DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

IV METODOLOGI PENELITIAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING AGRIBISNIS BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BAB IV METODE PENELITIAN

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

IV METODE PENELITIAN

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

IV. METODE PENELITIAN

EMBRYO VOL. 7 NO. 2 DESEMBER 2010 ISSN

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

III. METODE PENELITIAN

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 1 Juni 2008)

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF JERUK SIAM DI SENTRA PRODUKSI

III. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS BAWANG MERAH DI KABUPATEN KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

EFISIENSI DAN DAYA SAING USAHATANI HORTIKULTURA

.SIMULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING TEMBAKAU MADURA. Kustiawati Ningsih

Oleh: Tobari dan Budi Dharmawan Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto (Diterima: 11 September 2004, disetujui: 21 September 2004)

ANALYSIS ON COMPETITIVENESS OF ARABICA COFFEE IN NORTH TAPANULI (Case Study: Bahal Batu III Village, Siborong-borong Subdistrict)

DAMPAK KEBIJAKAN KREDIT DAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KEUNTUNGAN USAHATANI PADI. I Made Tamba Ni Luh Pastini

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

METODE PENELITIAN. A. Metode Dasar Penelitian

Haris Fatori Aldila *)1, Anna Fariyanti **), dan Netti Tinaprilla **)

ANALISIS SENSITIVITAS

METODOLOGI PENELITIAN

DAYASAING BAWANG MERAH DI WILAYAH SENTRA PRODUKSI DI INDONESIA HARIS FATORI ALDILA

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

Pengkajian Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usahatani Padi dan Jeruk Lahan Gambut Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Beras Organik Ekspor (Suatu Kasus di Gapoktan Simpatik Kabupaten Tasikmalaya)

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KEDELAI VS PENGUSAHAAN KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN, JAWA TIMUR

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang. jagung per musim tanam yang, diukur dalam satuan ton.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUKSI KAKAO DI JAWA TIMUR

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

IV. METODE PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING KEDELAI DI JAWA TIMUR

ANALISIS DAYA SAING USAHATANI KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUKOMUKO (STUDI KASUS DESA BUMI MULYA)

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

Jemmy Rinaldi et al.: Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk Terhadap Daya Saing Komoditas Sayuran...

III METODE PENELITIAN. Daya saing adalah suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN DAMPAK KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI INPUT TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS KENTANG DI KOTA BATU

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

JIIA, VOLUME 1, No. 4, OKTOBER 2013

IV. METODE PENELITIAN. Kelurahan Kencana, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Pemilihan lokasi

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PALA (STUDI KASUS: KABUPATEN BOGOR DAN SUKABUMI)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Program Studi Magister Sains Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF SERTA IMPLIKASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KOMODITAS JAGUNG DI KABUPATEN BENGKAYANG

PENGEMBANGAN KAWASAN AGRIBISNIS JAGUNG DAN MANGGA DI KABUPATEN BLORA Development of Corn and Mango Agribusiness Region in Blora District

ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA

DAYA SAING KACANG TANAH PRODUKSI KECAMATAN KUBU KABUPATEN KARANGASEM

DAYA SAING DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING KOMODITI KAKAO DI SULAWESI TENGAH

DAYA SAING USAHATANI LADA DI LAMPUNG

PENENTUAN PRODUK UNGGULAN PADA KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN GIANYAR

DAFTAR TABEL. 1. Produksi manggis di Pulau Sumatera tahun Produksi manggis kabupaten di Provinsi Lampung tahun

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 2. No 2 Desember 2008)

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PENGEMBANGAN USAHATANI BAWANG MERAH DI KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING LADA PUTIH

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura tergolong komoditas yang bernilai ekonomi tinggi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

DAMPAK DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP DAYA SAING DAN TINGKAT PROTEKSI KOMODITAS PADI DI KABUPATEN BADUNG

MACAM-MACAM ANALISA USAHATANI

PENGEMBANGAN KAWASAN AGRIBISNIS PERBERASAN PROPINSI JAWA TENGAH SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEDAULATAN PANGAN

IV. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Di Indonesia, budidaya

JIIA, VOLUME 1 No. 3, JULI 2013

ANALISIS DAYASAING USAHATANI JAGUNG DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

