BAB I PENDAHULUAN. 2014). Labu kuning merupakan sumber vitamin A dengan kandungan -karoten

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Makanan tradisional merupakan wujud budaya yang berciri kedaerahan,

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Sayur-sayuran dan buah-buahan adalah jenis komoditi pertanian yang mempunyai

BLANSING. Teti Estiasih - PS ITP - THP - FTP - UB

BLANSING. mrngurangi terjadinya pengkaratan kaleng dan memperoleh keadaan vakum yang baik dalam headspace kaleng. dalam wadah

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini ketergantungan masyarakat terhadap tepung terigu untuk

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

BAB I PENDAHULUAN. Camilan atau snack adalah makanan ringan yang dikonsumsi diantara waktu makan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ubi jalar merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil sayuran

Bakteri memerlukan Aw relatif tinggi untuk pertumbuhan > 0,90

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan vitamin A (KVA). KVA yaitu kondisi kurang zat gizi mikro

TINJAUAN PUSTAKA. empat di dunia. Ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Nova Nurfauziawati Kelompok 11A V. HASIL PENGAMATAN. Bilangan Peroksida Tanpa. Perlakuan Waktu Warna Aroma Tekstur.

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BABI PENDAHULUAN. Pisang merupakan salah satu tanaman hortikultura yang penting di dunia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi pangan semakin maju seiring dengan perkembangan zaman. Berbagai inovasi pangan dilakukan

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

Pengawetan pangan dengan pengeringan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tepung-tepungan lokal atau non terigu saat ini telah menjadi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan dengan suhu tinggi

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

BAB I PENDAHULUAN. penganekaragaman produk pangan, baik berupa serealia (biji-bijian), tahun terjadi peningkatan konsumsi tepung terigu di

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)

BAB I PENDAHULUAN. selai adalah buah yang masak dan tidak ada tanda-tanda busuk. Buah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maka perlu untuk segera dilakukan diversifikasi pangan. Upaya ini dilakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB I PENDAHULUAN. dapat digunakan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri.

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah penduduk indonesia setiap tahun menyebabkan

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Orde Baru bersamaan dengan dibentuknya Bulog (Badan Urusan Logistik) pada

Pengeringan Untuk Pengawetan

4. PEMBAHASAN 4.1. Nilai Warna Mi Non Terigu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, teksturnya yang lembut sehingga dapat dikonsumsi anak-anak

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. asupan zat gizi makro yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi vitamin A

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang rentan mengalami masalah gizi yaitu kekurangan protein dan energi.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. seperti selulosa, hemiselulosa, dan pektin. Karbohidrat pada ubi jalar juga

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. lodeh, sayur asam, sup, dodol, dan juga manisan. Selain itu juga memiliki tekstur

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang,

PAPER BIOKIMIA PANGAN

I. PENDAHULUAN. keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan jagung, dan ubi kayu. Namun, perkembangan produksinya dari tahun ke tahun

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

1 I PENDAHULUAN. yang cukup baik terutama kandungan karbohidrat yang tinggi.

KADAR PROTEIN DAN BETAKAROTEN BAKSO IKAN TUNA YANG DIPERKAYA JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) DAN UMBI WORTEL NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber bahan pangan yang berpotensi untuk. diolah menjadi produk pangan, namun banyak sumberdaya pangan lokal

BAB I PENDAHULUAN. Ubi jalar atau ketela rambat ( Ipomoea batatas ) adalah sejenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. bahan dalam pembuatan selai adalah buah yang belum cukup matang dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

ANALISIS NILAI TAMBAH PADA PRODUK TEPUNG WORTEL. Analysis of Added Value to The Product of Carrot Powder

5.1 Total Bakteri Probiotik

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM METABISULFIT (Na2S2O5) DAN LAMA PERENDAMAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG KECAMBAH KEDELAI

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup saja, tetapi seberapa besar kandungan gizi

I PENDAHULUAN. berlebihan dapat disinyalir menyebabkan penyakit jantung dan kanker. Menurut

