Prevalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang Permasalahan. Alergen adalah zat yang biasanya tidak berbahaya

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronik, kambuhan, dan sangat gatal yang umumnya berkembang saat

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. karena berperan terhadap timbulnya reaksi alergi seperti asma, dermatitis kontak,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

PROFIL PENDERITA ALERGI DENGAN HASIL SKIN PRICK TEST TDR POSITIF DI POLIKLINIK ALERGI-IMUNOLOGI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

Descriptive Study on Skin Prick Test in Allergy Clinic Immanuel Hospital Bandung Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Serangan asma merupakan salah satu penyebab rawat inap pada anak dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

HASIL DAN PEMBAHASAN. 7. Peubah rancangan tempat tidur (TMP_TDR) Tempat tidur (1) (2) Kasur 1 0 Lainnya 0 1 Busa 0 0. Deskripsi Rerponden

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. masih cenderung tinggi, menurut world health organization (WHO) yang bekerja

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan. peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT- KL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Debu merupakan gabungan dari partikel detrimen. yang berasal dari rambut, daki, bulu binatang, sisa

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA. 2. Pradono, Senewe, dkk, Transisi Kesehatan di Indonesia, Jurnal Ekologi Kesehatan Edisi Desember 2005.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan respon imun yang abnormal dari tubuh. Reaksi alergi

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. gambaran dermatitis atopik pada anak usia 0 7 tahun yang terpapar. diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

Penyakit Alergi lain yang Dialami Anak dengan Asma

HUBUNGAN ANTARA ATOPI DENGAN RIWAYAT PENYAKIT ALERGI DALAM KELUARGA DAN MANIFESTASI PENYAKIT ALERGI PADA BALITA

ARTIKEL ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

Faktor Risiko dan Faktor Pencetus yang Mempengaruhi Kejadian Asma pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September sampai dengan. Desember 2013 di beberapa SMP yang ada di Semarang.

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

1. Personil Penelitian 1. Ketua penelitian Nama : dr. Mardiana Hasibuan Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK- USU/RSHAM

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT ALERGI KELUARGA, LAMA SAKIT DAN HASIL TES KULIT DENGAN JENIS DAN BERATNYA RINITIS ALERGI ARTIKEL

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Anonim ISAAC International Data Centre.in Diakses pada 27 Februari 2011.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada masa bayi, balita maupun remaja (Sidhartani, 2007).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari bahasa Yunani (yang berarti terengah-engah) dan pertama kali

Faktor-faktor Risiko Yang Berhubungan dengan Kejadian Asma Pada Anak Usia 1-5 Tahun di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN AIR CONDITIONER TERHADAP TIMBULNYA KEKAMBUHAN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi barier epidermal, infiltrasi agen inflamasi, pruritus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN. Kelamin Rumah Sakit Gotong Royong Surabaya Periode 16 Juni. 2. Pada 6 orang pasien yang memiliki riwayat Rinitis Alergi,

HUBUNGAN KADAR IgE SPESIFIK DENGAN DERAJAT KEPARAHAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

Transkripsi:

Artikel Asli Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak Wistiani, Harsoyo Notoatmojo Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang Latar belakang. Penyakit alergi pada anak diperkirakan meningkat seiring dengan pola kehidupan yang berhubungan dengan pengaruh lingkungan, yaitu paparan alergen. Kadang-kadang paparan alergen tidak diketahui tetapi anak datang dengan manifestasi penyakit alergi. Identifikasi alergen yang memicu munculnya penyakit alergi merupakan hal yang penting dan dapat dijadikan salah satu strategi untuk preventif. Tujuan. Membuktikan hubungan paparan alergen terhadap timbulnya penyakit alergi pada anak. Metode. Penelitian observasional dengan desain belah lintang. Subyek adalah semua pasien anak berumur 2 tahun hingga 1 tahun dengan manifestasi alergi berupa dermatitis atopi, rinitis alergi, konjungtivitis alergi, dan asma. Subjek berasal dari Poliklinik Umum Anak, Paru Anak, Telinga-Hidung-Tenggorok, Kulit- Kelamin, dan Mata RSUP Dr. Kariadi Semarang. Periode penelitian Agustus 2 hingga Januari 21. Orangtua subjek diminta mengisi kuesioner. Dilakukan uji tusuk kulit (skin prick test) untuk konfirmasi alergen berupa aeroalergen dan alergen makanan. Analisis statistik menggunakan chi-square. Hasil. Subyek anak dengan alergi, terdiri dari 3,% rinitis alergi, 25% asma, 3,1% dermatitis atopi, dan 2,3% konjungtivitis alergi. Rasio perempuan : laki-laki = 1,2:1. Uji tusuk kulit positif pada 5,5% kasus. Hasil aeroalergen berupa debu rumah (75,%), mite culture (7,%), human dander (7,%), kecoa (5,%), animal dander (25%), pollen (1%), fungi (5%). Alergen makanan berupa makanan laut (3,%), telur (5%), dan 5% coklat. Terdapat hasil positif beberapa paparan alergen. Didapatkan paparan tanaman dalam rumah sebagai penyebab dermatitis atopi (p=,8). Kasus asma 9,9% menunjukkan hasil uji tusuk kulit positif (p=,1). Kesimpulan. Aeroalergen merupakan alergen yang paling banyak dijumpai pada anak dengan penyakit alergi. Sari Pediatri 211;13(3):185-9. Kata kunci: alergen, penyakit alergi, anak. Alamat korespondensi: Dr. Wistiani, SpA, MSiMed: Sub Bagian Alergi-Imunologi Bagian IKA FK UNDIP/RSUP dr Kariadi Semarang. no telp/fax: 2-8129 Alamat: Jl. dr Sutomo 1 Semarang. Email: wistiani@yahoo.com Prevalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat, diperkirakan lebih dari 2% populasi di seluruh dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh IgE, seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema, dan anafilaksis. Untuk kasus asma, WHO memperkirakan terjadi pada 5%-15% 185

populasi anak di seluruh dunia. 1 Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang telah diteliti pada beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit menunjukkan variasi, misalnya data dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM dari pasien anak yang menderita alergi, sekitar 2,% berupa alergi susu sapi. 2 Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. 3 Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. Kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat jumlah alergen meningkat. Penelitian mengenai alergi pada anak di RSUP Dr. Kariadi masih sangat terbatas. Data dari catatan medik pasien rawat jalan poliklinik Alergi THT RSUP Dr. Kariadi dari Juli 199-Juni 1999 menunjukkan jumlah kasus rata-rata 313 kasus per tahun dari 2.3 kasus THT, meliputi kasus anak hingga dewasa. Data dermatitis atopik pada tahun 199-2 menunjukkan angka tertinggi pada usia kurang dari 5 tahun (2,%), dan pada kelompok umur 5-1 tahun 37,%. 5 Salah satu alat diagnostik alergi adalah dengan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap alergen dengan membuktikan reaksi wheal dan flare, suatu reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE yang spesifik terhadap alergen yang diuji. Hasil tes harus dihubungkan dengan riwayat klinis pasien. Metode Studi observasional analitik dengan desain belah lintang pada pasien anak yang menderita penyakit alergi di Poliklinik Rawat Jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penyakit alergi tersebut berupa asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan konjungtivitis alergi, masing-masing diagnosis ditegakkan berdasarkan pada kriteria diagnosis sesuai dengan tiap Sub-divisi. Subjek terdiri dari populasi anak umur 2 tahun sampai dengan 1 tahun, berasal dari Poliklinik Umum Anak, Poliklinik Paru Anak, Poliklinik Kulit dan Kelamin, Poliklinik Telinga-Hidung- Tenggorok, dan Poliklinik Mata. Orangtua subjek penelitian diberikan kuesioner yang meliputi keluhan, pajanan, dan riwayat keluarga, serta dilakukan uji tusuk kulit. Analisis data dilakukan menggunakan chi-square untuk mengetahui tingkat hubungan tiap variabel. Hasil Subjek pasien, terdiri dari 28 kasus rinitis alergi (3,%), asma bronkial 11 kasus (25,%), dermatitis atopik 18 kasus (,9%), dan konjungtivitis alergi 1 kasus (2,3%). Dari kasus alergi di dapat 2 kasus pada anak perempuan (5,5%) dan 2 anak laki-laki (5,5%). Tidak didapatkan perbedaan bermakna dari distribusi jenis kelamin. Karakteristik klinis pasien berdasarkan pada kelompok umur dan manifestasi kllinis tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik klinis Jenis penyakit alergi Rinitis alergi Asma Dermatitis atopi Konjungtivitis alergi Umur (tahun) 2-5 -1 > 1 1 12 7 1 1 7 Jumlah Kasus 1 1 12 1 8 2 D. Atopik R. Alergi Asma Konjugtivitis Alergi Laki-laki Perempuan Gambar 1. Distribusi manifestasi klinis berdasarkan jenis kelamin 18