ANALISIS DAYA SAING USAHA PEMBESARAN IKAN NILA PETANI PEMODAL KECIL DI KABUPATEN MUSI RAWAS

STUDI KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI TEBU ABSTRACT ABSTRAK

Jl. Veteran Malang Telp (0341)

(The analysis of profitability, comparative advantage, competitive advantage and import policy impact on beef cattle fattening in west java)

J. Hort. Vol. 25 No. 1, J. Hort. 25(1):88-96, 2015

Analisis Tingkat Keuntungan Usahatani Padi Sawah sebagai Dampak dari adanya Subsidi Pupuk di Kabupaten Tabanan

Transkripsi:

Vol. 3 No. 1 Juni 2018 website : jurnal.umj.ac.id/index.php/ftan/index e-mail : jurnal@pertanian-umj.ac.id DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING KOMODITAS BAWANG MERAH DI KABUPATEN MAJALENGKA Lola Rahmadona 1, Anna Fariyanti 2, dan Burhanuddin 2 1 Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jakarta Jl. KH. Ahmad Dahlan, Ciputat Tangerang Selatan 2 Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Jl. Kamper Wing 2 Level 3 Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 *E-mail: lolarahmadona@gmail.com Diterima: 03/07/2018 Direvisi: 03/07/2018 Disetujui: 03/07/2018 ABSTRAK Bawang merah adalah salah satu komoditas yang bernilai tinggi sehingga banyak petani yang membudidayakannya. Namun Indonesia masih tetap sebagai pengimpor bawang merah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap pertanian bawang merah di Kabupaten Majalengka. Data telah dianalisis dengan metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Sebanyak 37 petani dipilih sebagai responden dengan menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya bawang merah di kabupaten Majalengka secara finansial menguntungkan, tetapi secara ekonomi tidak menguntungkan. Analisis kebijakan pemerintah terhadap output memberikan perlindungan terhadap harga bawang merah. Sementara itu, kebijakan pemerintah terhadap input masih merupakan disinsentif bagi petani. Petani bawang merah harus membayar lebih mahal dari yang seharusnya. Tetapi secara bersamaan, kebijakan pemerintah tentang input dan output masih mendukung produksi bawang merah di negara ini. Kata kunci: Analisis, input, output, petani, usaha tani ABSTRACT Shallot is one of commodities having high value, so that many farmers are cultivating it but Indonesia still remains as net importer of shallot. The objective of this study is to analyze the impact of government policies on shallot farming in the district of Majalengka. The data have been analyzed by the method of the Policy Analysis Matrix (PAM) to determine the impact of the policy. 37 farmers were selected as respondents by using purposive sampling technique. The result showed that shallot farming in the district of Majalengka was financially profitable but economically unprofitable. The analysis of the government policy towards the output provides protection against the price of shallot. Meanwhile, the government policy towards the input is still a disincentive to farmers. Shallot farmers have to pay more expensive input than they should be. But simultaneously, the government policy on input and output is still supportive for shallot production in the country. Keywords: Analysis, farmers, farming, input, output Artikel dipublikasi oleh Jurnal Agrosains dan Teknologi 2017. Artikel ini berlisensi di bawah naungan Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.

