATEMATIKA S I R. δ δ δ

ANALISIS DAN SIMULASI MODEL MATEMATIKA PENYAKIT DEMAM DENGUE DENGAN SATU SEROTIF VIRUS DENGUE

KENDALI OPTIMAL PADA PENCEGAHAN WABAH FLU BURUNG DENGAN ELIMINASI, KARANTINA DAN PENGOBATAN

Analisis Stabilitas Model SIR (Susceptibles, Infected, Recovered) Pada Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Maluku

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS KESTABILAN LOKAL PADA PERUBAHAN POPULASI PENDERITA DIABETES MELITUS

SIFAT-SIFAT DINAMIK DARI MODEL INTERAKSI CINTA DENGAN MEMPERHATIKAN DAYA TARIK PASANGAN

ANALISIS STABILITAS PENYEBARAN VIRUS EBOLA PADA MANUSIA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis model epidemik beserta simulasinya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Analisis Komponen Utama (Principal component analysis)

ANALISIS KESTABILAN MODEL MANGSA-PEMANGSA DENGAN MANGSA YANG TERINFEKSI DI LINGKUNGAN TERCEMAR

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA MSIR PADA PENCEGAHAN PENYEBARAN PENYAKIT HEPATITIS B DENGAN PEMBERIAN VAKSINASI SKRIPSI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

BIFURKASI SADDLE-NODE PADA SISTEM INTERAKSI NONLINEAR SEPASANG OSILATOR TANPA PERTURBASI

Oleh : Dinita Rahmalia NRP Dosen Pembimbing : Drs. M. Setijo Winarko, M.Si.

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD DENGAN INKUBASI INTRINSIK DAN GABUNGAN INKUBASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK RINANCY TUMILAAR

MODEL SIR (SUSCEPTIBLE, INFECTIOUS, RECOVERED) UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT TUBERKULOSIS

Pengaruh Faktor Pertumbuhan Populasi Terhadap Epidemi Demam Berdarah Dengue. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Program Studi S2 Matematika

APLIKASI METODE MATRIKS GENERASI DALAM MENENTUKAN NILAI MATEMATIKA PENYEBARAN VIRUS HIV/AIDS. 10 Makassar, kode Pos 90245

Esai Kesehatan. Disusun Oleh: Prihantini /2015

BAB II LANDASAN TEORI

Analisa Kestabilan dan Penyelesaian Numerik Model Dinamik SIRC pada Penyebaran. Virus Influenza

ANALISIS STABILITAS MODEL MATEMATIKA DARI PENYEBARAN PENYAKIT MENULAR MELALUI TRANSPORTASI ANTAR DUA KOTA

Model Penyebaran Penyakit Menular MERS-CoV: Suatu Langkah Antisipasi Untuk Calon Jamaah Umrah/Haji Indonesia. Disusun Oleh: Benny Yong, S.Si., M.Si.

MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI

Model Matematika Penyebaran Penyakit Demam Chikungunya Dengan Dua Jenis Nyamuk Ades (Aedes Aegepty dan Aedes Albopictus)

MODEL NON LINEAR PENYAKIT DIABETES. Aminah Ekawati 1 dan Lina Aryati 2 ABSTRAK ABSTRACT

ANALISIS STABILITAS PADA PENYEBARAN PENYAKIT DBD DI KABUPATEN JEMBER DENGAN METODE SIR STOKASTIK SKRIPSI. Oleh: Effendy

Transkripsi:

BAB II Model Matematika Penyebaran Eksternal Demam Berdarah Dengue Bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi penurunan model matematika penyebaran penyakit DBD yang selanjutnya akan disebut sebagai model Dengue, untuk dua serotipe virus tanpa vaksinasi. Bagian kedua terdiri atas penurunan parameter ambang yang disebut sebagai basic reproduction ratio, yang digunakan sebagai parameter penentu kestabilan lokal dari titik-titik kesetimbangan model. Titik-titik kesetimbangan inilah yang akan digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena piramida penyakit yang cukup dikenal dalam penyebaran penyakit DBD secara eksternal. Selain itu akan diberikan pula hasil-hasil analisis kestabilan lokal titik-titik kesetimbangan model yang telah diperoleh. Sedangkan pada bagian ketiga dikemukakan temuan penting mengenai parameterparameter yang paling berpengaruh dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan selama ini melalui simulasi numerik. II.1 Penurunan Model Matematika Sebelum menjelaskan penurunan model matematika terlebih dahulu dikemukakan asumsi-asumsi yang digunakan dalam penurunan model ini. Asumsi -asumsi tersebut dituangkan dalam butir-butir penjelasan berikut ini. 1. Jumlah total individu dalam populasi adalah konstan baik untuk populasi manusia maupun untuk populasi nyamuk. 2. Individu yang menderita infeksi sekunder diasumsikan terlebih dahulu sembuh dari infeksi primer virus Dengue. 11

3. Infeksi sekunder hanya terjadi pada manusia, tidak terjadi di dalam tubuh nyamuk, karena nyamuk terinfeksi selama hidupnya (kurang lebih 14 hari (Kurane dkk, 2001)). 4. Saat mengalami infeksi virus Dengue dalam tubuhnya, diasumsikan manusia akan kebal terhadap semua serotipe virus Dengue. Namun setelah sembuh dari infeksinya manusia tersebut hanya akan kebal terhadap virus Dengue yang ada dalam tubuhnya. (Gubler,1998, WHO, 1986, WHO homepage dan CDC homepage). 5. Populasi yang ditinjau adalah populasi yang tertutup. 6. Model yang dikembangkan pada penelitian ini hanya meninjau dua serotipe virus, dari empat serotipe virus Dengue yang ada, sebut serotipe 1 dan serotipe 2. 7. Model yang dikembangkan mengacu pada kondisi awal semua individu dalam populasi manusia adalah manusia sehat yang akan terinfeksi penyakit, dan selanjutnya disebut sebagai susceptible, kemudian dimasukkan satu individu yang terinfeksi virus serotipe 1 dan satu individu yang terinfeksi virus serotipe 2 ke dalam populasi. 8. Vektor perantara penyakit hanya nyamuk, tidak ada vektor perantara lainnya. 9. Penelitian ini tidak membahas masalah infeksi ketiga maupun infeksi keempat dalam penyebaran penyakit Dengue. Dari asumsi yang tersusun di atas diturunkan model dasar penyebaran penyakit Dengue untuk dua serotipe virus tanpa pengaruh vaksinasi sebagai berikut. Misalkan N h adalah total populasi manusia dan N v adalah total populasi nyamuk. Diasumsikan bahwa total populasi manusia dan total populasi nyamuk konstan setiap saat. Model matematika yang akan dibahas didasarkan pada diagram transmisi eksternal yang tertera pada Gambar II.1. 12