Distribusi manifestasi klinis berdasarkan jenis kelamin tertera pada Gambar 1. Satu kasus konjungtivitis alergi adalah anak laki-laki. Keluhan dan manifestasi klinis tertera pada Tabel 2. Seorang anak dapat menderita lebih dari satu keluhan dan lebih dari satu manifestasi klinis. Berdasarkan anggota keluarga yang mempunyai riwayat alergi didapatkan riwayat anggota keluarga dengan alergi 13 subjek (29,5%) dan tidak didapatkan riwayat alergi pada keluarga 31 subjek (7,5%). Dari 13 subjek dengan riwayat anggota keluarga dengan alergi tersebut, 3 subjek (,8%) berasal dari pihak ayah, dan 1 subjek (22,7%) berasal dari pihak ibu. Hasil uji tusuk kulit Dari subjek yang dilakukan uji tusuk kulit, terdapat 2 kasus dengan uji tusuk kulit positif, sisanya 2 kasus dengan hasil uji negatif. Dua puluh kasus dengan uji yang positif, persentase terbanyak berturut-turut adalah 15 kasus terhadap debu rumah (75,%), 1 kasus terhadap tungau (mite culture) (7,%), 1 kasus terhadap human dander (7,%), 13 kasus terhadap kecoa (5,%), kasus terhadap makanan laut (3,%), masing-masing 1 kasus (5,%) positif terhadap telur dan coklat, animal dander 5 kasus (25,%), pollen 2 kasus (1%) dan mixed fungi 1 kasus (5%). Seorang pasien dapat bereaksi positif terhadap Tabel 2. Distribusi keluhan Keluhan Rinitis alergi (%) (n=28) Bersin-bersin Ingus encer Hidung tersumbat Napas berbunyi Sesak Batuk Gatal-gatal pada tubuh Urtikaria Pitiriasis alba 2,5 29,5 11, Asma (%) (n=11) 22,7 22,7 2,3 Dermatitis atopik (%) (n=15) 9,1 2,5, Tabel 3. Pajanan dan manifestasi klinis Pajanan Tanaman dalam rumah Binatang peliharaan di rumah Karpet Rinitis alergi Asma Dermatitis atopik % p % p % p,3 83,3 53,8 1,,38,5 1,3-23,1,29,31 1,,3 33,1 53,8,8 1,,18 8 7 5 3 2 1 TELUR MAKANAN LAUT COKLAT KECOA MAIZE POLLEN MIXED FUNGI TUNGAU CAT DANDER DOG DANDER HUMAN DANDER ALERGEN DEBU RUMAH ASMA RINITIS ALERGI DERMATITIS ALERGI Gambar 2. Distribusi hasil uji tusuk kulit pada berbagai manifestasi klinis alergi 187