Jurnal Agrosains dan Teknologi Volume 3 No. 1 Juni 2018 website : jurnal.umj.ac.id/index.php/ftan PENDAHULUAN Bawang Merah merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia yang memiliki peran penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional, sumber pendapatan dan kesempatan kerja, serta sebagai bahan baku industri (Taufik 2012, Pujiharto 2011). Potensi dan manfaat yang dimiliki bawang merah menyebabkan permintaan terhadap bawang merah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Namun, peningkatan permintaan ini tidak diimbangi dengan peningkatan produksi sehingga kelebihan permintaan dipenuhi dengan impor. Pada tahun 2014, volume impor bawang merah mencapai 74.903 ton, sedangkan volume ekspornya hanya 4.439 ton (Kementan 2015). Masih tingginya volume impor bawang merah ini disebabkan oleh bawang merah di Indonesia masih bersifat musiman, sehingga kebutuhan bawang merah pada musim-musim tertentu dipenuhi dengan impor. Tindakan impor ini menjadikan Indonesia sebagai net importer bawang merah. Sentra produksi bawang merah di Indonesia terkosentrasi pada pulau Jawa. provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi sebesar 13.26 terhadap produksi bawang merah di Indonesia (BPS 2015). Di Jawa Barat pusat penghasil bawang merah tersebar di empat wilayah sentra yaitu Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Garut. Kabupaten Majalengka merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki produktivitas yang meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan produktivitas di Kabupaten Majalengka sebesar 7.38%. Peningkatan produktivitas ini harus diimbangi dengan peningkatan produksi untuk mengurangi besarnya impor. Sementara itu, laju pertumbuhan produksi mengalami fluktuasi. Ketidakstabilan produksi salah satunya disebabkan oleh mahalnya harga input produksi yang tidak diimbangi dengan harga output yang dihasilkan. Peningkatan harga input produksi salah satunya berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas bawang merah di kabupaten Majalengka. METODE Penelitian dilakukan di Kabupaten Majalengka yang terletak di provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai bulan April 2016. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data penelitian komoditas bawang merah Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB tahun 2015. Responden petani bawang merah ditentukan secara purposive. Jumlah data responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 37 petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Selain itu, data pendukung lainnya diperoleh melalui studi literatur dan pustaka yang relevan dengan topik yang diteliti. Metode analisis yang sesuai untuk menjawab tujuan kajian adalah Policy Analysis Matrik (PAM). Hasil analisis PAM memberikan informasi tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas tersebut. Menurut Monke and pearson (1989) tahapan penyusunan tabel PAM adalah (1) penentuan komponen fisik untuk faktor input dan output secara lengkap, (2) pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing, (3) penentuan harga finansil (privat) dan penaksiran harga bayangan (ekonomi), dan (4) tabulasi dan analisis indikatorindikator yang dihasilkan Tabel PAM. 40

Rahmadona, et al. 2018. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka. Jurnal Agrosains dan Teknologi, Vol. 3 (1) h. 39 46. HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Bawang Merah Ditetapkannya kebijakan pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi akan mempunyai dampak yang positif atau negatif terhadap aktivitas ekonomi tersebut, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dengan menggunakan analisis PAM, maka dapat diidentifikasi dampak kebijakan pemerintah melalui efek divergensi. Divergensi akan muncul karena adanya distorsi kebijakan atau terjadi kegagalan pasar (Pearson et al. 2005). Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan adalah untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam negeri. Dengan adanya efek divergensi maka akan terlihat perbedaan antara harga privat dengan harga sosialnya. Oleh sebab itu, pemerintah telah memiliki instrumen-instrumen kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk memenuhi tujuan tersebut, kebijakan tersebut pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap input maupun output atau secara bersamasama juga memberikan dampak terhadap keduanya. Dampak Kebijakan terhadap Output Usahatani Bawang Merah Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat teridentifikasi dari Nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Transfer output menunjukkan selisih antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan harga sosial. Jika nilai transfer output bernilai negatif menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerntah pada output terhadap usahatani lebih menguntungkan konsumen, dengan kata lain terjadi pengalihan surplus dari petani produsen kepada konsumen, sehingga distorsi pasar yang terjadi mengakibatkan harga privat lebih rendah daripada harga sosialnya. Hal ini menyebabkan petani menjadi rugi karena tidak memperoleh penerimaan yang seharusnya dapat mereka terima dalam kondisi tanpa adanya kebijakan pemerintah. Disamping itu ada pihak yang diuntungkan yaitu konsumen atau pedagang yang menerima insentif dari petani. Koefisien proteksi output nominal (NPCO) menunjukkan sejauh mana tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai NPCO kurang dari satu mengartikan bahwa komoditas tersebut tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah, dengan kata lain petani produsen menerima harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani produsen tidak mendapatkan insentif dari pemerintah untuk meningkatkan produksinya. Sebaliknya, nilai transfer output yang positif bermakna bahwa terdapatnya kebijakan atau kegagalan pasar yang menyebabkan harga privat dari output lebih tinggi daripada harga sosialnya, sehingga petani memperoleh proteksi dari kebijakan pemerintah yang diterapkan. Koefisien proteksi output nominal menunjukkan tingkat proteksi pemerintah lebih tinggi, yang berarti kebijakan pemerintah mempengaruhi harga privat sehingga lebih tinggi daripada harga sosialnya. Nilai dari dua indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap output usahatani bawang merah di kabupaten Majalengka Musim Indikator Dampak Kebijakan Output Transfer Output per Hektar (Rp.) NPCO Musim Hujan 76 673 710.89 3.29 Musim Kemarau I 77 741 114.36 3.15 Musim Kemarau II 78 002 333.51 2.27 41