Gambar II.1. Diagram Transmisi Eksternal untuk Dua serotipe virus Dengue Sebelum membahas penurunan model penyebaran DBD ini, terlebih dahulu didefinisikan variabel-variabel sebagai berikut; S menyatakan sub populasi individu sehat yang dapat terinfeksi DBD oleh virus serotipe pertama maupun virus serotipe kedua (susceptible). Ĩ i menyatakan sub populasi individu yang terinfeksi primer oleh serotipe virus i, sedangkan notasi Zi menyatakan sub populasi yang sembuh sementara dari infeksi primer terhadap serotipe virus i saja. Selanjutnya sub populasi manusia yang imun terhadap serotipe virus j dan mengalami infeksi sekunder terhadap virus i, diberikan oleh notasi Ỹi. Model penyebaran DBD untuk dua serotipe virus pertama kali diperkenalkan oleh Feng dan Velasco (1997), tetapi model ini memiliki kelemahan karena sub populasi infeksi sekunder berasal langsung dari sub populasi infeksi primer, hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan karena pada kasus DBD infeksi sekunder terjadi bila penderita terlebih dahulu sembuh dari infeksi primer, baru kemudian dapat mengalami infeksi sekunder (Halstead, 2002) dan (Gubler, 2002). Model ini diperbaiki oleh Esteva dan Vargas, (2002) dengan menambahkan sub populasi penderita yang sembuh dari infeksi primer, baik oleh serotipe virus 1 ataupun serotipe virus 2. Namun model Esteva dan Vargas, (2002) tidak membahas skenarioskenario vaksinasi yang diterapkan pada model penyebaran DBD. 13

Sebagai pengembangan dari model-model yang sudah ada dan melihat apakah faktor kendali terhadap penyebaran penyakit ini berhasil atau tidak, ditambahkan satu sub populasi lagi, yakni sub populasi D. Sub populasi ini menyatakan manusia yang terinfeksi sekunder baik oleh serotipe virus pertama maupun kedua dan diasumsikan menunjukkan gejala infeksi DBD serta dirawat di rumah sakit. Sedangkan populasi nyamuk terbagi atas tiga sub populasi, sub populasi pertama, V 0 menyatakan proporsi nyamuk sehat yang dapat terinfeksi virus Dengue dan V i yang menotasikan proporsi vektor terinfeksi oleh serotipe virus i. Dalam model ini diberikan asumsi bahwa individu dari sub populasi Zi memiliki peluang sebesar q untuk pindah ke sub populasi D dengan q merupakan peluang seseorang menunjukkan gejala DBD yang parah (severe). Sedangkan peluang sebesar 1 q individu pindah ke sub populasi Ỹi karena diasumsikan tidak menunjukkan gejala DBD. Pada model ini proses transmisi penyakit dari sub populasi D ke nyamuk tidak terjadi. Karena diasumsikan saat di rumah sakit penderita DBD diisolasi dengan baik sehingga tidak ada nyamuk yang dapat mentransmisikan virus Dengue. Sehingga dalam model ini yang menyebabkan nyamuk bisa terinfeksi adalah apabila nyamuk tersebut menggigit individu yang ada pada sub populasi - sub populasi Ĩ dan Ỹ, yakni individu yang mengalami infeksi primer maupun infeksi sekunder. Adanya sub populasi D ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh keberhasilan penerapan skenario-skenario vaksinasi pada model penyebaran eksternal DBD. Indikator kesuksesan pemberian vaksinasi dilihat dari dinamik individu yang berada pada sub populasi D menjadi nol atau minimal berada pada level yang cukup rendah, misalnya kurang dari 1%. Pada model ini juga tidak dibedakan besarnya peluang q (yakni peluang seseorang mengalami severe DHF ) terhadap serotipe virus 1 atau serotipe virus 2, karena pada kenyataannya membedakan virus Dengue pada seorang penderita memerlukan waktu yang cukup lama, antara 1-2 bulan (Vaughn dkk, 2000). 14

Selanjutnya, dimisalkan bahwa laju infeksi rata-rata per satuan waktu dari nyamuk ke manusia diberikan oleh persamaan B i = bβ i, i = 1, 2 dan dari manusia ke nyamuk dinyatakan dalam A i = bα i, i = 1, 2, dengan b adalah rata-rata gigitan nyamuk per satuan waktu, β i, i = 1, 2 adalah peluang transmisi sukses setotipe virus ke i dari nyamuk ke manusia, dan α i, i = 1, 2 adalah peluang sukses transmisi virus ke i dari manusia ke nyamuk. Sistem dinamik untuk manusia dinyatakan sebagai berikut d S dĩ1 dĩ2 d Z 1 d Z 2 d D dỹ1 dỹ2 d Z = µ h N h (B 1 V 1 + B 2 V 2 ) S µ h S = B 1 V 1 S (γ + µh )Ĩ1 = B 2 V 2 S (γ + µh )Ĩ2 = γĩ1 σ 2 B 2 V 2 Z1 µ h Z1 = γĩ2 σ 1 B 1 V 1 Z2 µ h Z2 = q(σ 2 B 2 V 2 Z1 + σ 1 B 1 V 1 Z2 ) (µ h + γ + δ) D (II.1) = (1 q)σ 1 B 1 V 1 Z2 (γ + µ h )Ỹ1 = (1 q)σ 2 B 2 V 2 Z1 (γ + µ h )Ỹ2 = γ(ỹ1 + Ỹ2) µ h Z + γd. Sistem dinamik untuk nyamuk diberikan oleh dv 0 (t) dv 1 (t) dv 2 (t) = µ v [A 1 ( Ĩ 1 N h + Ỹ1 N h ) + A2 ( Ĩ 2 N h + Ỹ2 N h ) ]V0 µ v V 0 = A 1 ( Ĩ 1 N h + Ỹ1 N h ) V0 µ v V 1 = A 2 ( Ĩ 2 N h + Ỹ2 N h ) V0 µ v V 2. (II.2) 15