lebih dari satu jenis alergen. Di antara 28 kasus rinitis alergi, terdapat 11 kasus dengan hasil uji tusuk kulit positif (55,%), x 2 = 1,18 dan nilai p =,35. Pada 11 kasus asma, 1 kasus menunjukkan hasil uji tusuk kulit positif (5,%), x 2 = 12,22, dan nilai p =,1. Pembahasan Insidens anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki dengan perbandingan 1,2 : 1. Insidens anak perempuan yang lebih tinggi daripada anak laki-laki tampak pada kasus asma dan rinitis alergi, sedangkan pada kasus dermatitis sebaliknya. Sibbald 7 menulis bahwa prevalensi asma pada anak atopik, lebih banyak pada anak laki-laki sementara itu pada dewasa biasanya non-atopik dan rasio antara perempuan dan laki-laki hampir sama atau perempuan lebih banyak dibanding pada laki-laki. 7 Kasus alergi saluran pernapasan, anatomi saluran napas turut berperan dalam patogenesis dan prevalensi. Von Matius 8 dalam teorinya menyebutkan bahwa anak laki-laki memiliki saluran napas yang lebih kecil dibandingkan ukuran paru. Proporsi anak perempuan yang lebih banyak untuk asma sesuai dengan hasil penelitian oleh Zainuddin 9 pada populasi alergi di poliklinik THT RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang. Berbeda dengan penelitian Machmud DP dkk 1 di Bandung yang melakukan uji tusuk kulit pada anak SD kelas I-VI dengan rinitis alergi mendapatkan anak lakilaki dua kali lebih banyak dibanding anak perempuan. Berdasarkan survei Kesehatan Mata Nasional tahun 1993 penyakit alergi mata belum termasuk dalam 1 penyakit mata utama, maka data mengenai insidens sulit didapatkan. 11 Kami mendapatkan 1 kasus (2,3%) konjungtivitis alergi dengan klinis tidak khas, karena dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk klinis, dan dipicu oleh penyebab yang berbeda. Rinitis alergi merupakan penyakit kronis yang banyak dijumpai pada usia sekolah, 15% anak usia -7 tahun dan % anak 13-1 tahun. 12 Ditinjau dari manifestasi klinis berdasarkan kelompok umur, insidens tertinggi rinitis alergi terdapat pada kelompok umur -1 tahun. Sesuai teori allergic march, bahwa terdapat pola hubungan berkesinambungan antara proses sensitisasi alergen dengan perkembangan dan perjalanan alamiah penyakit alergi, atau dihubungkan dengan paparan lingkungan. Untuk kasus dermatitis atopi insidens yang sama terdapat pada kelompok umur -1 tahun dan kelompok umur >1 tahun yang lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 2-5 tahun. Data tersebut berbeda dengan data tentang dermatitis alergi pada anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 199-2 menunjukkan angka kejadian tertinggi pada usia <5 tahun 2,%, sedangkan pada kelompok umur 5-1 tahun 37,%. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh populasi subjek yang kurang, serta kriteria inklusi yang dibatasi untuk umur 2-1 tahun sehingga populasi kelompok <5 tahun yang diteliti menjadi terbatas. Untuk kasus asma, insidens tertinggi tampak pada kelompok umur >1 tahun, bila ditinjau dari kecenderungannya tampak peningkatan prevalensi pada kelompok umur yang makin besar. Pada kelompok umur yang lebih tua paparan terhadap alergen lingkungan makin meningkat dihubungkan dengan aktivitas luar rumah. Studi Huss dkk 13 mengukur pajanan alergen dalam rumah dengan risiko asma menyimpulkan bahwa tungau debu rumah (house dust mite) dan kecoa merupakan alergen yang bermakna untuk asma. Terdapat hubungan antara respons terhadap kuantitas (dosis) pajanan dengan kecenderungan hasil uji tusuk kulit yang positif terhadap alergen tersebut. Jadi indoor allergen yaitu tungau debu rumah dan kecoa sebagai faktor risiko asma, didukung oleh hasil penelitian kami pada uji tusuk kulit. Pada 11 kasus asma, tidak didapat kasus yang pada anamnesis memiliki binatang peliharaan, namun dari hasil uji tusuk kulit didapatkan hasil positif terhadap pajanan animal dander. Penelitian oleh Almqvist dkk 1 pada anak sekolah mendapatkan hasil bahwa terdapat pajanan bulu kucing yang cukup tinggi di sekolah. Diduga bahwa alergen tersebar melalui udara yang berasal dari pakaian murid yang di rumahnya memelihara kucing dan mencemari pakaian anak lain yang tidak memelihara kucing. Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, human dander dan mite culture, serta kecoa. Alergen lain adalah dog dander dan alergen makanan berupa coklat dan makanan laut. Indoor allergen banyak ditemui di sekeliling kita misalnya tungau debu rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal). Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif) atau lama pajanan. 15 Studi oleh Phipatanakul dkk 1 yang melakukan pengukuran sampel debu rumah mendapat hasil bahwa alergen tikus dan kecoa pada debu rumah 188

