BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Wacana a. Pengertian Wacana Djajasudarma (1994:1) menyatakan bahwa wacana memuat rentetan kalimat yang berhubungan, menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan informasi. Proposisi adalah konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi (dari pembicaraan) atau proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statement (pernyataan kalimat). Selain itu, Sumarlam (2003:15) menjelaskan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan, seperti pidato, ceramah, khotbah dan dialog, atau secara tertulis, seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen yang tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu. Pengertian di atas senada dengan pendapat Kushartanti, dkk (2007:92) yang menyatakan bahwa wacana adalah kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan kesatuan makna, wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. Adanya kesatuan makna antarbagian, yaitu antarkalimat, antarparagraf, antara judul dan isi, pembaca tentu dapat memahami maksud wacana tersebut dengan mudah. Sejalan dengan pendapat di atas, Chaer (1994:267) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide 6

2 yang utuh yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Rani, dkk (2006:3-5) menjelaskan bahwa istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas sekadar bacaan sehingga para ahli telah menyepakati bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Pengertian wacana menurut mereka dibagi menjadi 3, yaitu wacana sebagai satuan bahasa, wacana sebagai hasil dan proses, dan wacana sebagai penggunaan bahasa. (1) Wacana sebagai satuan bahasa seperti yang diungkapkan di atas, wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar yang digunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi membentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya rangkaian kalimat membentuk wacana. (2) Wacana sebagai hasil dan proses. Dalam situasi komunikasi, apa pun bentuk wacananya, diasumsikan adanya penyapa dan pesapa. Dalam wacana lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis penyapa adalah penulis, sedangkan pesapa adalah pembaca. Dalam komunikasi tulis khususnya, proses komunikasi penyapa dan pesapa tidak berhadapan langsung. Penyapa menuangkan ide/gagasannya dalam kode-kode kebahasaan yang biasanya berupa rangkaian kalimat. Rangkaian kalimat tersebut yang nantinya ditafsirkan maknanya oleh pembaca. Di sini pembaca mencari makna berdasarkan untaian kata yang tercetak dalam teks. (3) Wacana sebagai penggunaan bahasa. Menurut Cook dalam Abdul Rani menyatakan bahwa wacana merupakan suatu penggunaan bahasa dalam komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa dapat berupa iklan, drama, percakapan, diskusi, debat, tanya jawab, surat, makalah, tesis, dan sebagainya. b. Jenis Wacana Sebagai satuan bahasa dalam komunikasi, wacana dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa segi. Menurut Rani, dkk (2006:25-46) wacana diklasifikasikan menjadi beberapa bergantung pada sudut pandang yang 7

3 digunakan. Dilihat dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana tulis dan lisan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog dan polilog, sedangkan dilihat dari tujuan berkomunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi dan narasi. Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (1) wacana tulis adalah teks yang berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis, (2) wacana lisan adalah merupakan rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan. Wacana tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah dan sebagainya, sedangkan wacana lisan misalnya khotbah, percakapan, dan siaran langsung di radio atau tv. Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi. Ada 3 jenis wacana, yaitu (1) monolog, peserta dalam komunikasi hanya ada satu orang. Pada saat itu, pembicara mempunyai kebebasan untuk menggunakan waktunya tanpa diselingi oleh mitra tuturnya, (2) dialog, apabila peserta dalam komunikasi itu ada dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), (3) polilog, jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran. Berdasarkan tujuan berkomunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi 5, yaitu (1) wacana deskripsi merupakan jenis wacana yang ditujukan kepada penerima pesan agar dapat membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal, (2) wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar yang bersangkutan memahaminya, (3) wacana argumentasi merupakan sebuah wacana yang bertolak dari adanya isu yang sifatnya kontroversi antara penutur dan mitra tutur, (4) wacana persuasi merupakan wacana yang bertujuan memengaruhi mitra tutur untuk melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penuturnya, dan (5) wacana narasi merupakan suatu jenis wacana yang berisi cerita. Di samping pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Rani,dkk., Sumarlam (2003:15) mengklasifikasikan wacana menjadi beberapa jenis menurut dasar pengklasifikasiannya. Misalnya, berdasarkan bahasanya, media yang 8

4 dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk serta cara dan tujuan pemaparannya.. Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi (a) wacana bahasa nasional (Indonesia), (b) wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan sebagainya), (c) wacana bahasa internasional (Inggris), dan (d) wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya. Wacana bahasa Indonesia ialah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarananya; wacana bahasa Jawa adalah wacana yang diungkapkan dengan menggunakan sarana bahasa Jawa; wacana bahasa Inggris merupakan wacana yang dinyatakan dengan menggunakan bahasa Inggris, dan seterusnya. Apabila dilihat dari ragam bahasa yang digunakannya maka wacana tersebut dapat berupa wacana bahasa Indonesia ragam baku dan wacana bahasa Indonesia ragam takbaku; wacana bahasa Jawa dapat terdiri atas wacana bahasa Jawa ragam ngoko (ragam bahasa Jawa yang kurang halus, ragam rendah), krama (ragam bahasa Jawa halus, ragam tinggi), dan campuran antara kedua ragam tersebut. Berdasarkan media yang digunakan maka wacana dapat dibedakan atas (1) wacana tulis, dan (2) wacana lisan. Wacana tulis artinya wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis, untuk dapat menerima atau memahami wacana tulis maka sang penerima atau pesapa harus membacanya. Di dalam wacana tulis terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca. Wacana tulis ini dalam referensi bahasa Inggris disebut oleh sebagian ahli dengan written discourse dan sebagian lagi dengan istilah written text. Sementara itu, wacana lisan berarti wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan. Untuk dapat menerima dan memahami wacana lisan maka sang penerima dan pesapa harus menyimak atau 9

5 mendengarkannya. Di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara pembicara dengan pendengar. Apabila jenis wacana berdasarkan media ini dihubungkan dengan jenis wacana berdasarkan bahasa yang digunakan untuk mengungkapkannya maka akan didapatkan jenis wacana bahasa Indonesia tulis ragam baku (misalnya, wacana surat-menyurat resmi), wacana bahasa Indonesia tulis ragam takbaku (misalnya, surat-surat pribadi), wacana bahasa Indonesia lisan ragam baku (seperti pidato kenegaraan), dan wacana bahasa Indonesia lisan ragam takbaku (seperti obrolan santai, wacana ketoprak humor, dan sebagainya). Demikian juga dapat ditemukan wacana bahasa Jawa tulis ragam ngoko (seperti wacana surat yang ditulis oleh orang tua kepada anaknya), wacana bahasa Jawa tulis ragam krama (seperti wacana undangan pernikahan), dan wacana bahasa Jawa tulis ragam campuran (seperti wacana pada naskah drama, cerpen, dsb). Selanjutnya, untuk yang lisan ditemukan adanya wacana bahasa lisan ragam ngoko (misalya, ular-ular atau sabdatama -baik yang disampaikan orang tua kepada kedua krama (misalnya wacana pawartos basa Jawi dan wacana bahasa Jawa lisan ragam campuran (misalnya, wacana pementasan drama, pergelaran wayang kulit atau wayang orang, dan sebagainya). Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana dapat dibedakan antara wacana monolog dan wacana dialog. (1) Wacana monolog (monologue discourse) artinya wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Wacana monolog ini sifatnya searah dan termasuk komunikasi tidak interaktif (non interactive communication). Contoh jenis wacana ini ialah orasi ilmiah, penyampaian visi dan misi, khotbah, dan sebagainya. (2) Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana dialog ini bersifat dua arah dan masing-masing partisipan secara aktif ikut berperan di dalam komunikasi tersebut sehingga disebut komunikasi interaktif (interactive communication). Pemakaian bahasa dalam peristiwa diskusi, seminar, musyawarah, dan kampanye dialogis merupakan contoh jenis wacana ini. 10