Sedangkan nilai-nilai parameter yang digunakan dalam model ini diberikan pada Tabel II.1. Tabel II.1. Nilai parameter model eksternal (Feng dan Velasco, 1997). Simbol Definisi Nilai µ 1 h harapan hidup manusia 70 tahun µ 1 v harapan hidup nyamuk 14 hari γ 1 rata-rata periode infeksi dalam tubuh manusia 10-15 hari A i rata-rata gigitan nyamuk per hari x peluang [0,5] transmisi sukses dari manusia ke nyamuk B i rata-rata gigitan nyamuk per hari x peluang [0,5] transmisi sukses dari nyamuk ke manusia σ i indeks suseptibilitas [0, 5] q peluang seseorang mengalami gejala parah [0, 1] Dalam model (II.1) dinamik sub populasi D memuat faktor kematian akibat penyakit yakni δ, namun untuk penyederhanaan dalam analisis ini diasumsikan δ = 0, dengan demikian analisis berlaku untuk total populasi yang konstan. Persamaan untuk sub populasi Z dan V 0 pada model (II.1 - II.2) dapat dieliminasi karena untuk setiap saat t, dapat dituliskan S+Ĩ1+Ĩ2+ Z 1 + Z 2 + D+Ỹ1+Ỹ2+ Z = N h dan V 0 + V 1 + V 2 = 1. Untuk menyederhanakan analisis model (II.1 - II.2) digunakan normalisasi, dengan mendefinisikan variabel-variabel baru sebagai berikut. S = S N h, I i = Ĩi N h, Z i = Z i N h, Y i = Ỹi N h, Z = Z N h, D = D N h, i (1, 2). Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut pada model (II.1 - II.2) diperoleh 16

ds di i dz i dd dy i dv i = µ h (1 S) (B 1 V 1 + B 2 V 2 )S, = B i V i S (γ + µ h )I i, = γi i σ j B j V j Z i µ h Z i, = q(σ 2 B 2 V 2 Z 1 + σ 1 B 1 V 1 Z 2 ) (µ h + γ)d, (II.3) = (1 q)σ i B i V i Z j (γ + µ h )Y i, = A i (I i + Y i )(1 V 1 V 2 ) µ v V i, i, j 1, 2, i j. II.2 Analisis Model Proses analisis model dasar penyebaran penyakit DBD ini memiliki alur sebagai berikut; pertama dijelaskan terlebih dahulu parameter basic reproduction ratio, yang akan digunakan sebagai parameter ambang penentuan kriteria endemik dalam suatu populasi. Kedua, akan dicari titik-titik kesetimbangan model (II.3) serta kriteria kestabilan lokal dari titik kesetimbangan non endemik dan titik - titik kesetimbangan endemiknya. Teori mengenai titik kesetimbangan dan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan tersebut dapat dilihat pada Wiggins, (1990). II.2.1 Parameter Ambang Batas Parameter basic reproduction ratio didefinisikan sebagai ekspektasi dari banyaknya kasus sekunder yang muncul akibat satu orang terinfeksi primer masuk dalam suatu populasi tertutup yang seluruhnya susceptible (Diekmann dan Heesterbeek, 2000). Parameter ini dinotasikan dengan lambang R 0. Ada beberapa metode untuk menentukan besaran R 0 ini seperti yang dijelaskan dalam Anderson dan May (1992), Marques dkk (1994), Diekmann dan Heesterbeek (2000), Castillo dkk (2002), Heesterbeek, (2002), Robert dan Heesterbeek (2003). 17

Dalam penelitian ini digunakan penentuan nilai R 0 dengan cara mengkonstruksi suatu matriks yang berasal dari sub populasi-sub populasi yang menyebabkan infeksi saja, seperti yang dijelaskan pada Feng dan Velasco (1997). Dengan cara ini matriks pembangkitnya akan berubah mengikuti perubahan model yang telah diturunkan. Untuk menentukan R 0 model (II.3) dari cara ini, pertama didefinisikan ψ i adalah laju rata-rata infeksi pada manusia yang dihasilkan oleh serotipe virus i, sebesar B i V i. Sedangkan ξ i adalah laju rata - rata infeksi pada nyamuk yang dihasilkan oleh serotipe virus i sebesar A i (I i + Y i ). Fungsi - fungsi ψ i dan ξ i mendeskripsikan frekuensi kebergantungan transmisi penyakit Dengue. Fungsi - fungsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Feng dan Velasco, (1997). Selanjutnya, ruas kanan dari model (II.3) dibuat sama dengan nol, dan dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut. S = Ī i = Z i = µ h, ψ 1 + ψ 2 + µ h ψ i S (γ + µ h ), γi i, i j, i, j 1, 2 σ j ψ j + µ h D = q(σ 2ψ 2 Z 1 + σ 1 ψ 1 Z 2 ), (II.4) (µ h + γ) Ȳ i = (1 q)σ iψ i Z j, i j, i, j 1, 2 (µ h + γ) V i = ξ i(1 V i ), i 1, 2, i j. ξ i + µ v Kemudian diturunkan matriks pembangkit untuk model (II.3). Misalkan K = (ψ 1, ψ 2, ξ 1, ξ 2 ) T, 18

