HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 6. Kondisi Kandang Penelitian

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 8. Rataan Hasil Pengamatan Konsumsi, PBB, Efisiensi Pakan Sapi PO selama 48 Hari Pemeliharaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

Gambar 3. Peta Satelit dan Denah Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea ( 5 Agustus 2011)

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang sangat besar. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

Ditulis oleh Mukarom Salasa Minggu, 19 September :41 - Update Terakhir Minggu, 19 September :39

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Negara China, Amerika maupun Australia. Itik Peking merupakan itik yang dapat

I. PENDAHULUAN. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama, daging kambing,

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan yaitu Domba Garut betina umur 9-10 bulan sebanyak

METODE. Materi. Gambar 2. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian Foto: Nur adhadinia (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat. Saat ini, perunggasan merupakan subsektor peternakan

Petunjuk Praktis Manajemen Pengelolaan Limbah Pertanian untuk Pakan Ternak sapi

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. relatif lebih kecil dibanding sapi potong lainnya diduga muncul setelah jenis sapi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juli 2016 di Kandang Domba

TINJAUAN PUSTAKA. dengan lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan. banyak mengkonsumsi jenis pakan hijauan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pengaruh perlakuan terhadap Konsumsi Bahan Kering dan Konsumsi Protein Ransum

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

PENAMPILAN DOMBA LOKAL YANG DIKANDANGKAN DENGAN PAKAN KOMBINASI TIGA MACAM RUMPUT (BRACHARIA HUMIDICOLA, BRACHARIA DECUMBENS DAN RUMPUT ALAM)

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Kandang Hewan Percobaan, Laboratorium fisiologi dan biokimia, Fakultas

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di CV. Mitra Tani Farm yang terletak di Desa Tegal Waru RT 04 RW 05 Ciampea Bogor dengan ketinggian 219 meter di atas permukaan laut. Luas lahan CV. Mitra Tani Farm yaitu sekitar 1900 meter persegi yang terdiri atas bangunan kandang pembibitan dan kandang penggemukan, tempat penyimpanan pakan, kantor, kolam penanganan limbah cair, tempat pemotongan ternak, dan rumah karyawan. Gambaran mengenai curah hujan, temperatur dan kelembaban pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2010 di lokasi penelitian dan di wilayah Darmaga- Bogor yang berdasarkan data Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Curah Hujan, Temperatur dan Kelembaban Daerah Dramaga dan Sekitarnya Tahun 2010 Bulan Waktu Temperatur Kelembaban ( o C) (%) 07.00 WIB 23,0 95 Agustus 13.00 WIB 30,9 61 18.00 WIB 26,1 84 07.00 WIB 23,1 96 September 13.00 WIB 30,2 65 18.00 WIB 24,7 90 07.00 WIB 23,4 94 Oktober 13.00 WIB 29,2 68 18.00 WIB 25,5 86 Sumber : BMKG Darmaga Bogor (2010) Curah Hujan (mm) 477,6 601,0 436,2 Rata-rata temperatur udara ( 0 C) dan kelembaban udara (%) selama penelitian dari bulan Agustus hingga Oktober secara berturut-turut adalah 25,8 0 C dan 84%; 25,3 0 C dan 84%; 25,4 0 C dan 86%. Kondisi temperatur dan kelembaban udara selama penelitian dapat berpengaruh terhadap konsumsi pakan dan pertumbuhan

domba. Menurut Martawidjaja (1986), terdapat perbedaan curah hujan, suhu, dan kelembaban pada musim hujan dan musim kemarau, dimana pada saat musim hujan, kelembaban rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Selama penelitian kondisi suhu dan kelembaban udara cukup stabil setiap bulannya, namun curah hujan yang terjadi tidak menentu yaitu meningkat pada pertengahan bulan penelitian dan kembali menurun pada bulan terakhir penelitian. Lama hujan yang terjadi selama penelitian pada bulan Agustus yaitu sebanyak 24 hari hujan, pada bulan September sebanyak 29 hari hujan, dan pada bulan Oktober sebanyak 26 hari hujan. Jumlah hari hujan yang berubah-ubah tersebut sesuai dengan curah hujan yang meningkat pada pertengahan bulan penelitian yaitu pada bulan September dengan curah hujan sebesar 601,0 mm sedangkan pada awal bulan penelitian hanya 477,6 mm dan pada bulan terakhir penelitian turun kembali menjadi 436,2 mm. Perubahan curah hujan yang terjadi sedikit mempengaruhi keadaan temperatur dan kelembaban udara di daerah kandang itu sendiri. Suhu yang tinggi akan menyebabkan rendahnya konsumsi pakan. Selama penelitian dapat diketahui bahwa lama hari hujan pada pertengahan bulan penelitian mengalami peningkatan dan kembali menurun pada bulan terakhir penelitian. Lama hari hujan yang berubah-ubah dicerminkan pula oleh curah hujan yang mengalami peningkatan pada pertengahan bulan kemudian menurun kembali pada bulan terakhir penelitian. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa konsumsi pakan harian dari domba juga mengalami penurunan pada bulan terakhir penelitian. Konsumsi pakan pada bulan terakhir penelitian yaitu 1297 gram/ekor/hari sedangkan pada pertengahan bulan penelitian konsumsi pakannya mencapai 1313 gram/ekor/hari. Terdapat penurunan konsumsi pakan sekitar 100 gram/ekor/hari yang kemungkinan diakibatkan oleh meningkatnya suhu lingkungan tersebut yang tercermin dari lama hari hujan dan curah hujan yang semakin sedikit. Menurut Anggorodi (1990), iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi ternak. Selain itu, domba yang dipelihara di wilayah lembab cenderung mudah terkena penyakit (Tomazweska et al., 1993). 25

Kondisi Pakan Pakan yang digunakan pada saat penelitian adalah konsentrat komersial untuk domba dan limbah tauge yang diperoleh berasal dari pasar Bogor. Konsentrat yang digunakan pada penelitian ini bersifat kering dengan bentuk mash, serta terdapat banyak potongan biji-bijian seperti biji kopi, potongan biskuit, potongan rumput yang telah dikeringkan dan lain-lain. Kandungan nutrisi dari limbah tauge menjadi suatu acuan untuk memanfaatkan limbah tauge sebagai pakan domba. Kadar protein kasar yang hampir sama dengan konsentrat yaitu sebesar 13.63% BK dalam limbah tauge dan 10.07% BK dalam konsentrat menjadi suatu faktor yang diperhitungkan untuk memanfaatkan limbah tauge sebagai pakan domba dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga konsentrat. Selain itu kandungan Total Digestible Nutrient (TDN) pada limbah tauge juga hampir sama dengan konsentrat yaitu 58,71% sedangkan konsentrat mengandung TDN sebesar 62,11%. Semakin tinggi nilai TDN suatu pakan maka pakan tersebut semakin baik, karena semakin banyaknya zat-zat makanan yang dapat digunakan. Zat-zat makanan organik yang dapat dicerna adalah protein, lemak, serat kasar dan BETN. Adapun gambar pakan yang diberikan selama penelitian yaitu dapat dilihat pada Gambar 3. (a) (b) 26