6 Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, yaitu wacana prosa, puisi dan drama. (1) Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa (Jawa: gancaran). Wacana berbentuk prosa ini dapat berupa wacana tulis atau lisan. Contoh wacana prosa tulis, misalnya cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), novel, artikel, dan undangundang, sedangkan contoh wacana prosa lisan misalnya pidato, khotbah, dan kuliah. (2) Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi (Jawa: geguritan). Seperti halnya wacana prosa, wacana puisi juga dapat berupa wacana tulis maupun lisan. Puisi dan syair adalah contoh jenis wacana puisi tulis, sedangkan puitisasi atau puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu merupakan contoh jenis wacana puisi lisan. (3) Sementara itu, yang dimaksud wacana drama, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan. Bentuk wacana drama tulis terdapat pada naskah drama atau naskah sandiwara, sedangkan bentuk wacana drama lisan terdapat pada pemakaian bahasa dalam peristiwa pementasan drama, yakni percakapan antarpelaku dalam drama tersebut. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya, pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. (1) Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis. Jenis wacana narasi pada umumnya terdapat pada berbagai fiksi. (2) Wacana deskripsi, yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan atau memerikan sesuatu menurut apa adanya. (3) Wacana eksposisi atau wacana pembeberan, yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagian-bagiannya diikat secara logis. (4) Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya. Argumentasi ada yang pendek dan ada pula yang panjang. 11

7 (5) Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk memengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut. Di samping jenis wacana seperti telah dijelaskan di atas, ada pula ahli yang mengklasifikasikan wacana menurut cara penyusunan, isi, dan sifatnya. Misalnya, Llamzon dalam bukunya Discourse Analysis (dalam Sumarlam, 2003:20) menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik, dan deskriptif. (1) Wacana naratif, yaitu rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku (orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca. Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu dan cara-cara bercerita yang diatur melalui alur (plot). (2) Wacana prosedural, yaitu rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan yang tidak boleh dibolak-balik unsur-unsurnya karena urgensi unsur terdahulu menjadi landasan unsur yang berikutnya. Wacana ini biasanya disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana sesuatu bekerja atau terjadi, atau bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya bagaimana membongkar dan memasang mesin mobil atau bagian-bagian tertentu yang memerlukan prosedur seperti itu. (3) Wacana hortatorik, yaitu tuturan yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, kadang-kadang tuturan itu bersifat memperkuat keputusan agar lebih meyakinkan. Tokoh penting di dalamnya adalah orang. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan hasil atau produksi suatu waktu. Wacana hortatorik ini hampir sama dengan wacana persuasi yang telah dijelaskan. (4) Wacana ekspositorik, yaitu rangkaian tuturan yang bersifat memaparkan suatu pokok pikiran. Pokok pikiran itu lebih dijelaskan lagi dengan cara menyampaikan uraian bagian-bagian atau detilnya. Tujuan pokok dari wacana ini adalah tercapainya tingkat pemahaman terhadap sesuatu secara lebih jelas, mendalam, dan luas daripada sekadar sebuah pertanyaan yang bersifat umum atau global. Kadang-kadang wacana ini dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, perbandingan, dan penentuan identifikasi dengan orientasi pokok pada masalah, bukan kepada tokohnya. (5) Wacana deskriptif pada dasarnya berupa rangkaian 12

8 tuturan yang memaparkan atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya. Tujuan yang ingin dicapai oleh wacana ini adalah tercapainya pengamatan yang agak imajinatif terhadap sesuatu, sehingga pendengar atau pembaca merasakan seolah-olah ia sendiri mengalami atau mengetahuinya secara langsung. Wacana ini terletak di antara keempat jenis terdahulu. Uraian pada wacana deskriptif ini ada yang hanya memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang memaparkan secara imajinatif. Pemaparan yang pertama bersifat menginformasikan seperti apa adanya, sedangkan yang kedua dengan menambahkan daya khayal. Oleh karena itu, yang kedua itu banyak dijumpai dalam karya sastra, seperti pada novel atau cerpen. Selain pengklasifikasian jenis wacana di atas, Kushartanti, dkk (2007:93) menambahkan klasifikasi wacana berdasarkan fungsi bahasa yang mengutip dari pendapat Leech. Jenis wacana tersebut antara lain: (1) wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato; (2) wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta; (3) wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa; (4) wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu; (5) wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah. Berbeda dengan pendapatnya Brown dan Yule (dalam Oka dan Suparno, 1994:272) yang sama-sama mengklasifikasikan jenis wacana berdasarkan fungsinya. Berdasarkan fungsinya, membedakan wacana menjadi dua kategori, yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar. Berbeda dengan wacana transaksional, wacana interaksional digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat dalam dialog dan polilog. Jadi, sesuai namanya, wacana interaksional lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. 13

9 Mulyana (2005:56) menambahkan jenis wacana berdasarkan isinya, dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi, wacana budaya, wacana militer, wacana hukum dan kriminalitas, wacana olahraga dan kesehatan. (1) wacana politik adalah wacana yang berkaitan dengan dunia politik. (2) wacana sosial berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat. (3) wacana ekonomi berkaitan dengan persoalan ekonomi. (4) wacana budaya berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. (5) wacana militer, jenis wacana yang hanya dipakai di dunia militer. (6) wacana hukum dan kriminalitas, persoalan hukum dan kriminalitas sekalipun dapat dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi dari mata uang: berbeda tetapi menjadi kesatuan. Kriminalitas menyangkut hukum, dan hukum mengelilingi kriminalitas. (7) wacana olahraga dan kesehatan. Berdasarakan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa yang pada tataran gramatikal merupakan tataran yang paling tinggi. 2. Hakikat Analisis Wacana Analisis wacana pada dasarnya ingin menganalisis atau menginterpretasikan pesan yang dimaksud pembicara/penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran/tulisan kepada proses ujaran/tulisan sehingga diketahui segala konteks yang mendukung wacana pada saat diujarkan atau dituliskan (Pranowo, 1996:73). Dengan merekonstruksi teks akan bisa mengetahui siapa pembicara, kapan, dan di mana berbicara serta dalam situasi semacam apa. Segala alat pembangun wacana yang pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk menginterpretasikan. Hasil interpretasi dapat membantu pembaca atau penyimak untuk memahami pesan yang dimaksud oleh pembicara atau penulis. Sebuah analisis wacana dapat dianalisis dari segi internal teks, baik itu struktur teksnya yang meliputi: kohesi maupun koherensi 14