subtitusi persamaan (II.4) dalam definisi ψ i dan ξ i, diperoleh empat persamaan dalam ψ i dan ξ i. Sistem baru ini dinotasikan dengan Φ(K) yang dituliskan sebagai berikut. Φ(K) = (B 1 V1, B 2 V2, A 1 (Ī1 + Ȳ1), A 2 (Ī2 + Ȳ2)) T, dengan V i, Īi dan Ȳi, i = 1, 2 seperti pada persamaan (II.4). Nilai dari R 0 untuk model (II.3) diberikan oleh Matriks Jacobi dari Φ(K) yang dievaluasi pada nilai titik kesetimbangan non-endemik, yakni pada saat ψ 1 = ψ 2 = ξ 1 = ξ 2 = 0, yang diberikan oleh DΦ(0) = 0 0 0 0 0 B 1 µ v 0 B 2 µ v A 1 µ h +γ 0 0 0 0 A 2 µ h +γ 0 0. Dengan mencari nilai eigen terbesar dari DΦ(0) diperoleh nilai R 0 = max{ R 1, R 2 }, dengan R i = A i B i, i 1, 2. (II.5) µ v (µ h + γ) Parameter nilai ambang R 0 ini memiliki makna untuk nilai R 0 > 1 mengakibatkan terjadinya endemik dalam suatu populasi, sedang untuk nilai R 0 < 1, endemik akan hilang dari populasi tersebut. Parameter R 0 ini pula yang akan digunakan untuk menganalisis kestabilan lokal titik-titik kesetimbangan model (II.3). 19

II.2.2 Titik - titik Kesetimbangan Pada sub-bagian ini akan dicari titik kesetimbangan model (II.3) pada daerah yang memiliki makna secara biologi, sebut Ω, dengan Ω = {(S, I i, Z i, Y i, D, V i ) R 10 + V 1 + V 2 1, S + I i + Z i + Y i + D 1} dan i = 1, 2. Model (II.3) memiliki tiga jenis titik kesetimbangan. Titik kesetimbangan jenis pertama adalah titik kesetimbangan non-endemik yang selalu ada apabila R i < 1. Jenis kedua adalah titik kesetimbangan endemik untuk salah satu serotipe virus, yakni titik endemik E 1 yang terjadi saat R 1 > 1 atau E 2 yang muncul pada saat R 2 > 1. Sedangkan jenis titik kesetimbangan yang terakhir, E 3, adalah titik endemik koeksistensi dua serotipe virus yang muncul saat R 1 > 1 dan R 2 > 1. Untuk penyederhanaan analisis kestabilan lokal titik endemik E 3 ini menggunakan asumsi bahwa karakteristik transmisi dari dua jenis serotipe virus adalah identik sehingga didapat kriteria kestabilan lokal untuk kondisi tersebut. Berikut disajikan hasil-hasil titik kesetimbangan yang diperoleh dari model (II.3). Titik Kesetimbangan Non-endemik Titik kesetimbangan non-endemik dari model (II.3) adalah E 0 = (1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0). Titik ini akan selalu ada bila R i < 1, i = 1, 2. Kestabilan E 0 diberikan oleh teorema berikut ini. Teorema 1 Model (II.3) memiliki E 0 = (1, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0, 0) sebagai titik kesetimbangan non-endemik yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika R 1 < 1 dan R 2 < 1. 20

Bukti Untuk menentukan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan E 0, digunakan pelinearan matriks Jacobi model (II.3) di sekitar E 0. Matriks Jacobi D E0 diberikan oleh 2 3 µ h 0 0 B 1 0 0 B 2 0 0 0 0 µ h γ 0 B 1 0 0 0 0 0 0 0 γ µh 0 0 0 0 0 0 0 0 A 1 0 µv 0 0 0 A 1 0 0 0 0 0 0 µh γ 0 B D E0 = 2 0 0 0. 0 0 0 0 γ µ h 0 0 0 0 0 0 0 0 A 2 0 µv 0 A 2 0 0 0 0 0 0 0 0 µ h γ 0 0 6 4 0 0 0 0 0 0 0 0 µ h γ 0 7 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 µ h γ Nilai eigen dari matriks D E0 adalah µ h dan µh γ yang masing-masing mempunyai multiplisitas aljabar sebesar 3, dan akar dari polinom karakteristik berikut p i (x) = x 2 + ax + b i, i = 1, 2, dengan nilai a = µh + µ v + γ > 0, b i = (µ h + γ)µ v (1 R i ), i = 1, 2. Jelas bahwa polinom p i memiliki akar-akar dengan bagian real yang negatif jika dan hanya jika R i < 1. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa E 0 adalah titik kesetimbangan yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika R i < 1. Titik Kesetimbangan Endemik Selanjutnya akan ditentukan titik kesetimbangan endemik dari model (II.3). Misalkan hanya serotipe virus i yang ada, i = 1, 2, akibatnya V 1 = 0 atau V 2 = 0. Diperoleh titik - titik kesetimbangan model (II.3) yakni E 1 = (S 1, I 1, 0, Z 1, 0, 0, 0, 0, V 1, 0), E 2 = (S 2, 0, I 2, 0, Z 2, 0, 0, 0, 0, V 2 ), 21

dengan S i = µ hr i + B i R i (µ h + B i ), I i = Z i µ h B i (R i 1) (µ h + γ)(µ h + B i )R i, = γi i µ h, V i = µ h(r i 1) µ h R i + B i, i = 1, 2. Eksistensi dari titik-titik endemik E i terjadi jika dan hanya jika R i > 1, i = 1, 2. Sedangkan kestabilan dari titik endemik E i ini dijelaskan dalam teorema berikut. Teorema 2 Titik - titik kesetimbangan E i, i = 1, 2 merupakan titik kesetimbangan endemik yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika R i > 1, i = 1, 2 dan memenuhi ketaksamaan berikut R j < R i 1 + γσ jb i (1 q)(r i 1) (µ h R i +B i )(µ h +γ) 2, i, j = 1, 2, i j. (II.6) Apabila ketaksamaan (II.6) tidak terpenuhi, maka E i merupakan titik kesetimbangan endemik yang tak stabil. Bukti Akan ditunjukkan kriteria kestabilan dari E i, i = 1, 2. Matriks Jacobi yang bersesuaian dengan model (II.3) di sekitar titik E i, i = 1, 2 adalah D Ei = G 1 G 2 0 G 4 dengan G 1 = µ h B i V i 0 0 B i S 0 µ h γ 0 B i S 0 γ µh 0 0 A i (1 V i ) 0 µv A i I i dan 22

