BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA SERTA DAYA BELI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH DI DKI JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERENCANAAN BIAYA SEWA DAN BIAYA OPERASIONAL RUSUN SEDERHANA UNLAM. Retna Hapsari Kartadipura. Abstrak

Gambar 5.2 Skema Pembiayaan Rumah Susun Studi dengan Menggunakan Pola Swasta

BAB 4 BIAYA PRODUKSI, OPERASIONAL, SERTA PEMELIHARAAN DALAM PERHITUNGAN HARGA SEWA DAN SEWA-BELI RUMAH SUSUN SEDERHANA

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Daya Mandiri merencanakan investasi pendirian SPBU di KIIC Karawang.

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT NOMOR : 18 /PERMEN/M/2007

ANALISIS INVESTASI BUDI SULISTYO

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

METODE ACCOUNTING RATE OF RETURN (ARR)

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISA PILIHAN INVESTASI ANTARA APARTEMEN DAN LANDED HOUSE UNTUK KAWASAN MILIK PT. X DI SIDOARJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. AsiA Day Madiun-Malang, penelitian menggunakan metode-metode penilaian

Bab 7 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 2)

Aspek Ekonomi dan Keuangan. Pertemuan 11

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bab 5 Penganggaran Modal

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

VII. RENCANA KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

12/23/2016. Studi Kelayakan Bisnis/ RZ / UNIRA

ANALISIS KEPUTUSAN INVESTASI (CAPITAL BUDGETING) Disampaikan Oleh Ervita safitri, S.E., M.Si

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Obyek penelitian berupa proyek pembangunan apartemen Grand Taman

IV METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS ASPEK KEUANGAN DALAM MANAJEMEN PROYEK *)

III. METODOLOGI PENELITIAN

VIII. ANALISIS FINANSIAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB VI ASPEK KEUANGAN. melakukan penghitungan net present value serta payback period. Proyeksi keuangan ini dibuat. Tabel 6.

PENENTUAN HARGA SEWA RUMAH SUSUN BERDASARKAN ANALISA WTP (WILLINGNESS TO PAY) DI KECAMATAN SIDOARJO

Kata kunci: gedung perkantoran, analisa teknis dan finansial, Kabupaten Kapuas

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB V PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran... 75

MANAJEMEN KEUANGAN LANJUTAN ANDRI HELMI M, S.E., M.M

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STUDI KELAYAKAN INVESTASI PERUMAHAN GREEN SEMANGGI MANGROVE SURABAYA DITINJAU DARI ASPEK FINANSIAL

Penganggaran Modal 1 BAB 10 PENGANGGARAN MODAL

VIII. ANALISIS FINANSIAL

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

Bab 6 Teknik Penganggaran Modal (Bagian 1)

BAB 3 GAMBARAN UMUM RUMAH SUSUN STUDI

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan

Analisa Luasan Area Parkir

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. penelitian ini, maka penulis dapat menarik simpulan sebagai berikut:

dimana jangka waktu kembalinya dana tersebut melebihi waktu satu tahun. Batas waktu satu

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jadwal Pembangunan dan Pemasaran Proyek

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMBANGUNAN PERUMAHAN TANTANGAN, VISI, DAN ARAHAN PROGRAM

PENGANGGARAN MODAL. Rona Tumiur Mauli Caroline Simorangkir, SE.,MM. Modul ke: Fakultas EKONOMI & BISNIS. Program Studi AKUNTANSI

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI

PENGANGGARAN MODAL (CAPITAL BUDGETING)

ASPEK KEUANGAN. Disiapkan oleh: Bambang Sutrisno, S.E., M.S.M.

ABSTRAK. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return. Universitas Kristen Maranatha

III KERANGKA PEMIKIRAN

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

BAB 2 LANDASAN TEORI. Tugas Akhir Analisis Kelayakan Investasi nilai Jual Minimum Perumahan Bale Maganda Kahuripan BAB II LANDASAN TEORI

Evaluasi Kelayakan Investasi The Safin Hotel di Kabupaten Pati, Jawa Tengah

II. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA KELAYAKAN FINANSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN PERUMAHAN REGENCY TIPE CLUSTER DI BIAK, PAPUA TUGAS AKHIR

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

Analisis Kelayakan Proyek. Muhammad Taqiyyuddin Alawiy, ST., MT Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Investasi. Febriyanto, SE, MM. LOGO

BAB I PENDAHULUAN. Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. PT Trikarya Idea Sakti selaku Developer telah

BAB I PENDAHULUAN. mengenai penyesuaian tarif sewa Rusunawa Tambak. Berdasarkan latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Aspek Keuangan. Dosen: ROSWATY,SE.M.Si

BAB V KEPUTUSAN INVESTASI

9 Universitas Indonesia

Pendahuluan. Prosedur Capital Budgeting atau Rencana Investasi

ANALISA KEBUTUHAN RUMAH SUSUN UNTUK DOSEN DAN PEGAWAI DI ITS SURABAYA

III KERANGKA PEMIKIRAN

MODEL STUDI KELAYAKAN INVESTASI PROYEK PERUMAHAN SEDERHANA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Penetepan Harga Sewa Ruang Rusunawa Sumur Welut Surabaya Dengan Metode Permenpera No.18 Tahun 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. perkantoran di Jakarta. PT XYZ saat ini dimiliki oleh PT BCD sebesar 72,25%

Materi 7 Metode Penilaian Investasi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penganggaran Modal. Gambaran Umum Penganggaran Modal, Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return. Nurahasan Wiradjegha, S.E.,M.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat

RANGKUMAN BAB 23 EVALUASI EKONOMI DARI PENGELUARAN MODAL (Akuntansi Biaya edisi 13 Buku 2, Karangan Carter dan Usry)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 ANALISA KEUANGAN

Oleh : Ani Hidayati. Penggunaan Informasi Akuntansi Diferensial Dalam Pengambilan Keputusan Investasi

III. KERANGKA PEMIKIRAN

IX. INVESTASI DAN EVALUASI EKONOMI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Investasi dan Proyek 2.2 Pengertian Bisnis 2.3 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis

Transkripsi:

21 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Rumah Susun. Istilah Rumah susun berasal dari terjemahan kata flat dalam bahasa Inggris yang berarti rumah tinggal yang bertingkat dan beratap datar atau loteng sebagai tempat tinggal atau kediaman tersendiri (Andasmita, 1986 : 7 dalam Arifin 2004). Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, definisi rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pengertian rumah susun secara teoritis dapat disamakan dengan condominium yaitu suatu pemilikan bersama atas gedung-gedung yang bersifat multiple-occupant yang masing-masing penghuninya memiliki titel yang menimbulkan pengakuan akan hak yang terpisah dari para penghuni lainnya. Dengan demikian masing-masing penghuni diakui mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri atas ruang yang ditempatinya, yang harus dihormati oleh orang-orang dan pihak-pihak lain. Akan tetapi apabila dikaji lebih jauh, istilah rumah susun selalu digambarkan sebagai rumah bagi masyarakat menengah ke bawah atau berpenghasilan rendah sedangkan istilah condominium ditujukan bagi rumah susun bagi masyarakat kelas menengah ke atas (Rahardjo, 1998). Luas unit condominium umumnya beragam, tidak seperti rumah susun yang seragam, guna memberikan pilihan bagi pembeli. Di condominium orang bisa membeli unit yang memiliki dua kamar, tiga kamar atau lebih. Di samping rumah susun dan condominium, jenis perumahan bertingkat lainnya adalah apartemen yang dirumuskan sebagai satu bagian dari gedung meliputi wewenang untuk mempergunakan sendiri bagian-bagian tertentu gedung tersebut dan menurut susunannya disediakan untuk dipakai sebagai keseluruhan yang tersendiri (Rahardjo, 1998). Suatu apartemen tercipta oleh karena adanya pemisahan yang dilakukan oleh pemilik dengan akte notaris dan pendaftaran dalam daftar hipotik setelah itu tiap apartemen dianggap sebagai barang tidak bergerak yang tersendiri. Pemisahan dalam apartemen dapat dibatalkan dengan cara yang sama sesudah itu dapat diminta pemisahan dan pembagian dari persekutuan harta benda itu. Condominium sebagaimana

22 pada rumah susun dimiliki oleh banyak orang yang membeli per unit, sedangkan apartemen dimiliki oleh orang atau lembaga yang kemudian menyewakannya. Dalam UU No. 16 Tahun 1985 pasal 3 ayat 1 dijelaskan bahwa tujuan pembangunan rumah susun adalah antara lain adalah: a) Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya. b) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah didaerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang. Secara lebih rinci dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999 Tentang Kebijakan dan Strategi Pembangunan Rumah Susun Sederhana tujuan pembangunan rumah susun dapat ditinjau secara umum maupun khusus sebagai berikut: a) tujuan secara umum antara lain meliputi: 1) Memenuhi kebutuhan penduduk akan tempat tinggal, 2) Mewujudkan rumah yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, 3) Memperkenalkan masyarakat akan kebiasaan hidup di rumah susun, 4) Mengurangi dampak lingkungan akibat pembangunan permukiman kota yang ekspansif. b) tujuan secara khusus antara lain meliputi: 1) Menyediakan tempat tinggal dalam bentuk rumah susun dan dekat dengan lingkungan tempat kerja, terutama di kota metropolitan dan kota besar, bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah 2) Melaksanakan pembangunan permukiman yang berkelanjutan dan efisiensi lahan, 3) Terciptanya lingkungan permukiman yang dapat menopang tumbuh dan berkembangnya kehidupan ekososbud keluarga, 4) Mendorong Pemerintah daerah untuk mulai menyelenggarakan pembangunan permukiman secara vertikal melalui pembangunan rumah susun sederhana dan rumah susun sewa sederhana,

23 5) Mendorong partisipasi masyarakat dan pihak swasta dalam penyediaan rumah susun sederhana dan rumah susun sewa sederhana. Adapun sasaran calon penghuni rumah susun menurut Pola Induk Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta adalah kelompok masyarakat dengan kriteria sebagai berikut: 1) Masyarakat yang terkena langsung proyek peremajaan dan pembangunan 2) Masyarakat sekitar yang berada dalam lingkup kumuh yang segera akan dibebaskan 3) Masyarakat umum yang belum mempunyai rumah sendiri. Berdasarkan kelompok sasarannya pembangunan rumah susun sederhana dikategorikan dalam dua jenis, yaitu: rumah susun sederhana untuk dimiliki (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Selanjutnya rumah susun sederhana sewa juga dibagi dalam dua kategori yaitu rusunawa tanpa subsidi dan rusunawa dengan subsidi. Dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999 disebutkan bahwa sasaran prioritas bagi masing-masing kategori rumah susun tersebut berbeda satu sama lain dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Rumah susun sederhana milik Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu untuk membeli (tunai atau dengan KPR) unit rumah susun. Intervensi Pemerintah dalam batas memberi insentif kemudahan perijinan dan petunjuk teknis, karena pembangunannya menunjang kebijakan Pemerintah. 2) Rumah susun sederhana sewa tanpa subsidi Rumah susun sederhana ini diprioritaskan bagi kelompok masyarakat yang secara ekonomi mampu, tetapi memilih untuk tinggal di rumah sewa (karena tinggal sementara atau alasan lain). Intervensi Pemerintah dalam batas memberi insentif kemudahan perijinan dan petunjuk teknis, karena pembangunannya menunjang kebijakan Pemerintah. 3) Rumah susun sewa bersubsidi ini secara umum dibagi menjadi 2 yaitu: a) Subsidi terbatas: diprioritaskan bagi kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah yang mampu membayar meskipun terbatas. Intervensi Pemerintah dapat dilakukan dalam penyediaan tanah, pembiayaan, pembangunan, maupun pengelolaannya,

24 namun tetap diperhitungkan pengembalian dananya, agar dapat bergulir untuk proyek selanjutnya. b) Subsidi penuh: diprioritaskan bagi kelompok yang kemampuan ekonominya sangat terbatas, hanya mampu membayar sewa untuk menutup ongkos operasi dan pemeliharaan rutin saja. Intervensi Pemerintah dilakukan dengan memberi subsidi pembangunan (tanah, bangunan, prasarana dan sarana dasar lingkungan) sepenuhnya (social housing). Gambar 2.1 Kategori Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Kelompok Sasaran Calon Penghuni Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Rumah Susun Sederhana (Rusuna) Rumah Susun Sederhana sewa (Rusunawa) Rumah Susun Sederhana sewa tanpa subsidi Rumah Susun Sederhana sewa subsidi Rumah Susun Sederhana sewa subsidi penuh Rumah Susun Sederhana sewa subsidi tidak penuh Sumber: Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman No.10/KPTS/M/1999

25 2.2. Komponen Biaya Pembangunan Perumahan Susun Sederhana dalam Menentukan Harga Sewa/Beli Dalam subbab ini dijelaskan mengenai beberapa komponen biaya pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan rumah susun secara lebih rinci sebagai input pendekatan perhitungan harga sewa rumah susun sederhana. 2.2.1. Komponen Biaya Produksi Dalam membangun segala jenis bangunan rumah susun yang akan dikembangkan total biaya produksi yang harus dikeluarkan akan terdiri dari beberapa input biaya yang terbagi dalam dua tahapan yaitu tahapan perencanaan dan pembangunan dengan rincian biaya sebagai berikut: 2.2.1.1. Biaya Tahap Perencanaan Biaya pada tahap perencanaan merupakan segala jenis biaya yang berhubungan dengan lahan mulai dari perijinan, pengadaan hingga jasa pembuatan siteplan (perencanaan tapak). Secara lebih rinci biaya-biaya dalam tahapan perencanaan rumah susun ini adalah sebagai berikut: 1) Biaya Lahan (Land Cost) Biaya pengadaan lahan merupakan biaya yang diperlukan dalam memperoleh lahan sebagai tempat dibangunnya rumah susun sederhana nantinya. Proses perolehan lahan tersebut dapat dilakukan dengan pembebasan melalui mekanisme beli, sewa, ganti rugi, dan dapat juga dengan konsolidasi lahan (Arifin, 2004). Biaya atas pengadaan lahan biasa dihitung per m 2 sehingga ukuran luas dari lahan rumah susun sederhana sangatlah penting dperhatikan melalui proses pengukuran yang detail. Biaya lahan yang diperoleh pengembang dari penjual tanah dapat mencapai 6-8% dari harga jual suatu rumah (Hummel, 2001). 2) Biaya Pengukuran Lahan Proses pengukuran lahan dilakukan setelah proses pengadaan lahan telah dilaksanakan. Pengukuran lahan diperlukan dalam memperoleh informasi secara detail luas dan batas kavling rumah susun sederhana yang akan dibangun nantinya. Informasi tersebut diperlukan dalam proses perijinan pembangunan rumah susun.

