Mayoritas masyarakat menolak kenaikan BBM, termasuk mayoritas para pemilih partai yang mendukung kebijakan kenaikan BBM. Pemerintah dan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengklaim bahwa kebijakan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) alias menaikkan harga BBM adalah demi rakyat. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Hasil survei yang dirilis Lembaga Survei Nasional (LSN) menyatakan, sebanyak 86,1 persen responden menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Sementara itu, hanya 12,4 persen yang mengaku setuju dengan kebijakan pemerintah itu, dan sisanya sebayak 1,5 responden menyatakan tidak tahu. "Mayoritas mutlak dari masyarakat berpendidikan dan berpenghasilan rendah menolak kenaikan harga BBM. Mereka khawatir kenaikan itu mempersulit ekonomi rumah tangga mereka," ujar Peneliti LSN Gema Nusantara di Jakarta, Ahad (2/6/13) dua pekan sebelum pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Menurutnya, yang menyetujui kenaikan BBM berasal dari responden berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Penolakan masyarakat didasarkan pada tiga alasan. Pertama, kenaikan BBM dinilai semakin memberatkan ekonomi masyarakat sebab harga kebutuhan pokok otomatis akan naik. Kedua, masyarakat menilai kenaikan harga BBM tidak akan menolong kesehatan fiskal seperti yang direncanakan pemerintah. "Bebeberapa kali kenaikan harga BBM di masa lalu terbukti tidak efektif menyelamatkan APBN," katanya. 1 / 5
Ketiga, publik menilai adanya motif politik praktis. Kebijakan kenaikan harga BBM dinilai hanya menjadi pintu masuk peluncuran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang sarat dengan muatan politik praktis menjelang Pemilu 2014 dan upaya mendongkrak elektabilitas partai pemerintah. Itu adalah survei sebelum BBM naik. Ada survei terbaru setelah kebijakan pemerintah diketok palu oleh DPR. Ternyata, konstituen partai politik yang mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, justru tidak mendukung kebijakan partai yang pernah mereka dukung tersebut. Survei yang dilaksanakan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang efek elektoral politik pemerintah terhadap kebijakan kenaikan harga BBM mendapati bahwa sebanyak 77,56 persen pemilih Demokrat menolak kenaikan BBM. Sementara 80,81 persen pemilih Golkar juga menolak kenaikan harga BBM. LSI juga menyebut, pemilih PPP yang menolak kenaikan harga BBM ada 82,06 persen. Pemilih PKB ada 85,65 persen. Demikian juga dengan pemilih PAN ada sebanyak 66,21 persen, dan pemilih PKS 82,56 persen. Dalam survei yang melibatkan 1.200 responden, dan dilakukan pada 18 hingga 20 Juni 2013 dengan margin of error 2,9 persen tersebut, menunjukkan tidak ada konstituen parpol anggota koalisi yang mendukung kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang mencapai 34 persen sekali pun. Muncul pertanyaan, kalau demikian partai politik ini mewakili siapa? Apakah pemerintah tidak tahu fakta di lapangan atau memang sengaja menyengsarakan rakyat? Membantah Dalih Pemerintah boleh saja berdalih, kenaikan harga BBM akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. 2 / 5
Dalih ini, sudah terbantahkan. Soalnya, pemerintah sendiri yang ngomong bahwa ada empat juta rakyat miskin baru yang lahir sebagai dampak kenaikan harga BBM. Di mana letak menyejahterakan rakyat? Bagaimana menyejahterakan rakyat jika BLSM hanya diberikan empat bulan. Itu pun jumlahnya tidak sesuai dengan harga kebutuhan yang sudah melonjak. Pemerintah pun berdalih, pencabutan subsidi akan memunculkan energi alternatif di luar migas. Dalih ini tidak pernah terbukti, meski sudah berkali-kali harga BBM naik. Selama ini pemerintah tak memiliki kebijakan energi yang benar, terlebih lagi terobosan untuk menciptakan energi terbarukan. Semua sekadar jargon tanpa makna. Termasuk pula, dalih subsidi BBM akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar dan membantu beasiswa pendidikan. Pernyataan pemerintah ini seolah-olah menyatakan bahwa selama ini pembangunan infrastruktur dasar tidak terwujud karena dananya digunakan menyubsidi BBM. Ini jelas propaganda yang ngawur. Sebab, pembangunan infrastruktur memang sudah menjadi tugas negara dan ada alokasinya sendiri. Demikian pula pendidikan dan kesehatan. Subsidi dikambinghitamkan. Dan secara mendasar, pemerintah sebenarnya tidak pernah menyubsidi harga BBM. Para pakar menilai, justru pemerintah mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga BBM di pasar internasional. Justru rakyatlah yang menyubsidi pemerintah, membayar gaji mereka, termasuk memberikan fasilitas kehidupan yang mewah kepada mereka, jalan-jalan ke luar negeri, tunjangan kepada anak dan istri, tunjangan pakaian, tunjangan makan, sampai tunjangan listrik dan pulsa telepon. Demi Asing Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman menyatakan, pemerintah mencari dalih untuk menutupi kebohongannya. Sebenarnya, katanya, semua ini adalah pesanan asing. Ia kemudian mengungkap beberapa dokumen yang memperkuat pernyataannya. 3 / 5
Liberalisasi migas itu sepenuhnya adalah perintah asing yang dipaksakan oleh IMF melalui Lett er of Intent (LoI). Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional. Liberalisasi migas menjadi syarat (perintah) pemberian utang oleh Bank Dunia. Dokumen Indon esia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) menyebutkan, Utang-utang untuk reformasi kebijakan merekomendasikan (baca memerintahkan) sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik, belanja subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya. Untuk memastikan liberalisasi itu, mereka mengawalnya sejak penyusunan rumusan UU. Dokumen program USAID, TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013, menyebutkan: tujuan strategis ini akan menguatkan pengaturan sektor energi untuk membantu membuat sektor energi lebih efisien dan transparan. Dengan jalan meminimalkan peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, mempromosikan keterlibatan sektor swasta. Pada Tahun 2001 USAID berencana menyediakan US $ 850 ribu (Rp 8,5 milyar) untuk mendukung sejumlah LSM dan universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal. [] emje BOKS Inilah Dalih yang Sebenarnya 4 / 5
Setelah kapitalis global menguasai hulu migas (lebih dari 80 persen), mereka pun ingin bermain di sektor hilir. Ke arah sanalah liberalisasi migas itu diarahkan. Supaya perusahaan-perusahaan asing itu bisa meraup untung berlipat ganda. Lihat saja pernyataan nyata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro saa itu. Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk. (Kompas, 14 Mei 2003). Pernyataan Purnomo ini sangat gamblang dan tidak ada makna lain. Tak lama setelah itu, Dirjen Migas Kementerian ESDM, Iin Arifin Takhyan mengatakan, ada 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka SPBU (Trust, 11/ 2004). Di antaranya, perusahaan British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika), Total (Italia), dsb. Walhasil, pemerintah didorong untuk menghapuskan subsidi BBM sama sekali demi menyempurnakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU migas. Begitu liberalisasi ini berhasil, perusahaan asing akan bermain di semua sektor dan mengeruk keuntungan besar. Mereka tak perlu susah-susah mengirimkan migas yang mereka ambil dari tanah Indonesia. Tinggal dijual di Indonesia. Untungnya mereka bawa ke negeri mereka. Inilah penjajahan gaya baru! 5 / 5