IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

dokumen-dokumen yang mirip
VII. MODEL PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Konsumsi ikan segar

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lapangan kerja, memeratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan

BERITA RESMI STATISTIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN IV-2015 PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

BERITA RESMI STATISTIK

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

2.5. Nilai Tukar Nelayan dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan September 2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2016 PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

KEGIATAN PRIORITAS PENGEMBANGAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN FEBRUARI 2013

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

BERITA RESMI STATISTIK

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JANUARI 2013

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

ANALISIS PERMINTAAN IKAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL QUADRATIC ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (QUAIDS)

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLlKASl KEBIJAKAN. memiliki struktur yang searah dengan pola yang terjadi secara nasional,

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

ELASTISITAS PERMINTAAN. LECTURE NOTE AGRONIAGA By: Tatiek Koerniawati

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PROVINSI KEPRI FEBRUARI 2010

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN II-2016

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP)

Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Timur* Menurut Sub Sektor Bulan Oktober 2017

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017

BPS PROVINSI LAMPUNG A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

Tabel 1 Nilai Tukar Petani Provinsi Sumatera Utara per Subsektor Maret-April 2012 (2007=100)

NILAI TUKAR PETANI PROVINSI LAMPUNG NAIK 0,61 PERSEN

KEPUTUSAN BADAN AKREDITASI NASIONAL ( BAN PAUD DAN PNF ) NOMOR: 024/BAN PAUD DAN PNF/AK/2017

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2011

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI *)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

INDEKS TENDENSI KONSUMEN D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013 SEBESAR 110,47

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 041/P/2017 TENTANG


VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

Indeks Tendensi Konsumen Triwulan III-2017

FORMULIR 3 RENCANA KERJA KEMENTRIAN/LEMBAGA (RENJA-KL) TAHUN ANGGARAN 2016

Perkembangan Nilai Tukar Petani Dan Harga Produsen Gabah Jawa Tengah

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN SEPTEMBER 2016

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

DAFTAR IST BAB I I FENDAHULUAN Latar Belakang...,."" Perumusan Masa1ah Tujuan "..".. 6 BAB II : METODE PENHLITIAN

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2016 SEBESAR 108,98

INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN II-2016 PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, HARGA PRODUSEN GABAH

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

ELASTISITAS PERMINTAAN DAN PENAWARAN Pertemuan 9

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN III-2017

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

INDEKS TENDENSI KONSUMEN PROVINSI LAMPUNG TRIWULAN I-2016 DAN PERKIRAAN TRIWULAN II-2016

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BPS PROVINSI ACEH PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI, INFLASI PEDESAAN, DAN HARGA PRODUSEN GABAH PERIODE APRIL 2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 SEBESAR 122,35

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH BULAN JULI 2017

Transkripsi:

199 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 9.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan data Susenas tahun 2008, dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia di berbagai wilayah lebih banyak mengkonsumsi ikan segar daripada ikan awetan maupun udang. Konsumsi ikan segar tertinggi adalah wilayah Sulawesi dan Maluku, terendah di Pulau Jawa, baik di perkotaan maupun perdesaan. Tingkat konsumsi ikan segar dan udang segar di perkotaan secara umum lebih tinggi daripada di perdesaan, sebaliknya tingkat konsumsi ikan awetan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan di semua wilayah, kecuali Maluku dan Papua. Tingkat konsumsi udang awetan di perkotaan hampir sama dengan di perdesaan, sedangkan di wilayah Maluku (perdesaan dan perkotaan) serta Papua (perdesaan) tingkat konsumsinya adalah nol. 2. Harga ikan segar di seluruh wilayah Indonesia relatif cukup seragam. Secara rata-rata, harga ikan segar dan ikan awetan lebih tinggi dibandingkan dengan harga udang segar dan udang awetan. Harga udang segar dan udang awetan terlihat tidak berbeda jauh, namun variasinya cukup tinggi. Harga termahal adalah di wilayah Kalimantan Tengah, kemudian Kalimantan Selatan, Bangka Belitung dan Aceh, sedangkan harga terendah adalah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Bali. 3. Total pengeluaran penduduk Indonesia yang dialokasikan untuk konsumsi makanan sebesar 50.17 persen, hampir sama dengan yang dialokasikan untuk konsumsi bukan makanan yaitu 49.83 persen; dari alokasi pengeluaran untuk makanan tersebut 7.9 persen diantaranya dialokasikan untuk konsumsi ikan. Alokasi anggaran untuk ikan di Indonesia paling