G 4 = µh γ 0 B j S 0 0 0 γ µ h σ i B i Vi 0 0 0 0 A j (1 Vi 0 µv 0 A j (1 Vi 0 0 (1 q)σ i B i Vi 0 µ h γ 0 0 0 0 (1 q)σ j B j Zi 0 µ h γ 0 0 qσ i B i V i qσ j B j Z i 0 0 µ h γ. Nilai - nilai eigen dari matriks D Ei diberikan oleh blok matriks G 1 dan G 4. Nilai eigen dari blok matriks G 1 adalah µ h, dan akar-akar dari polinom p i (x) = x 3 + a i x 2 + b i x + c i, i = 1, 2, dengan a i = µh + µ v + κ + φ i + ϕ i, b i = (µ v + γ)µ h + µ 2 h + φ i ϕi + (κ + µ v )ϕ i + (κ + µ h )φ i, c i = µ h κφ i + κµ v ϕ i + κϕ i φ i, φ i = A i(r i 1) λ i + R i M, ϕ i = B iλ i (R i 1) R i (λ i + M), λ i = A i µ v, κ = µ h + γ, M = κ µ h, i = 1, 2. Perhatikan bahwa a i, b i, c i > 0 ketika R i > 1. Dapat dilihat juga bahwa c i < 2µ 2 h + µ h (µ v + γ)φ i + (µ h + µ v + κ)(µ h + µ v + 2κ)(φ i + ϕ i ), +(2µ h + 2µ v + 2κ)ϕ i φi, < a i b i, Selanjutnya dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz (Bellman, 1970) (lihat rincian pada Lampiran A) diperoleh bahwa bagian real akar polinom p i (x) bernilai negatif bila R i > 1. Nilai eigen dari blok matriks G 4 adalah µ h γ dengan multiplisitas aljabar sebesar 23

3, µ h σ i B i V i, i = 1, 2, dan akar dari polinom g i (x) = x 2 +p i x+q i, i = 1, 2 dengan p i = µh + µ v + γ > 0, q i = (µ h + γ)µ v A j B j (1 V i )[S + (1 q)σ j Z i ], i = 1, 2, i j. Polinom g i (x) memiliki akar-akar dengan bagian real negatif bila q i > 0, i = 1, 2 dan hal ini mengakibatkan, R j < R i 1 + γσ jb i (1 q)(r i 1) (µ h R i +B i )(µ h +γ) 2, i, j = 1, 2, i j. Dapat kita simpulkan bahwa E i adalah titik kesetimbangan yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika R i > 1 dan R j < R i 1+ γσ j B i (1 q)(r i 1) (µ h R i +B i )(µ h +γ) 2, i, j = 1, 2, i j. Perhatikan bahwa untuk R 1 > 1 dan R 2 > 1, ketidaksamaan (II.6) untuk i = 1, 2 tidak dapat dipenuhi secara simultan, oleh sebab itu E 1 dan E 2 tidak dapat menjadi stabil lokal dalam waktu yang sama. Gambar II.2 dan Gambar II.3 mengilustrasikan daerah eksistensi serta diagram kestabilan E 0, E 1 dan E 2 terhadap nilai parameter R 1, R 2 serta nilai σ 1 dan σ 2 yang berbeda. Gambar II.2 dan Gambar II.3 diperoleh dengan menggunakan ketidaksamaan (II.6). Gambar II.2(a) diperoleh dengan memilih nilai σ 1 = σ 2 = 0, yang berarti bahwa kedua serotipe virus menghasilkan imunitas yang sempurna sehingga tidak terjadi infeksi sekunder pada manusia. Daerah R 1 > 1, R 2 > 1 di bidang R 1 R 2 terbagi menjadi dua, dan hanya titik kesetimbangan E i, i = 1, 2 yang stabil. Kasus ini memperlihatkan bahwa E i adalah titik yang stabil asimtotik lokal jika R i > 1 dan R i > R j. Secara biologis dapat diartikan bahwa keadaan ini memperlihatkan endemik yang disebabkan oleh virus serotipe i memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menggantikan serotipe yang lain pada saat tertentu. Gambar II.2.2(a) me- 24

Gambar II.2. Diagram eksistensi dan kestabilan dari E i untuk nilai parameter σ 1 dan σ 2 yang berbeda. Simulasi ini menggunakan nilai-nilai parameter γ = 0.1428, A 1 = 1.5, A 2 = 3, B 1 = 2.5, B 2 = 1, and q = 0.02. 25