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas blackie) DENGAN VARIASI PROSES PENGERINGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

PENDAHULUAN. dikonsumsi. Jenis jamur tiram yang dibudidayakan hingga saat ini adalah jamur

BAB I PENDAHULUAN. Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi

4. PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Pendahuluan Penentuan Konsentrasi Mikroenkapsulan

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar adalah salah satu komoditas pertanian yang bergizi tinggi, berumur

PEMBUATAN KERIPIK PEPAYA MENGGUNAKAN METODE PENGGORENGAN VACUUM DENGAN VARIABEL SUHU DAN WAKTU

I. PENDAHULUAN. hewani. Selain sebagai komoditi ekspor, ikan juga banyak dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada anak-anak membuat anak buta setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Produk olahan yang paling strategis untuk dikembangkan dalam. rangka menunjang penganekaragaman (diversifikasi) pangan dalam waktu

4. PEMBAHASAN. (Depkes RI, 2014).

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cincau hijau Premna oblongifolia disebut juga cincau hijau perdu atau cincau hijau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

PENGERINGAN SAYURAN DAN BUAH-BUAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan dalam unsur

I PENDAHULUAN. perubahan pola makan yang ternyata berdampak negatif pada meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. keinginan manusia, baik dari industri rumahan sampai restoran-restoran

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Labu kuning merupakan jenis buah yang mengandung karoten tinggi sehingga menjadi sumber pangan yang dapat menunjang kesehatan tubuh. Karotenoid dalam buah labu sebagian besar mengandung betakaroten (Nugraheni, 2014). Labu kuning merupakan sumber vitamin A dengan kandungan -karoten yang sangat tinggi, yaitu 180,00 SI atau sekitar 1000-1300 IU/100 g bahan (Hendrasty, 2003). Karotenoid bekerja sebagai antioksidan, yakni penangkap radikal bebas (Silalahi, 2006). Karoten dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit kanker dan jantung (Hartati, 2011). Labu kuning termasuk jenis pangan yang produksinya tinggi di Indonesia namun pemanfaatan olahan labu kuning sebagai sumber pangan masih terbatas. Tingkat produksi buah labu kuning di Indonesia relatif tinggi, dan produksinya dari tahun ke tahun terus meningkat yaitu pada tahun 1999 produksinya 73.744 ton, pada tahun 2000 naik menjadi 83.333 ton, pada tahun 2001 menjadi 96.667 ton. Pada tahun 2003 dari 103.451 ton meningkat menjadi 212.697 ton dan pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 menjadi 369.846 ton (Anonim, 2010 dalam Pangemanan dkk., 2016). Produksi labu kuning yang tinggi tidak diimbangi dengan pemanfaatan olahan labu kuning yang masih terbatas dan kurang bervariasi. Selama ini labu kuning hanya dimanfaatkan untuk dibuat kolak, dodol atau hanya dikonsumsi sebagai sayuran (Purwanto dkk., 2013). Kandungan air yang tinggi pada labu kuning menyebabkan labu kuning berdaya simpan rendah, sehingga diperlukan teknologi pangan yang tepat pada 1

2 labu kuning. Menurut Hendrasty (2003) bahwa labu kuning memiliki kadar air sebesar 91,20 g/100 g. Kadar air dalam suatu bahan makanan perlu ditetapkan karena makin tinggi kadar air maka makin besar pula kemungkinan makanan tersebut akan rusak, sehingga tidak tahan lama (Asgar dan Musaddad, 2008). Teknologi pembuatan tepung merupakan teknologi yang dapat mengurangi kandungan air pada pangan. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Saptoningsih, 2013). Tepung labu kuning dapat menjadi variasi olahan pangan pada buah labu kuning dan meningkatkan cara konsumsi labu kuning lebih bervariatif. Kadar karbohidrat yang cukup tinggi pada labu kuning sebesar 6,60 g/100 g menyebabkan buah ini berpeluang untuk diolah menjadi tepung. Karbohidrat ini sangat berperan dalam pembuatan adonan pati (Hendrasty, 2003). Pembuatan tepung labu kuning juga nantinya dapat disubstitusikan pada produk pangan yang lain seperti pembuatan roti atau kue. Pada pembuatan olahan tepung terdapat masalah yang dapat terjadi yaitu hasil olahan tepung yang berwarna kecoklatan. Hasil olahan tepung berwarna kecoklatan karena bahan makanan mengalami browning reaction (reaksi pencoklatan). Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Pencoklatan karena enzim merupakan reaksi antara oksigen dengan suatu senyawa fenol yang dikatalisis oleh polyphenol oksidase (Widowati dkk., 2003). Cara

