HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat pertumbuhan ternak semakin baik karena tingkat nafsu makan dan jumlah konsumsi pakannya semakin tinggi. Lokasi penelitian memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang tidak sama antara siang dan malam hari. Data suhu dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat Penelitian Waktu Suhu (⁰C) Kelembaban (%) Pagi 27,58±1,80 c 76,67±8,98 a Siang 33,17±0,75 a 58,17±8,61 c Sore 30,33±1,03 b 60,33±6,06 b Keterangan : superskrip huruf yang berbeda (a,b,c) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00 WIB) Suhu optimum kerbau untuk hidup yaitu berada pada kisaran o C dengan kelembaban 60% - 70% (Yurleni, 2000), walaupun kenyataannya kerbau paling banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis, akan tetapi kerbau tidak tahan terhadap panas. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu pada pagi hari nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan pada siang dan sore hari, sedangkan pada siang hari nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan pada pagi dan sore hari. Hal ini dapat disebabkan perbedaan suhu antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari suhu udara belum meningkat dan belum terkena pancaran sinar matahari, sedangkan pada siang hari suhu udara sudah meningkat dan sudah terkena pancaran sinar matahari yang maksimal, sehingga suhu udara dalam kandang menjadi tinggi. Suhu udara dalam kandang pada sore hari kembali turun, karena panasnya pancaran sinar matahari sudah berkurang. Tingginya suhu udara di dalam kandang selama penelitian karena penelitian dilakukan secara intensif atau dikandangkan, selain itu juga tempat penelitian berada pada daerah tropis, sedangkan kerbau biasanya berada pada lingkungan yang basah dan suka berkubang. Hal ini ada kemungkinan akan menyebabkan kerbau mengalami heat stress, sehingga dapat

2 menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan tingkah laku normal kerbau. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka selama penelitian dilakukan penyiraman terhadap ternak sebanyak tiga kali sehari, sehingga ternak tidak terlalu stress terhadap panas dan nyaman terhadap lingkungan. Kesejahteraan ternak akan terjamin bila salah satunya jika sistem pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok ternak dan lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan ternak. Hasil analisis ragam terhadap kelembaban udara di dalam kandang juga menunjukkan bahwa pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05) antara siang dan sore hari dan juga berbeda nyata antara siang dan sore hari. Kelembaban udara berkaitan erat dengan dengan suhu udara, dimana kelembaban akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Kelembaban pada pagi hari tinggi, karena suhu lingkungan pada pagi hari rendah, begitu juga dengan kelembaban pada siang hari rendah karena suhu lingkungan pada siang hari meningkat. Tingkah Laku Umum Kerbau Rawa yang Diberi Perlakuan CGKK dan Non CGKK Tingkah laku hewan adalah respon hewan tersebut terhadap lingkungan (Gonyou, 1991). Tingkat kesejahteraan ternak dapat diketahui salah satunya dengan mengamati tingkah laku normalnya. Seorang peternak yang baik harus mengetahui kebiasaan dan tingkah laku ternaknya, sehingga dapat mengelola peternakan dengan baik dan efektif. Hasil pengamatan berupa rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa secara keseluruhan yang diberi perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang Disuplementasi CGKK dan Non CGKK. Tingkah Laku Makan Agonistik Eliminasi Merawat Diri Vokalisasi.. Kali/ 10 Menit.. CGKK 3,33 ± 1,17 1,78 ± 0,59 0,20 ± 0,06 2,00 ± 1,12 0,02 ± 003 Non CGKK 3,54 ± 1,25 2,11 ± 0,80 0,22 ± 0,11 2,00 ± 0,17 0,00 ± 0,00 Rataan 3,44 ± 1,08 1,94 ± 0,65 0,21 ± 0,08 2,00 ± 0,71 0,01± 0,02 Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Berdasarkan hasil uji Man Whitney pada Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi masing - masing tingkah tingkah laku tidak berbeda nyata (P>0,05) antara 23