Jurnal Agrosains dan Teknologi Volume 3 No. 1 Juni 2018 website : jurnal.umj.ac.id/index.php/ftan Nilai transfer output usahatani memperlihatkan nilai yang positif, yang artinya bahwa harga bawang merah yang diterima oleh petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah terhadap output mampu memberikan insentif bagi petani bawang merah di kabupaten Majalengka, sehingga penerimaan petani lebih tinggi dari yang seharusnya diterima atau dalam kondisi tidak ada kebijakan pemerintah. Jika dilihat berdasarkan musim tanam bawang merah, nilai transfer output bawang merah tertinggi terdapat pada musim kemarau II sebesar Rp 78 002 333.51 ha -1. Tingginya nilai transfer output pada musim kemarau II di Kabupaten Majalengka disebabkan oleh tingkat produktivitas pada musim ini lebih tinggi daripada kedua musim lainnya yaitu sebesar 13 015.98 kg.ha -1. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2003) terhadap komoditas kentang dan kubis di Wonosobo menunjukkan baik pada musim hujan maupun musim kemarau diperoleh nilai transfer output yang negatif. Kondisi yang dialami kedua komoditas ini disebabkan oleh faktor yang berbeda. Untuk komoditas kentang di Wonosobo lebih disebabkan oleh menunrunnya kualitas hasil sebagai akibat dari makin kritisnya lahan dan redahnya kualitas bibit, sedangkan untuk komoditas kubis disebabkan oleh terbatasnya akses pasar dan sistem pemasaran yang kurang efisien karena tidak adanya konsolidasi usahatani sehingga posisi tawar petani rendah. Menurut Tinaprilla (2008) nilai transfer output yang diperoleh pada komoditas cabai merah di Ciwidey dan Lembang juga bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap output menyebabkan penerimaan petani menjadi berkurang. Dengan kata lain, kebijakan terhadap output yang ada cenderung melindungi konsumen karena dengan adanya kebijakan konsumen menerima harga cabai merah lebih rendah daripada harga sosialnya. Analisis dampak kebijakan terhadap output juga dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCO usahatani bawang merah pada ketiga musim tanam di kabupaten Majalengka menunjukkan angka yang lebih dari satu (Tabel 18), artinya harga bawang merah di kabupaten Majalengka lebih tinggi dari harga internasionalnya karena nilai yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap komoditas bawang merah, sehingga harga bawang merah pada tingkat harga privat lebih tinggi daripada harga sosialnya. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2003) terhadap komoditas kentang dan kubis di Wonosobo dan Suharyani et al. (2014) terhadap komoditas bawang merah di Bulukumba, kabupaten Brebes menunjukkan nilai NPCO yang kurang dari satu artinya usahatani kentang, kubis dan bawang merah di lokasi tersebut tidak menerima proteksi dari pemerintah terhadap harga output, sehingga petani menerima harga output yang lebih rendah dari harga yang seharusnya. Hal ini berarti petani mengalami disinsentif dalam memproduksi beberapa komoditas tersebut. Kebijakan pemerintah terkait dengan output bawang merah memberikan dampak positif terhadap petani bawang merah di kabupaten Majalengka. Salah satu kebijakan pemerintah terebut adalah kebijakan harga referensi bawang merah melalui Permentan No 86/2013, Permendag 47/2013 dan SK Dirjen Perdagangan dalam Negeri No 118/PDN/2013 dan pengaturan tarif bea masuk untuk barang impor termasuk bawang merah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK/011/2011 sebesar 20%. Meskipun beberapa kebijakan pemerintah tersebut mampu memberikan insentif bagi petani bawang merah di kabupaten Majalengka sehingga harga yang diperoleh petani lebih tinggi dari 42