merupakan alergen yang banyak ditemui. Pada penelitian kami ekstrak alergen tikus tidak diujikan karena tidak terdapat dalam paket uji tusuk kulit, jadi masih ada kemungkinan uji tusuk kulit yang positif tersebut berhubungan dengan alergen tikus. Kemungkinan tersebut harus dipertimbangkan karena lingkungan pada daerah tropis negara sedang berkembang menunjukkan higiene sanitasi yang masih kurang. Di samping aeroallergen terdapat alergen makanan pada kasus asma. Studi oleh Oehling 17 melaporkan bahwa 8,5% dari 28 anak asma disebabkan oleh alergen makanan dan terbanyak sensitisasi terjadi pada tahun pertama kehidupan, dan telur diidentifikasi sebagai alergennya. Alergi makanan dibuktikan menjadi pemicu obstruksi bronkus pada 2%-8,5% anak dengan asma. Peran makanan dalam mencetuskan serangan asma belum diketahui dengan pasti, namun kewaspadaan diperlukan untuk tata laksana kasus. Pada kasus rinitis alergi, alergen positif adalah debu rumah, mite culture; human dander, kecoa dan alergen makanan laut. Kepustakaan menyebutkan bahwa prevalens tungau debu rumah berbeda pada tiap negara tergantung pada suhu dan tingkat kelembaban. Indoor allergen yang telah disebutkan berperan penting pada alergi respirasi, berhubungan erat dengan pola hidup. Rumah yang dihiasi karpet, tanaman dalam rumah, selimut berbulu, merupakan media bagi tungau debu rumah, dan binatang peliharaan dalam rumah. Protein lipocalin merupakan alergen pada sekresi binatang seperti air liur, sebum, atau urin yang kemudian mengkontaminasi bulu, serpihan kulit, hingga menyebar disekeliling rumah. Alergen dari kecoa berupa sekresi digestif kecoa (Bla g 1). 18 Dikenal konsep hubungan antara asma dan rinitis alergi, dikenal sebagai united airway disease. Hubungan keduanya ditinjau dari pengamatan klinik, epidemiologi, hasil pengobatan dan anatomis. Keduanya memiliki faktor pencetus yang serupa, meski alergen pollen lebih banyak dijumpai pada rinitis alergi sementara faktor pencetus non-spesifik seperti udara kering, cuaca dingin banyak dijumpai pada asma. Pada penelitian kami didapatkan 3 anak dengan manifestasi asma disertai rinitis alergi, hasil aeroallergen berupa tungau debu rumah, kecoa, makanan berupa coklat, ikan laut. Enam puluh hingga 8% anak dengan asma alergi terhadap 1 atau lebih aeroallergen yang dibuktikan dengan uji tusuk kulit. Laporan sub-bagian Alergi-Imunologi IKA RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan aeroalergen terbanyak adalah tungau debu rumah (5%), debu rumah (37%), serpihan binatang peliharaan kucing, anjing, ayam dan burung (2%), dan jamur (1%). Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian kami dengan tambahan human dander. Untuk kasus dermatitis atopi, alergen yang teridentifikasi berupa debu rumah dan human dander, kecoa, mite culture, alergen dog dander, makanan laut, telur, maize pollen, mixed fungi, dan cat dander. Alergen hirup merupakan alergen yang turut berperan dalam dermatitis alergi. Tindak lanjut evaluasi perlu dilaksanakan mengingat kasus dengan dermatitis alergi dalam perjalanan selanjutnya dapat berkembang menjadi sensitivitas saluran pernapasan berupa rinitis alergi alergi atau asma. Tungau debu rumah banyak dijumpai di karpet, tempat tidur terutama dari kapuk. Dalam hubungannya dengan pajanan tanaman di dalam rumah yang signifikan untuk kasus dermatitis alergi, kemungkinan bahwa disamping terdapat dalam karpet atau tempat tidur, aerolergen seperti debu rumah, human dander, atau tungau juga diketemukan pada tanaman yang terdapat dalam rumah dan sekitarnya. Alergen tersebut tertahan dalam tanaman yang ada di dalam rumah. Studi oleh Scalabrin dkk 19 menunjukkan hubungan antara sensitisasi tungau debu rumah dan jamur dengan dermatitis alergi derajat sedang hingga berat. Beberapa studi membuktikan bahwa kontak dengan aeroalergen berperan dalam eksaserbasi dermatitis atopi yang ditunjukkan dengan IgE dan IgG terhadap tungau debu rumah satu faktor pencetus masih merupakan perdebatan hingga kini. Senstitivitas terhadap alergen makanan yaitu makanan laut dan telur. Sebuah studi prospektif mengenai prevalensi hipersensitivitas terhadap makanan dengan mediator IgE pada dermatitis atopi menunjukkan sekurang-kurangnya sepertiga anak dengan dermatitis atopi derajat hingga berat mempunyai hipersensitivitas terhadap protein makanan. Prevalensi alergi makanan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan populasi pada umumnya sehingga pemantauan terhadap alergen makanan harus dipertimbangkan pada anak dengan dermatitis atopi. Kesimpulan Aeroalergen merupakan alergen terbanyak yang ditemui pada anak dengan penyakit alergi, yaitu tungau debu rumah, kecoa, atau pajanan tanaman yang terdapat di dalam rumah. Sebagian besar kasus mempunyai 189