3 kerbau yang diberi suplemen CGKK dengan kerbau non CGKK. Rataan jumlah frekuensi tingkah laku makan pada kerbau CGKK dan non CGKK lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan tingkah laku lainnya seperti tingkah laku agonistik, eliminasi, merawat diri dan vokalisasi. Tingkah laku makan lebih banyak dilakukan disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Tingkah laku yang lebih banyak dilakukan setelah tingkah laku makan yaitu tingkah laku merawat diri, hal ini mungkin disebabkan karena lingkungan yang kering, sehingga kerbau terus menjilati tubuhnya supaya basah dan selain itu juga lalat sering hinggap ditubuhnya. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang hidup ditempat yang lembab dan berkubang, sehingga tubuhnya bebas dari lalat dan tidak kepanasan. Tingkah laku agonistik, tingkah laku eliminasi dan tingkah laku vokalisasi terlihat jarang dilakukan kerbau selama pengamatan. Tingkah laku makan sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan ternak, terutama ternak kerbau. Sebagaimana menurut Banerjee (1982) bahwa kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk. Hal ini berkaitan erat dengan tingkah laku kerbau, dimana di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya dan memperoleh pakan yang nutrisinya terpenuhi dan mempunyai palatabilitas tinggi, maka kesejahteraan kerbau dapat tercapai dan melakukan tingkah laku yang normal. Selain ternak kerbau menunjukkan tingkah laku yang normal juga menunjukkan tingkat produktivitas yang baik. Berdasarkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa konsumsi ransum total ternak dengan suplemen CGKK lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan ternak tanpa suplemen CGKK. Hal ini menunjukkan suplemen CGKK mampu meningkatkan nafsu makan dari ternak (Nurbianti, 2012). Campuran Garam Karboksilat Kering merupakan suplemen tambahan yang berbahan dasar minyak ikan lemuru, onggok super dan garam karboksilat. Penambahan suplemen pakan hanya 4,5% dari 1 kg konsentrat karena kandungan garam pada suatu ransum tidak dapat lebih dari 5%. Bau yang khas ikan lemuru cenderung memiliki palatabilitas rendah, namun CGKK memiliki rasa yang 24

4 disukai oleh ternak sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi ternak, sehingga tingkah laku makan kerbau terlihat normal. Standar dari tingkah laku yang normal pada kerbau dapat diasumsikan bahwa tingkah laku kerbau yang tanpa diberi ransum CGKK digunakan sebagai hewan kontrol yang melakukan tingkah laku normal sehingga bisa dibandingkan dengan tingkah laku kerbau yang diberi ransum CGKK. Tingkah laku kerbau rawa dikatakan normal karena terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kerbau yang diberi ransum CGKK dan non CGKK, baik itu tingkah laku makan, agonistik, eliminatif, merawat diri dan vokalisasi. Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda Pemberian pakan kerbau rawa yang disuplemen CGKK dan non CGKK dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kerbau serta meningkatkan palatabilitas ternak terhadap pakan yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku. Namun berdasarkan pada Tabel 4 ternyata pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku kerbau secara keseluruhan. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkah laku kerbau rawa yang diberi suplemen CGKK pada waktu yang berbeda untuk melihat pengaruh masing masing perlakuan terhadap tingkah lakunya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen CGKK dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku Pagi Siang Sore Rataan kali / 10 menit. Makan 4,17±3,61 2,00±0,44 3,83±2,50 3,33±4,77 Agonistik 1,22±0,79 2,39±1,50 1,72±1,51 1,78±3,47 Eliminatif 0,17±0,17 0,17±0,17 0,28±,10 0,20±0,41 Merawat Diri 0,83±0,29 a 3,06±0,75 bc 2,11±0,35 b 2,00±2,29 Vokalisasi 0,06±0,10 0,00±0,00 0,00±0,00 0,02±0,14 Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB). 25

5 Berdasarkan hasil uji Friedman menunjukkan bahwa jumlah frekuensi tingkah laku makan kerbau pada pagi hari tidak berbeda nyata (P>0,05) antara siang dan sore hari. Rataan frekuensi tingkah laku makan pada pagi hari, siang dan sore hari sebesar (3,33±4,77 kali/10 menit). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian ransum yang disuplemen CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau. Hal ini mungkin disebabkan karena kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau tetap mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Berdasarkan Tabel 5 hanya terlihat perbedaan jumlah frekuensi antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari jumlah frekuensi makan lebih banyak di lakukan (4,17±3,61 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Hal ini disebabkan karena kerbau lebih suka atau lebih banyak mengkonsumsi pakan pada pagi hari, karena pada saat pagi hari suhu udara belum meningkat. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Tingkah laku agonistik lebih banyak dilakukan pada siang hari (2,39±1,50 kali/10 menit) dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan rataan sebesar (1,78±3,47 kali/10 menit). Hal ini mungkin disebabkan karena suhu udara pada siang hari tinggi, dimana ternak kerbau akan merasa kepanasan dan gelisah, sehingga kerbau melakukan perlawanan terhadap kerbau lainnya dengan cara menanduk. Selain itu kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982), sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah atau dikandangkan. Tingkah laku eliminatif juga terlihat pada saat pengamatan, namun jumlah frekuensi tingkah laku kerbau antara pagi, siang dan sore hari tidak terlalu berbeda dengan rataan sebesar (0,20±0,41 kali/10 menit) dan tingkah laku eliminatif terlihat jarang dilakukan selama pengamatan berlangsung. Kerbau juga terlihat sering melakukan tingkah laku merawat diri, dimana jumlah frekuensi tingkah laku pada siang hari lebih sering dilakukan (3,06±0,75 kali/10 menit). Berdasarkan hasil uji friedman menunjukkan bahwa tingkah laku kerbau pada siang hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari, sedangkan frekuensi tingkah laku pada siang hari tidak 26