Gambar II.3. Diagram eksistensi dan kestabilan dari E i untuk nilai parameter σ 1 dan σ 2 yang berbeda. Simulasi ini menggunakan nilai-nilai parameter γ = 0.1428, A 1 = 1.5, A 2 = 3, B 1 = 2.5, B 2 = 1, and q = 0.02. 26

nunjukkan bahwa pada saat R 1 < 1 dan R 2 < 1 titik E 0 merupakan titik yang stabil asimtotik lokal. Namun pada saat titik E 0 ini melewati garis R i = 1, i = 1, 2 maka titik ini menjadi tak stabil dan muncullah titik E i, i = 1, 2 yang stabil asimtotik lokal saat R i > 1 dan R j < R i, i, j = 1, 2, i j. Garis R i = 1, i = 1, 2 ini dikenal dengan garis transcritical bifurcation. Gambar II.2(b) menunjukkan bahwa nilai indeks suseptibilitas untuk masing - masing serotipe virus adalah σ 1 = 0.01 dan σ 2 = 0.08, atau dipilih nilai σ 1 0, σ 2 0 dan kurang dari satu. Untuk nilai σ i, i = 1, 2 tersebut dihasilkan perubahan kestabilan E i, i = 1, 2 menjadi tak stabil saat melewati garis lengkung, titik E 3 mulai muncul dan bernilai stabil pada daerah tengah. Saat nilai R 1 dan R 2 memenuhi persamaan garis lengkung tersebut, maka muncul satu nilai eigen nol, dan hal ini yang merubah kestabilan E i, i = 1, 2. Pada daerah ini semua titik kesetimbangan ada namun hanya titik kesetimbangan E 3 yang stabil asimtotik lokal, sedangkan titik yang lain merupakan titik yang tak stabil. Pada Gambar II.3(a) dan II.3(b) mengilustrasikan bahwa kenaikan nilai σ dapat menyebabkan perluasan daerah eksistensi dan kestabilan E 3. Namun daerah kestabilan dari E 1 dan E 2 menjadi lebih sempit apabila nilai σ 1 dan σ 2 naik. Hasil-hasil yang didapat pada Gambar II.2, memperlihatkan bahwa penambahan sub populasi D dalam model (II.3) tidak mempengaruhi kestabilan secara umum seperti yang dihasilkan pada Esteva dan Vargas, (2002). Namun model yang dikembangkan pada penelitian ini menemukan bahwa untuk nilai σ 1 > 1 dan σ 2 > 1 seperti pada Gambar II.2.2(d) tidak didapatkan pada hasil Esteva dan Vargas, (2002). 27

Koeksistensi Titik Kesetimbangan Endemik Jika ruas kanan pada model (II.3) dibuat sama dengan nol, didapatkan koeksistensi titik kesetimbangan endemik, yakni E 3 = (S, I i S = Z i = µ h µ h + B 1 V 1 γµ h I i σ j B j V j, I i + µ h, Y, Z i, Y i = B ivi S µ h + γ, i = (1 q)γb jvj σ i Ii (µ h + γ)(σ i B i Vi + µ h ), D = qµ hm[µ h (σ 1 + σ 2 ) + σ 1 σ 2 (B 1 V1 + B 2 V2 )]Z γ(µ h + γ)s, D, Vi ) dengan 1 Z2, i, j = 1, 2, i j. Subtitusi dari titik kesetimbangan di atas dalam model (II.3), diperoleh persamaan berikut dalam bentuk variabel-variabel V 1 dan V 2. dengan F 1 = dv 1 = a 1V 2 1 + b 1 V 2 2 + c 1 V 1 V 2 + d 1 V 1 + e 1 V 2 + f 1 = 0, F 2 = dv 2 = a 2V 2 2 + b 2 V 2 1 + c 2 V 2 V 1 + d 2 V 2 + e 2 V 1 + f 2 = 0. (II.7) a i = B 2 i σ i γm(a i µ h + µ v γm), b i = A i B i B j σ i µ h γ(1 q), c i = B i σ i µ h [A i B i µ h M + A i B j γ(1 q) + B j µ v µ h M 2 ], d i = µ 3 hb i Mµ v [λ i + M + σ i M(1 R i )], e i = µ 2 hµ v M[R i (µ 2 hm B j σ i γ(1 q)) + B j µ h M], f i = µ 4 hm 2 µ v (1 R i ), M = µ h + γ µ h, λ i = A i µ v, i, j = 1, 2, i j. Misalkan 0 < V 1, V 2 1, maka eksistensi dari E 3 dipenuhi jika dan hanya jika F 1 (V 1, 0) < F 2 (V 1, 0), F 2 (0, V 2 ) < F 1 (0, V 2 ) (II.8) atau F 1 (V 1, 0) > F 2 (V 1, 0), F 2 (0, V 2 ) > F 1 (0, V 2 ) (II.9) 28

dengan F 1 dan F 2 adalah fungsi-fungsi monoton turun yang diperoleh dari persamaan (II.7) dan F 1 (V1, 0) = d 1 + d 2 1 4a 1 f 1, F 2 (V1, 0) = d 2 + d 2 2 4a 2 f 2, 2a 1 2a 2 F 1 (0, V2 ) = e 1 + e 2 1 4b 1 f 1, F 2 (0, V2 ) = e 2 + e 2 2 4b 2 f 2, 2b 1 2b 2 Misalkan dan G 1 F 1 (V 1, 0) F 2 (V 1, 0) G 1 (R 1, R 2 ) G 2 F 2 (0, V 2 ) F 1 (0, V 2 ) G 2 (R 1, R 2 ). Gambar II.4 memberikan ilustrasi fungsi G 1 (R 1, R 2 ) dan G 2 (R 1, R 2 ) terhadap parameter R 1 dan R 2. Daerah A pada Gambar II.4 memenuhi ketaksamaan (II.9), sedangkan Daerah B pada Gambar II.4 memenuhi ketaksamaan (II.8). Dalam hal ini daerah A dan daerah B merupakan daerah eksistensi dari titik endemik E 3 terhadap nilai parameter R 1 dan R 2. Gambar II.4. Daerah A dan B merupakan daerah eksistensi titik E 3 untuk nilai parameter β 1 = 0.5, β2 = 0.36, µ h = 1 70 365, α 1 = 0.61, α 2 = 0.34, q = 0.02, b = 1, σ 1 = 0.6, σ 2 = 0.8. 29