200 banyak digunakan untuk konsumsi ikan segar (55 persen) dan ikan awetan (40 persen). Alokasi anggaran yang digunakan untuk konsumsi udang segar hanya 4 persen, sedangkan untuk udang awetan hanya 1 persen. Pada kelompok ikan segar, udang/hewan air yang segar, dan udang/hewan air awetan terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin besar pangsa pengeluaran untuk ketiga komoditas tersebut. Sedangkan pada kelompok ikan awetan terjadi sebaliknya, semakin besar tinggi tingkat pendapatan semakin rendah pangsa pengeluarannya. 4. Pendugaan model permintaan dengan model QUAIDS terlihat cukup baik. Dari ketiga tahap pendugaan, faktor kuadratik semuanya berpengaruh signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa respon pengeluaran pangan/ikan terhadap perubahan pengeluaran pangan tidak linear. Nilai dugaan koefisien sistem permintaan ikan (ikan segar, udang/hewan air lain yang segar, ikan awetan, dan udang/hewan air lain yang diawetkan) dari tahap ketiga menunjukkan bahwa semua peubah berpengaruh signifikan terhadap fungsi permintaan kelompok ikan dengan nilai koefisien determinasi sistem 67.3%. Permintaan ikan segar, udang/hewan air lain yang segar dan udang awetan di perkotaan lebih besar daripada di perdesaan (dugaan koefisien bertanda positif), sedangkan permintaan udang/hewan air lain yang diawetkan sebaliknya. Peubah jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh positif, demikian pula dengan dummy wilayah kepulauan semua bertanda positif. 5. Nilai elastisitas pengeluaran ikan terhadap total pengeluaran pangan untuk semua kelompok pendapatan lebih besar dari dari satu (elastis) dengan kisaran 1.7 sampai 3.9; nilainya semakin kecil dengan semakin meningkatnya pendapatan. Elastisitas pengeluaran kelompok ikan segar bernilai 0.4 sampai 0.5 menunjukkan bahwa ikan segar merupakan barang

201 kebutuhan (neccesity goods) bagi rumahtangga di Indonesia. Elastisitas udang segar, ikan awetan dan udang awetan berkisar dari 1.1 sampai 2.9 menunjukkan bahwa ketiga kelompok ikan tersebut dikategorikan sebagai barang mewah bagi penduduk Indonesia. 6. Pada uncompensated own-price elasticity, kelompok ikan segar mempunyai nilai elastisitas berkisar dari -0.3 sampai -0.9; menunjukkan bahwa komoditas ikan segar tidak elastis terhadap perubahan harga. Udang/hewan air lain yang diawetkan nilai elastisitasnya adalah -1 yang artinya bahwa perubahan harga dalam persentase tertentu akan diikuti oleh perubahan jumlah yang diminta dalam persentase yang sama dengan arah yang berlawanan. Pada compensated own-price elasticity, kelompok ikan awetan mempunyai nilai elastisitas yang kurang dari satu, yang menunjukkan bahwa ikan awetan tidak responsif terhadap perubahan harga. 7. Nilai elastisitas harga silang menunjukkan bahwa pada kelompok pendapatan rendah, ikan segar dan udang awetan bersifat substitusi; ikan segar dan udang segar bersifat komplemen, demikian juga dengan udang awetan dan ikan awetan. Pada golongan menengah ke atas secara umum terlihat bahwa diantara komoditas ikan segar, udang segar, ikan awetan, dan udang awetan tidak saling berkaitan, namun ikan segar dan udang segar bersifat substitusi. 8. Total produksi sektor perikanan tahun 2008 sebesar 69.53 kilogram/kapita sangat berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang hanya sebesar 28 kilogram/kapita, namun terlihat bahwa produksi tersebut tidak merata di setiap propinsi di Indonesia. Wilayah Maluku, Papua, Sulawesi Tenggara, NTT, Kep. Riau dan Bangka Belitung sangat berlebihan, sementara wilayah Pulau Jawa kekurangan.