6 berbeda nyata (P>0,05) dengan sore hari, namun tingkah laku pada sore hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya lalat terbang pada siang hari, dimana lingkungannya yang kering menyebabkan gangguan lain dapat terjadi, seperti panasnya udara pada siang hari menyebabkan kerbau merasa kepanasan, sehingga kerbau lebih sering berbaring pada lantai yang tergenang air serta menjilati bagian tubuhnya maupun menjilati kerbau lainnya. Tingkah laku merawat diri pada kerbau ditunjukkan dengan kebiasaan kerbau yang menjilati tubuhnya sendiri maupun menjilati tubuh kerbau lainnya, menggosokkan badannya ke dinding dan tiang pembatas antar ternak kerbau, serta berbaring dilantai yang tergenang air agar tubuhnya lebih dingin. Hal ini dapat dikatakan ternak kerbau kurang nyaman dengan lingkungannya, untuk mengurangi ketidaknyamanan kerbau tersebut dapat dilakukan dengan penyiraman yang lebih sering untuk mengurangi panas tubuhnya dan kekeringan pada tubuhnya yang menyebabkan lalat hinggap. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang suka berkubang untuk menghindari gangguan lalat, kutu dan mengurangi produksi panas tubuhnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Tingkah laku vokalisasi paling jarang dilakukan baik pada pagi hari, siang maupun sore hari. Kerbau hanya akan mengeluarkan suara pada saat tertentu seperti dalam hal kekurangan pakan dan adanya ancaman dari luar yang akan membahayakan dirinya. Jumlah frekuensi vokalisasi yang paling sedikit ini dapat menunjukkan bahwa ternak kerbau marasa nyaman dipelihara secara feedlot, dimana akan terhindar dari ancaman luar maupun kekurangan terhadap kebutuhan hidup pokoknya seperti kekurangan makan. Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005). Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut ternak kerbau juga harus mendapatkan perhatian dari peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan 27

7 memperhatikan kebutuhan hidup pokoknya dengan memberi pakan yang mempunyai palatabilitas tinggi bagi ternak dan memiliki nilai nutrisi yang baik. Pemberian ransum yang disuplemen Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sehigga tercapainya kesejahteraan terhadap ternak dengan pengamatan terhadap tingkah laku normal nya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen non CGKK pada waktu yang berbeda dapat dilihat pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku Pagi Siang Sore Rataan kali / 10 menit. Makan 4,78±2,47 2,28±0,75 3,56±0,96 3,54±4,58 Agonistik 2,78±0,79 2,33±1,44 1,22±0,54 2,11±3,82 Eliminatif 0,33±0,17 0,11±0,10 0,22±0,25 0,22±0,57 Merawat Diri 1,83±0,44 2,00±0,83 2,17±0,44 2,00±2,50 Vokalisasi 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku makan lebih banyak dilakukan pada pagi hari (4,78±2,47 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Kerbau memiliki daya tahan panas yang rendah, hal ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi, serta mempunyai bulu-bulu yang jarang, sehingga sangat rentan dengan suhu tinggi, hal ini disebabkan karena evaporasi pendinginan dari permukaan tubuhnya kurang efisien (Williamson and Payne, 1993) yang menyebabkan nafsu makan kerbau jadi berkurang. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau lainnya seperti tingkah laku agonistik (2,78±0,79 kali/10 menit), eliminatif (0,33±0,17 kali/10 menit) juga menunjukkan bahwa tingkah laku yang banyak dilakukan pada pagi hari. Berbeda dengan tingkah laku merawat diri lebih banyak dilakukan pada siang hari sore hari yaitu (2,00±0,83 kali/10 menit) dan sore 28