lebih dari satu sensitivitas terhadap alergen yang terdeteksi melalui uji tusuk kulit. Identifikasi alergen perlu dilakukan sebagai salah satu usaha pencegahan munculnya penyakit alergi. Disarankan membersihkan lingkungan dengan tujuan untuk mengurangi pajanan aeroalergen perlu diperhatikan pada anak yang rentan terhadap alergi. Daftar pustaka 1. World Health Organization. Prevention of allergy and allergic asthma. Geneva: World Health Organization; 23. 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Alergi susu sapi. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 25. 3. Baratawidjaja KG, Rengganis I, penyunting. Gambaran umum penyakit alergi. Dalam : Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 29.. Sarumpaet RD. Perbandingan efektivitas antara loratadine dan chlorpheniramine maleat terhadap kualitas hidup penderita rinitis alergi perennial. Laporan penelitian. Semarang, FK Undip, 21. 5. Kabulrachman. Penyakit kulit alergik: beberapa masalah dan usaha penanggulangan. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Madya Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Semarang, 1 Juni 21.. Baratawidjaja KG, Rengganis I, penyunting. Diagnosis, penanganan dan pencegahan penyakit alergi. Dalam: Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing, 29.h.7-3. 7. Sibbald B. Familial inheritance of asthma and allergy. Dalam: Allergy and Allergic Diseases. Kay AB, penyunting. Malden: Blacwell Science; 1997.h.1177-8. 8. vonmatius E. Asthma and wheezing bronchitis. Dalam: Annales Nestle, penyunting. Atopy in childhood. Switzerland: Nestlec Ltd.1999;57:39-. 9. Zainuddin H. Permasalahan sekitar rinitis alergika. Naskah Lengkap KONAS XII PERHATI; Semarang; 28-3 Oktober 1999. 1. Machmud DP, Madiapoera T, Sumarman I. Insidensi relative penderita rinitis alergika di dua SD daerah kumuh Kodya Bandung. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI. Bukittingi; 1993.h.823-3. 11. Winarto. Penanganan konjungtivitis alergika. Dalam: Naskah Lengkap PIT PERDAMI cabang DI Yogyakarta; Yogyakarta; 27 Oktober 21. 12. Strachan D, Sibbald B, Weiland S. Worldwide variations in prevalence of symptoms of allergic rhinoconjunctivitis in children: the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Pediatr Allergy Immunol 1997;8:11-7. 13. Huss RNK, Adkinson Jr NF, Eggleston PA. House dust mite and cockroach exposure are strong risk factors for positive skin test responses in the CAMP. J Allergy Clin Immunol 21;17:8-5. 1. Almqvist C, Larsson PH, Egmar AC. School as a risk environment for children allergic to cats and a site for transfer of ca allergento homes. J Allergy Clin Immunol 1999;13:112-7. 15. Arshad SH. Does Exposure to indoor allergens contribute to the development of asthma and allergy?. Curr Allergy Astma Rep 21;1:9-55. 1. Phipatanakul W, Eggleston PA, Wright EC, Wood RS. The prevalence of mouse allergen in inner-city homes. J Allergy Clin Immunol 2;1:17-17. Baena-Cagnani CE, Teijiro A. Role of food allergy in asthma in childhood. Curr Opin Allergy Clin Immunol 21;1:15-9. 18. Eggleston PA, Bush RK. Environmental allergen avoidance: an overview. J Allergy Clin Immunol 21;17:3-5. 19. Scalabrin DMR, Bavbek S, Perzanowski MS, Wilson BB, Platts-Mills TAE, Wheatley LM. Use of specific IgE in assessing the relevance of fungal and dust mite allergens to atopic dermatitis: a comparison with asthmatic and non-asthmatic control subjects. J Allergy Clin Immunol 1999;1:1273-9. 19