202 9. Nilai proyeksi permintaan berdasarkan kondisi riil dengan laju pertumbuhan pendapatan 5 persen dan laju pertumbuhan harga 3 persen menghasilkan persentase kesalahan relatif (MAPE), akar kuadrat tengah galat (RMSE) dan persentase akar kuadrat tengah galat (RMSPE) yang paling kecil, yaitu sekitar 1.24 persen, 0.50 dan 1.82 persen. Pada skenario ini terlihat tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia akan mengalami kenaikan dengan laju rata-rata sekitar 4.3 persen per tahun. Jika hasil proyeksi ini dikaitkan dikaitkan dengan program pemerintah yang mentargetkan tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 tampaknya hal tersebut belum dapat dicapai, karena nilai proyeksi berdasarkan skenario ini adalah 36.3 kg/kapita. Dengan asumsi elastisitas harga dan pendapatan tetap, maka target tingkat konsumsi ikan sebesar 38 kg/kapita pada tahun 2014 dapat dicapai dengan upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun. 9.2. Implikasi Kebijakan 1. Besarnya peranan ikan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani di Indonesia dengan distribusi yang tidak merata mengindikasikan bahwa intervensi kebijakan di bidang perikanan tetap diperlukan. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang berhubungan dengan pemasaran, pengembangan sarana/prasarana, dan regulasi pemasaran. Tujuannya antara lain adalah untuk memudahkan konsumen dan pelaku usaha dalam mendapatkan produk perikanan yang terjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. 2. Mengingat konsumsi ikan penduduk Indonesia didominasi oleh konsumsi ikan segar sedangkan berdasarkan nilai elastisitas diketahui bahwa

203 komoditas ikan segar tersebut tidak elastis terhadap harga maupun pendapatan, maka kebijakan untuk meningkatkan konsumsi ikan yang perlu dilakukan adalah kebijakan sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang pentingnya mengkonsumsi ikan melalui penyuluhan, pendidikan, dan iklan layanan masyarakat seperti yang selama ini dilakukan melalui program Gemarikan. 3. Untuk mencapai target peningkatan konsumsi ikan pada tahun 2014 sebesar 38 kg/kapita, maka upaya menekan laju pertumbuhan harga menjadi sebesar 2 persen per tahun akan lebih baik dibandingkan dengan upaya memacu pertumbuhan pendapatan menjadi 6 persen per tahun. 9.3. Saran untuk Penelitian Lanjutan 1. Penelitian selanjutnya mengenai pola konsumsi dan analisis permintaan ikan dapat dilakukan dengan data yang terbaru sehingga dapat mengungkap fakta yang lebih aktual dan menangkap perubahan pola konsumsi dan permintaan ikan di wilayah Indonesia secara lebih jelas. 2. Penelitian yang akan datang dapat mengunakan model analisis yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan rumahtangga nelayan yang bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen. 3. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan dengan penggolongan produk perikanan, wilayah, maupun kelompok pendapatan yang berbeda, serta memasukkan peubah jumlah anggota rumahtangga dengan mempertimbangkan komposisi umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan pada model permintaan sehingga akan memperkaya analisis terutama dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi protein hewani asal ikan.