26 3) Biaya Investigasi Tanah Proses investigasi tanah diperlukan dalam melihat kelayakan tanah yang akan digunakan dalam pembangunan rumah susun sederhana. Proses ini dilakukan dalam analisis tapak sebelum proses pembuatan site planning dilakukan. Biaya dalam investigasi tanah pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh surveyor pada dasarnya merupakan biaya tidak langsung (indirect cost). 4) Biaya Pembuatan Site Planning Pembuatan siteplanning (perencanaan tapak) merupakan proses pengaturan /penyesuaian antara kondisi fisik ruang dari tapak dengan program-program yang telah direncanakan sebelumnya pada tapak dengan memperhatikan kaidah seni yang terkait dengan prinsip-prinsip dalam bidang arsitektur, sipil, Arsitektur Lansekap, dan perencanaan kota (Lynch, 1983:1). Biaya dalam pembuatan site planning ini juga merupakan biaya tidak langsung yang pengerjaannyadilakukan melalui jasa konsultan. Menurut Hummel (2002) biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan jasa siteplanning merupakan bagian dari biaya professional (professional fees). Biaya professional ini dapat terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah the planning and engineering cost of development of the plans and specifications yang salah satunya adalah biaya pembuatan siteplanning. Kategori kedua adalah the cost of engineering, surveying, and construction management during construction yang merupakan salah satunya adalah jasa pembuatan desain dan konstruksi bangunan (lebih lanjut dibahas pada subbab 2.2.1.2.). Besar biaya yang dikeluarkan untuk biaya professional ini berkisar antara 7 dan 15% dari total biaya proyek keseluruhan (Hummel, 2001). 5) Biaya Pematangan lahan Pematangan lahan diperlukan untuk menyesuaikan kondisi fisik topografi tanah dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Proses pematangan lahan dapat dilakukan dengan jalan memotong bagian lahan yang terjal (cut) dan menutup bagian yang landai (fill) agar lahan yang akan digunakan siap untuk digunakan untuk proses pembangunan rumah susun sederhana. Biaya atas pematangan lahan

27 6) Biaya Administrasi Lahan Proses administrasi lahan merupakan bagian dari proses legalisasi segala sesuatu yang berhubungan dengan proses pembangunan rumah susun sederhana. Dalam beberapa proyek, ijin dari pemerintah daerah/pusat harus diperoleh sebelum proses konstruksi dilaksanakan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses ini berkisar antara 20-25% dari biaya fisik proyek pembangunan rumah (Hummel, 2001). Administrasi lahan dalam proses pembangunan rumah susun terdiri dari proses perijinan, pengurusan Hak Guna Bangunan, pengalihan hak milik atas lahan. Biaya-biaya perijinan yang harus ditempuh dalam pembangunan rumah susun antara lain: Ijin Prinsip Ijin Lokasi Ijin Perencanaan Tapak (Site Plan) Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) 2.2.1.2. Biaya Tahap Pembangunan Biaya tahap pembangunan akan terdiri dari biaya tahap pembangunan bangunan rumah susun sederhana dan pembangunan sistem Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU). Subkomponen biaya secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Biaya Bangunan Rumah Susun Menurut Poerbo (1993) biaya dalam tahapan pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam biaya langsung dan biaya tidak langsung. a) Biaya Langsung Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait dengan konstruksi bangunan yang melibatkan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, bahan bangunan (material), teknologi konstruksi bangunan bertingkat dan biaya lain yang berhubungan langsung dengan pembuatan bangunan rusuna. Biaya ini pada dasarnya mengikuti standar yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. b) Biaya Tidak Langsung Biaya langsung yang dimaksud disini adalah segala jenis biaya yang terkait dengan jasa pembuatan desain konstruksi bangunan yang melibatkan pihak

28 konsultan arsitek dengan memperhatikan aturan-aturan teknis sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan terkait rumah susun sederhana. Biaya jasa konsultan ini pada dasarnya tidak hanya pada pembuatan bangunan saja namun juga pada pembuatan jasa perencanaan tapak sebelumnya dan sistem jaringan PSU yang akan dikembangkan berdasarkan standar jumlah penduduk yang akan menghuni rumah susun sederhana. 2) Biaya Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) Dasar Prasarana, sarana dan utilitas dasar merupakan komponen penting dalam menunjang pembangunan rumah susun sederhana. Pembangunan PSU dilakukan dengan pertimbangan akan standar jumlah penduduk yang akan menjadi calon penghuni rumah susun nantinya. 2.2.2. Komponen Biaya Investasi Gerald (1978) dalam Iskandar (2003) menyatakan bahwa investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (inputs), misalnya uang dan tenaga kerja untuk dipakai pengadaan barang modal pada saat sekarang yang akan menghasilkan aliran produk dimasa yang akan datang. Ferry, Brandon dan Ferry (1999) mengemukakan bahwa dalam mengembangkan suatu proyek pembangunan pengembang, ataupun institusi kelembagaan publik akan mempertimbangkan cost target yang secara umum terbagi ke dalam beberapa bagian yaitu: Cost Target untuk Profit Development Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini di dasarkan kepada keuntungan yang akan diperoleh dari besarnya arus penerimaan yang jauh lebih besar dari total biaya pengeluaran yang dilakukan selama pembangunan. Pendanaan pembangunan jenis ini diperoleh sebagian diperoleh dari modal-modal individu dan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Dalam melakukan pinjaman modal hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah besarnya bunga pinjaman modal yang diperhitungkan dalam anggaran biaya. Cost Target untuk Social Development