(c) Gambar 3. Pakan Perlakuan (a) = Pakan P1 (100% konsentrat+0% limbah tauge); (b) = Pakan P2 (75% konsentrat+25% limbah tauge); (c) = Pakan P3 (50% konsentrat+50% limbah tauge); (d) = Pakan P4 (25% konsentrat+75% limbah tauge) Pakan perlakuan yang diberikan pada penelitian terdiri dari campuran konsentrat dan limbah tauge. Masing-masing bahan pakan tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda dari segi warna, bentuk dan teksturnya sehingga pencampuran keduanya pada berbagai taraf yang berbeda juga menghasilkan visualisasi pakan yang berbeda. Pada perlakuan P1 yang menggunakan 100% konsentrat, pakannya berwarna coklat, dengan tekstur yang kering dan bentuknya yang mash, serta terdapat potongan-potongan biskuit, biji kopi, dan rumput kering. Pakan perlakuan P2 memiliki imbangan 75% konsentrat dan 25% limbah tauge. Imbangan pakan tersebut menghasilkan tekstur pakan yang tetap kering namun bentuknya tidak terlalu mash karena limbah tauge yang memiliki kandungan air yang cukup banyak daripada konsentrat mampu membuat pakan tersebut tidak terlalu kering. Pakan perlakuan P3 memiliki imbangan yang sama antara konsentrat dengan limbah tauge, sehingga menghasilkan warna pakan yang sedikit lebih cerah karena mengandung limbah tauge yang berwarna hijau. Tekstur dari pakan perlakuan P3 juga sedikit lebih padat dan pulen, karena kandungan air dalam limbah tauge mampu membuat tekstur konsentrat yang kering dan bentuknya yang mash menjadi lebih lingket atau padat. Pakan perlakuan P4 memiliki imbangan limbah tauge yang lebih banyak yaitu sebesar 75% dan konsentratnya hanya 25%. Imbangan pakan pada perlakuan P4 (d) 27

menghasilkan warna pakan yang sangat cerah karena dominasi kandungan limbah tauge yang berwarna hijau, selain itu tekstur pakannya menjadi lebih lembut karena kandungan konsentrat yang bertekstur kering sangat sedikit. Performa Domba Ekor Gemuk Pertumbuhan umumnya diukur dengan berat dan tinggi. Setiap komponen tubuh memiliki kecepatan pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda yang dipengaruhi oleh lingkungan dan akan menghasilkan penampilan ternak seperti tingkat konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian. Makanan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Tillman et al., 1991). Kualitas pakan yang dikonsumsi ternak semakin baik maka akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang semakin tinggi. Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan adalah parameter paling umum yang digunakan dalam pengukuran pertumbuhan. Pengukuran lain seperti tinggi dan dimensi tubuh juga sering digunakan (Maynard dan Loosly, 1979). Pertambahan berat badan berdasarkan National Research Council (1985) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi setiap individu dan manajemen tata laksana. Rataan pertambahan bobot badan domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) DEG Kel P1 P2 P3 P4 Rataan (gram/ekor/hari) BBK 101,9±33,8 137,5±48,7 145,28±11,19 85,61±4,12 117,6±36,4 BBB 90,6±24,5 86,7±75,8 146,4±32,2 125,8±34,0 112,4±47,2 Rataan 96,3±27,1 112,1±63,4 145,83±21,59 105,7±30,9 114,97±41,32 Keterangan : BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge 28

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge yang berbeda pada pakan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) domba ekor gemuk. Rataan pertambahan bobot badan harian domba berkisar antara 96,30-145,83 gram/ekor/hari, dengan rataan umumnya adalah 114,97 ± 41,32 gram/ekor/hari. Menurut Parakkasi (1999), pertambahan bobot badan harian dipengaruhi oleh konsumsi pakan selama penggemukan. Pertambahan bobot badan harian domba pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Maryati (2007) yaitu berkisar antara 119,26 ± 58,41. Adapun pakan yang digunakan dalam penelitian Maryati adalah pakan konsentrat penuh dengan kandungan didalamnya berupa dedak padi, pollard, tepung roti afkir, bungkil kopra, tetes, onggok, kacang afkir, kulit coklat, vitamin mix, kapur, garam dan urea (KPS Bogor). Hal tersebut dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan limbah tauge ini dapat meningkatkan bobot badan domba dengan baik karena mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang sama dengan penggunaan konsentrat saja. Menurut National Research Council (1985), dengan bobot tubuh sekitar 10-20 kg maka pertambahan bobot badan domba mencapai 200-250 gram/ekor/hari. Pertambahan bobot badan domba tersebut tidak dapat tercapai pada penelitian ini, hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan untuk domba yang berada di daerah subtropis dengan domba yang berada di daerah tropis. Selain itu terdapat perbedaan genetik domba sehingga diperoleh perbedaan dalam pencapaian pertambahan bobot badan hariannya. Selama penelitian, keadaan lingkungan disekitar domba cukup berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini mempengaruhi kondisi fisiologis domba yang mengalami peningkatan diantaranya denyut jantung yang lebih tinggi diatas normal yaitu sebesar 112,14 ± 9,84 detak/ekor/menit yang seharusnya dalam keadaan normal adalah 70-80 kali/menit. Respirasi ternak domba juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 41,34 ± 6,53 hembusan/ekor/menit yang seharusnya dalam keadaan normal adalah 15-25 hembusan/ekor/menit. Suhu rektal domba berada dalam keadaan normal yaitu 39,158 ± 0,155 o C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Kondisi fisiologis yang berada diatas normal menjadi suatu kemungkinan pertambahan bobot badan harian domba dengan penambahan limbah tauge ini tidak lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan konsentrat 100%. Hal ini dikarenakan bahwa nutrient yang dikonsumsi oleh domba dari banyaknya konsumsi limbah tauge tidak 29

dikonversi dengan baik menjadi daging, melainkan dikeluarkan dalam bentuk energi untuk mempertahankan kondisi tubuhnya dalam rangka mengatasi stres yang tercermin dalam denyut jantung dan respirasi yang berada diatas normal. Namun stres yang diasumsikan dalam hal ini tidak mengakibatkan penurunan bobot badan jika dibandingkan dengan pertambahan bobot badan pada domba perlakuan P1 (100% konsentrat), hanya saja pertambahan bobot badannya berdasarkan hasil analisis ragam tidak lebih tinggi dari perlakuan P1. Tingkat konsumsi pakan yang terjadi selama penelitian menunjukkan bahwa pakan dengan kandungan limbah tauge yang banyak yaitu 75% dan 50% limbah tauge memiliki tingkat konsumsi pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi pakan tanpa penambahan limbah tauge. Tingginya tingkat konsumsi pakan seharusnya dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi, namun dari hasil penelitian diperoleh bahwa pertambahan bobot badan harian domba tidak berbeda nyata antara perlakuan pakan dengan penambahan limbah tauge dengan perlakuan pakan 100% konsentrat. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan energi yang terdapat dalam pakan perlakuan P4 itu sendiri belum mencukupi kebutuhan dari ternak dombanya. Sehingga domba cenderung banyak mengkonsumsi pakan tetapi hal tersebut tidak dikonversi dengan baik kedalam pertambahan bobot badan hariannya. Selain itu kemungkinan adanya kandungan anti nutrisi yaitu berupa anti tripsin yang terdapat dalam limbah tauge dan dapat menghambat proses pertumbuhan. Anti tripsin adalah senyawa penghambat kerja enzim tripsin yang secara alami terdapat dalam kacang-kacangan salah satunya adalah kacang hijau. Anti tripsin akan memacu pembentukan dan sekaligus pelepasan zat seperti pankreozimin yang bersifat seperti hormon dalam dinding usus. Banyaknya kandungan anti tripsin dalam pakan yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat merangsang pengeluaran enzim dari pankreas secara berlebihan. Enzim tersebut adalah protein, sehingga asupan protein yang masuk bersama pakan yang dikonsumsi oleh ternak tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak itu sendiri bahkan ternak tersebut akan kehilangan protein dari dalam tubuhnya melalui pengeluaran enzim yang berlebihan tersebut. National Research Council (1985) menambahkan bahwa pertambahan bobot badan harian dipengaruhi oleh total protein yang diperoleh ternak setiap harinya. Oleh karena itu, tingginya konsumsi pakan pada perlakuan P4 (75% limbah tauge) tidak lantas mempengaruhi pertambahan bobot 30

badan harian menjadi lebih tinggi juga jika dibandingkan dengan perlakuan P1 (100% konsentrat) yang memiliki tingkat konsumsi pakan yang jauh lebih rendah (Widodo, 2011). Ditinjau dari harga pakan yang jauh lebih mahal pada saat penggunaan konsentrat dibandingkan dengan penggunaan limbah tauge, dengan hasil pertambahan bobot badan harian yang tidak berbeda nyata, maka penggunaan limbah tauge dapat memberikan keuntungan bagi peternak dan dapat menurunkan biaya pakan domba. Menurut Salamena (2006), pertambahan bobot badan seekor ternak merupakan peubah yang banyak tergantung pada ketersediaan pakan dan menimbulkan variasi yang cukup tinggi antar individu ternak. Wahju (1997) juga menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik disertai biaya ransum yang minimum akan menghasilkan keuntungan yang maksimal. Konsumsi Pakan Segar Pakan merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan dalam pertumbuhan, reproduksi, dan kesehatan ternak. Pemberian pakan yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak domba. Konsumsi pakan merupakan faktor essensial sebagai dasar untuk hidup pokok dan untuk produksi. Konsumsi pakan segar domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Tingkat Konsumsi Pakan Segar Domba Ekor Gemuk Selama Penelitian Kelompok P1 P2 P3 P4...(gram/ekor/hari) BBK 641,9±91,7 920,0±95,9 1408,4±68,0 1521,6±39,4 BBB 649,2±61,3 824±280,0 1308±175,0 1818,3±29,5 Rataan 645,6±69,8 c 871,9±194,4 c 1358,0±131,0 b 1669,9±165,5 a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge pada berbagai taraf perlakuan menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap tingkat konsumsi pakan segar domba selama penelitian. Konsumsi pakan domba perlakuan P4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan domba yang diberi 31

pakan perlakuan P3, P2 dan P1, dan konsumsi domba yang diberi pakan perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan konsumsi pakan domba yang diberi perlakuan P1. Konsumsi pakan tertinggi selama penelitian terjadi pada perlakuan P4 yaitu sekitar 1669,9 ± 165,5 gram/ekor/hari. Hal ini dikarenakan kandungan limbah tauge pada pakan perlakuan P4 jauh lebih banyak dibandingkan dengan kandungan limbah tauge pada perlakuan lainnya. Banyaknya kandungan limbah tauge dalam campuran pakan tersebut menyebabkan tekstur pakan menjadi lebih lembut karena hanya sedikit mengandung konsentrat yang berbentuk crumble dan mash, selain itu warna pakannya cerah (berwarna hijau) dan baunya lebih segar. Meskipun konsumsi pakan domba pada perlakuan P1 (100% konsentrat) berada dibawah konsumsi pakan perlakuan lainnya, namun hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Martawidjaja (1986), yang menyatakan bahwa rata-rata konsumsi domba yang diberi pakan konsentrat adalah 580 gram/ekor/hari. Martawidjaja (1986) juga menambahkan bahwa pemberian konsentrat pada domba sangat berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan domba yang diberi pakan konsentrat adalah 71 gram/ekor/hari. Dapat diketahui bahwa pertambahan bobot badan domba yang diberi pakan 100% konsentrat pada penelitian ini berada diatas pernyataan Martawidjaja (1986), yaitu sebesar 96,3 gram/ekor/hari, sedangkan pertambahan bobot badan harian untuk domba yang diberi penambahan limbah tauge yaitu mencapai 145,8 gram/ekor/hari. Ternak ruminansia membutuhkan pakan berserat sehingga aktifitas rumen dapat berfungsi dengan baik, ketika pakan yang diberikan kekurangan serat kasar atau terlalu banyak pakan penguat maka akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan. Dapat diketahui pula bahwa kandungan serat kasar dalam limbah tauge yaitu sebesar 36,55% BK. Faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan adalah jenis kelamin, bobot badan, keaktifan tahap pertumbuhan, kondisi fisiologis ternak dan kondisi lingkungan. Harfiah (2005) menambahkan bahwa konsumsi pakan pada seekor ternak akan bervariasi tergantung pada cara pemberian, cara penyediaan, bentuk makanan, dan jumlah makanan yang diberikan. Konsumsi pakan domba ini cukup fluktuatif selama penelitian, hal ini disebabkan oleh keadaan cuaca yang berubah-ubah dari musim kemarau hingga musim hujan yang tidak menentu. Pada awal penelitian, cuaca tergolong cerah karena intensitas hujan juga masih sedikit dan pada pertengahan bulan penelitian 32

curah hujan mulai tinggi dan sering terjadi hujan pada siang dan sore harinya, namun pada bulan terakhir penelitian kembali terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan perubahan suhu lingkungan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pakan domba. Diketahui bahwa tingkat konsumsi pakan domba mengalami penurunan dari pertengahan bulan yang mencapai 1313 gram/ekor/hari menjadi 1297 gram/ekor/hari pada bulan terakhir penelitian. Konsumsi Bahan Kering Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge yang berbeda pada pakan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi bahan kering total domba ekor gemuk. Konsumsi bahan kering pada perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3, dan nyata lebih tinggi daripada perlakuan P2, dan P1. Rataan konsumsi bahan kering domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Ekor Gemuk Kelompok P1 P2 P3 P4...(gram/ekor/hari) BBK 516,9±73,8 658,2±68,6 881,3±42,6 815,5±21,1 BBB 522,8±49,3 589±200,0 818,1±109,6 974,53±15,79 Rataan 519,8±56,2 b 623,8±139,1 b 849,7±82,0 a 895,0±88,7 a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Konsumsi bahan kering yang tinggi pada perlakuan P3 dan P4 ini dikarenakan domba yang diberi pakan perlakuan P3 dan P4 mengkonsumsi pakannya dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan domba pada perlakuan lainnya. Banyaknya konsumsi pakan pada perlakuan tersebut dikarenakan campuran antara limbah tauge yang lebih banyak dibandingkan dengan konsentrat yang memiliki bentuk pakan mash. Sedangkan domba yang diberi pakan perlakuan P1 dan P2 mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga konsumsi bahan kering pakannya juga jauh lebih sedikit. Dapat diketahui bahwa pakan perlakuan P1 dan P2 mengandung konsentrat yang lebih banyak dibandingkan 33

dengan limbah taugenya. Kandungan konsentrat yang lebih banyak menjadikan pakan tersebut mengandung energi yang lebih banyak pula. Banyaknya kandungan energi dapat menyebabkan ternak merasa lebih cepat kenyang sehingga tingkat konsumsi pakannya akan terhitung lebih sedikit. Dapat diketahui pula bahwa domba akan berhenti makan ketika kebutuhan dari energinya telah terpenuhi, atau ketika kapasitas rumennya telah penuh, bahkan ketika bahan pakan tersebut tidak palatabel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parakkasi (1999) yaitu pemberian pakan konsentrat yang terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan. Tingkat palatabilitas pakan pada setiap perlakuan juga memiliki pengaruh yang nyata. Tingkat palatabilitas pakan yang rendah pada pakan perlakuan P1 dan P2 dikarenakan pakan yang diberikan memiliki tekstur yang kering dengan bentuk mash karena mengandung konsentrat lebih banyak dibandingkan dengan kandungan limbah taugenya. Pakan perlakuan P3 dan P4 memiliki tekstur yang lembut, pulen, dan warna yang cerah karena mengandung limbah tauge yang lebih banyak. Limbah tauge memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga ketika dicampurkan dengan konsentrat menghasilkan pakan dengan tekstur yang pulen. Oleh karena itu tingkat konsumsi bahan kering pakan pada perlakuan P1 dan P2 rendah, karena dengan tingkat palatabilitas pakan yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakannya, sedangkan pada perlakuan P3 dan P4 tingkat palatabilitasnya tinggi sehingga dapat meningkatkan tingkat konsumsi pakannya. Palatabilitas pakan yang rendah diukur dari tekstur pakan yang kasar dengan bentuk pakan yang mash. Menurut Chruch dan Pond (1988) konsumsi pakan yang dipengaruhi oleh palatabilitas tergantung pada beberapa hal antara lain penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa dan tekstur pakan. Konsumsi bahan kering harian domba berkisar antara 519,8 895,0 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi bahan kering ini telah sesuai dengan National Research Council (1985) yang menyatakan bahwa dengan bobot badan domba berkisar antara 10-20 kg maka konsumsi bahan kering domba tersebut berkisar antara 500-1000 gram/ekor/hari. Kandungan bahan kering pada limbah tauge adalah 60,36% sedangkan konsentrat mengandung bahan kering sebesar 80,52%. Tingginya kandungan bahan kering dalam pakan 100% konsentrat tidak menjamin konsumsi bahan kering domba yang memperoleh perlakuan 100% konsentrat 34

tersebut akan besar pula. Hal ini dikarenakan tingkat palatabilitas yang rendah pada pakan perlakuan yang mengandung 100% konsentrat dibandingkan dengan tingkat palatabilitas pada pakan yang mengandung limbah tauge. Oleh karena itu konsumsi bahan kering domba yang memperoleh pakan lebih banyak limbah tauge, memiliki tingkat konsumsi bahan kering yang lebih tinggi diakibatkan palatabilitasnya tinggi meskipun kandungan bahan keringnya rendah. Faktor lain yang berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering pakan adalah keadaan cuaca yang mengalami perubahan pada bulan terakhir penelitian. Tingkat curah hujan yang mengalami penurunan yang cukup besar yaitu pada awal penelitian adalah 601 mm menjadi 436,2 mm pada bulan terakhir penelitian, dari perubahan cuaca yang menjadi lebih panas menyebabkan konsumsi pakan domba mengalami penurunan sehingga konsumsi bahan keringnya juga turun. Konsumsi Protein Kasar Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno, 1981). Protein berfungsi sebagai zat pembangun karena sebagai bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang terdapat didalam tubuh, protein juga berfungsi sebagai bahan bakar jika karbohidrat dan lemak belum memenuhi kebutuhan energi dalam tubuh. Rataan konsumsi protein kasar harian domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Konsumsi Protein Kasar Harian Domba Ekor Gemuk Kelompok P1 P2 P3 P4...(gram/ekor/hari) BBK 67,91±9,70 86,98±9,06 117,32±5,67 109,63±2,84 BBB 68,69±6,48 77,9±26,5 108,92±14,59 131,01±2,12 Rataan 68,30±7,39 b 82,43±18,38 b 113,12±10,92 a 120,32±11,92 a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge yang berbeda pada pakan domba berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi protein kasar. Konsumsi protein kasar pada perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan 35