10 ataupun dari struktur semantik dengan pengacuan atau referensi yang sama. Seperti pengertian analisis dalam jurnal berikut. determined: a discourse is a span of utterances that obey structured parameters, such as coherence/cohesion, or has an autonomous semantic structur with homogeneous domain of reference. (Louise de Sausure, 2007:188) Parera (1990:112) menyatakan sebuah teori tentang analisis wacana atau wacana adalah satu penjelasan tentang bagaimana kalimat-kalimat dihubunghubungkan dan memberikan satu kerangka acuan yang terpahami tentang pelbagai jenis wacana, memberikan penjelasan tentang runtun kelogisan, pengelolaan wacana, dan karakteristik stilistik sebuah wacana. Eriyanto (2001:3) menyatakan bahwa analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. (2007:2) menyatakan bahwa analisis wacana bukanlah sekadar satu pendekatan tunggal, melainkan serangkaian pendekatan multidisipliner yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi banyak domain sosial yang berbeda yang berada dalam jenis-jenis kajian yang berbeda. Seperti yang sudah disinggung di atas, disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam tindak komunikasi adalah analisis wacana (Rani,dkk., 2006:9). Pendapat ini diperkuat dengan pendapatnya Cook (dalam Rani, dkk., 2006: 9) yang menyatakan bahwa analisis wacana merupakan kajian yang membahas tentang wacana, sedangkan wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Data dalam analisis wacana selalu berupa teks, baik lisan maupun tulisan. Teks di sini mengacu pada bentuk transkripsi rangkaian kalimat dan ujaran. Analisis wacana pada umumnya bertujuan untuk mencari keterangan, bukan kaidah. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah wacana perlu diperhatikan semua unsur yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut. 15

11 Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan pengertian analisis wacana adalah sebuah kegiatan yang mengkaji penggunaan bahasa dengan konteks penggunaannya. 3. Hakikat Kohesi Suwandi (2008:119) menyatakan bahwa kohesi merupakan salah satu aspek penting dalam analisis wacana. Sebuah kalimat di dalam teks pun pasti berkaitan dengan kalimat lain yang datang sebelum atau sesudahnya. Hal ini senada dengan pendapat Sumadi (2010:38) yang menyatakan konstituenkonstituen wacana saling berhubungan satu dengan yang lain dengan sarana satuan gramatikal dan sarana leksikal tertentu. Demikian pula, di sisi lain, tanpa bahasa, tidak akan ada wacana. Ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana (the property of being a text), yaitu keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara semantis (Halliday dan Hassan dalam Kushartanti,dkk, 2007: 96). Keadaan unsur-unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara semantis disebut kohesi. Dengan kohesi, sebuah wacana menjadi padu: setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian lain secara mesra dan wajar. Ini sejalan dengan pendapat Sarwiji yang menyatakan kohesi membuat karangan menjadi padu dan konsisten sehingga mudah dipahami oleh pembaca (Suwandi, 2008:121). Banyak linguis seperti, Widdowson dan koleganya (1978) (dalam Santoso, 2003:64), membedakan antara kohesi dan koherensi. Kohesi oleh mereka digunakan untuk merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi digunakan untuk merujuk pertautan makna. Akan tetapi, Halliday dan koleganya kohesi digunakan untuk merujuk keduanya: pertautan bentuk dan makna sekaligus. Hal ini disebabkan bahwa bentuk merupakan simbol yang merealisasikan maknanya (Halliday dalam Santoso, 2003: 64). Dengan demikian, yang disebut kohesi adalah pertautan bentuk dan makna. Kushartanti, dkk (2007:96) kohesi tidak datang dengan sendirinya, tetapi diciptakan secara formal oleh alat bahasa, yang disebut pemarkah kohesi 16

12 (cohesive marker). Pemarkah kohesi yang digunakan secara tepat menghasilkan kohesi dengan jenis sebagai berikut. a. Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal adalah hubungan semantis antarunsur yang dimarkahi alat gramatikal-alat bahasa yang digunakan kaitannya dengan tata bahasa. Kohesi gramatikal dapat berwujud referensi atau pengacuan, substitusi atau penyulihan, elipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penghubungan. 1. Referensi Referensi adalah hubungan antara kata dengan objeknya. Dari sudut analisis wacana, objek yang diacu oleh sebuah kata dapat di luar bahasa dan di dalam bahasa. Referensi dengan objek acuan di luar teks disebut referensi eksoforis, sedangkan referensi dengan objek acuan di dalam teks disebut referensi endoforis (Kushartanti, dkk., 2007: 96). M. Ramlan (dalam Mulyana, 2003:27) referensi (penunjukkan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya. J.D Parera menambahkan referensi atau rujukan terjadi bila unsurunsur selain mendapatkan interpretasi secara semantik menurut hakikatnya juga memberikan rujukan kepada sesuatu yang lain untuk interpretasi (Parera, 2004:225). Lain halnya dengan pendapat Sumarlam (2003:23) yang menyatakan pengacuan atau referensi adalah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana. Jenis kohesi yang pertama, pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis (anaphoric reference) dan pengacuan kataforis 17

13 (cataphoric reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif ( kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya). 1) Pengacuan persona Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang) yang meliputi persona pertama (person I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya, bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada pula yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan). Dengan demikian, satuan lingual aku, kamu, dan dia, misalnya, masing-masing merupakan pronomina persona I, II, dan III tunggal bentuk bebas. Adapun bentuk terikatnya adalah ku- (misalnya pada kutulis), kau- (pada kautulis), dan di- (pada ditulis) masing-masing adalah bentuk terikat lekat kiri; atau ku (misalnya pada istriku), -mu (pada istrimu), dan nya (pada istrinya) yang masing-masing merupakan bentuk terikat lekat kanan. Lain halnya dengan pendapat Mappau (2010:47) menyatakan bahwa kata ganti tidak hanya berfungsi menggantikan orang dalam sebuah wacana, tetapi kata ganti dipakai seorang penulis untuk menempatkan posisi seseorang dalam wacana. Penghadiran diri dalam 18

14 wacana berimplikasi terhadap jarak sosial yang tercipta antara penulis dan pembaca. Ada beberapa strategi yang digunakan dan dipilih oleh penulis untuk menghadirkan diri penulis, pembaca dan kelompok dalam teks, yaitu (1) penggunaan kata ganti kita, (2) penggunaan kata ganti jamak mereka, (3) penggunaan kata ganti dengan nomina tertentu. Berikut gambar bagan klasifikasi pronomina persona. I Tunggal Aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane terikat lekat kiri: kulekat kanan: -ku PERSONA II Jamak Tunggal Kami kami semua kita Kamu, anda, anta/ente terikat lekat kiri: kaulekat kanan: -mu III Jamak Kamu kalian kalian semua Tunggal Ia, dia, beliau terikat lekat kiri: dilekat kanan: -nya Jamak Mereka mereka semua Gambar 1. Bagan klasifikasi pengacuan pronomina persona 2) Pengacuan Demonstratif Pengacuan demostratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besuk dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu, 19

15 pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta). Berikut bagan klasifikasi pronomina demonstratif. DEMONSTRATIF Waktu kini: kini, sekarang, saat ini lampau: kemarin, dulu,..., yang lalu y.a.d: besok,...depan,...yang akan datang. netral : pagi, siang, sore, pukul 12 Tempat dekat dengan penutur: sini, ini agak dekat dengan penutur: situ, itu jauh dengan penutur: sana menunjuk secara eksplisit: Sala, Yogya Gambar 2. Bagan klasifikasi pengacuan pronomina demonstratif 3) Pengacuan Komparatif Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang memunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya, seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan. 2. Substitusi Kushartanti, dkk., (2007:97) menyatakan bahwa substitusi adalah hubungan antara kata (-kata) dan kata (-kata) lain yang digantikannya. Contoh alat gramatikal yang digunakan untuk menciptakan substitusi adalah demonstrativa itu, begini, di bawah ini, dan berikut ini untuk menggantikan kata yang akan disebut; demonstrativa itu, begitu, demikian, 20