29 Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini biasanya dilakukan oleh sektor publik melalui anggaran pendanaan (budget) yang telah direncanakan. Dalam pembangunan jenis ini biaya biasanya didasarkan kepada standar biaya buatan yang telah ditentukan. Cost Target untuk Mixed Development Penyusunan target biaya pada jenis pembangunan ini pada dasarnya mengandung campuran antara kedua jenis pembangunan diatas sebelumnya sehingga dengan kondisi ini sangat penting untuk mengkaji apa prioritas biaya dalam pembangunan yang akan direncanakan untuk dapat mendefinisikannya secara tepat. Iskandar (2003) juga menambahkan bahwa jenis investasi dapat digolongkan berdasarkan sifatnya sebagai berikut: Autonomous Invesment, Jenis investasi ini merupakan jenis investasi yang dbiasanya dilakukan pemerintah sebagai stimulan dalam meningkatkan laju perekonomian seperti pembuatan PSU di perkotaan. Induce Invesment, yaitu jenis investasi yang sangat dipengaruhi oleh harga pasar karena adanya perubahan permintaan atau penawaran. Jenis investasi ini sangat terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat. Investasi pada suatu badan usaha atau perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari tingkat bunga uang dari modal yang diinvestasikan. Investasi ini dilakukan jika tingkat bunga yang berlaku saat itu lebih rendah jika dibandingkan dengan keuntungan investasi. Bentuk investasi jenis kedua dan ketiga bersifat komersial sehingga banyak sektor swasta memakai kedua jenis ini, namun ada kalanya sektor Pemerintah juga memakai jenis investasi kedua dan ketiga ini sebagai dana untuk membangun investasi proyek sosial lainnya. Pola investasi dalam kasus pembangunan rumah susun sederhana berdasarkan Rancangan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah tentang Pedoman Umum Investasi dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa dibagi kedalam tiga jenis yaitu pola investasi UPT (Unit Pelaksana Teknis), Pola investasi PMN (Penyertaan Modal Negara) dan Pola investasi kemitraan. Secara rinci ketiga jenis pola investasi ini akan dijelaskan sebagai berikut:

30 1) Pola Investasi UPT Pola Investasi UPT adalah pola investasi pembangunan rumah susun yang dilakukan oleh pemerintah melalui sumber dana APBN/APBD dengan lebih bersifat sosial sehingga tidak mengharapkan adanya pengembalian investasi dan profit dari pembangunan yang dilakukan. Pola investasi UPT dilakukan pemerintah dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang merupakan aset negara. 2) Pola Investasi PMN Pola investasi yang dilakukan pemerintah dengan sumber dana pembangunan dari penyertaan modal negara dan mengharapkan adanya pengembalian biaya investasi namun tidak memperhitungkan tingkat/target profit (keuntungan) tertentu. Pengembalian biaya investasi digunakan sebagai sumber dana pembangunan rumah susun sederhana di tempat lain (dana bergulir). 3) Pola Investasi Kemitraan Pola investasi ini dilakukan oleh organisasi berbadan hukum seperti koperasi,yayasan, kelompok profesi atau perusahaan dengan para investor yang difasilitasi pemerintah. Pola investasi jenis ini mengharapkan pengembalian biaya investasi dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari biaya investasi yang ditanamkan. Komponen biaya investasi sangat terkait dengan beberapa 2 sub komponen biaya sebagai berikut: 1) Biaya Modal : terkait dengan seberapa besar modal yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi rumah susun sederhana baik yang berasal dari modal sendiri maupun modal pinjaman. 2) Biaya bunga pinjaman: terkait dengan seberapa besar bunga atas pinjaman modal yang harus dibayar setiap periodenya kepada pemberi pinjaman. Dalam analisis keuangan atau finansial terhadap penggunaan modal investasi bagi suatu proyek terdapat beberapa metoda yang dapat digunakan sebagai pertimbangan kelayakan berlangsungnya proyek tersebut. Menurut Rangkuti (2005), metode tersebut antara lain sebagai berikut:

31 a) Metode non discounted criterion cashflow Metode ini pada dasarnya tidak mempertimbangkan nilai dari uang yang diinvestasikan di masa depan. Pada proyek-proyek dengan umur ekonomis yang panjang, penggunaan metode ini terlalu besar resikonya (Iskandar, 2003). Pengujian dengan metode ini terdiri dari beberapa kriteria seperti Marginal Efficiency of Capital (MEC), Accounting Rate of Return (ARR), dan Payback Period, dan Rangking by Inspection. Dalam bab 5 yang akan dibahas selanjutnya metode ini tidak digunakan. Pengujian mengenai kelayakan proyek digunakan dengan metode discounted criterion cashflow. b) Metode discounted criterion cashflow Metode ini pada dasarnya mempertimbangkan nilai dari uang yang diinvestasikan di masa sekarang (present value) dengan hasil yang akan didapatkan di masa depan (future value). Besarnya present value diperoleh dengan cara mengkalikan nilai uang yang akan didapatkan pada masa yang akan datang (future value) dengan Discount Factor (DF) perhitungan sebagai berikut Keterangan: PV = Present Value FV = Future Value i = tingkat discount rate n = jangka waktu (1 ). Present Value didapatkan dengan menggunakan PV = FV 1 ( n (1 + i) ) Pengujian dengan metode discounted criterion cashflow ini terdiri dari beberapa kriteria antara lain: 1) PI (Profitability Index) Profitability Index merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur rencana investasi yang diperoleh dengan membandingkan besarnya nilai present value dari pendapatan (cash inflow) dengan biaya investasi proyek (initial cash outlay) (Rangkuti, 2005). Perhitungan yang digunakan dalam PI adalah sebagai berikut: 1 ) Discount Factor merupakan bilangan yang dapat dipakai untuk mengkalikan suatu jumlah di waktu yang akan datang (F) supaya menjadi nilai sekarang (P) (Kadariah, 1988 p.19).

32 PV Cash Inflow PI = PV Initial Cash Outlay Parameter kelayakan yang digunakan dalam kriteria PI adalah sebagai berikut: Apabila nilai PI > 1 maka proyek layak dilakukan Apabila nilai PI < 1 maka proyek tidak layak dilakukan 2) NPV (Net Present Value) Net present value adalah selisih perhitungan antara jumlah penerimaan (income) dengan jumlah pengeluaran (cost) yang dinilai pada masa saat ini (present value) (Kadariah, 1988). Perhitungan yang digunakan dalam NPV adalah sebagai berikut: Keterangan: B n C n K n (1+ i ) n t Bn C NPV = n=1 n (1 + i) = Merupakan penerimaan ( Benefit ) pada tahun n = Merupakan pengeluaran ( Cost ) pada tahun n n K = Merupakan Capital yang dipergunakan selama periode investasi (n tahun) = Discount Factor Penentuan kelayakan investasi berdasarkan kriteria Net Present Value ini adalah antara lain: Bila NPV > 0, investasi dikatakan layak untuk dilaksanakan. Bila NPV < 0, investasi dikatakan tidak layak untuk dilaksanakan. Bila NPV = 0, investasi dikatakan mencapai break even point pada kondisi ini, keputusan sangat tergantung pada investor/developer. n 3) IRR (Internal Rate of Return) Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat bunga yang menunjukkan bahwa jumlah nilai sekarang (netto) sama dengan jumlah seluruh biaya (cost) investasi proyek (Soetrisno, 1981 p.52). Besarnya IRR dapat membuat besarnya NPV proyek sama dengan nol dan membuat PI sama dengan 1. Besarnya IRR tidak dapat ditemukan secara langsung melainkan dicari dengan coba-coba lalu dilakukan interpolasi antara Discount Rate tertinggi (i ) yang menghasilkan NPV positif (NPV ) dan Discount Rate terendah (i ) yang menghasilkan NPV negatif (NPV )