perlakuan P3 dan nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan P2 dan P1. Hal ini dikarenakan pada perlakuan P3 dan P4 konsumsi bahan kering pakannya sangat tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga konsumsi protein kasarnya juga tinggi. Sesuai dengan pernyataan Harfiah (2005), yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering pakan akan sejalan dengan konsumsi protein kasar. Tingkat palatabilitas yang tinggi pada perlakuan P3 dan P4 serta kandungan limbah tauge yang lebih banyak pula, maka dapat meningkatkan konsumsi protein kasar pada setiap ekor domba. Konsumsi protein kasar terendah terjadi pada perlakuan P1 dan P2, hal ini dikarenakan pada perlakuan P1, domba hanya mengkonsumsi konsentrat saja dan pada perlakuan P2, domba masih mengkonsumsi konsentrat yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan limbah taugenya. Tingkat palatabilitas konsentrat yang tidak terlalu tinggi, menyebabkan tingkat konsumsi pakannya juga rendah. Konsumsi pakan yang rendah mampu menurunkan konsumsi protein kasar yang terdapat dalam pakan tersebut. Rataan konsumsi protein kasar berkisar antara 68,30-120,32 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi protein kasar pada penelitian ini masih berada dibawah hasil penelitian Tomaszewska et al (1993) yang menyatakan bahwa kebutuhan protein kasar domba jantan dengan bobot badan 20 kg, dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 50 gram/ekor/hari, maka kebutuhan protein kasarnya adalah 106,8 gram/ekor/hari. Adanya kekurangan konsumsi protein kasar pada penelitian ini, namun pertambahan bobot badan harian domba yang dihasilkan ternyata berada di atas rataan menurut Tomaszewska et al (1993). Rataan pertambahan bobot badan harian domba adalah 114,97 ± 41,32 gram/ekor/hari sedangkan menurut Tomaszewska et al (1993) pertambahan bobot badan hariannya adalah 50 gram/ekor/hari. Menurut National Research Council (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 gram/ekor/hari. Adapun perbedaan konsumsi protein kasar dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan National Research Council yaitu terkait dengan genetik dari perbedaan jenis domba yang digunakan antara domba lokal yang hidup di daerah tropis dengan domba luar negeri yang hidup di daerah subtropis. Selain itu suhu lingkungan yang jauh lebih rendah untuk daerah subtropis dapat menyebabkan kebutuhan protein kasar untuk setiap ekor ternak akan sangat tinggi dibandingkan dengan kebutuhan protein kasar di 36

daerah tropis seperti Indonesia. Pada suhu lingkungan yang dingin, ternak cenderung meningkatkan laju metabolisme yaitu melalui perombakan pakan salah satunya dengan perombakan protein kasar. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan suhu tubuh ternak agar tidak terpengaruh atau terjadi penurunan dan menyebabkan suhu tubuhnya sama dengan suhu lingkungan. Oleh karena itu domba yang terdapat di daerah subtropis memerlukan protein kasar dalam jumlah yang lebih banyak yaitu sekitar 127-167 gram/ekor/hari, sedangkan di daerah yang panas atau tropis seperti di Indonesia ternak cenderung mengurangi laju metabolisme sehingga tubuhnya tidak memproduksi panas yang berlebihan karena suhu lingkungannya sudah tinggi. Oleh karena itu, dengan konsumsi protein kasar yang rendah yaitu sekitar 96,04 ± 24,92 gram/ekor/hari sudah mampu memenuhi kebutuhan dari ternak domba tersebut karena yakni dapat meningkatkan pertambahan bobot harian sebesar 114,97 ± 41,32 gram/ekor/hari. Kandungan protein kasar pada limbah tauge adalah 13,63% BK sedangkan pada konsentrat mengandung protein kasar sebesar 13,14% BK. Menurut Aguilera (1973), daya cerna protein kasar akan terhambat seiring dengan meningkatnya serat kasar dalam pakan. Kandungan serat kasar dalam pakan yang digunakan yaitu baik konsentrat ataupun limbah tauge mengandung serat kasar yang cukup tinggi. Limbah tauge mengandung serat kasar sebesar 49,44% BK sedangkan konsentrat mengandung serat kasar 16,92% BK. Serat kasar yang tinggi akan berpengaruh terhadap daya cerna protein dan juga terhadap pertumbuhan ternak tersebut. Konsumsi Serat Kasar Kandungan serat kasar dalam bahan pakan mampu mengurangi tingkat kecernaan pakan dalam tubuh ternak. Laju kecernaan serat kasar dalam tubuh ternak berlangsung sangat cepat sehingga kandungan nutrien yang terdapat dalam pakan akan tercerna dalam jumlah yang lebih sedikit. Rataan konsumsi serat kasar pada domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. 37

Tabel 8. Rataan Konsumsi Serat Kasar Pada Domba Ekor Gemuk Kelompok P1 P2 P3 P4...(gram/ekor/hari) BBK 87,43±12,49 144,72±15,08 251,27±12,13 303,55±7,87 BBB 88,42±8,35 129,6±44,0 233,3±31,2 362,76±5,88 Rataan 87,93±9,51 d 137,1±30,6 c 242,27±23,38 b 333,2±33,0 a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge yang berbeda pada pakan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi serat kasar domba ekor gemuk. Konsumsi serat kasar pada penelitian ini berkisar antara 87,93-333,2 gram/ekor/hari. Konsumsi serat kasar pada perlakuan P4 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi serat kasar pada pakan perlakuan P3, P2, dan P1. Konsumsi serat kasar pada pakan perlakuan P3 juga nyata lebih tinggi daripada konsumsi serat kasar pada pakan perlakuan P2 dan P1. Perlakuan P2 juga memiliki tingkat konsumsi serat kasar yang nyata lebih tinggi daripada konsumsi serat kasar pada pakan perlakuan P1. Konsumsi serat kasar yang tinggi pada perlakuan P4 dikarenakan kandungan limbah tauge pada perlakuan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya. Kandungan serat kasar pada limbah tauge yaitu sebesar 49,44% BK dan jauh lebih tinggi daripada kandungan serat kasar dalam konsentrat yaitu 16,92% BK. Selain itu dapat diketahui pula bahwa konsumsi pakan pada perlakuan P4 (penambahan 75% limbah tauge) memiliki tingkat konsumsi pakan yang paling tinggi dibandingkan dengan konsumsi pakan perlakuan lainnya. Tingginya tingkat konsumsi pakan dapat meningkatkan konsumsi dari kandungan serat kasar yang terdapat dalam pakan tersebut. Kandungan serat kasar yang tinggi pada limbah tauge mampu menjadi faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna makanan (Tilman et al., 1998). Sifat dari ternak ruminansia yang memiliki kemampuan untuk mencerna serat kasar dikarenakan terdapatnya mikroba dalam rumen. Kecukupan dari konsumsi serat kasar akan mampu mempengaruhi pertumbuhan. Semakin tinggi konsumsi serat kasar tidak akan selalu dapat meningkatkan pertumbuhan dari domba tersebut. 38

Hal ini dapat diketahui dari pertambahan bobot badan hariannya yang tidak berbeda nyata antara domba yang diberi pakan 75% limbah tauge dengan domba yang diberi pakan 0% limbah tauge. Namun menurut Winugroho dan Widiawati (2009), untuk mengefisiensikan penggunaan pakan oleh ternak yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan protein yang tinggi perlu diimbangi dengan pemberian pakan sumber serat sebagai penghasil energi. Oleh karena itu kandungan serat kasar dalam pakan tetap memiliki posisi yang sangat penting. Total Digestible Nutrient (TDN) Total Digestible Nutrient (TDN) merupakan suatu nilai yang menunjukkan jumlah dari bahan makanan yang dapat dicerna dan diserap serta disimpan oleh hewan didalam tubuhnya. Semakin tinggi nilai TDN dari suatu pakan, maka pakan tersebut semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan. Adapun nilai TDN pada penelitian ini diperoleh melalui perhitungan rumus berdasarkan Hartadi et al (1993). Rataan TDN pada domba ekor gemuk selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Total Digestible Nutrient Pada Domba Ekor Gemuk Kelompok P1 P2 P3 P4...(gram/ekor/hari) BBK 186,2±26,6 236,2±24,6 314,93±15,2 290,21±7,5 BBB 188,3±17,8 211,5±71,8 292,4±39,2 346,81±5,6 Rataan 187,28±20,5 b 223,8±49,9 b 303,6±29,3 a 318,5±31,6 a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukan berbeda nyata (P<0,05); BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan limbah tauge yang berbeda pada pakan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap Total Digestible Nutrient (TDN) domba ekor gemuk selama penelitian. Dapat diketahui bahwa kandungan TDN dalam konsentrat yaitu sebesar 62,11% dan kandungan TDN dalam limbah tauge adalah 64,65%. Besarnya kandungan TDN dalam limbah tauge dapat mempengaruhi tingkat Total Digestible Nutrient (TDN) yang dapat diserap oleh ternak itu sendiri. Semakin besar nilai TDN maka semakin tinggi juga 39

kandungan TDN yang dapat diserap oleh ternak tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh tingkat palatabilitas pakan yang tinggi pada perlakuan dengan penambahan limbah tauge. Kandungan Total Digestible Nutrient (TDN) pada perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan kandungan TDN pada perlakuan P3 dan nyata lebih tinggi dari kandungan TDN pada perlakuan P2 dan P1. Aboenawan (1991) menyatakan bahwa TDN adalah salah satu cara untuk mengetahui energi pakan. Semakin tinggi nilai TDN suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan. Oleh karena itu, pakan perlakuan dengan penambahan limbah tauge dapat dinyatakan sebagai pakan yang baik karena kandungan TDN yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan 100% konsentrat. Hal ini menyebabkan perlakuan P4 mampu memiliki kandungan TDN paling banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya, karena pada perlakuan P4 jumlah limbah tauge yang digunakan lebih banyak dan tingkat konsumsi pakannya juga jauh lebih tinggi. Menurut National Research Council (1985), domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan TDN sebesar 400-800 gram/ekor/hari untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua perlakuan, kandungan TDN belum memenuhi kebutuhan TDN berdasarkan National Research Council. Perbedaan kandungan TDN dengan kebutuhan berdasarkan NRC tidak lantas mempengaruhi pertambahan bobot badan harian domba. Pertambahan bobot badan harian domba yang diperoleh selama penelitian adalah 114 gram/ekor/hari dengan kandungan TDN hanya sebesar 258,3 ± 64,4 gram/ekor/hari. Adanya perbedaan kebutuhan TDN antara hasil penelitian dengan National Research Council (1985) yaitu terkait dengan perbedaan lingkungan, dimana NRC menjadi dasar untuk acuan daerah subtropis sedangkan penelitian ini berlangsung di daerah tropis, selain itu adanya perbedaan jenis dan bangsa domba yang juga mampu mempengaruhi tingkat kebutuhan TDN tersebut. 40

Ukuran Morfometrik Tubuh Domba Ekor Gemuk Setiap komponen tubuh memiliki kecepatan pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dipengaruhi oleh lingkungan. Penentuan bobot badan masih mengalami kesulitan, hal ini dikarenakan penimbangan ternak yang masih belum praktis terutama di pedesaan (Massiara, 1986). Oleh karena itu, pengukuran bagianbagian tubuh dapat digunakan untuk mengestimasi bobot tubuh ternak. Panjang Badan Domba Ekor Gemuk Rataan panjang badan domba ekor gemuk jantan selama penelitian dengan penambahan limbah tauge dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Panjang Badan Domba Ekor Gemuk Selama Penelitian Kel P1 P2 P3 P4 Rataan (cm/ekor) BBK 49,45±1,07 52,75±1,52 49,50±1,73 47,33±0,14 49,76±2,30 BBB 54,00±0,50 51,33±4,86 52,83±2,52 51,73±1,38 52,48±2,65 Rataan 51,73±2,60 52,04±3,31 51,17±2,66 49,53±2,56 51,12±2,79 Keterangan : BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, penambahan limbah tauge pada taraf pemberian yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap panjang badan domba ekor gemuk tersebut. Rataan umum panjang badan domba ekor gemuk adalah 51,12 ± 2,792 cm. Panjang badan domba ekor gemuk dari hasil penelitian ini masih berada dibawah hasil penelitian Wijonarko (2007) yang berkisar antara 56,02-64,74 cm. Perbedaan yang diperoleh disebabkan adanya perbedaan genetik, lokasi penelitian dan sistem pemeliharaan. Lokasi penelitian Wijonarko (2007) dilaksanakan di Pulau Madura dan Pulau Rote, adapun keadaan iklim di sana relatif lebih kering dibandingkan dengan daerah Indonesia bagian barat. Perbedaan lainnya dari kedua penelitian ini adalah umur ternak yang digunakan, pada penelitian Wijonarko (2007) umur domba ekor gemuk jantan yang digunakan berkisar antara tiga sampai empat tahun sedangkan pada penelitian ini domba ekor gemuk yang digunakan berumur kurang dari satu tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johansson dan Rendel (1968) bahwa panjang badan seekor ternak lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan 41

kerangka tulang atau genetik. Diwyanto (1982) menambahkan bahwa setiap komponen tubuh memiliki kecepatan tumbuh yang berbeda tergantung pada lingkungan atau alam. Noor (2003) menyatakan bahwa ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan optimal apabila tidak didukung oleh kondisi lingkungan yang baik, sebaliknya ternak yang memiliki mutu genetik rendah, meski didukung oleh lingkungan yang baik maka tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi. Panjang badan domba ekor gemuk dengan umur dibawah satu tahun berkisar antara 47,94-50,49 cm (Aziz, 2006). Melihat hasil penelitian Aziz (2006) maka panjang badan domba ekor gemuk pada hasil penelitian ini masih berada pada kisaran yang normal. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa umur memegang pengaruh yang cukup besar dalam rataan panjang badan seekor ternak. Semakin tua umur seekor ternak maka panjang badan ternak tersebut akan semakin panjang dibandingkan dengan ternak yang umurnya jauh lebih muda. Selain itu waktu penelitian yang singkat yaitu hanya dua bulan saja tidak akan memberikan pengaruh terhadap perubahan panjang badan seekor ternak. Tinggi Badan Domba Ekor Gemuk Rataan tinggi badan domba ekor gemuk jantan selama penelitian dengan penambahan limbah tauge selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel. 11. Rataan Tinggi Badan Domba Ekor Gemuk Selama Penelitian Kel P1 P2 P3 P4 Rataan (cm/ekor) BBK 50,17±0,80 51,08±0,14 50,50±3,68 50,08±3,32 50,46±2,18 BBB 51,75±0,87 53,00±3,93 52,33±0,95 51,17±1,88 52,06±2,06 Rataan 50,96±1,15 52,04±2,70 51,42±2,61 50,63±2,48 51,26±2,23 Keterangan : BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Berdasarkan hasil analisis ragam, perbedaan taraf perlakuan yaitu dengan penambahan limbah tauge yang berbeda-beda tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi badan domba ekor gemuk tersebut. Rataan umum tinggi badan domba ekor gemuk adalah 51,26 ± 2,23 cm dengan kisaran rataan tinggi badan antara 50,63-52,04 cm. Tidak berbedanya tinggi badan domba ekor gemuk dalam setiap 42

perlakuan kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Faktor genetik yang sama dari semua jenis ternak yang digunakan pada penelitian ini yaitu domba ekor gemuk jantan berumur kurang dari satu tahun dan semuanya berasal dari Jawa Timur, sehingga kecepatan tumbuh untuk panjang badannya akan berlangsung hampir sama meskipun telah diberikan perlakuan pakan yang berbeda. Selain itu waktu penelitian yang singkat yaitu hanya dua bulan saja tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan tinggi badan seekor ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johansson dan Rendel (1968) yang menyatakan bahwa tinggi badan ternak lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang yang merupakan pengaruh faktor genetik, bukan sepenuhnya dipengaruhi oleh daging dan otot. Tinggi badan domba ekor gemuk yang diperoleh dari hasil penelitian ini berada dibawah hasil penelitian Wijonarko (2007) yaitu 62,30-64,95 cm. Tinggi badan domba yang diperoleh juga belum sesuai dengan hasil penelitian Aziz (2006) yang menyatakan bahwa rataan tinggi badan domba ekor gemuk jantan berumur kurang dari satu tahun berkisar antara 52,14-55,81 cm. Perbedaan yang diperoleh dari kedua hasil penelitian tersebut dapat dikarenakan adanya perbedaan genetik dan lokasi penelitian atau lingkungan yang berbeda serta sistem pemeliharaan yang berbeda-beda juga. Hardjosubroto (1994) menambahkan bahwa tinggi badan domba ekor gemuk pada jantan yang telah dewasa antara 60-65 cm dan pada betina dewasa adalah 52-60 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wijonarko (2007), dimana pada penelitiannya domba yang dipelihara di Pulau Rote didatangkan dari Jawa Timur memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada domba yang dipelihara di Pulau Madura. Dapat diketahui juga bahwa domba ekor gemuk yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Jawa Timur. Sistem pemeliharaan juga memegang peranan penting, pada penelitian Wijonarko (2007) sistem pemeliharaannya adalah ekstensif sedangkan pada penelitian Aziz (2006) dipelihara secara semi intensif dengan penambahan silase dari sisa makan restoran. Adapun sistem pemeliharaan pada penelitian ini dilaksanakan secara intensif dan diberikan pakan campuran konsentrat dan limbah tauge. Pemberian jenis pakan yang berbeda dengan penelitian Aziz (2006) dapat mempengaruhi pertumbuhan seekor ternak, oleh karena itu tinggi badan ternak juga berbeda meskipun umur ternak yang digunakan adalah sama yaitu domba dengan 43

umur dibawah satu tahun. Faktor lainnya yang mempengaruhi perbedaan tinggi badan diantara kedua penelitian yaitu umur ternak. Umur ternak yang digunakan pada penelitian Wijonarko (2007) yaitu berkisar antara tiga sampai empat tahun, sedangkan pada penelitian ini, domba ekor gemuk yang digunakan berumur kurang dari satu tahun. Perbedaan umur pada seekor ternak menjadikan tinggi badan ternak tersebut berbeda pula. Ternak dengan umur yang lebih tua memiliki tinggi badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak pada saat umurnya masih muda. Nataatmaja dan Arifin (2008) menambahkan bahwa tinggi badan seekor ternak sejalan dengan meningkatnya umur secara normal. Lingkar Dada Domba Ekor Gemuk Lingkar dada biasanya dianggap sebagai keliling pada bagian dada dari badan seekor ternak, sehingga tidak heran bahwa lingkar dada dapat bernilai ekonomis. Rataan lingkar dada domba ekor gemuk jantan selama penelitian dengan penambahan limbah tauge dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rataan Lingkar Dada Domba Ekor Gemuk Selama Penelitian Kel P1 P2 P3 P4 Rataan (cm/ekor) BBK 55,92±4,88 58,33±2,88 56,08±2,55 55,00±2,61 56,33±3,15 BBB 58,08±0,80 56,33±2,75 60,25±1,75 59,92±2,24 58,65±2,38 Rataan 57,00±3,34 57,33±2,75 58,17±3,01 57,46±3,46 57,49±2,97 Keterangan : BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Berdasarkan hasil analisis ragam, rataan umum lingkar dada domba ekor gemuk tidak berpengaruh nyata atas penambahan limbah tauge pada berbagai taraf perlakuan yang berbeda. Rataan umum yang diperoleh adalah 57,49±2,97 cm dengan kisaran rataan pada setiap perlakuan yaitu 57,00±3,34-58,17±3,01 cm. Lingkar dada domba ekor gemuk dari hasil penelitian ini telah sesuai dengan hasil penelitian Aziz (2006) yang menyatakan bahwa lingkar dada untuk domba ekor gemuk jantan pada umur dibawah satu tahun berkisar antara 57,32±5,1-65,35±4,02 cm. Namun lingkar dada domba ekor gemuk yang diperoleh dari hasil penelitian ini 44

belum sesuai dengan hasil penelitian Wijonarko (2007) yang berkisar antara 75,80±10,10-77,56±6,25 cm. Perbedaan yang diperoleh dari kedua penelitian tersebut adalah perbedaan umur ternak yang digunakan. Pada penelitian Wijonarko (2007) ternak yang digunakan yaitu berumur tiga sampai empat tahun, sedangkan pada penelitian ini menggunakan ternak domba berumur dibawah satu tahun. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa semakin tua umur seekor ternak maka lingkar dada ternak tersebut juga akan semakin besar. Hal ini dikarenakan seekor ternak tersebut telah mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan dari bagian-bagian tubuhnya, dan telah diperoleh timbunan otot atau daging dari pakan yang dikonsumsinya. Menurut Johansson dan Rendel (1968), pertumbuhan lingkar dada dipengaruhi oleh pertumbuhan daging dan otot, sehingga faktor lingkungan dapat mempengaruhi pola konsumsi pakan ternak tersebut. Tingkat konsumsi ternak selama penelitian diketahui berpengaruh nyata terhadap perlakuan pemberian pakan yang berbeda. Pakan perlakuan P4 memiliki tingkat konsumsi pakan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan pakan lainnya. Namun dapat diketahui pula bahwa pertambahan bobot badan harian domba tidak berpengaruh nyata atas perlakuan yang diberikan. Hal tersebut dapat mempengaruhi rataan lingkar dada domba yang juga tidak berpengaruh nyata atas perlakuan pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sarasono et al (1991) yang menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dan lingkar dada biasanya nyata sama, artinya ketika pertambahan bobot badan tidak berpengaruh nyata atas perlakuan pakan yang diberikan maka kemungkinan lingkar dada juga tidak akan berpengaruh nyata. Pengaruh lainnya adalah adanya perbedaan lokasi dan sistem pemeliharaan. Lokasi penelitian Wijonarko (2007) berada di daerah yang relatif lebih kering dibandingkan dengan wilayah Indonesia Barat, yaitu Pulau Madura dan Pulau Rote dengan sistem pemeliharaan ekstensif, sedangkan pada penelitian ini dilaksanakan dengan sistem intensif. 45

Lebar Dada Domba Ekor Gemuk Rataan lebar dada domba ekor gemuk jantan selama penelitian dengan penambahan limbah tauge dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Rataan Lebar Dada Domba Ekor Gemuk Selama Penelitian Kel P1 P2 P3 P4 Rataan (cm/ekor) BBK 11,78±1,59 12,33±0,80 12,33±0,80 11,67±1,04 12,03±0,10 BBB 13,08±0,95 12,50±1,39 13,75±0,66 12,67±0,88 13,00±0,99 Rataan 12,43±1,37 12,42±1,02 13,04±1,02 12,17±1,02 12,52±1,09 Keterangan : BBK (kelompok bobot badan kecil); BBB (kelompok bobot badan besar) P1 = 100% konsentrat + 0% limbah tauge; P2 = 75% konsentrat + 25% limbah tauge P3 = 50% konsentrat + 50% limbah tauge; P4 = 25% konsentrat + 75% limbah tauge Penambahan limbah tauge dengan campuran konsentrat pada pakan domba tidak berpengaruh nyata terhadap lebar dada domba ekor gemuk. Rataan umum lebar dada domba ekor gemuk adalah 12,52±1,09 cm dengan kisaran rataan setiap perlakuan adalah 12,17±1,02-13,04±1,02 cm. Lebar dada domba ekor gemuk yang diperoleh dari hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Aziz (2006), yang menyatakan bahwa lebar dada domba ekor gemuk pada umur dibawah satu tahun berkisar antara 11,01±1,58-13,73±1,63 cm. Menurut Aziz (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa lebar dada seekor ternak dipengaruhi oleh lokasi penelitian. Tidak berbedanya antara lebar dada domba ekor gemuk dalam penelitian ini dengan hasil penelitian Aziz diduga karena domba ekor gemuk tersebut memiliki genetik yang sama meskipun lokasi penelitiannya berbeda. Hasil penelitian Wijonarko (2007) menyatakan bahwa lebar dada domba ekor gemuk jantan berkisar antara 14,06±0,94 14,46±1,68 cm. Lebar dada yang diperoleh dari hasil penelitian Wijonarko (2007) nyata lebih besar daripada lebar dada yang diperoleh pada penelitian ini. Perbedaan tersebut dikarenakan lokasi penelitian dan umur domba ekor gemuk yang digunakan juga berbeda. Pada penelitian Wijonarko (2007), domba ekor gemuk yang digunakan berumur tiga sampai empat tahun, sedangkan pada penelitian ini domba ekor gemuk yang digunakan berumur kurang dari satu tahun. Selain itu lokasi penelitian Wijonarko (2007) berada di wilayah dengan iklim yang lebih kering yaitu Pulau Madura dan Pulau Rote. 46

Hubungan Ukuran Morfometrik Tubuh dengan Bobot Badan Domba Ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu (Mulliadi, 1996). Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran umum pada seekor ternak yang dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaanperbedaan seekor ternak. Pertumbuhan seekor ternak akan menghasilkan suatu nilai korelasi antara bobot badan dengan setiap ukuran-ukuran tubuh. Setiap pertumbuhan komponen-komponen tubuh akan diikuti dengan peningkatan ukuran-ukuran tubuh (Doho, 1994). Hasil analisis regresi antara panjang badan dengan bobot badan domba ekor gemuk dengan persamaan regresi yaitu y= a + bx adalah Bobot = - 10.11 + 0.57 Panjang Badan, dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 39,1%. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1 cm panjang badan domba maka akan meningkatkan 0,57 kg bobot badan domba tersebut. Nilai P- Value < 0,05 maka persamaan regresi tersebut layak digunakan dan diketahui bahwa terdapatnya hubungan yang berpengaruh nyata antara kenaikan satu satuan peubah panjang badan yang akan diikuti oleh kenaikan 0,57 satuan bobot badan domba tersebut. Korelasi antara kedua peubah tersebut adalah positif yaitu sebesar 64,6%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhayati (2004) yaitu panjang badan dan bobot badan memiliki nilai korelasi yang positif pada ternak domba Priangan di Kabupaten Garut. Panjang badan pada domba Garut Margawati juga memiliki nilai koefisien korelasi yang tertinggi terhadap bobot badan yaitu dengan nilai korelasi sebesar 97% (Jamal, 2007). Persamaan regresi antara tinggi badan dengan bobot badan domba ekor gemuk dengan persamaan regresi yaitu y= a + bx adalah Bobot = - 6.32 + 0.50 Tinggi Badan dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 16,5%. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa peningkatan 1 cm tinggi badan maka akan meningkatkan bobot badan sebesar 0,5 kg. Nilai P-Value < 0,05 maka persamaan regresi tersebut layak digunakan dan diketahui bahwa terdapatnya hubungan yang berpengaruh nyata antara kenaikan satu satuan peubah tinggi badan yang akan diikuti oleh kenaikan 0,5 satuan bobot badan domba tersebut. Korelasi antara kedua peubah 47