16 tersebut dan di atas untuk menggantikan kata yang sudah disebut; dan pronomina persona untuk menggantikan nomina persona yang sudah disebut. Adapun hubungan substitusi dapat terjadi secara nominal (substitusi nominal), verbal (substitusi verbal), dan klausal (substitusi klausal). Mulyana (2005:28) menyatakan bahwa substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk memeroleh unsur pembeda atau menjelaskan struktur tertentu. Halliday dan Hasan (dalam Parera, 2004:226) berpendapat bahwa substitusi adalah satu unsur gramatikal yang menyatakan hubungan antarkata dan bukan hubungan dalam makna. Sumarlam (2003:28) menjelaskan penyulihan atau substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal. 1) Substitusi Nominal Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Misalnya, kata derajat, tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar diganti dengan titel. 2) Substitusi Verbal Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. 3) Substitusi Frasal Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. 21

17 4) Substitusi Klausal Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana itu berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk, (2) menciptakan dinamisasi narasi, (3) menghilangkan kemonotonan, dan (4) memperoleh unsur pembeda. 3. Elipsis Kata yang disebutkan atau dituliskan secara berulang mungkin dapat mengganggu pemahaman. Dalam hal itu, elipsis atau pelesapan dapat dilakukan untuk menciptakan kepaduan wacana. Elipsis adalah penghilangan kata (-kata) yang dapat dimunculkan kembali dalam pemahamannya (Kushartanti, dkk., 2007: 98). Mulyana (2003:28) elipsis juga merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Sementara itu, menurut Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2003:28), elipsis (penghilangan atau pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain. Tujuan pemakaian elipsis ini, salah satunya yang terpenting adalah untuk mendapatkan kepraktisan bahasa, yaitu agar bahasa yang digunakan menjadi lebih singkat, padat dan mudah dimengerti dengan cepat. Dengan kata lain, elipsis digunakan untuk efektivitas dan efisiensi bahasa. Sumarlam (2003:30) menyatakan bahwa pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi 22

18 pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan. 4. Konjungsi Konjungsi atau penghubungan dengan bantuan kata sambung atau konjungsi besar pula peranannya dalam mewujudkan kohesi gramatikalperhatikan bahwa di sini kata konjungsi digunakan sebagai salah satu jenis kohesi gramatikal sekaligus alat gramatikalnya. Penghubungan dapat dilakukan antargagasan di dalam sebuah kalimat ataupun antarkalimat. Konjungsi, sebagai alat gramatikal yang digunakan untuk menghubungkan satu gagasan dengan gagasan di dalam sebuah kalimat disebut konjungsi intrakalimat, sedangkan konjungsi yang dipakai untuk menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain di dalam kalimat yang berbeda disebut konjungsi antarkalimat (Kushartanti, dkk., 2007: 98). Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana, 2003:29) konjungsi adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya. Sumarlam (2003:32) konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif. Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut. 23

19 (1) Sebab-akibat: sebab, karena, maka, makanya; (2) pertentangan: tetapi, namun; (3) kelebihan (eksesif): malah; (4) perkecualian (ekseptif): kecuali; (5) konsesif: walaupun, meskipun; (6) tujuan: agar, supaya; (7) penambahan (aditif): dan, juga, serta; (8) pilihan (alternatif): atau, apa; (9) harapan (optatif): moga-moga, semoga; (10) urutan (sekuensial): lalu, terus, kemudian; (11) perlawanan: sebaliknya; (12) waktu: setelah, sesudah, usai, selesai; (13) syarat: apabila, jika (demikian); (14) cara: dengan (cara) begitu; (15) makna lainnya: yang ditemukan dalam tuturan. Moeliono (1988:235) menyatakan konjungsi atau kata sambung adalah kata tugas yang menghubungkan dua klausa atau lebih. Dilihat dari perilaku sintaktiknya, konjungsi dibagi menjadi lima kelompok: (1) konjungsi koordinatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih dan kedua unsur itu memiliki status yang sintaktis yang sama. Anggota kelompok itu adalah dan, atau, tetapi. (2) konjungsi subordinatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintaktis yang sama. Salah satu dari klausa merupakan anak kalimat dari kalimat induknya. Dilihat dari perilaku sintaktis dan semantisnya, konjungsi subordinatif dibagi menjadi sepuluh kelompok kecil. Kelompok-kelompok konjungsi subordinatif itu, antara lain: (a) konjungsi subordinatif waktu: sesudah, setelah, sebelum, sehabis, sejak, selesai, ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selagi, selama, sehingga, sampai; (b) konjungsi subordinatif syarat: jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala; (c) konjungsi subordinatif pengandaian: andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya; (d) konjungsi subordinatif tujuan: agar, supaya, agar supaya, biar; (e) konjungsi subordinatif konsesif: biarpun, meski(pun), sekalipun, walau(pun), sungguhpun, kendati(pun). (f) konjungsi subordinatif pemiripan: seakan-akan, seolaholah, sebagaimana, seperti, sebagai, laksana; (g) konjungsi subordinatif penyebaban: sebab, karena, oleh karena; (h) konjungsi subordinatif pengakibatan: (se)hingga, sampai(-sampai), maka(nya); (i) konjungsi subordinatif penjelasan: bahwa; (j) konjungsi subordinatif cara: dengan. 24

20 (3) konjungsi korelatif, yaitu konjungsi yang menghubungkan dua kata, frasa atau klausa; dan kedua unsur itu memiliki status sintaktis yang sama. (4) konjungsi antarkalimat, yaitu konjungsi yang menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lain. Oleh karena itu, konjungsi semacam itu selalu memulai suatu kalimat yang baru dan tentu saja huruf pertamanya ditulis dengan huruf kapital (5) konjungsi antarparagraf, yaitu konjungsi yang memulai suatu paragraf. b. Kohesi Leksikal Kohesi leksikal adalah hubungan semantis antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan unsur leksikal atau kata. Kohesi leksikal dapat diwujudkan reiterasi dan kolokasi. Reiterasi adalah pengulangan kata-kata pada kalimat berikutnya untuk memberikan penekanan bahwa kata-kata tersebut merupakan fokus pembicaraan. Reiterasi dapat berupa repetisi, sinonimi, hiponimi, metonimi, dan antonimi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Candrawati (2008:16) yang berpendapat bahwa hubungan antara kalimat pembentuk wacana dapat dinyatakan dengan pertalian antara unsur-unsur leksikal yang terdapat di dalam kalimat-kalimat itu. Pertalian antarleksikal itu ada lima jenis, yaitu (1) repetisi, (2) sinonimi, (3) antonimi, (4) hiponimi, dan (5) kolokasi. 1) Repetisi Repetisi adalah pengulangan kata yang sama (Kushartanti,dk., 2007:99). Sejalan dengan pengertian di atas, Rani, dkk., (2006:130) menyatakan bahwa repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat. Hubungan itu dibentuk dengan mengulang sebagian kalimat. Pengulangan itu berarti mempertahankan ide atau topik yang sedang dibicarakan. Dengan mengulang, berarti terkait antara topik kalimat yang satu dengan kalimat sebelumnya yang diulang. Sumarlam (2003:35) menyatakan bahwa repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap 25

21 penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. (1) Repetisi Epizeuksis Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. (2) Repetisi Tautotes Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. (3) Repetisi Anafora Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. (4) Repetisi Epistrofa Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. (5) Repetisi Simploke Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut. (6) Repetisi Mesodiplosis Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengahtengah baris atau kalimat secara berturut-turut. (7) Repetisi Epanalepsis Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. 26