8 hari sebesar (2,17±0,44 kali/10 menit). Tingkah laku vokalisasi tidak terlihat selama pengamatan dilakukan. Namun berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa rataan frekuensi tingkah laku kerbau pada waktu yang berbeda tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari yang berarti bahwa perlakuan pemberian ransum non CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau rawa. Hal ini dapat disebabkan karena hasil rataan standar deviasi yang cukup tinggi, selain itu juga dapat disebabkan karena metode pengamatan, seperti waktu pengamatan yang terlalu singkat. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa perlakuan pakan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kerbau yang diberi suplemen CGKK maupun non CGKK. Hasil ini juga dapat menunjukkan bahwa tidak ada perubahan tingkah laku normal pada ternak kerbau, terlihat dari tingkat adaptasi yang tinggi pada ternak kerbau. Adaptasi terhadap pakan dapat dilihat dari tingkah laku makannya. Hal ini didukung oleh penelitian lain bahwa pertambahan bobot badan ternak kerbau terlihat lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan sapi, yaitu sebesar 1,16 kg/ekor/hari pada kerbau dan pada sapi sebesar 0,94 kg/ekor/hari (Nurbianti, 2012). Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan kerbau yang dapat mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan sapi. Hasil ini menunjukkan potensi yang baik dari kerbau yaitu pertambahan bobot badan kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi pada pemeliharaan secara intensif. Selama ini kerbau dianggap memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan sapi karena banyak kerbau dipelihara secara ekstensif atau digembalakan. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau yang dipelihara secara intensif lebih baik, karena kerbau tidak banyak bergerak, sehingga lebih baik dalam menghasilkan daging atau lemak. Sistem pemeliharaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada ternak. Dengan demikian sistem pemberian pakan yang tepat dan sistem pemeliharaan yang intensif dapat meningkatkan produktivitas ternak dan menunjukkan bahwa kesejahteraan ternak terpenuhi. Berikut contoh gambar tingkah laku ternak kerbau pada saat pengamatan terlihat pada Gambar 5. 29

9 (a) Tingkah Laku Agonistik (b) Tingkah Laku Makan (c) Tingkah Laku Merawat Diri (d) Tingkah Laku Merawat Diri Gambar 5. Beberapa Contoh Tingkah Laku Kerbau Rawa (a) Tingkah Laku Agonistik, (b) Tingkah Laku Makan, (c,) Tingkah laku Merawat Diri, (d) Tingkah Laku Merawat Diri Kondisi Fisiologi Kerbau Rawa Respon fisiologi merupakan tanggapan ternak terhadap berbagai macam faktor lingkungan di sekitarnya, terutama temperatur udara. Ternak kerbau mempunyai koefisien tahan panas (KTP) yang rendah sehingga mudah menimbulkan cekaman panas (Cockrill, 1984). Faktor yang menyebabkan rendahnya koefisien tahan panas ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dan mempunyai bulu-bulu yang jarang. Kelenjar keringat yang terdapat pada ternak kerbau kira-kira hanya sepertiga pada ternak sapi (Moran, 1973 ; Fahimuddin, 1975). Hal ini yang menyebabkan kebiasaan ternak kerbau mencari tempat teduhan dan tempat untuk berkubang dengan tujuan untuk mengurangi cekaman panas akibat sinar radiasi matahari langsung. Untuk menghindarai terjadinya cekaman panas selama penelitian dan dipelihara secara feedlot, maka selama pemeliharaan dilakukan 30

10 penyiraman secara kontinyu yaitu tiga kali dalam sehari untuk menghindari heat stres pada ternak kerbau tersebut. Ternak membutuhkan lingkungan yang sesuai untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, maka akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak baik dalam lingkungan yang dingin maupun yang panas, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan produksi ternak serta mempengaruhi tingkah laku nomalnya. Tingkah laku ternak berkaitan sangat erat dengan nilai fisiologi ternak itu sendiri. Perubahan fisiologi yang terjadi pada masing-masing kerbau dilakukan dengan mengukur frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu rektal. Denyut Jantung Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur. Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, ransangan, postur tubuh (perawakan), proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang sama. Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi denyut jantung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Frekuensi Denyut Jantung Kerbau CGKK dan Non CGKK Denyut Jantung Kerbau Rawa pada Pakan Waktu Berbeda (kali/menit) Rataan CGKK Non CGKK Pagi 75,05±5,36 75,17±2,33 75,11±3,70 Siang 64,72±2,87 65,78±4,03 65,25±3,18 Sore 62,17±3,37 62,89±5,44 62,53±4,07 Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji T. Hasil menunjukkan bahwa denyut jantung pada pagi hari tidak menunjukkan hasil yang beda nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (75,05±5,36 kali/menit) pada kerbau yang 31