Rahmadona, et al. 2018. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka. Jurnal Agrosains dan Teknologi, Vol. 3 (1) h. 39 46. harga internasional. Pada kondisi seperti ini petani memperoleh surplus dari kebijakan tersebut. Di lain pihak, konsumen mengalami disinsentif karena harus membayar harga bawang merah lebih mahal dari seharusnya. Terjadi transfer surplus dari konsumen kepada petani. Namun, di lain sisi hal ini justru menunjukkan bahwa bawang merah di kabupaten Majalengka belum berdayasaing karena biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi persatuan output juga tinggi, sehingga hal ini dapat memperlemah dayasaing bawang merah lokal terhadap bawang merah impor yang harganya jauh lebih murah. Akibatnya, konsumen akan beralih kepada bawang merah impor yang harganya lebih murah dibandingkan bawang merah lokal. Dampak Kebijakan terhadap Input Usahatani Bawang Merah bertujuan untuk meminimalkan biaya yang akan dikeluarkan petani bawang merah di dalam usahatani yang mereka jalankan. Menurut Scoot and Carl Gotsch (2005) untuk dapat mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap input pada usahatani bawang merah yaitu terdiri dari tiga faktor: (1) Transfer Input, (2) Transfer Faktor dan (3) Nominal Protection Coeficient Input (NPCI). Apabila nilai transfer input dan transfer faktor bernilai positif, yang artinya terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga input ditingkat privat lebih tinggi daripada harga sosialnya, berlaku sebaliknya. Sama halnya dengan nilai NPCI yang lebih dari satu maka petani membayar harga input ditingkat privat lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya, begitu pun sebaliknya. Hasil perhitungan dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat pada Tabel 2. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani bawang merah Tabel 2. Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada tahun 2014-2015 Musim Indikator Dampak Kebijakan Output Transfer Input per Hektar (Rp.) Trasnfer Faktor NPCI Musim Hujan 1 311 268.67 19 443 145.39 1.12 Musim Kemarau I 1 327 357.11 19 498 289.63 1.11 Musim Kemarau II 1 610 266.54 26 958 036.47 1.12 Berdasarkan Tabel 2, nilai transfer input di kabupaten Majalengka menunjukkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan harga sosial input tradable lebih rendah daripada harga privatnya. Kebijakan pemerintah yang berlaku seperti subsidi pupuk, subsidi bahan bakar, dan penetapan tarif impor terhadap input-input pertanian belum memberikan insentif kepada petani bawang merah di kabupaten Majalengka, sehingga petani membayar input untuk usahatani bawang merah lebih mahal dari yang seharusnya. Nilai transfer input terbesar berdasarkan musim terjadi mada musim kemarau II. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan harga input tradable dan jumlah penggunaan input tradable (Rum 2010). Penelitian Tinaprilla (2008) terhadap komoditas cabai merah di Ciwidey dan Lembang memperoleh nilai transfer input bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memberikan subsidi kepada usahatani cabai merah atas penggunaan input asing (tradable). Subsidi pada harga input tersebut menyebabkan biaya input pada harga aktual lebih rendah dari harga sosialnya, petani cabai merah di Lembang menerima subsidi 0.01% lebih besar dari subsidi yang diterima oleh petani di Ciwidey. Selain penggunaan input tradable, dalam usahatani bawang merah di 43

Jurnal Agrosains dan Teknologi Volume 3 No. 1 Juni 2018 website : jurnal.umj.ac.id/index.php/ftan kabupaten Majalengka petani juga menggunakan input non tradable untuk menunjang kelancaran usahatani yang mereka jalankan. Analisis berupa transfer faktor dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Nilai transfer faktor berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan hasil yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat transfer dari petani bawang merah kepada produsen input non tradable, sehingga petani membayar input non tradable lebih tinggi daripada harga seharusnya. Salah satunya yaitu petani mengeluarkan upah untuk tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan yang seharusnya dikeluarkan. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Saptana (2003) menunjukkan hasil analisis transfer faktor untuk komoditas kentang dan kubis diperoleh angka positif. Artinya terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada domestic factor yang merugikan petani kentang dan kubis karena petani harus membayar harga domestik faktor lebih tinggi dari yang seharusnya. Sumber utama perbedaan harga untuk biaya faktor domestik ini adalah bunga modal. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) adalah rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga ditingkat privat dan sosial. Nilai NPCI yang diperoleh di kabupaten Majalengka lebih dari satu, artinya dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap input tradable, petani bawang merah harus membayar input tradable lebih mahal dari yang seharusnya dibayar, sehingga terjadinya transfer surplus dari petani ke produsen input tradable. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum dapat memberikan proteksi terhadap input tradable. Dari kajian yang sama, Suharyani et al (2014) menunjukkan bahwa komoditas bawang merah di Bulukumba, kabupaten Brebes memperoleh nilai NPCI yang kecil dari satu yaitu sebesar 0.56. Menurut Suharyani et al. (2014) adanya proteksi pemerintah terhadap input tradable. Dampak Kebijakan Terhadap Input- Output Usahatani Bawang Merah Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output usahatani dapat dijelaskan melalui beberapa indikator yaitu Transfer Bersih, Koefisien Proteksi Efektif (EPC) dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Adapun hasil perhitungan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output usahatani bawang merah di kabupaten Majalengka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output usahatani tahun 2014 2015 Musim Indikator Dampak Kebijakan Output Transfer Bersih per Hektar (Rp.) EPC SRP Musim Hujan 55 919 296.82 4.30 1.67 Musim Kemarau I 56 915 467.63 4.08 1.57 Musim Kemarau II 49 434 030.50 2.56 0.80 Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih ditingkat harga privat dengan harga sosial. Nilai transfer bersih menunjukkan dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output secara bersama-sama terhadap usahatani bawang merah di kabupaten Majalengka. Kebijakan pemerintah terhadap input dan output usahatani secara keseluruhan dapat memberikan insentif bagi petani dengan nilai transfer bersih yang positif. Dari segi pembagian musim tanam bahwa rata-rata transfer bersih terbesar yang diterima oleh petani 44

Rahmadona, et al. 2018. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka. Jurnal Agrosains dan Teknologi, Vol. 3 (1) h. 39 46. adalah terdapat pada musim hujan sebesar Rp 55 919 296.82 ha -1, yang berarti petani bawang merah di Kabupaten Majalengka pada musim hujan menerima insentif terbesar dengan adanya kebijakan pemerintah baik pada input maupun output terhadap usahatani bawang merah yang mereka usahakan. Sementara itu, penelitian Tinaprilla (2008) menunjukkan nilai transfer bersih yang negatif terhadap usahatani cabai merah di Ciwidey. Hal ini mencerminkan adanya surplus petani akibat adanya kebijakan, sehingga petani Ciwidey dirugikan. Indikator lain yang dapat digunakan di dalam menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input dan output pada usahatani bawang merah di kabupaten Majalengka adalah Koefisien Proteksi Efektif (EPC). Nilai EPC menunjukkan sejauhmana kebijakan pemerintah terhadap input dan output bersifat melindungan atau menghambat produksi di dalam negeri. Nilai EPC bawang merah yang dianlisis di kabupaten Majalengka bernilai lebih dari satu. Artinya kebijakan pemerintah pada input dan output memberikan dukungan terhadap pengembangan dan dapat memberikan insentif bagi petani. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah tehadap input maupun output yang berdasarkan penjelasan dari dua indikator sebelumnya. Secara bersama-sama pada saat kedua kebijakan pemerintah terhadap input dan output dilaksanakan maka kebijakan pemerintah tersebut secara simultan dapat memberikan insentif yang positif terhadap usahatani bawang merah di kabupaten Majalengka. Hasil penelitian Kiloes et al. (2014) juga memperoleh nilai EPC besar dari satu, yaitu 1.54 menunjukkan bahwa secara umum petani kentang di Pangalengan, kabupaten Bandung diuntungkan dengan adanya intervensi pemerintah. Berbeda dengan hasil penelitian Suharyani et al. (2014) menunjukkan nilai EPC yang diperoleh kecil dari satu yaitu sebesar 0.85, yang berarti proteksi pemerintah terhadap produksi bawang merah di Bulukumba, kabupaten Brebes rendah. Kebijakan pemerintah kurang mendukung pengembangan komoditas bawang merah di lokasi tersebut karena kebijakan tidak melindungi petani. Selanjutnya, rasio subsidi bagi produsen (SRP). Nilai SRP menunjukkan proporsi penambahan atau pengurangan penerimaan bagi petani karena adanya kebijakan pemerintah. Hasil analisis menunjukkan nilai SRP di kabupaten Majalengka adalah lebih besar dari nol. Nilai SRP yang lebih besar dari nol menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini yaitu kebijakan harga referensi, penetapan tarif impor bawang merah dan kebijakan pembatasan impor hortikultura menyebabkan petani bawang merah di Kabupaten Majalengka mengeluarkan biaya lebih kecil dibandingkan dari biaya imbangannya untuk berproduksi. Artinya terjadi transfer dari pemerintah atau konsumen kepada petani sehingga petani menikmati tambahan dari keuntungan sebesar nilai SRP. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Kiloes et al. (2014) memperoleh nilai SRP yang lebih besar dari nol yaitu sebesar 0.23. Namun nilai yang mendekati nol menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan subsidi secara langsung pada biaya usahatani kentang di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Penelitian yang dilakukan Suharyani et al. (2014) menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai SRP yang diperoleh bernilai negatif yaitu sebesar - 0.14, yang berarti petani bawang merah di Bulukumba, kabupaten Brebes mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya imbangnnya untuk berproduksi. SIMPULAN Kebijakan pemerintah terhadap output bawang merah di Kabupaten 45