22 (8) Repetisi Anadiplosis Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. 2) Sinonimi Chaer (1994:297) berpendapat bahwa sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Kushartanti, dkk., (2007:99) menyatakan bahwa sinonimi adalah hubungan antarkata yang memiliki makna sama. Menurut Darmojuwono, ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya kata-kata yang bersinonimi, seperti kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing (dalam Kushartanti, dkk., 2007:119). Sumarlam (2003:39) menyatakan bahwa sinonimi adalah salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. 3) Antonimi (Lawan Kata) Istilah antonimi (Inggris: antonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma = nama, dan anti = melawan). Makna harfiahnya, nama lain untuk benda yang lain. Verhaar (dalam Pateda, adalah ungkapan (biasanya kata, tetapi dapat juga frasa atau kalimat) yang Chaer (1994:299) menyatakan bahwa antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya 27

23 menyatakan kebalikan, pertentangan atau kontras antara yang satu dengan yang lainnya. Antonimi adalah hubungan antarkata yang beroposisi makna (Kushartanti, dkk., 2007:99). Sumarlam (2003:40) menyatakan bahwa antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan makna wacana secara semantis. (1) Oposisi mutlak Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya oposisi antara kata hidup dengan kata mati, dan oposisi antara bergerak dengan diam. (2) Oposisi kutub Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut. (3) Oposisi hubungan Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Karena oposisi ini bersifat saling melengkapi maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain. 28

24 (4) Oposisi hirarkial Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan dengan jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama satuan hitungan, penanggalan dan sejenisnya. (5) Oposisi majemuk Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil. 4) Hiponimi Istilah hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma = nama, dan hypo = di bawah). Secara harfiah istilah hiponimi bermakna nama yang termasuk di bawah nama lain. Menurut Verhaar biasanya atau kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang maknanya Chaer (1994:305) hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna ujaran yang lain. Pendapat lain, hiponimi adalah hubungan antara kata yang bermakna spesifik dan kata yang bermakna generik (Kushartanti, dkk., 2007: 99). Sumarlam (2003:45) menyatakan bahwa hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan 29

25 lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang Hubungan antarunsur bawahan atau antarkata yang menjadi anggota hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna atasan dan bawahan, atau antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi. 5) Metonimi Metonimi adalah hubungan antara nama untuk benda yang lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya (Kushartanti, dkk., 2007: 99). 6) Kolokasi Kolokasi adalah hubungan antarkata yang berada pada lingkungan atau bidang yang sama. Sumarlam (2003:44) menyatakan bahwa kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah katakata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu. Misalnya, dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya; dalam jaringan usaha (pasar) akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan permasalahan pasar dan partisipan yang berperan di dalam kegiatan tersebut. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan; kata-kata penjual, pembeli, jual, beli, dagangan, warung, kios, toko, rugi, dan laba dipakai dalam jaringan pasar, sedangkan kata-kata lahan, sawah, petani, benih, padi, dan panen, dipakai dalam jaringan pertanian. 30

26 7) Ekuivalensi (kesepadanan) Sumarlam (2003:46) menyatakan bahwa ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Misalnya, hubungan makna antara kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu beli. Demikian pula belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran yang dibentuk dari bentuk asal ajar juga merupakan hubungan ekuivalensi. 4. Hakikat Koherensi Koherensi adalah keberterimaan suatu tuturan atau teks karena kepaduan semantisnya (Kushartanti, dkk., 2007:101). Secara lebih spesifik, koherensi diartikan sebagai hubungan antara teks dan faktor di luar teks berdasarkan pengetahuan seseorang. Pengetahuan seseorang yang berada di luar teks itu sering disebut konteks bersama (shared-context) atau pengetahuan bersama (sharedknowledge). Widdowson menyatakan bahwa dengan menggunakan peranti kohesi diharapkan sebuah wacana dapat menjadi koherensi. Hal ini senada dengan pendapat (2012:92) yang menyatakan bahwa Cohesive devices, along with the interpretation of readers, are used to make a text more coherent. General cohesion devices in a legal text are: reference, conjunctions, substitution,ellipsis and lexical cohesion. Jadi, penggunaan peranti kohesi dan interpretasi pembaca dapat digunakan untuk membuat teks menjadi koheren, peranti kohesi yang dapat digunakan antara lain: referensi, konjungsi, substitusi, elipsis dan konjungsi leksikal. Istilah koherensi mengacu pada aspek tuturan, bagaimana proposisi yang terselubung disimpulkan untuk menginterpretasikan tindakan ilokusinya dalam membentuk sebuah wacana (dalam Rani,dkk., 2006:134). Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat 31

27 membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat pemarkah penghubung kalimat yang digunakan. Dengan kata lain, koherensi sebuah wacana tidak hanya terletak pada adanya peranti kohesi. Labov (dalam Kaswanti Purwo, 1993:41) menyatakan bahwa suatu ujaran dikenal sebagai koheren atau tidak dengan ujaran lain di dalam percakapan bukan karena hubungannya antara yang satu dengan yang lain, tetapi dengan adanya reaksi tindak ujaran yang terdapat dalam ujaran kedua terhadap ujaran sebelumya. Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2003:30) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantis. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang dapat terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Keberadaan unsur koherensi sebenarnya tidak pada satuan teks semata (secara formal), melainkan juga pada kemampuan pembaca/pendengar dalam menghubungkan makna dan menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Jadi, kebermaknaan unsur koherensi sesungguhnya bergantung kepada kelengkapan yang serasi antara teks (wacana) dengan pemahaman petutur/pembaca. Koherensi adalah cara bagaimana komponen-komponen wacana, yang berupa kofigurasi konsep dan hubungan menjadi relevan dan saling mengait. Ada beberapa cara untuk menjalin hubungan itu, yaitu 1) hubungan logis, 2) hubungan sebab akibat, 3) hubungan kewaktuan (Samsuri dalam Pranowo, 1996:27). Mulyana (2003:31) menyatakan bahwa pada dasarnya hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. 32

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi leksikal yang terdapat dalam wacana naratif bahasa Indonesia. Berdasarkan teori Halliday dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan. Oleh karena itu, kajian bahasa merupakan suatu kajian yang tidak pernah habis untuk dibicarakan karena dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai kohesi pada wacana mungkin sudah sering dilakukan dalam penelitian bahasa. Akan tetapi, penelitian mengenai kohesi gramatikal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Berikut adalah kajian yang sejenis dengan penelitian ini : 1) Penelitian karya Elisabeth Dyah Primaningsih yang berjudul Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara masalah wacana, peneliti menjadi tertarik untuk melakukan penelitian yang bertemakan analisis wacana. Menurut Deese dalam Sumarlam (2003: 6) mengatakan

Lebih terperinci

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Analisis Wacana Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang mengkaji satuan bahasa di atas tataran kalimat dengan memperhatikan konteks

Lebih terperinci

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Pada bab ini akan dijabarkan pendapat para ahli sehubungan dengan topik penelitian. Mengenai alat-alat kohesi, penulis menggunakan pendapat M.A.K. Halliday dan Ruqaiya

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA MENGANALISIS WACANA SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MAHASISWA FKIP UNA