11 disuplementasi CGKK dan (75,17±2,33 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Frekuensi denyut jantung pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dari kedua perlakuan (P>0,05) yaitu (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau non CGKK, begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (62,17±3,37 kali/menit) pada kerbau non CGKK dan (62,89±5,44 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Perbedaan yang terjadi hanya disebabkan waktu pengamatan, yaitu antara pagi, siang, dan sore, namun hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung pada pagi hari melebihi jumlah frekuensi normal denyut jantung kerbau, Fahimuddin (1975) mengatakan bahwa jumlah denyut jantung normal pada kerbau dewasa dalam istirahat 40 kali per menit, pada hewan jantan 52 kali per menit, namun pada keadaan suhu lingkungan tinggi bisa mencapai 71 kali per menit. Selain itu peningkatan denyut jantung juga merupakan respon dari tubuh ternak itu sendiri untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Yani, 2006). Hasil ini berbeda dengan beberapa literatur, seperti terlihat pada Tabel 7. bahwa denyut jantung kerbau pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan siang dan sore hari, sedangkan denyut jantung akan meningkat seiring meningkatnya suhu lingkungan. Namun kerbau juga mempunyai kelebihan yaitu setelah mengalami cekaman panas, kerbau mampu kembali ke keadaan normal dalam waktu yang relatif cepat, apalagi bila tersedia tempat berteduh atau kubangan (Fahimuddin, 1975). Hasil penelitian menunjukkan berbeda dengan literatur, hal ini mungkin disebabkan karena sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan sistem penggembalaan, yakni kerbau dipelihara secara feedlot, dimana selama pemeliharaan selalu dilakukan penyiraman terhadap kerbau sebanyak tiga kali dalam sehari. Pengambilan data pagi hari dilakukan sebelum penyiraman dan setelah ternak makan. Hasil ini juga menunjukkan hubungan antara tingkah laku ternak kerbau dengan frekuensi denyut jantung kerbau, dimana tingkah laku makan lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Dengan demikian ternak lebih banyak melakukan aktivitas pada pagi hari dibandingkan dengan siang hari kerbau lebih banyak melakukan istirahat dan begitu juga dengan sore hari. 32

12 Laju Pernapasan Respirasi merupakan gerakan fisik dimana udara masuk dan dikeluarkan dari paru-paru. Respirasi juga termasuk dalam proses kimia dan fisik yang memungkinkan organisme untuk mempertukarkan gas-gas (udara) dari lingkungan (Kelly, 1974). Peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh. Sebagai konsekuensinya dapat dilihat ketika ternak melakukan gerakan badan, berjemur pada suhu atau kelembaban udara yang tinggi dan karena ternak kegemukan (Kelly, 1974). Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi pernapasan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Frekuensi Pernapasan Kerbau CGKK dan Non CGKK Pernapasan Kerbau Rawa pada Pakan Berbeda Waktu (kali/menit) Rataan CGKK Non CGKK Pagi 44,94±1,94 42,67±1,87 43,81±2,11 Siang 40,72±0,19 41,17±1,45 40,94±0,96 Sore 42,89±1,34 41,56±1,60 42,22±1,51 Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hasil menunjukkan bahwa laju pernapasan pada pagi hari tidak menunjukkan hasil yang tidak nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (44,94±1,94) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (42,67±1,87) pada kerbau non CGKK. Frekuensi laju pernapasan pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak beda nyata dari kedua perlakuan (P>0,05) yaitu (40,72±0,19) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (41,17±1,45) pada kerbau non CGKK. Begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (42,89±1,34) pada kerbau non CGKK dan (41,56±1,60) pada kerbau non CGKK. Hasil ini menunjukkan bahwa dari kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap laju pernapasan kerbau. Perbedaan yang terjadi hanya disebabkan waktu pengamatan, yaitu antara pagi, siang, dan sore. namun hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi laju pernapasan pada kerbau rawa melebihi jumlah frekuensi normal denyut jantung kerbau, dimana 33