Kriteria kestabilan dari titik endemik E 3 ditentukan dengan menggunakan pelinearan model (II.3) pada titik kesetimbangan E 3. Melalui Teorema Cakram Gerschgorin (Gerschgorin Disk Theorem) (Atkinson, 1989 lihat rincian pada Lampiran A) diperoleh kriteria kestabilan untuk titik kesetimbangan ini sebagai berikut. V i 2λ i (1 V 1 V 2 ) 1 0, + S (1 q)σ i (V i σ i B i (Z j + Z j ) 0, (II.10) V i ) + γ µ h 0, (B 1 + B 2 )S (µ h + B 1 V 1 + B 2 V 2 ) 0, i, j = 1, 2. Ilustrasi kriteria kestabilan titik E 3 untuk nilai-nilai parameter tertentu dapat dilihat pada Gambar II.5. Pada Gambar II.5 ini diperlihatkan salah satu hasil simulasi untuk nilai-nilai parameter tertentu yang memenuhi (II.10). Titik - titik merah dalam lingkaran pada Gambar II.5 merupakan nilai - nilai eigen dari matriks Jacobi model (II.3) di titik E 3. Terlihat bahwa semua bagian real nilai - nilai eigen tersebut negatif. Gambar II.5. Ilustrasi cakram Gerschgorin yang memuat nilai - nilai eigen (titik -titik dalam lingkaran) yang memenuhi kriteria ketaksamaan (II.10) untuk parameter µ v = 1 14, γ = 0.071, β 1 = 0.5, β2 = 0.36, µ h = 1 70 365, α 1 = 0.61, α 2 = 0.34, q = 0.02, b = 1, σ 1 = 0.6, σ 2 = 0.8. 30

Secara umum tidaklah mudah untuk memperoleh solusi eksak dari persamaan (II.7) dalam bentuk eksplisit. Berikut ini ditinjau kasus khusus untuk menyelesaikannya, dalam hal ini diasumsikan bahwa karakteristik transmisi dari kedua serotipe virus adalah identik. Hal ini membawa konsekuensi bahwa A 1 = A 2 = A, B 1 = B 2 = B, σ 1 = σ 2 = σ, R 1 = R 2 = R 0. Akibatnya persamaan (II.7) menjadi av 2 + bv + c = 0 (II.11) dengan a = 2B 2 σ[aµ h (µ h + γ + γ(1 q)) + µ v (µ h + γ)], b = Bµ h [(µ h + γ)(2aµ h + µ v (µ h + γ)(2 + σ)) ABσ(µ h + γ + γ(1 q))], c = µ 2 hµ v (µ h + γ) 2 (1 R 0 ), Persamaan II.11 memiliki solusi positif V jika dan hanya jika R 0 > 1 dengan nilai R 0 = AB. Pada kasus ini titik kesetimbangan E µ v(µ h +γ) 3 menjadi E 3a = (S, I i = I, Z i = Z, Y i = Y, D ) dengan S = µ h µ h + 2BV, I i = I = BV S µ h + γ, Z i = Z = γi σbv + µ h, Yi = Y = (1 q)σbv Z, µ h + γ D 2qY =, i = 1, 2, (1 q) (II.12) dengan V solusi positif dari persamaan II.11. Solusi dari persamaan II.11 bergantung pada nilai basic reproductive number, sebagai konsekuensi dari hal ini, titik 31

kesetimbangan (II.12) juga memiliki kebergantungan pada parameter yang sama. Kestabilan dari titik endemik E 3a dituangkan dalam teorema berikut. Teorema 3 Titik kesetimbangan E 3a model (II.12) stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika 1 < R 0 < B(Bσµ v + 2Aµ 2 h + Λ(2 + σ)) + 1, (II.13) 2µ h Λ dengan Λ = µ h µ v (µ h + γ). Bukti Perhatikan bahwa matriks Jacobi dari model (II.3) pada titik kesetimbangan E 3a diberikan oleh 2 µ h 2 ˇV 0 0 Š 0 0 Š 0 0 0 3 ˇV χ 0 Š 0 0 0 0 0 0 0 γ µh σ ˇV 0 0 0 Ž 0 0 0 0 0 µv Γ 0 0 Γ 0 0 Π 0 0 0 χ 0 Š 0 0 0 D E3a = 0 0 0 Ž γ µ h σ ˇV 0 0 0 0 0 0 0 Γ 0 µv Γ 0 0 0 0 0 (1 q)ž 0 (1 q)σ ˇV 0 χ 0 0 6 4 0 0 (1 q)σ ˇV 0 0 0 (1 q)ž 0 χ 0 7 5 0 0 qσ ˇV qž 0 qσ ˇV qž 0 0 χ dengan Γ = A(I + Y ), = A(1 2V ), ˇV = BV, Ž = σbz, Š = BS, χ = µ h γ. Nilai eigen dari matriks D E3a adalah µ h γ dan akar dari polinom q 1 = s 4 + c 1 s 3 + c 2 s 2 + c 3 s + c 4 dan q 2 = s 5 + k 1 s 4 + k 2 s 3 + k 3 s 2 + k 4 s + k 5, dengan c i,i = (1, 2, 3, 4) dan k j, j = 1, 2, 3, 4, 5 adalah fungsi parameter-parameter seperti yang ditunjukkan pada Tabel (II.1). Dengan menggunakan aturan perubahan tanda Descartes (Descartes rule of sign lihat rincian pada Lampiran A) (Atkinson,1999) yang diterapkan pada nilai koefisien dari polinom - polinom q 1 dan q 2, didapatkan bahwa semua akar polinom tersebut akan memiliki nilai eigen dengan bagian real yang negatif jika dan hanya jika memenuhi 2V 1 < 0 V < 1, 2 dengan V merupakan solusi positif dari persamaan II.11. Kondisi ini dipenuhi oleh 32