PROBLEMATIKA MENGANALISIS WACANA SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MAHASISWA FKIP UNA Jurnal Bindo Sastra 1 (2) (2017): 95 102 95 PROBLEMATIKA MENGANALISIS WACANA SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MAHASISWA FKIP UNA Rina Hayati Maulidiah 1, Khairun Nisa 2, Wan Nurul Atikah Nasution 3 Universitas

Lebih terperinci

BAB II UNSUR KOHESI GRAMATIKAL. kalimat yang utuh. Secara etimologis istilah wacana berasal dari

BAB II UNSUR KOHESI GRAMATIKAL. kalimat yang utuh. Secara etimologis istilah wacana berasal dari BAB II UNSUR KOHESI GRAMATIKAL A. Wacana Wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan memiliki unsurunsur kalimat yang utuh. Secara etimologis istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Suatu penelitian memerlukan adanya pengacuan terhadap penelitian-penelitian yang sejenis. Hal ini dilakukan agar menjadi pertimbangan

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembicaraan tentang kohesi tidak akan terlepas dari masalah wacana karena kohesi memang merupakan bagian dari wacana. Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian yang dilakukan. Tinjauan

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian yang dilakukan. Tinjauan 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Sebuah penelitian diperlukan adanya suatu penelitian yang relevan sebagai sebuah acuan agar penelitian ini dapat diketahui keasliannya. Tinjauan pustaka berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan. dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan. dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Satuan dibawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata, dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah ANALISIS MIKRO DAN MAKROSTRUKTURAL PADA WACANA KETIDAKADILAN ADALAH BEBAN KITA BERSAMA DALAM KOLOM GAGASAN SURAT KABAR SOLOPOS EDISI SELASA, 11 OKTOBER 2011 NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Skripsi Mahasiswa PBSI UNP Kediri Tahun 2014

Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Skripsi Mahasiswa PBSI UNP Kediri Tahun 2014 Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Skripsi Mahasiswa PBSI UNP Kediri Tahun 2014 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagai Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan berbahasa ini harus dibinakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan bahasa sebagai salah satu alat primer dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi. Kalimat berperan sebagai unsur pembangun bahasa saja. Satuan

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi. Kalimat berperan sebagai unsur pembangun bahasa saja. Satuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kalimat yang ada pada suatu bahasa bukanlah satuan sintaksis yang tertinggi. Kalimat berperan sebagai unsur pembangun bahasa saja. Satuan yang tertinggi

Lebih terperinci

PRATIWI AMALLIYAH A

PRATIWI AMALLIYAH A KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF PADA WACANA DIALOG JAWA DALAM KOLOM GAYENG KIYI HARIAN SOLOPOS EDISI BULAN JANUARI-APRIL 2010 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007 PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan deskripsi hasil penelitian aspek gramatikal dan aspek leksikal yang terdapat dalam surat kabar harian Solopos tahun 2015 dan 2016 ditemukan

Lebih terperinci

Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas:

Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas: Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas: Referensi Eksoforis (Eksofora) Referensi dengan objek acuan di luar teks. Saya belum sarapan pagi ini. Kata saya merupakan referensi eksoforis.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN PIRANTI KOHESI PADA WACANA NASKAH LAKON SANDOSA SOKRASANA: SANG MANUSIA KARYA YANURA NUGRAHA NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS PENGGUNAAN PIRANTI KOHESI PADA WACANA NASKAH LAKON SANDOSA SOKRASANA: SANG MANUSIA KARYA YANURA NUGRAHA NASKAH PUBLIKASI ANALISIS PENGGUNAAN PIRANTI KOHESI PADA WACANA NASKAH LAKON SANDOSA SOKRASANA: SANG MANUSIA KARYA YANURA NUGRAHA NASKAH PUBLIKASI Oleh: YULIA RATNA SARI NIM. A 310 050 070 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki kedudukan sebagai penunjang aktualisasi pesan, ide, gagasan, nilai, dan tingkah laku manusia, baik dituangkan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan hal penting yang perlu dipelajari karena bahasa mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Bahasa juga dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan tersebut dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian akhir tesis ini, penulis sajikan simpulan sebagai jawaban atas rumusan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Pada bagian akhir tesis ini, penulis sajikan simpulan sebagai jawaban atas rumusan 269 BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bagian akhir tesis ini, penulis sajikan simpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun simpulan yang dapat penulis kemukakan adalah

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI PADA WACANA RUBRIK SUARA MAHASISWA DALAM HARIAN JOGLO SEMAR

PENANDA KOHESI PADA WACANA RUBRIK SUARA MAHASISWA DALAM HARIAN JOGLO SEMAR digilib.uns.ac.id PENANDA KOHESI PADA WACANA RUBRIK SUARA MAHASISWA DALAM HARIAN JOGLO SEMAR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

KEHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VIII SMPN 6 BOJONEGORO

KEHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VIII SMPN 6 BOJONEGORO Kohesi dan Koherensi dalam Karangan Narasi Siswa (Zuh Rufiah) 61 KEHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VIII SMPN 6 BOJONEGORO Zuh Rufiah SMPN 6 Bojonegoro Telp. 089677086474 Pos-el zuhrufiah2r@gmail.com

Lebih terperinci

WACANA adalah... Wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu.

WACANA adalah... Wacana dilihat sebagai bangun bahasa yang utuh karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu. BAHASAN WACANA WACANA Batasan Ciri-ciri Jenis Pengantar Linguistik Umum 11 Desember 2014 Struktur Kepaduan WACANA adalah... Kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Sebagai kesatuan

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1

Lebih terperinci

KOHESI LEKSIKAL DALAM ARTIKEL OPINI KEDAULATAN RAKYAT

KOHESI LEKSIKAL DALAM ARTIKEL OPINI KEDAULATAN RAKYAT -Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III- KOHESI LEKSIKAL DALAM ARTIKEL OPINI KEDAULATAN RAKYAT A iati Handayu Diyah Fitriyani UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta a iati.hdf@gmail.com Abstrak Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wacana sekarang ini berkembang sangat pesat. Berbagai kajian wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Wacana berkembang di berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi memerlukan sarana yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi memerlukan sarana yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi memerlukan sarana yang sangat penting untuk menyampaikan informasi

Lebih terperinci

ANALISIS TEKSTUAL POSTER PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PEKAN ILMIAH MAHASISWA NASIONAL TAHUN 2013

ANALISIS TEKSTUAL POSTER PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PEKAN ILMIAH MAHASISWA NASIONAL TAHUN 2013 ANALISIS TEKSTUAL POSTER PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PEKAN ILMIAH MAHASISWA NASIONAL TAHUN 2013 Retno Wulandari 1), Agus Budi Santoso 2), Dhika Puspitasari 3) 1,2,3) Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VII SMP N 3 GODEAN SLEMAN YOGYAKARTA

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VII SMP N 3 GODEAN SLEMAN YOGYAKARTA ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI DALAM KARANGAN NARASI SISWA KELAS VII SMP N 3 GODEAN SLEMAN YOGYAKARTA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK

BAB II KAJIAN TEORETIK BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 6. Wacana c. Pengertian Wacana Ekoyanantiasih (2002: 9) berpendapat bahwa wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan setelah kalimat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana ialah satuan bahasa yang terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk, 2006: 49). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sepanjang hidupnya, manusia tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi tersebut, manusia memerlukan sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa menjadi bagian penting bagi manusia secara mayoritas dan menjadi milik masyarakat pemakainya. Salah satu aplikasi bahasa sebagai alat komunikasi adalah penggunaan

Lebih terperinci

zs. /or.wisman lladi, M.Hum. ANA,LISIS PENAI{DA KOHESI GRAMATIKAL ARTIKEL POLITIK PADA MEDIA OFII.,INE KOMPASIANA.COM ARTIKEL Asrul Khairillrsibuan

zs. /or.wisman lladi, M.Hum. ANA,LISIS PENAI{DA KOHESI GRAMATIKAL ARTIKEL POLITIK PADA MEDIA OFII.,INE KOMPASIANA.COM ARTIKEL Asrul Khairillrsibuan - ARTIKEL I. ANA,LISIS PENAI{DA KOHESI GRAMATIKAL ARTIKEL POLITIK PADA MEDIA OFII.,INE KOMPASIANA.COM Oteh Asrul Khairillrsibuan IYIM 2113210005 Dosen Pembimbing Skripst Prof. Dr. Biner Ambarita, M-Pd.