3 pencegahan terjadinya pencoklatan pada olahan tepung tersebut dapat dilakukan dengan melakukan proses blansing. Blansing merupakan proses pemanasan yang dapat menginaktivasi enzim penyebab browning reaction (reaksi pencoklatan) pada suatu makanan sehingga mencegah timbulnya warna kecoklatan pada produk makanan. Menurut Aminah dan Hersoelistyorini (2012), blansing adalah suatu proses pemanasan yang diberikan terhadap suatu bahan yang bertujuan untuk menginaktivasi enzim, melunakkan jaringan dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang merugikan, sehingga diperoleh mutu produk yang dikeringkan, dikalengkan, dan dibekukan dengan kualitas baik. Proses blansing menyebabkan enzim polifenolase diinaktifkan sehingga perubahan warna akibat reaksi pencokelatan enzimatis tersebut dapat diminimumkan (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Proses perlakuan blansing pada suatu bahan makanan seperti buah-buahan atau sayuran perlu memperhatikan faktor lama dan metode blansing yang digunakan. Blansing memiliki beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengolah bahan pangan. Pada penelitian yang dilakukan Naibaho dkk. (2009) mengaplikasikan metode blansing dengan air panas dan metode blansing dengan uap air panas terhadap sifat fisiko-kimia tepung talas belitung. Beberapa penelitian perlakuan lama blansing juga telah dilakukan terhadap bahan pangan. Lama blansing umumnya membutuhkan waktu selama 1-10 menit dengan suhu berkisar 75-95 o C (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Muchlisun, dkk. (2015), lama blansing yang digunakan pada pembuatan apel celup yaitu 1 menit dan 2 menit. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh

4 Puspitaningsih (2004), lama blansing yang dilakukan untuk analisis proksimat terhadap buah labu Jepang yaitu 1 menit dan 3 menit. Proses blansing termasuk dalam proses termal yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan kualitas pada produk pangan, baik perubahan karakteristik fisikokimia maupun nutrisi. Proses blansing berpengaruh terhadap berat bahan, zat gizi, senyawa toksik, mikroba kontaminan, enzim, warna, cita rasa, bau, tekstur, dan gas antar sel. Perubahan yang terjadi bergantung pada intensitas pemanasan dan metode proses termal, bahan baku, serta perlakuan sebelum pemanasan (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Oleh karena itu pada pembuatan tepung labu kuning perlu diperhatikan proses blansingnya melalui lama dan metode blansing agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap kualitas tepung labu kuning yang ditinjau melalui total karoten, kadar air, warna L* a* b*, dan rendemen. Perlakuan blansing dapat mempengaruhi total karoten pada suatu bahan pangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Addis dkk. (2008) bahwa perlakuan metode blansing dengan air panas pada Coccinia grandis menunjukkan total karoten yang lebih tinggi yaitu 156,9 mg/100 g. Total karoten tersebut lebih tinggi dibandingkan metode blansing dengan uap air panas sebesar 146,0 mg/100 g. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (1995) bahwa waktu blansing memberikan pengaruh nyata terhadap total karoten. Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama blansing menyebabkan total karoten pada sari wortel menurun. Hal itu disebabkan karotenoid merupakan senyawa alami yang tingkat ketidakjenuhannya sangat tinggi sehingga sangat mudah terdegradasi akibat oksidasi dan proses pemanasan (Ranonto dkk., 2015).

5 Blansing dapat mempengaruhi kadar air dalam suatu bahan pangan, sehingga mempengaruhi kualitas bahan makanan tersebut. Perlakuan metode blansing yang berbeda memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kadar air dalam suatu bahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aminah dan Hersoelistyorini (2012) bahwa perlakuan blansing dengan air panas memperlihatkan kadar air yang terendah dibanding dengan perlakuan blansing lainnya yaitu metode blansing dengan uap air panas dan metode penyangraian. Kadar air bahan pangan juga dapat dipengaruhi oleh perlakuan lama blansing. Pada penelitian Siregar dkk. (2016) bahwa data kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan lama blansing selama 2 menit yaitu sebesar 10,22% dan terendah pada lama blansing selama 5 menit yaitu sebesar 10,07%. Menurut Fatah dan Bachtiar (2004) dalam Siregar dkk. (2016) menyatakan bahwa tujuan blansing adalah untuk mengurangi bobot bahan. Air dalam bahan merupakan komponen utama yang mempengaruhi bobot bahan. Sehingga jika bobot bahan lebih ringan maka hal itu akibat berkurangnya kadar air pada suatu bahan. Perlakuan blansing dapat menyebabkan terjadinya perubahan warna pada bahan pangan. Estiasih dan Ahmadi (2011) menyebutkan bahwa pengaruh blansing menyebabkan perubahan warna pada bahan pangan yang mengandung karoten. Hal ini dikarenakan adanya panas yang menginduksi perubahan struktur konjugasi karoten menyebabkan proporsi warna merah meningkat, sedangkan proporsi warna kuning menurun. Blansing juga dapat mencegah perubahan warna akibat reaksi pencoklatan enzimatis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muchlisun dkk. (2015) pada pengujian warna apel celup menunjukkan bahwa blansing menyebabkan warna apel celup lebih cerah dibandingkan dengan apel

6 celup tanpa blansing. Menurut Asgar dan Musaddad (2006b) bahwa pada prinsipnya pencegahan pencoklatan enzimatis didasarkan pada usaha inaktivasi enzim polifenol-oksidase dengan cara blansing. Blansing merupakan proses pemanasan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan rendemen. Pada penelitian yang dilakukan oleh Asgar dan Musaddad (2006b) menunjukkan bahwa rendemen wortel kering hasil blansing dengan uap lebih besar dan berbeda nyata dengan rendemen hasil blansing dengan air. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muchlisun dkk. (2015) menunjukkan bahwa pada suhu pengering yang sama (60ºC) dengan variasi blansing 0 menit, 1 menit, dan 2 menit berturut-turut adalah 13,51%, 13,12%, dan 12,23%. Perubahan rendemen berhubungan erat dengan kadar air dalam suatu bahan pangan. Proses pemanasan dapat menyebabkan hilangnya kadar air sehingga mempengaruhi rendemen produk pangan (Widya, 2003 dalam Muchlisun dkk., 2015). Hasil penelitian ini selanjutnya akan dikembangkan sebagai sumber belajar biologi yang disajikan dalam bentuk booklet. Keterbatasan sumber belajar tentang blansing menyebabkan perlunya mengembangkan hasil penelitian ini sebagai sumber belajar. Pengembangan hasil penelitian sebagai sumber belajar dilakukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa S1 Pendidikan Biologi penjurusan pangan pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan. Sumber belajar dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan belajar, sehingga diperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan (Mulyasa, 2007). Pemilihan media berbentuk booklet ini bertujuan untuk mempermudah mahasiswa memahami materi dan mendapatkan gambaran secara nyata tentang pengaruh blansing,

7 khususnya pengaruh lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui pengaruh lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning. Lama blansing yang digunakan pada penelitian yaitu 1 menit, 2 menit, dan 3 menit. Metode blansing yang digunakan pada penelitian yaitu metode blansing dengan air panas dan metode blansing dengan uap air panas. Hasil penelitian ini akan dikembangkan sebagai sumber belajar biologi untuk menambah pengetahuan yang disajikan dalam bentuk booklet. Oleh karena itu peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Lama dan Metode Blansing terhadap Kualitas Tepung Labu Kuning sebagai Sumber Belajar Biologi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut: 1.2.1 Adakah pengaruh lama blansing terhadap kualitas tepung labu kuning? 1.2.2 Adakah pengaruh metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning? 1.2.3 Adakah pengaruh interaksi lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning? 1.2.4 Bagaimana pemanfaatan hasil penelitian pengaruh lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning sebagai sumber belajar biologi?

8 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diperoleh tujuan penelitian sebagai berikut: 1.3.1 Mengetahui pengaruh lama blansing terhadap kualitas tepung labu kuning. 1.3.2 Mengetahui pengaruh metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning. 1.3.3 Mengetahui pengaruh interaksi lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning. 1.3.4 Mengetahui pemanfaatan hasil penelitian pengaruh lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning sebagai sumber belajar biologi. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Teoritis Memberikan pemahaman dan bisa menerapkan ilmu teknologi pengolahan pangan yang telah diperoleh serta memberikan sumbangan pengetahuan dalam bentuk sumber belajar tentang pengaruh lama dan metode blansing terhadap kualitas tepung labu kuning.

9 1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengolahan pembuatan tepung labu kuning agar memiliki kualitas tepung labu kuning yang baik melalui proses lama dan metode blansing. 1.4.3 Manfaat Praktis Meningkatkan konsumsi labu kuning sebagai sumber pangan dalam bentuk tepung yang dapat disubstitusikan pada produk makanan lain sehingga cara konsumsi lebih bervariatif dan menghindari hasil panen yang melimpah pada saat panen raya serta terhindar dari labu kuning yang rusak akibat busuk. 1.5 Batasan Penelitian 1.5.1 Labu kuning pada penelitian ini menggunakan buah labu kuning dengan varietas bokor dari Pasar Gadang. 1.5.2 Lama blansing pada penelitian ini yaitu 1 menit, 2 menit, dan 3 menit. 1.5.3 Metode blansing yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode blansing dengan air panas dan metode blansing dengan uap air panas. 1.5.4 Parameter yang dipakai dalam penelitian ini yaitu kualitas tepung labu kuning yang meliputi total karoten, kadar air, warna L* a* b*, dan rendemen. 1.5.5 Sumber belajar yang dibuat adalah booklet untuk mahasiswa Biologi pada mata kuliah Teknologi Pengolahan Pangan.

10 1.6 Definisi Istilah 1.6.1 Pengaruh yaitu daya yang ada atau timbul dari sesuatu (Team Pustaka Phoenix, 2007). 1.6.2 Blansing yaitu suatu proses pemanasan yang diberikan terhadap suatu bahan yang bertujuan untuk menginaktivasi enzim, melunakkan jaringan dan mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang merugikan, sehingga diperoleh mutu produk yang dikeringkan, dikalengkan, dan dibekukan dengan kualitas baik (Aminah dan Hersoelistyorini, 2012). 1.6.3 Lama blansing yaitu waktu yang diperlukan dalam proses blansing. Lama blansing umumnya membutuhkan waktu selama 1-10 menit dengan suhu berkisar 75-95 o C (Estiasih dan Ahmadi, 2011). Lama blansing dipengaruhi oleh suhu yang digunakan pada saat blansing. Suhu blansing yang rendah maka relatif waktu yang diperlukan akan lebih lama. Sedangkan suhu yang digunakan lebih tinggi maka waktu blansing akan lebih cepat (Afrianti, 2008). 1.6.4 Metode blansing yaitu berbagai cara yang digunakan dalam proses blansing. Ada empat dasar metode blansing meliputi blansing dengan air panas, blansing dengan uap air, blansing dengan gas panas, dan blansing dengan gelombang mikro atau konduksi elektrik (Estiasih dan Ahmadi, 2011). 1.6.5 Kualitas yaitu sifat kompleks suatu komoditi sebagai hasil penilaian berdasarkan berbagai sifat, yang menentukan komoditi itu akseptabel, disenangi, atau bernilai gizi sebagai makanan manusia (Apandi, 1984).