V = b + b 2 4ac 2a < 1 2 Perhatikan bahwa a b 4c < 0, 4c < a + 2b, 4µ h Λ(1 R 0 ) < a + 2b, 0 < R 0 1 < a + 2b 4µ h Λ, (R 0 > 1) 1 < R 0 < B(Bσµ v + 2Aµ 2 h + Λ(2 + σ)) + 1, 2µ h Λ Λ = µ h µ v (µ h + γ). dengan a, b, dan c merupakan koefisien-koefisien persamaan II.11. Hal ini membuktikan Teorema 3. Selanjutnya akan dibahas rasio sub populasi D terhadap sub populasi penderita yang terinfeksi primer DBD I dan juga terhadap sub populasi penderita yang mengalami infeksi sekunder Y. Rasio ini menjelaskan fenomena piramida penyakit yang ditemukan pada kasus-kasus DBD seperti yang dijelaskan dalam (Graham dkk, 1999). Dari persamaan (II.12) didapatkan I positif dari persamaan II.11 dan rasio Y D = λ(σbv +µ h ) D 2σγqR 0 V = (1 q) 2q., dengan V adalah solusi Pada Gambar II.6a, diperlihatkan bahwa rasio dari sub populasi D akan turun apabila nilai R 0 naik. Sedangkan pada Gambar II.6b memperlihatkan bahwa jika nilai dari q lebih besar dari 1 maka rasio dari sub populasi penderita infeksi sekunder 3 terhadap sub populasi D akan kurang dari satu. Secara analitik dapat dikatakan bahwa rasio tersebut akan menuju ke nilai tak hingga apabila nilai q menuju ke 0, hal ini berarti bahwa tidak ada penderita yang masuk ke dalam sub populasi D. 33

Gambar II.6. Diagram rasio sub populasi penderita infeksi primer terhadap sub populasi D untuk nilai R 0 yang makin rendah ( II.5 kiri) dan rasio antara sub populasi penderita infeksi sekunder terhadap sub populasi D ( II.5 kanan) dengan nilai-nilai parameter sebagai berikut γ = 0.071, β 1 = 0.35, β 2 = 0.37, α 1 = 0.17, α 2 = 0.15, b = 1, σ 1 = 1.5, σ 2 = 2.5. II.3 Simulasi Numerik Untuk memperlihatkan dinamik dari masing-masing sub populasi penderita DBD, yakni penderita infeksi primer (I), penderita infeksi sekunder (Y ) serta penderita yang ada di rumah sakit (D) dibangun program dengan menggunakan Matlab untuk beberapa nilai parameter yang berbeda. Secara umum untuk berbagai nilai parameter peluang sukses transmisi (A dan B) serta rata-rata gigitan (b), diperoleh perilaku dinamik yang serupa dengan yang ditampilkan pada Gambar II.7 sampai II.10. Dinamik dari ketiga sub populasi ini pada mulanya naik sampai titik maksimum kemudian turun secara eksponensial menuju nilai kesetimbangannya. Gambar II.7 dan II.8 menunjukkan dinamik masing-masing sub populasi terhadap nilai indeks suseptibilitas, σ diantara 0 sampai 5. Bila nilai σ naik, infeksi pertama akan bertambah dalam waktu yang makin cepat. Simulasi ini juga memperlihatkan bahwa jika nilai susceptibility index (σ) naik maka nilai maksimum dari Y, dan D juga akan naik tetapi waktunya lebih lama. Gambar II.9 dan II.10 menunjukkan perubahan dinamik ketiga sub populasi terhadap nilai basic reproduction ratio atau R 0. Sedangkan jika nilai dari R 0 naik maka hal ini akan mempengaruhi dinamik dari I, Y, dan D. Semua simulasi yang 34

ditampilkan menggunakan nilai populasi total N h = 1000, dan skenario nilai awal satu orang terinfeksi primer oleh serotipe virus 1 dan satu orang terinfeksi primer oleh serotipe virus 2. Simulasi memperlihatkan bahwa kenaikan nilai σ dan nilai R 0 mempengaruhi waktu terjadinya nilai maksimum dari simulasi dinamik I, Y dan D. Jika nilai parameter tersebut makin tinggi maka waktu terjadinya nilai maksimum juga makin cepat. Selain itu parameter R 0 lebih sensitif mempengaruhi waktu terjadinya nilai maksimum dinamik I, Y dan D bila dibandingkan dengan perubahan parameter σ. Selain itu waktu terjadinya nilai maksimum dari dinamik I, Y dan D, kedua parameter tersebut juga mempengaruhi perubahan nilai maksimum dinamik I, Y dan D. Dengan menyelidiki pengaruh nilai R 0 terhadap perubahan dinamik dan waktu terjadinya nilai maksimum dari I, Y dan D, dapat dilihat pula pengaruh parameter yang lainnya seperti rata-rata gigitan nyamuk b, peluang sukses transmisi dari manusia ke nyamuk atau sebaliknya A, B, periode infeksi 1 dan parameter-parameter lain γ yang membentuk formulasi R 0. Hal ini dapat dilihat dari perumusan nilai R 0 pada persamaan (III.5. 35

Gambar II.7. Simulasi numerik model (II.3) dengan nilai-nilai parameter γ = 0.071, β 1 = 0.3, β 2 = 0.3, α 1 = 0.1, α 2 = 0.1, b = 1, R 0 = 5.912, σ = 0.8 untuk gambar atas dan σ = 1.8 untuk gambar bawah. 36

Gambar II.8. Simulasi numerik model (II.3) dengan nilai-nilai parameter γ = 0.071, β 1 = 0.3, β 2 = 0.3, α 1 = 0.1, α 2 = 0.1, b = 1, R 0 = 5.912, σ = 2.8 atas dan σ = 4 bawah. 37

Gambar II.9. Simulasi Numerik model (II.3) untuk nilai-nilai parameter γ = 0.071, β 1 = 0.3, β 2 = 0.3, α 1 = 0.1, α 2 = 0.1, b = 1, R 0 = 5.912, gambar atas dan b = 2, R 0 = 23.648, gambar bawah. 38

Gambar II.10. Simulasi Numerik model (II.3) untuk nilai-nilai parameter γ = 0.071, β 1 = 0.3, β 2 = 0.3, α 1 = 0.1, α 2 = 0.1, b = 3, R 0 = 53.21, untuk gambar atas dan b = 4, R 0 = 94.59, untuk gambar bawah. 39