Lebih terperinci

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PADA CATATAN MOTIVASI MARIO TEGUH DI PROFIL FACEBOOK

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PADA CATATAN MOTIVASI MARIO TEGUH DI PROFIL FACEBOOK KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PADA CATATAN MOTIVASI MARIO TEGUH DI PROFIL FACEBOOK SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN. NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN. NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013 ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013 NASKAH PUBLIKASI LIFATATI ASRINA A 310 090 168 PENDIDIKAN BAHASA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi diperlukan sarana berupa bahasa untuk mengungkapkan ide,

Lebih terperinci

SARANA KOHESI DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A. A. NAVIS. Jurnal Skripsi. Oleh TENRI MAYORE NIM JURUSAN SASTRA INDONESIA

SARANA KOHESI DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A. A. NAVIS. Jurnal Skripsi. Oleh TENRI MAYORE NIM JURUSAN SASTRA INDONESIA SARANA KOHESI DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A. A. NAVIS Jurnal Skripsi Oleh TENRI MAYORE NIM. 070911001 JURUSAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS ILMU BUDAYA MANADO 2013 0 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Peranan bahasa sangat penting dalam kegiatan komunikasi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Peranan bahasa sangat penting dalam kegiatan komunikasi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peranan bahasa sangat penting dalam kegiatan komunikasi di masyarakat. Bahasa adalah alat untuk menyatakan pikiran dan perasaan. Bahasa sebagai lambang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesantunankesantunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesantunankesantunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesantunankesantunan ekspresi bahasa. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dikatakan menulis jika tidak

Lebih terperinci

KAJIAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM NOVEL KADURAKAN ING KIDUL DRINGU KARYA SUPARTO BRATA

KAJIAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM NOVEL KADURAKAN ING KIDUL DRINGU KARYA SUPARTO BRATA KAJIAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM NOVEL KADURAKAN ING KIDUL DRINGU KARYA SUPARTO BRATA Oleh: Astuti Kurnia Salmi program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa astuti.kurniasalmi@yahoo.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT DAN ANTARPARAGRAF DALAM KARANGAN ARGUMENTASI KELAS X SMA NEGERI I SUKODONO KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI

KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT DAN ANTARPARAGRAF DALAM KARANGAN ARGUMENTASI KELAS X SMA NEGERI I SUKODONO KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT DAN ANTARPARAGRAF DALAM KARANGAN ARGUMENTASI KELAS X SMA NEGERI I SUKODONO KABUPATEN SRAGEN SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Hakikat Analisis Wacana Suatu wacana memiliki keserasian makna yang menjadikan wacana sebagai suatu bentuk karangan atau gagasan yang utuh,

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI

PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Wacana Wacana merupakan unsur kebahasaan yang paling kompleks atau lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra pada dasarnya adalah seni bahasa. Perbedaan seni sastra dengan cabang seni-seni yang lain terletak pada mediumnya yaitu bahasa. Seni lukis menggunakan

Lebih terperinci

REFERENSI DALAM WACANA TULIS PADA SURAT KABAR SOLOPOS EDISI JANUARI 2010 NASKAH PUBLIKASI

REFERENSI DALAM WACANA TULIS PADA SURAT KABAR SOLOPOS EDISI JANUARI 2010 NASKAH PUBLIKASI REFERENSI DALAM WACANA TULIS PADA SURAT KABAR SOLOPOS EDISI JANUARI 2010 NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA. Rudi A. Nugroho

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA. Rudi A. Nugroho ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA Rudi A. Nugroho I. PENDAHULUAN Perkembangan wacana berkembang sangat pesat. Berbagai kajian

Lebih terperinci

KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK BERITA MAJALAH MANDUTA TAHUN SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK BERITA MAJALAH MANDUTA TAHUN SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK BERITA MAJALAH MANDUTA TAHUN 2013-2014 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan ( S.Pd.) Pada Program Studi Bahasa Dan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap komunitas masyarakat selalu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada di dalam pikiran kepada orang lain yaitu dengan bahasa, baik secara lisan

BAB I PENDAHULUAN. ada di dalam pikiran kepada orang lain yaitu dengan bahasa, baik secara lisan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam mentransformasikan berbagai ide dan gagasan yang ada di dalam pikiran kepada orang lain yaitu dengan bahasa, baik secara lisan atau tulis. Kedua

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR SEPUTAR INDONESIA EDISI MARET 2009

PENANDA KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR SEPUTAR INDONESIA EDISI MARET 2009 PENANDA KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR SEPUTAR INDONESIA EDISI MARET 2009 SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-I PEndidikan

Lebih terperinci

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PENANDA HUBUNGAN REFERENSI DALAM WACANA BERITA PADA SITUS SKRIPSI

PENANDA HUBUNGAN REFERENSI DALAM WACANA BERITA PADA SITUS  SKRIPSI PENANDA HUBUNGAN REFERENSI DALAM WACANA BERITA PADA SITUS HTTP://WWW.LIPUTAN6.COM SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa digunakan untuk berkomunikasi antar individu satu dengan individu lain. Peran bahasa penting dalam kehidupan manusia, selain sebagai pengolah suatu gagasan, bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun kelompok. Ramlan (1985: 48) membagi bahasa menjadi dua

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun kelompok. Ramlan (1985: 48) membagi bahasa menjadi dua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi seperti sekarang ini manusia dituntut dapat berkomunikasi dengan baik untuk memenuhi kepentingan mereka, baik secara individu maupun kelompok.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saatnya menyesuaikan diri dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BAB I PENDAHULUAN. saatnya menyesuaikan diri dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini arus informasi semakin berkembang pesat. Hal ini mengisyaratkan agar pelaksanaan suatu program kerja dalam sebuah institusi sudah saatnya menyesuaikan diri

Lebih terperinci

ANALISIS WACANA PADA TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA SKRIPSI

ANALISIS WACANA PADA TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA SKRIPSI ANALISIS WACANA PADA TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia

Lebih terperinci

KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT WACANA BERITA UTAMA MONITOR DEPOK

KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT WACANA BERITA UTAMA MONITOR DEPOK KOHESI GRAMATIKAL ANTARKALIMAT WACANA BERITA UTAMA MONITOR DEPOK EDISI 22-29 JANUARI 2014 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti morfem, kata, kelompok kata, kalusa, kalimat. Satuan-satuan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. seperti morfem, kata, kelompok kata, kalusa, kalimat. Satuan-satuan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi pada dasarnya tidak dapat ditafsirkan secara terpisah, karena dalam bahasa mempunyai satuan-satuan seperti morfem, kata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide, maupun isi pikiran kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan adanya sarana agar komunikasi tersebut dapat berjalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu di dalam kehidupan pasti tidak akan terlepas untuk melakukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam berkomunikasi diperlukan adanya sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling memahami maksud atau keinginan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling memahami maksud atau keinginan seseorang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bahasa maupun pembelajaran bahasa merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dan