Jurnal Agrosains dan Teknologi Volume 3 No. 1 Juni 2018 website : jurnal.umj.ac.id/index.php/ftan Majalengka dapat memberikan insentif bagi petani, sedangkan kebijakan pemerintah terhadap input masih bersifat disinsentif terhadap petani. Namun secara bersama-sama, kebijakan inputoutput usahatani bawang merah yang berlaku masih mendukung terhadap produksi bawang merah lokal. Dalam meningkatkan daya saing usahatani bawang merah dan merangsang petani meningkatkan produksi di Kabupaten Majalengka, diharapkan Pemerintah tetap menerapkan kebijakan harga referensi, penetapan kuota dan tarif impor bawang merah agar dapat meningkatkan dayasaing komoditas bawang merah baik secara kompetitif maupun komparatif sebagai produk substitusi impor. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Perkembangan Indeks Harga Konsumen/Inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 Agustus 2013. BPS. Jakarta. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2015. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan Impor). Kemendag RI. Jakarta. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2015. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Kementan RI. Jakarta. Kiloes, A.M., Sayekti A.L., and Anwarudin S. 2014. Potato Competiviness Evaluation in Production Centre of Pangalengan, Bandung Regency. J. Hort., Vol. 25 (1): 88 96. [En.] Monke, A.E. and Pearson S.R. 1989. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. New York (US): Cornell University Press. Pearson, S., Carl G., dan Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. Pujiharto. 2011. Kajian Potensi Pengembangan Agribisnis Sayuran Dataran Tinggi di Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah. Agritech, Vol. 13 (2): 154 75. Rum, M. 2010. Analisis Usahatani dan Evaluasi Kebijakan Pemerintah Terkait Komoditas Cabai Besar di Kabupaten Malang dengan Menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Jurnal Embryo, Vol. 7 (2): 138 43. Saptana, Sumaryanto, dan S. Friyatno. 2003. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Komoditas Kentang dan Kubis di Wonosobo, Jawa Tengah. Socioeconomic of Agriculture and Agribusiness, Vol. 3 (1): 1 30. Scoot and Carl Gotsch. 2005. Application of Policy Analysis Matrix for Indonesia Agrilcultural. Terjemahan Syaiful Bahri: Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. Suharyani, A., Setiawan B., Mustadjab M.M. 2014. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Pengembangan Usahatani Bawang Merah di Kecamatan Bulukumba Kabupaten Brebes. Habitat, Vol. 25 (1): 16 24. Taufik, M. 2012. Strategi Pengembangan Agribisnis Sayuran di Sulawesi Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 31 (2): 43 50. Tinaprilla, N. 2008. Analisis Daya Saing dan Kebijakan Pemerintah pada Usahatani Cabai Merah (Kasus Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat). Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian, Vol. 2 (2): 39 64. 46