13 Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa frekuensi pernafasan pada kerbau jantan dewasa dalam keadaan istirahat 20 sampai 25 kali per menit dan kerbau betina 16 kali per menit. Frekuensi pernapasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan dapat mencapai 70 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi. Hal ini juga disebabkan karena laju pernapasan yang bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ukuran tubuh, umur, aktivitas dan suhu lingkungan. Salah satu hal yang mungkin menyebabkan jumlah laju pernapasan pada kerbau rawa melebihi jumlah laju pernapasan normal kerbau yaitu umur, dimana umur kerbau yang dipelihara belum mencapai dewasa tubuh kerbau, dengan demikian dapat diketahui bahwa ternak yang masih muda mempunyai laju metabolisme per unit bobot badan yang lebih tinggi. Serta peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringanjaringan tubuh. Suhu Rektal Homeostasis merupakan suatu penyesuaian sistem tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis. Ternak akan berusaha menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari peningkatan temperatur lingkungan dengan cara mencari peneduh, menambah aliran darah ke kulit (vasodilatasi), berkeringat lebih banyak, perubahan aktivitas hormonal, minum lebih banyak daripada makan dan peningkatan temperature tubuh (Heath dan Olusanya, 1985).Suhu tubuh normal kerbau berkisar antara 38,2 o C sampai 38,4 o C dan berada dalam keseimbangan dengan suhu lingkungan yang terdapat antara 22 o C sampai 33 o C (Paine, 1970). Pada kisaran suhu lingkungan tersebut, proses homeostasis pada kerbau berjalan dengan sangat baik. Namun, di bawah suhu 22 o C dan diatas 33 o C selain proses homeostasis normal, ternak kerbau secara fisiologi harus menyesuaikan diri, yang mengakibatkan pengaruh terhadap pertumbuhan dan efisiensi reproduksi. Hasil penelitian terhadap rataan suhu rektal dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. 34

14 Tabel 9. Suhu Rektal Kerbau CGKK dan Non CGKK Waktu Suhu Rektal Kerbau Rawa pada Pakan Berbeda CGKK Non CGKK Rataan Pagi 38,89±0,13 38,91±0,13 38,90±0,12 Siang 38,76±0,03 38,84±0,06 38,80±0,07 Sore 38,67±0,05 38,78±0,15 38,73±0,12 Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hasil menunjukkan bahwa suhu rektal kerbau pada pagi hari menunjukkan hasil yang tidak beda nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (38,89±0,13) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (38,91±0,13) pada kerbau non CGKK. Suhu rektal kerbau pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak beda nyata dari kedua perlakuan (P>0,01) yaitu (38,76±0,03) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (38,84±0,06) pada kerbau non CGKK. Begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak beda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (38,67±0,05) pada kerbau CGKK dan (38,78±0,15) pada kerbau non CGKK. Hasil ini menunjukkan bahwa dari kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap suhu rektal kerbau. Perbedaan yang terjadi hanya disebabkan waktu pengamatan, yaitu antara pagi, siang, dan sore hari, namun hasil juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu rektal kerbau melebihi frekuensi normalnya. Selain itu juga terdapat perbedaan fisiologi antara pagi, siang dan sore hari. Pada pagi hari suhu rektal lebih tinggi dibandingkan dengan siang dan sore hari. 35

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah penduduk di Indonesia selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2010 mencapai 237,64 juta jiwa atau naik dibanding jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water buffalo yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kecamatan Cimalaka memiliki populasi kambing PE sebanyak 1.858 ekor. Keberadaan kambing PE di kecamatan Cimalaka diawali dengan adanya usaha pemanfaatan lahan kritis,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi pengembangan usaha peternakan kambing masih terbuka lebar karena populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai 1.012.705 ekor. Menurut data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia dan dikenal sebagai domba lokal atau domba kampung karena ukuran tubuhnya yang kecil, warnanya bermacam-macam,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Bangsa Sapi Potong Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus), dan sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa-bangsa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Ayam tipe medium atau disebut juga ayam tipe dwiguna selain sebagai ternak penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging (Suprianto,2002).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Termoregulasi Sapi Perah Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk hasil peternakan yang berupa protein hewani juga semakin meningkat. Produk hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Potong Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Sapi pedaging memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 27 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha peternakan, salah satu jenis ternak yang cocok dikembangkan adalah kambing. Pada tahun 2010 dan 2011,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Bangsa sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Zebu dan Banteng. Tubuh dan tanduknya relatif kecil, warna bulu pada jantan dan betina sama seperti