Lebih terperinci

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR KOMPAS

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR KOMPAS ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR KOMPAS Disusun oleh INDRO FEBIYANTO C0201043 Telah disetujui oleh pembimbing Pembimbing Dra. Hesti Widyastuti, M.Hum. NIP 131 281 866

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide,

Lebih terperinci

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA MOTIVASI MARIO TEGUH GOLDEN WAYS TENTANG WANITA PADA STASIUN METRO TV. Abstract

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA MOTIVASI MARIO TEGUH GOLDEN WAYS TENTANG WANITA PADA STASIUN METRO TV. Abstract 1 KOHESI DAN KOHERENSI WACANA MOTIVASI MARIO TEGUH GOLDEN WAYS TENTANG WANITA PADA STASIUN METRO TV Ida Ayu Suryantini Putri Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan kekacauan pada tindak berbahasa. Salah satu contoh penggunaan bentuk bersinonim yang dewasa ini sulit

Lebih terperinci

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS

BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Nama : Khoirudin A. Fauzi NIM : 1402408313 BAB VI TATARAN LINGUISTIK SINTAKSIS Pada bab terdahulu disebutkan bahwa morfologi dan sintaksis adalah bidang tataran linguistik yang secara tradisional disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERKAIT. Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa teks adalah kumpulan sejumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERKAIT. Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa teks adalah kumpulan sejumlah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERKAIT 2.1 Teks dan Wacana Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa teks adalah kumpulan sejumlah unsur bahasa baik lisan maupun tulis. Teks adalah satuan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari

BAB I PENDAHULUAN. novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam linguistik, satuan bahasa yang terlengkap dan utuh disebut dengan wacana. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Untuk menjalin hubungan dan kerja sama antar oarang lain, manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi bagi manusia. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan gagasan atau ide yang awalnya abstrak menjadi konkret. Selanjutnya,

Lebih terperinci

ASPEK LEKSIKAL DAN GRAMATIKAL PADA LIRIK LAGU JIKA KARYA MELLY GOESLOW. Rini Agustina

ASPEK LEKSIKAL DAN GRAMATIKAL PADA LIRIK LAGU JIKA KARYA MELLY GOESLOW. Rini Agustina ASPEK LEKSIKAL DAN GRAMATIKAL PADA LIRIK LAGU JIKA KARYA MELLY GOESLOW Rini Agustina Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Pontianak brentex32@yahoo.co.id ABSTRACT This study focuses

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK TAJUK RENCANA PADA SURAT KABAR SOLOPOS DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK TAJUK RENCANA PADA SURAT KABAR SOLOPOS DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA digilib.uns.ac.id ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK TAJUK RENCANA PADA SURAT KABAR SOLOPOS DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA Skripsi Oleh Bangkit Sugeng Subagyo

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 13 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Pengertian Wacana Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Wacana dipadankan dengan istilah discourse

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan

BAB II LANDASAN TEORI. kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Analisis Wacana Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide,

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA PADA TERJEMAHAN AL-QURAN SURAT AL-KAHFI (SURAT 18)

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA PADA TERJEMAHAN AL-QURAN SURAT AL-KAHFI (SURAT 18) ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA PADA TERJEMAHAN AL-QURAN SURAT AL-KAHFI (SURAT 18) SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

BAB V TEKS ULASAN FILM/DRAMA

BAB V TEKS ULASAN FILM/DRAMA MODUL BAHASA INDONESIA KELAS XI SEMESTER 2 BAB V TEKS ULASAN FILM/DRAMA OLEH NI KADEK SRI WEDARI, S.Pd. A. Pengertian Teks Ulasan Film/Drama Teks ulasan yaitu teks yang berisi ulasan atau penilaian terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan ide, gagasan dan pesan yang hendak disampaikan oleh penutur

BAB 1 PENDAHULUAN. menyampaikan ide, gagasan dan pesan yang hendak disampaikan oleh penutur 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan ide, gagasan dan pesan yang hendak disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Manusia

Lebih terperinci

KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF PADA KISAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM BUKU KISAH-KISAH TELADAN 25 NABI DAN RASUL KARYA MB.

KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF PADA KISAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM BUKU KISAH-KISAH TELADAN 25 NABI DAN RASUL KARYA MB. KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF PADA KISAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM BUKU KISAH-KISAH TELADAN 25 NABI DAN RASUL KARYA MB. ALAMSYAH Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narasi. Di dalam wacana naratif mengandung suatu gagasan atau informasi dari

BAB I PENDAHULUAN. narasi. Di dalam wacana naratif mengandung suatu gagasan atau informasi dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wacana naratif merupakan suatu wacana yang disampaikan dalam bentuk narasi. Di dalam wacana naratif mengandung suatu gagasan atau informasi dari pengarang atau

Lebih terperinci

Annisa Rakhmawati, Muhammad Rohmadi, Budhi Setiawan Universitas Sebelas Maret

Annisa Rakhmawati, Muhammad Rohmadi, Budhi Setiawan Universitas Sebelas Maret ANALISIS WACANA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL NASKAH DRAMA MATAHARI DI SEBUAH JALAN KECIL KARYA ARIFIN C. NOOR SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Annisa Rakhmawati, Muhammad Rohmadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa bukanlah satu-satunya alat komunikasi. Manusia dapat menggunakan media yang lain untuk berkomunikasi. Namun, tampaknya bahasa

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA PENANDA KOHESI SUBSTITUSI PADA NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Guna Mencapai Sarjana S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Disusun Oleh :

Lebih terperinci

KOHESI GRAMATIKAL DAN KOHESI LEKSIKAL DALAM LIRIK GRUP BAND CAPTAIN JACK INTISARI

KOHESI GRAMATIKAL DAN KOHESI LEKSIKAL DALAM LIRIK GRUP BAND CAPTAIN JACK INTISARI KOHESI GRAMATIKAL DAN KOHESI LEKSIKAL DALAM LIRIK GRUP BAND CAPTAIN JACK JURNAL SKRIPSI INTISARI Hidayat, Taufik. 2017. Kohesi Gramatikal dan Kohesi Leksikal dalam Lirik Grup Band Captain Jack. Skripsi

Lebih terperinci

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) (Skripsi) Oleh : EVAN APRIALDI FAKULTAS

Lebih terperinci

PENANDA HUBUNGAN ELIPSIS PADA WACANA KATALOG ORIFLAME EDISI JANUARI 2009

PENANDA HUBUNGAN ELIPSIS PADA WACANA KATALOG ORIFLAME EDISI JANUARI 2009 PENANDA HUBUNGAN ELIPSIS PADA WACANA KATALOG ORIFLAME EDISI JANUARI 2009 SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

Lebih terperinci

KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL FEATURE DALAM PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA: ANTOLOGI FEATURE BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010

KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL FEATURE DALAM PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA: ANTOLOGI FEATURE BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010 digilib.uns.ac.id KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL FEATURE DALAM PESONA ALAM DAN BUDAYA JOGJA: ANTOLOGI FEATURE BENGKEL SASTRA INDONESIA 2010 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi

Lebih terperinci

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA Oleh: Anggit Hajar Maha Putra program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa anggitzhajar@yahoo.com Abstrak:

Lebih terperinci