33 (Kadariah, 1988 p.44). Perhitungan yang digunakan dalam IRR adalah sebagai berikut: IRR = ' NPV i + ( i" i' ) ' " NPV NPV Keterangan: i NPV NPV i i = discount rate mula-mula yang diperkirakan mendekati social discount rate = Present value positif = Present value negatif = discount rate yang menghasilkan Present value positif = discount rate yang menghasilkan Present value negatif 2.2.3. Komponen Biaya Pengelolaan Biaya pengelolaan merupakan segala jenis biaya yang harus dikeluarkan ketika proses produksi rumah susun sederhana telah dilakukan. Komponen biaya ini terdiri dari beberapa sub komponen seperti: 1) Biaya Operasional Biaya operasional merupakan segala jenis biaya yang dibutuhkan dalam menjalankan fungsi pengelolaan rumah susun sederhana yang umumnya akan terdiri dari biaya-biaya seperti biaya administrasi termasuk biaya upah personil, biaya iuran atas pemakaian listrik, air, telepon dari pengelola dan kebersihan sampah, biaya pajak baik terdiri atas PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), Pajak perseroan dan PPn (Pajak Pertambahan Nilai). Beban biaya pajak PPn akan lebih lanjut dijelaskan dalam tinjauan kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36/PMK 03/2007 tentang batasan rusuna yang dibebaskan atas PPn. 2) Biaya Pemeliharaan Biaya pemeliharaan merupakan jenis biaya yang dikeluarkan untuk melakukan perawatan atas bangunan gedung rumah susun sederhana dan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) yang digunakan. Besarnya biaya pemeliharaan ini dikeluarkan secara periodik bulanan, tahunan maupun sewaktu-waktu (Arifin, 2004). Total biaya operasional dan pemeliharaan besarnya sekitar 5% dari harga sewa rumah susun (Poerbo, 1993).

34 3) Depresiasi atau Biaya Penyusutan Bangunan Biaya penyusutan merupakan nilai ganti per tahun yang dikeluarkan atas beban pendapatan sebelum pajak dengan besaran yang tergantung kepada umur ekonomis suatu jenis gedung/bangunan (Poerbo,1993). Besar persentase depresiasi dan masa kegunaan ekonomisnya bermacam-macam. Di Amerika Serikat untuk jenis bangunan flat/apartemen umur ekonomisnya adalah 40 tahun dan nilai depresiasinya adalah 2,5% per tahun (Poerbo, 1993). 4) Pajak Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jenis pajak yang dibebankan kedalam proses pengelolaan rumah susun sederhana antara lain Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Perseroan. 6) Asuransi Asuransi digunakan dalam proses pengelolaan rumah susun dimaksudkan sebagai jaminan dalam resiko keselamatan penghuni yang dapat disebabkan oleh adanya kebakaran ataupun gempa pada bangunan rumah susun. Pembayaran polis pada rumah susun yang dikelola pemerintah tidak dibebankan kepada penghuni namun untuk rumah susun yang dikelola oleh swasta dibebankan kepada pemerintah. 2.3. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa dan Harga Sewa-Beli Dalam subbab ini akan dijelaskan mengenai dasar perhitungan penentuan harga sewa-beli (jual) dan sewa dengan mengadaptasi pendekatan studi yang dilakukan oleh Poerbo (1993) tentang harga sewa minimum dan disesuaikan dengan perhitungan yang dilakukan oleh pengembang pada umumnya berdasarkan biaya produksi dan pengelolaannya. 2.3.1. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa-Beli (Harga Jual) Perhitungan harga Sewa-Beli (Harga Jual) yang digunakan untuk rumah susun sederhana milik (rumah susun Karet Tengsin dan Bendungan Hilir I) diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut: BP ( SB ) = (Formulasi 1) unit

35 Keterangan: SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase) BP = Total Biaya Produksi unit = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) Setelah diperoleh harga sewa-beli (Harga jual) maka selanjutnya harga tersebut akan dimasukkan ke dalam perhitungan angsuran Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Besarnya suku bunga pinjaman KPR yang dipakai oleh beberapa bank bervariasi dari selang 9,5% sampai dengan 15%. Pada perhitungan yang dilakukan dalam studi ini dipakai suku bunga pinjaman KPR yang umumnya banyak dipakai oleh beberapa bank yaitu sebesar 12,5% dalam jangka waktu angsuran berkisar 5 sampai dengan 20 tahun melalui pendekatan perhitungan sebagai berikut: ( SB DP).(1 + k%) ( A) = (Formulasi 2) n Keterangan: SB = Harga Sewa-Beli atau Harga Jual (hire-purchase) (dalam rupiah) DP = Biaya Uang Muka atau Down Payment (DP) (dalam rupiah) k%` = Tingkat Suku Bunga KPR (dalam persen) n = lama waktu angsuran selama jangka waktu 5 sampai dengan 20 tahun (dalam bulan) 2.3.2. Pendekatan Perhitungan Harga Sewa Perhitungan harga sewa yang digunakan untuk rumah susun sederhana sewa (rumah susun Pasar Jumat) diperoleh dengan pendekatan perhitungan sebagai berikut: BP n HSM = (Formulasi 3) [(n - L) x (12 bulan) x ( unit)] ( ) Keterangan: HSM = Harga Sewa Murni (dalam rupiah) BP n = Biaya Produksi setelah komponen biaya lahan dikenakan tingkat inflasi. Besarnya biaya lahan yang dikenakan tingkat inflasi dihitung dengan menggunakan perhitungan: BT = BT ( 1+ i) n n (Formulasi 4) BT = Komponen biaya lahan sebelum dikenakan inflasi (dalam rupiah)

36 BT n i n L unit = Komponen biaya lahan setelah dikenakan inflasi (dalam rupiah) = tingkat inflasi yang diperkirakan sebesar 0,75% (berdasarkan rata-rata fluktuasi inflation rate per bulan selama tahun 1996 sampai dengan 2007) = target waktu pengembalian modal/break Even Point (dalam tahun) = lama waktu pembangunan konstruksi (dalam tahun) = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) 2 Harga sewa yang dihasilkan dalam formulasi 3 di atas selanjutnya akan dikombinasikan dengan besarnya biaya pengelolaan yang dibebankan kepada tiap penghuni rumah susun (surcharge) sehingga diperoleh harga sewa total sebagai berikut: (HST ) = HSM BL + unit (Formulasi 5) Keterangan: HST = Harga Sewa Total (dalam rupiah) BL = Biaya Pengelolaan selama 1 bulan unit = jumlah unit hunian yang terbangun dalam rumah susun (disesuaikan dengan tingkat occupancy rate di tiap Rumah susun studi) 2.4. Klasifikasi Struktur Pendapatan Masyarakat DKI Jakarta dan Kemampuan Membayar Harga Sewa dan Sewa-Beli Rumah Susun Sederhana. Berdasarkan klasifikasi pendapatan yang telah disusun oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, secara umum struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta terbagi ke dalam tiga kategori yaitu pendapatan rendah, pendapatan menengah, dan pendapatan tinggi. Dilihat dari perbandingan rasio gini pendapatan, tiga kategori pendapatan masyarakat DKI Jakarta tersebut secara berturut-turut memiliki perbandingan persentase sebesar 40: 40: 20. Secara khusus, BPS juga membagi struktur pendapatan masyarakat DKI Jakarta secara rinci menjadi empat kategori antara lain: 1) Pendapatan Rendah (Low Income) 2 ) Besarnya inflation rate mengacu kepada data besarnya tingkat inflasi berdasarkan pengeluaran di bidang perumahan yang dikeluarkan oleh BPS (Biro Pusat Statistik)

37 Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan rendah adalah mereka dengan pendapatan per bulan kurang dari Rp.1.700.000. 2) Pendapatan Menengah Bawah (Middle Low Income) Kelompok masyarakat dengan kategori menengah bawah adalah mereka dengan pendapatan per bulan antara dari Rp.1.700.000 sampai Rp.3.700.000 3) Pendapatan Menengah Atas (Middle High Income) Kelompok masyarakat dengan kategori menengah atas adalah mereka dengan pendapatan per bulan antara dari Rp.3.700.001 sampai Rp.5.700.000 4) Pendapatan Tinggi (High Income) Kelompok masyarakat dengan kategori pendapatan tinggi adalah mereka dengan pendapatan per bulan di atas Rp.5.700.001. Dalam studi ini pendekatan metode yang digunakan dalam memperoleh informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun angsuran harga sewa-beli didasarkan pada keterjangkauan harga sewa rumah yang didefinisikan oleh US Departement of Housing and Urban Development (2001) dan disesuaikan dengan parameter pendapatan yang digunakan bank pada umumnya dalam menilai kelompok masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah. Definisi dari US Departement of Housing and Urban Development (2001) menyebutkan bahwa sebuah keluarga dikatakan mampu membayar sewa-rumah (ataupun angsuran sewa-beli) jika persentase pengeluaran untuk sewa rumah ditambah utilitas dasar, pajak dan pembayaran asuransi adalah 20% (minimum) sampai dengan 30% (maksimum) dari total pendapatan. Dari kisaran persentase antara 20% -30% tersebut diambil pendekatan persentase 25% dari total pendapatan untuk memperoleh informasi mengenai kemampuan masyarakat dalam membayar harga sewa maupun angsuran harga sewabeli. pendekatan persentase 25% dari total pendapatan diambil berdasarkan parameter pendapatan yang digunakan bank di Indonesia pada umumnya dalam menilai kelompok masyarakat yang layak memperoleh kredit kepemilikan rumah. 2.5. Indikator Kesesuaian Target Penghuni Rumah Susun Sederhana Indikator kesesuaian target penghuni rumah susun sederhana didasarkan pada ketentuan kriteria target grup penghuni yang dapat tinggal di rumah susun sederhana menurut beberapa tinjauan kebijakan seperti: UU No.16 tahun 1985 tentang Rumah

38 Susun, Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 tentang rumah susun, Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman Nomor: 10/KPTS/M/1999, dan Buku Pola Induk Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta. Berdasarkan pertimbangan tersebut diambil tiga indikator sebagai berikut: 1) Status penghuni rumah susun Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Negara Perumahan dan permukiman Nomor: 10/KPTS/M/1999 tentang kebijakan dan strategi pembangunan rumah susun sederhana disebutkan bahwa rumah susun sederhana dibedakan ke dalam dua jenis yaitu rumah susun milik (rusunami) dan rumah susun sewa (rusunawa). Berdasarkan kedua jenis rumah susun tersebut maka seharusnya penghuni yang tinggal didalamnya memiliki status sebagai pemilik (untuk rusunami) dan penyewa (untuk rusunawa). Dengan kondisi demikian, maka indikator target penghuni rumah susun dapat dikatakan sesuai apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a) Persentase sampel penghuni dengan status pemilik (pada rusunami) tidak kurang dari 100% b) Persentase sampel penghuni dengan status penyewa (pada rusunawa) tidak kurang dari 100% Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan bahwa target penghuni seharusnya sesuai dengan jenis status kepemilikan rumah susun yang ditempati dan pertimbangan bahwa setiap penghuni rumah susun (tanpa kecuali) seharusnya tidak diperbolehkan menjual, menyewakan, atau mengontrakkan kembali ke penghuni lain yang bukan target penghuni rumah susun yang semestinya. 2) Tingkat Pendapatan Penghuni Rumah Susun Target penghuni rumah susun sederhana menurut UU No.16 tahun 1985 tentang rumah susun (pasal 3 ayat 1) dan Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 tentang rumah susun (pasal 53 ayat 1) adalah golongan masyarakat berpendapatan rendah. Apabila ditinjau dari klasifikasi pendapatan menurut BPS propinsi DKI Jakarta maka standar pendapatan masyarakat berpendapatan rendah adalah sebesar dibawah Rp.1.700.000. Berdasarkan pertimbangan pendapatan penghuni rumah susun yang tergolong MBR tersebut maka target

39 penghuni rumah susun dapat dikatakan sesuai apabila persentase pendapatan sampel penghuni rumah susun yang berada dibawah Rp.1.700.000 tidak kurang dari 100%. Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sasaran calon penghuni rumah susun menurut UU No.16 Tahun 1985 dan Peraturan pemerintah RI No.4 tahun 1988 adalah setiap masyarakat yang tergolong ke dalam Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR). 3) Kepemilikan hunian lain Berdasarkan pola induk pembangunan rumah susun di DKI Jakarta disebutkan bahwa target grup penghuni rumah susun adalah masyarakat dengan salah satu ketentuan kriterianya adalah belum memiliki rumah sendiri. Melalui kriteria persyaratan tersebut maka ukuran target penghuni rumah susun sederhana dapat dikatakan sesuai apabila persentase sampel penghuni rumah susun yang tidak memiliki rumah/hunian lain diluar rumah susun yang ditempati saat ini tidak kurang dari 100%. Pemakaian ukuran persentase tersebut didasarkan pada pertimbangan persyaratan calon penghuni rumah susun (menurut buku pola induk pembangunan rumah susun) yang menyebutkan bahwa setiap calon penghuni rumah susun (tanpa kecuali) adalah masyarakat yang belum memiliki rumah (hunian) lain. 2.6 Tinjauan Kebijakan Rumah Susun 2.6.1 Konsep Kebijakan Pembangunan Rumah Susun 1000 menara Dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan ini pada dasarnya adalah Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah-bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal, berupa Rumah Susun sederhana (Rusuna). Pembangunan Rusun bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan Rusun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah di kawasan perkotaan dengan penduduk di atas 1,5 juta jiwa. Sasaran pembangunan Rusun tahun 2007-2011, yakni pemenuhan kebutuhan Rusun layak huni sebanyak 1.000 menara atau sekitar 350.000 unit Rusun, dengan

40 harga sewa/jual yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah di kawasan perkotaan. Dalam kebijakan tidak dijelaskan secara pasti pasti parameter pendapatan masyarakat berpendapatan rendah yang berhak untuk menghuni rumah susun sederhana dan persyaratan-persyaratan lain secara lebih rinci. Sasaran pembangunan Rusun yang dilakukan di kota-kota prioritas seperti prioritas pembangunan, antara lain meliputi: Medan, Batam, Palembang, Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar ini juga dilakukan melalui pernaikan sistem pasokan, antara lain berupa: fasilitasi pengadaan tanah bagi pembangunan Rusun, berupa percepatan proses pembebasan dan sertifikasi tanah; percepatan proses perijinan; pengurangan/ penangguhan/ pembebasan biaya perijinan dan beban pajak, dukungan pembiayaan investasi pembangunan Rusun. Melalui perbaikan dari sisi permintaan, antara lain berupa: peningkatan kapasitas dayabeli dan kapasitas meminjam masyarakat, melalui upaya pemberdayaan masyarakat dan dukungan kebijakan fiskal yang dapat mendorong tumbuhnya pasar Rusun di perkotaan. Biaya keseluruhan pembangunan Rusun diperkirakan sebesar Rp 56,889 trilyun selama 5 tahun. Sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi/Kabupaten/Kota sebesar 6,154 trilyun, sedangkan sebesar Rp 50,735 trilyun direncanakan berasal dari badan usaha dan masyarakat. Porsi terbesar dana APBN dipergunakan untuk dukungan fasilitas subsidi Kredit Pemilikan Rusun yang diperkirakan mencapai Rp 4,300 trilyun, serta bersama-sama dengan dana APBD, dengan perkiraan dana sebesar Rp 1,700 trilyun dipergunakan untuk kegiatan fasilitasi dan stimulasi peningkatan kualitas penyediaan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perkotaan dan lingkungan Rusun. Sedangkan sisanya sebesar Rp 0,154 trilyun, merupakan dukungan terhadap penciptaan iklim yang kondusif terhadap percepatan pembangunan Rusun. Sementara itu, sumber dana terbesar berasal dari badan usaha dan masyarakat, yakni sebesar Rp 50,735 trilyun. Diharapkan dapat membiayai keseluruhan pembangunan 1.000 unit Rusun di

41 kawasan perkotaan, termasuk biaya penyediaan tanah serta prasarana, sarana, dan utilitas Rusun. 2.6.2 Tinjauan Kebijakan Peraturan Menteri Keuangan RI No.36/PMK 03/2007 Tentang Batasan Rusuna yang Dibebaskan Atas PPn Salah satu komponen biaya yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rumah susun sederhana adalah biaya pajak yang salah satunya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.36/PMK.03/2007 disebutkan bahwa rumah susun yang dibebaskan dari PPN memiliki beberapa kriteria yaitu: a) harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); b) luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m 2 (dua puluh satu meter persegi); c) pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. 2.7 Tinjauan Kasus Pembangunan Rumah Susun di Beberapa Negara Lain 2.7.1 Kasus Pembangunan Rumah Susun di India India sebagai Negara berkembang di Asia memiliki jumlah populasi penduduk sebesar 1.027.000.000 jiwa (data hasil sensus penduduk dalam Renu Sud Karnad, 2001) dengan kecenderungan jumlah populasi di perkotaan yang semakin naik dari tahun 1901 sebesar 26 juta hingga tahun 285 juta di tahun 2001. Seiring dengan naiknya jumlah populasi penduduk perkotaan tersebut maka jumlah kebutuhan perumahan juga semakin meningkat. Kondisi lahan yang semakin terbatas membuat kebijakan akan perumahan di India mengarah kepada pembangunan secara vertikal yang salah satunya diwujudkan melalui pembangunan rumah susun. Pembangunan dan pengelolaan rumah susun di India dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui beberapa program bantuan biaya

42 subsidi atau kerjasama antara pemerintah sebagai pengelola dengan pihak swasta sebagai pelaksana pembangunan. Jumlah populasi penduduk India sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan United Nations Human Settlements Programme, jumlah populasi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan berada di Kawasan perkotaan. Kondisi ini membuat pemerintah India mengeluarkan kebijakan pembangunan rumah susun yang diperuntukkan untuk masyarakat berpendapatan rendah. Housing and Urban Development Coorporotion ltd. (HUDCO) mengkaji masyarakat yang dikategorikan berpendapatan rendah di India adalah mereka dengan penghasilan sekitar pendapatan Rs 2,101/bulan sampai dengan Rs. 4,500/bulan. Pada awal pembangunannya rumah susun tersebut dipasarkan dengan harga sewa yang terjangkau namun pada akhirnya penghuni yang merupakan masyarakat berpendapatan rendah tidak mampu untuk menanggung iuran rutin yang merupakan biaya pengelolaan rumah susun tersebut. Tingginya biaya tinggal yang harus ditanggung oleh penghuni rumah susun membuat beban biaya yang terlalu besar melebihi beban biaya ketika masih menghuni perumahan kumuh mereka. 2.7.2 Kasus Pembangunan Rumah Susun di Singapura Singapura merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang sering menjadi proyek percontohan dari produksi perumahan yang terjangkau bagi negara-negara lain di Asia. Negara dengan luas wilayah sebesar 690 km 2 ini memiliki jumlah penduduk sebesar 3,4 juta jiwa dan 4 persen dari jumlah tersebut berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 1998 (Belinda Yuen, 2005). Dari data sensus yang dilakukan di Singapura pada tahun 2000 disebutkan bahwa sekitar 11.630 rumah tangga mengeluarkan pengeluaran biaya hidup tidak kurang dari S$ 1000/bulan dengan pendapatan rata-rata sekitar S$ 459/bulan (pendapatan rata-rata rumah tangga secara keseluruhan sebesar S$ 4943/bulan). Definisi kemiskinan yang diturunkan dari kriteria kualifikasi pendapatan masyarakat Singapura adalah kelompok rumah tangga dengan pendapatan individu didalamnya sebesar S$ 10 per hari. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan lahan yang ada maka Singapura menerapkan kebijakan pembangunan perumahan secara vertikal

43 yang salah satunya adalah rumah susun (flat) yang terjangkau dari segi biaya sewa bagi masyarakat berpendapatan rendah. Kebijakan rumah susun di Singapura merupakan bagian yang paling penting dalam membantu kebutuhan akan akses perumahan. Proses persyaratan bagi penghuni dalam menempati rumah susun secara transparan merupakan salah satu aspek kelembagaan dalam sistem perumahan yang adil bagi semua pihak (Chong et.al, 1985 p.230 dalam Yuen, 2005 p.14). Adapun penyedian dana dan pembangunan Perumahan dilakukan oleh dua lembaga publik yaitu Housing and Development Board (HDB) dan Central Profiden Fund (CPF). HDB merupakan lembaga dibawah Kementrian Urusan Hukum dan Pembangunan Nasional yang bergerak dalam bidang penyediaan perumahan bagi publik sedangkan CPF merupakan Lembaga Keuangan non bank yang bergerak di bidang pemupukan dana tabungan masyarakat (Sudana, 2000). Dalam proses pelaksanaan pembangunan perumahan, HDB mendapat sumber dana keuangan dari CPF selain dari Capital Market (Wan, 1986 dalam Sudana, 2000). Jenis perumahan susun yang dibangun oleh pemerintah Singapura berdasarkan laporan HDB terdiri dari 2 jenis yaitu perumahan susun sewa dan perumahan susun milik. Untuk perumahan susun sewa terdiri dari 3 tipe yaitu rumah susun 1 kamar dengan luas lantai 33 m 2, rumah susun 2 kamar dengan luas lantai 45 m 2, rumah susun 3 kamar dengan luas lantai 69 m 2. Untuk perumahan susun milik terdiri dari 2 tipe yaitu rumah susun 4 kamar dengan luas lantai 90 m 2, rumah susun 5 kamar dengan luas lantai 110 m 2. Berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Singapura melalui Housing and Development Board (HDB) ditetapkan bahwa masyarakat singapura yang belum memiliki rumah pribadi dan memiliki pendapatan ruma tangga (household income) tidak lebih dari S$ 800/bulan berhak untuk menyewa/membeli rumah susun. Secara lebih rinci mekanisme persyaratan ini dapat dilihat dalam tabel II.1: Tabel II.1 Persyaratan Calon Penghuni Rumah Susun 1 kamar dan 2 kamar di Singapura Jenis SRS Rata-Rata Luas Lantai Biaya Sewa Kondisi Persyaratan a. Warga negara 1-kamar 33 S$ 26-33 Singapura

44 2-kamar 45 S$ 44-75 b. Minimal 21 Tahun c. Pendapatan Keluarga tidak melebihi S$ 800 per bulan d. Tidak memiliki properti di tempat lain. Sumber: HDB (2000) Dengan kondisi persyaratan di atas, maka sebagian masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya belum semuanya terjaring untuk memiliki akses akan kebutuhan rumah sehingga dapat dikatakan biaya tinggal yang harus dikeluarkan untuk menempati rumah susun (flats) masih dinilai sangat mahal dan belum sepenuhnya terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah (Streats, 25 Juli 2003). 2.7.3 Kasus Pembangunan Rumah Susun di Malaysia Semenjak Merdeka, kebijakan mengenai perumahan telah menjadi prioritas dalam lima tahun rencana nasional negara Malaysia. Pembangunan perumahan yang dilakukan pemerintah bagi masyarakat berpendapatan rendah merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi permasalahan permukiman liar (squatters) yang sebagian besar terkonsentrasi di daerah perkotaan terutama di tiap Ibukota propinsi. Jumlah dari populasi masyarakat yang menghuni perumahan liar diestimasi sekitar 5 sampai dengan 10% dari jumlah populasi penduduk Malaysia yang berjumlah 20 juta jiwa (Ali, 2001). Rumah susun sederhana digunakan pemerintah Malaysia sebagai tempat untuk merelokasi sebagian masyarakat yang mengalami proses pembersihan permukiman liar sebelumnya. Pembangunan Rumah susun di Negara Malaysia dimaksudkan untuk menjaring kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Berdasarkan The Seventh Malaysia Plan (1996-2000) disebutkan bahwa masyarakat berpendapatan rendah adalah mereka yang memiliki pendapatan berkisar antara RM 1501-RM 2500 (US 0.75- US 1.25 per bulan) (Shuid, 2001). Adapun jenis rumah susun sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah sebagian besar memiliki ketinggian 5 lantai dan jumlah unit berkisar 4-10 unit SRS (Satuan Rumah Susun) untuk tiap lantai dengan luas minimum 48m 2 (Kooi dkk).

45 Harga sewa rumah susun yang diperuntukkan untuk masyarakat berpendapatan rendah di Malaysia tergantung kepada lokasi dan harga lahan yang digunakan untuk pembangunan. Pemerintah Negara Malaysia menetapkan harga sewa rumah susun dengan kategori RM 25,000.00, RM 30,000.00, RM 35,000.00 dan RM 42,000.00 per unit. Akan tetapi, dengan harga sewa minimum rumah susun sebesar RM 25.000 (US 412.5) tersebut, sebagian masyarakat berpendapatan rendah di Malaysia masih belum mampu membelinya (Ali, 2001). Para pengembang rumah susun yang menilai harga sewa minimum yang diterapkan pemerintah tersebut sangat rendah sebagian besar mendapat pinjaman modal dari bank yang harus dibayar per bulan dalam periode 15 sampai dengan 25 tahun. Di sisi lain realita di Lapangan menunjukkan bahwa harga sewa rumah susun yang harus dibayar masyarakat biasanya lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah. Hal ini tidak jarang membuat masyarakat penghuni tidak mampu membayar uang sewa sehingga sebagian dari mereka terpaksa menjual kembali unit rumah susun mereka dan kembali ke permukiman mereka yang liar (Ali, 2001). Berdasarkan tinjauan kasus-kasus kebijakan pembangunan rumah susun dari beberapa negara lain tersebut maka dapat diambil suatu ringkasan secara umum sebagai perbandingan dengan kebijakan pembangunan rumah susun di Indonesia yang dapat dilihat pada tabel II.2. No. 1 Tabel II.2 Ringkasan Studi Kasus Pembangunan Rumah Susun di Negara Lain Indikator Negara Pembanding India Singapura Malaysia Kelompok Masyarakat dengan Masyarakat dengan Masyarakat dengan Sasaran pendapatan Rs 2,101/- pendapatan sekitar S $ pendapatan sekitar RM Penghuni to 800 1501-RM 2500 Rumah Susun Rs. 4,500/-.

46 Jenis/Tipe Rumah Susun 2 Harga Sewa/bulan 3 Permasalahan yang sering terjadi 4 Rumah susun Perumahan susun sewa sederhana rata-rata terdiri dari 3 tipe yaitu memiliki luas unit rumah susun 1 kamar sekitar 21 m 2 untuk tipe 2 dengan luas lantai 33 m yang paling kecil., rumah susun 2 kamar dengan luas lantai 45 m 2, rumah susun 3 kamar dengan luas lantai 69 m 2. Perumahan susun milik terdiri dari 2 tipe yaitu rumah susun 4 kamar dengan luas lantai 90 m 2, rumah susun 5 kamar dengan luas lantai 110 m 2. Rs 50/bulan 1) S $ 26-33 untuk tipe 2 33 m 2) S $ 44-75 untuk tipe 2 45 m Disamping biaya sewa Biaya tinggal yang harus masih ada iuran rutin dikeluarkan untuk merupakan biaya menempati rumah susun pengelolaan rumah (flats) di Singapura susun tersebut yang masih dinilai sangat tinggi sehingga mahal dan belum membuat beban biaya sepenuhnya terjangkau yang terlalu besar bagi masyarakat melebihi beban biaya berpendapatan rendah. ketika masih menghuni perumahan kumuh mereka. Sumber: ringkasan subbab 2.7.1 sampai dengan 2.7.3 Rumah susun sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat berpendapatan rendah sebagian besar memiliki ketinggian 5 lantai dan jumlah unit berkisar 4-10 unit SRS (Satuan Rumah Susun) untuk tiap lantai dengan luas minimum 48m harga sewa rumah susun sederhana bervariasi dengan kategori RM 25,000.00, RM 30,000.00, RM 35,000.00 tergantung pada lokasi rumah susun sederhana tersebut. realita di Lapangan menunjukkan bahwa harga sewa rumah susun biasanya lebih besar dari yang ditetapkan pemerintah sehingga membuat penghuni tidak mampu membayar uang sewa dan sebagian dari mereka terpaksa menjual kembali unit rumah susun mereka dan kembali ke permukiman mereka yang liar. 2