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing Boerawa Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing merupakan hewan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat yakni pada tahun 2011 berjumlah 241.991 juta jiwa, 2012 berjumlah 245.425 juta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Konsumsi daging kelinci di Indonesia dimasa mendatang diprediksikan akan meningkat. Hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya

Lebih terperinci

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak 22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Mikro Suhu dan kelembaban udara merupakan suatu unsur lingkungan mikro yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak homeothermic,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2011. Lokasi penelitian di Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas, berlokasi di lereng Gunung Tampomas,

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum HASIL DA PEMBAHASA Konsumsi Bahan Kering Ransum 200 mg/kg bobot badan tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Hasil yang tidak berbeda antar perlakuan (Tabel 2) mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING (CGKK)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING (CGKK) TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING (CGKK) SKRIPSI DELVITA YUNIZA DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung Madu Plantation Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah pada

Lebih terperinci

Penambahan Putih Telur Pada Mineral Blok Dengan Level Yang Berbeda Terhadap Respons Fisiologis Domba Lokal Jantan Lepas Sapih

Penambahan Putih Telur Pada Mineral Blok Dengan Level Yang Berbeda Terhadap Respons Fisiologis Domba Lokal Jantan Lepas Sapih JURNAL PETERNAKAN VOLUME : 01 NO : 02 TAHUN 17 E-ISSN. 2599-1736 36 Penambahan Putih Telur Pada Mineral Blok Dengan Level Yang Berbeda Terhadap Respons Fisiologis Domba Lokal Jantan Lepas Sapih Jungjungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia, mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et al., 2002). Murtidjo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk serta semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap tahunnya. Konsumsi protein

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga bulan September 2011 dan bertempat di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja Tatap muka ke : 13 POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA Tujuan Instruksional Umum : Memberikan pengetahuan tentang penggunaan energi mekanik yang dihasilkan dari proses metabolisme

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Pengamatan tingkah laku pada ayam broiler di kandang tertutup dengan perlakuan suhu dan warna cahaya yang berbeda dilaksanakan dengan menggunakan metode scan sampling.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang adalah salah satu kebutuhan penting dalam peternakan. Fungsi utama kandang adalah untuk menjaga supaya ternak tidak berkeliaran dan memudahkan pemantauan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Super Ayam kampung super merupakan hasil dari proses pemuliaan yang bertujuan untuk peningkatan produksi daging. Dalam jangka pendek metode persilangan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena, menghasilkan produk peternakan seperti telur dan daging yang memiliki kandungan protein hewani

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ayam broiler merupakan ayam ras pedaging yang waktu pemeliharaannya relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam broiler perlu ditingkatkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN QUESTION???? STRES BIOKIMIA NUTRISI PENDAHULUAN STRES : perubahan keseimbangan biologis

Lebih terperinci

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA

PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA PENGARUH NAUNGAN TERHADAP RESPONS TERMOREGULASI DAN PRODUKTIVITAS KAMBING PERANAKAN ETTAWA Arif Qisthon dan Sri Suharyati Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl. Prof. Sumantri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler

PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler 29 IV PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Ayam Broiler Hasil penelitian pengaruh lama penggunaan litter pada kandang panggung terhadap konsumsi ransum disajikan pada Tabel 5. Tabel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Detaseman Kavaleri Berkuda (Denkavkud) berada di Jalan Kolonel Masturi, Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pembuatan pellet dilakukan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein

I. PENDAHULUAN. Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Secara umum, ternak dikenal sebagai penghasil bahan pangan sumber protein hewani yang dibutuhkan bagi hidup, tumbuh dan kembang manusia. Daging, telur, dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Sapi Lokal (Bos

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Sapi Lokal (Bos 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Penggemukan Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu Sapi Lokal (Bos sundaicus), Sapi Zebu (Bos indicus), dan Sapi Eropa (Bos taurus). Bangsa Sapi penggemukan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian Perubahan unsur cuaca harian yang terjadi selama penelitian berlangsung sangat fluktuatif. Hasil pengamatan rataan unsur cuaca pada bulan April dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba yang berasal dari persilangan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga 20 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga Januari 2015 di kandang peternakan Koperasi Gunung Madu Plantation,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada kebanyakan hanya untuk menghasilkan hewan kesayangan dan materi

BAB I PENDAHULUAN. ada kebanyakan hanya untuk menghasilkan hewan kesayangan dan materi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelinci sebagai salah satu sumber protein hewani pada saat ini di Indonesia belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga budidaya kelinci yang ada saat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki

I. PENDAHULUAN. Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Broiler adalah ayam yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Bligon. Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Bligon. Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil TINJAUAN PUSTAKA Kambing Bligon Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing kacang dengan kambing Peranakan Ettawa (PE). Kambing Bligon memiliki bentuk tubuh yang agak

Lebih terperinci

RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA

RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA RESPON KONSUMSI TERHADAP LINGKUNGAN PADA KERBAU YANG DIBERI KONSENTRAT DENGAN FREKUENSI YANG BERBEDA (Feed Consumption Response to Different Concentrate Feeding Frequency of Buffalo in Relation to Enviroment)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung dikenal sebagai jenis unggas yang mempunyai sifat dwi fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong. Wahju (2004) yang menyatakan bahwa Ayam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Indonesia selama ini banyak dilakukan dengan sistem semi intensif.

I PENDAHULUAN. Indonesia selama ini banyak dilakukan dengan sistem semi intensif. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik merupakan hewan yang terbiasa hidup di kolam air untuk minum dan berenang dalam upaya menurunkan suhu tubuh. Sistem pemeliharaan itik di Indonesia selama ini banyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstien Sapi FH telah banyak tersebar luas di seluruh dunia. Sapi FH sebagian besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk

Lebih terperinci

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN

Jurnal Zootek ( Zootrek Journal ) Vol. 35 No. 2 : (Juli 2015) ISSN PENGARUH PENINGKATAN RASIO KONSENTRAT DALAM RANSUM KAMBING PERANAKAN ETTAWAH DI LINGKUNGAN PANAS ALAMI TERHADAP KONSUMSI RANSUM, RESPONS FISIOLOGIS, DAN PERTUMBUHAN Arif Qisthon* dan Yusuf Widodo* ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa

Lebih terperinci

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY Oleh : Suhardi, S.Pt.,MP Pembibitan Ternak Unggas AYAM KURANG TOLERAN TERHADAP PERUBAHAN SUHU LINGKUNGAN, SEHINGGA LEBIH SULIT MELAKUKAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN SUHU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi dapat merupakan masalah serius pada pengembangan ayam broiler di daerah tropis. Suhu rata-rata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Suhu dan Kelembaban Udara pada Kandang Sapi Perah Analisis distribusi suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat kandang tidak diisi sapi (kandang kosong). Karakteristik

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat

MATERI DAN METODE. a b c Gambar 2. Jenis Lantai Kandang Kelinci a) Alas Kandang Bambu; b) Alas Kandang Sekam; c) Alas Kandang Kawat MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Pellet Kandungan nutrien suatu pakan yang diberikan ke ternak merupakan hal penting untuk diketahui agar dapat ditentukan kebutuhan nutrien seekor ternak sesuai status

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk

I. PENDAHULUAN. Usaha peternakan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Usaha peternakan merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat yang semakin meningkat, sejalan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KambingKacang Kambing Kacang merupakan salah satu kambing lokal di Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh yang relatif kecil,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Pra Sapih Konsumsi pakan dihitung berdasarkan banyaknya pakan yang dikonsumsi setiap harinya. Pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Pakan

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Berdasarkan bobot maksimum yang dapat dicapai oleh ayam terdapat tiga tipe ayam yang umumnya dikenal dikalangan peternak, yaitu ayam tipe ringan (Babcock,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Setianto, 2009). Cahaya sangat di perlukan untuk ayam broiler terutama pada

TINJAUAN PUSTAKA. (Setianto, 2009). Cahaya sangat di perlukan untuk ayam broiler terutama pada 7 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cahaya Untuk Ayam Broiler Cahaya merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan ayam, karena cahaya mengontrol banyak proses fisiologi dan tingkah laku ayam (Setianto,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dagingnya untuk dikonsumsi oleh manusia, yang selanjutnya meningkat untuk

PENDAHULUAN. dagingnya untuk dikonsumsi oleh manusia, yang selanjutnya meningkat untuk I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kuda sudah dikenal manusia sejak lama, dahulu kuda hanya dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi oleh manusia, yang selanjutnya meningkat untuk ditunggangi sebagai sarana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis Kabupaten Merauke

TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis Kabupaten Merauke 4 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis Kabupaten Merauke Kabupaten Merauke adalah kabupaten induk dari 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Mappi, Asmat, dan Bouven Digul, hasil pemekaran pada tahun 2001. Luas wilayah

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci