4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Ciasem Pamanukan yang dikelola oleh Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pamanukan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Pengelolaan hutan mangrove di wilayah Desa Jayamukti dan Desa Langensari dikelola dengan melibatkan masyarakat secara aktif melalui sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dimulai sejak tahun 1986 melalui sistem tambak tumpangsari, dimana sebagian besar dengan menggunakan pola empang parit dan sebagian kecil dengan pola komplangan serta pola jalur. Seharusnya sistem tambak tumpangsari atau silvofishery terdiri atas 8% hutan mangrove dan % empang atau tambak namun kenyataannya mangrove tidak berkembang secara baik terutama pada areal tambak hal ini dikarekan untuk perluasan tambak. Kondisi tersebut menyebabkan bervariasinya tingkat kerapatan dan luas penutupan vegetasi mangrove di dalam tambak tumpang sari (Lampiran 2). Dari hasil wawancara umumnya masyarakat desa Jayamukti membudidayakan ikan bandeng, mujaer, dan udang windu dengan sistem tradisional karena tanpa pemberian pakan buatan, umumnya masyarakat setempat menanam udang terlebih dahulu kemudian ikan bandeng, namun terkadang secara bersamaan tergantung keinginan petambak dan saat panen dengan menggunakan sistem arad atau sistem panen habis, sedangkan untuk masa pemeliharaan selama empat bulan sehingga dalam satu tahun terdapat tiga kali panen. Pengambilan air untuk tambak pada saat pasang sesuai kebutuhan masing-masing tambak, umumnya masyarakat mengganti air pada saat malam hari. Menurut KUD Mina Karya Bukti Sejati, Desa Jayamukti yang berada di kecamatan Subang memiliki luas total tambak sekitar 84.5 ha, yang dibatasi oleh Sungai kecil Gangga di Cilamaya dan Sungai Blanakan di Ciasem. Pada kawasan tambak desa Jayamukti terdapat tiga saluran besar yang memanjang dari sungai Gangga menuju sungai Blanakan yang biasa disebut oleh masyarakat sekitar adalah 12

2 13 Kalimalang, selain itu terdapat kurang lebih dua puluh satu saluran-saluran kecil yang memanjang dari hulu menuju ke arah laut yang biasa disebut Kalen dengan kedalaman kurang lebih setengah meter Pasang Surut Pasang surut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi salinitas, Setiap daerah memiliki tipe pasang surut tersendiri. Dari data prediksi pasang surut tahun 11 yang berasal dari Dishidros, pada bulan Mei-Agustus memiliki pasang surut antara dengan tipe pasang surut camuran dominan ganda, hal tersebut diketahui dari nilai F=.73 dimana nilai F merupakan nisbah antara amplitudo (tinggi gelombang) unsur-unsur pasut tunggal dengan unsur-unsur pasut ganda utama dan biasa dikenal sebagai bilangan Formzahl (Lampiran 4). Selain itu dari hasil pengamatan dilapang selama satu hari terjadi perbedaan waktu atau keterlambatan antara data Dishidros stasiun Cirebon dengan Blanakan kurang lebih 2 jam (Lampiran 5), sehingga bila data Dishidros stasiun Cirebon disesuaikan dengan Blanakan akan terjadi perubahan atau pergeseran (Lampiran 6) Salinitas Salinitas Sungai Salinitas merupakan parameter oseanografi yang penting dalam sirkulasi suatu perairan. Salinitas suatu perairan berfluktuasi tergantung musim, topografi, pasang surut air laut dan masukan air tawar. Dari hasil pengamatan nilai salinitas pada sungai Blanakan menunjukan bahwa salinitas air sungai semakin meningkat bila menuju ke arah hilir atau muara sungai. Hal tersebut dikarenakan pada daerah hilir pengaruh air laut sangat dominan, sedangkan pada daerah hulu pengaruh air tawar yang lebih dominan. Secara horizontal saat pasang pertama salinitas sungai mengalami peningkatan hanya pada daerah tengah dan hilir saja. Perubahan nilai sebaran salinitas dapat dilihat dari gambar grafik sebaran salinitas secara horizontal pada permukaan yang diambil pada saat pasang pertama dan kedua Gambar 5 dan Gambar 6 yang diolah dengan program ODV versi

3 14 hilir hulu Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air Gambar 5. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang pertama bagian permukaan Sungai Blanakan hilir hulu Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air Gambar 6. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang pertama bagian dasar Sungai Blanakan Dari grafik sebaran salinitas pada Gambar 5 dan 6 daerah hulu memiliki nilai salinitas yang sangat rendah pada pasang pertama, nilai terkecil berkisar antara - 2.5PSU yang ditandai dengan warna ungu dan nilai terbesar adalah 5PSU pada pukul 6. WIB yang ditandai dengan wanra biru pada bagian hulu permukaan sungai, sedangkan untuk dasar sungai bagian hulu nilai salinitas tidak terlalu berbeda jauh dengan permukaan nilai terbesar adalah 4PSU yang ditandai dengan warna ungu kebiruan (Gambar 6). 14

4 15 Untuk bagian tengah sungai pada bagian permukaan nilai salinitas berkisar antara 5-7PSU dari pukul 4.-. WIB yang ditandai dengan gradasi warna dari biru keputihan hingga biru muda (Gambar 5). Sedangkan untuk bagian dasar tidak berbeda dengan bagian permukaan (Gambar 6). Pada hilir sungai bagian permukaan nilai salinitas berkisar antara 15-19PSU dengan nilai salinitas terbesar yaitu ± 19PSU pada pukul 4. dan. yang ditandai dengan warna hijau (Gambar 5), sedangkan nilai salinitas terkecil adalah ± 15PSU pada pukul 8. WIB yang ditandai dengan warna hijau muda (Gambar 6). Hilir sungai Blanakan pada bagian dasar sungai terdapat selisih nilai salinitas, selisih tersebut terjadi pada pukul 6. WIB dimana pada bagian permukaan nilai salinitas adalah ± 16PSU dengan warna hijau (Gambar 5), pada bagian dasar adalah ± PSU dengan warna hijau keputihan (Gambar 6), sedangkan pada waktu yang lain nilai salinitasnya tidak berbeda hingga selisih ± 1PSU. Pada pasang pertama bagian permukaan dan dasar sungai Blanakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pada bagian hulu hingga bagian hilir, perbedaan hanya terjadi pada bagian hilir saat pukul 6. WIB, namun hanya selisih 4PSU. Secara keseluruhan nilai salinitas sungai Blanakan pada pasang pertama mengalami kenaikan dari hulu ke hilir hal tersebut ditandai dengan semakin menuju ke arah hilir atau menuju laut maka nilai salinitas akan semakin meningkat. Berikut ini adalah nilai sebaran salinitas pada sungai Blanakan yang diukur pada saat pasang kedua (Gambar 7 dan 8), nilai tersebut diamati pada pukul WIB. Peningkatan nilai salinitas terjadi pada seluruh titik lokasi pengambilan contoh baik pada bagian permukaan dan bagian dasar sungai Blanakan. Dari grafik sebaran salinitas, pada bagian hulu sungai nilai salinitas sangat rendah yaitu PSU baik pada bagian dasar maupun permukaan, hal tersebut ditandai dengan warna putih (Gambar 7 dan 8), hal tersebut berarti tidak ada air laut yang masuk hingga menuju hulu pada pukul 15. WIB atau 3 sore. Pada pukul 17. WIB atau 5 sore, salinitas pada bagian hulu mengalami kenaikan yaitu sebesar ± 1PSU sedangkan pada bagian dasar sungai bernilai ± 2PSU, kenaikan terbesar adalah pada pukul 19. WIB atau 7 malam dengan nilai salinitas ±13PSU pada bagian permukaan dengan warna hijau muda keputihan (Gambar 7). 15

5 16 hilir hulu Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air Gambar 7. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang kedua bagian permukaan Sungai Blanakan hilir hulu Keterangan: : Lokasi pengambilan contoh air Gambar 8. Sebaran salinitas secara horizontal pada saat pasang kedua bagian dasar Sungai Blanakan Pada bagian dasar sungai nilai salinitas adalah ±19PSU dengan warna hijau muda (Gambar 8). Pada pukul 21. WIB nilai salinitas pada permukaan tidak mengalami perubahan sedangkan pada bagian dasar sungai menjadi ± 13PSU. 16

6 17 Bagian tengah sungai Blanakan atau stasiun 2 pada pasang kedua nilai salinitas bagian permukaan berkisar antara 3-PSU, kenaikan yang signifikan terjadi antara pukul WIB yaitu dari ± 9PSU hingga ± PSU yang ditandai dengan gradasi warna hijau hingga hijau muda (Gambar 7) sedangkan pada bagian dasar sungai nilai salinitas berkisar antara 4-25PSU, dengan kenaikan terbesar terjadi pada pukul WIB yaitu dari ± PSU hingga ± PSU dengan gradasi warna hijau hingga kuning kehijauan (Gambar 8). Untuk bagian hilir sungai nilai salinitas yang terukur pada permukaan adalah berkisar -34PSU dengan nilai salinitas terbesar pada pukul 19. WIB dengan gradasi warna merah keputihan (Gambar 7), sedangkan pada bagian dasar sungai nilai salinitas berkisar 17-34PSU dengan nilai salinitas terbesar terjadi pada pukul 19. WIB yaitu 34PSU dengan warna merah keputihan (Gambar 8). Secara vertikal nilai salinitas pada bagian dasar dan permukaan juga mengalami kenaikan, berikut ini adalah gambar grafik sebaran salinitas yang diolah dengan menggunakan Microsoft Excell seperti pada Gambar 9. Pembuatan grafik secara vertical ditujukan untuk dapat melihat perbedaan salinitas atau agar terlihat perbedaan salinitas antara bagian permukaan dan bagian dasar sungai. Bila dilihat secara keseluruhan nilai salinitas akan semakin naik mulai dari bagian hulu, tengah hingga hilir, namun terdapat nilai puncak dari salinitas pada setiap tempat baik pada bagian permukaan maupun bagian dasar. Pada bagian hulu sungai nilai salinitas terbesar terjadi pada pasang kedua yaitu pukul 19. WIB yaitu sebesar 13PSU pada bagian permukaan sedangkan pada dasar perairan sebesar 19PSU. Untuk bagian tengah sungai nilai salinitas paling tinggi juga terjadi pada pukul 19. WIB yaitu sebesar PSU pada permukaan sedangkan pada dasar nilai salinitas terbesar adalah 25PSU yang terjadi pada pukul 21. WIB. Untuk bagian hilir salintas terbesar terjadi pada pukul 19. WIB yaitu sebesar 34PSU baik di permukaan maupun pada dasar perairan. 17

7 18 Hulu Sungai Nilai Salinita (PSU) Permukaan Dasar Tengah Sungai Nilai Salinitas (PSU) permukaan Dasar Hilir Sungai Nilai Salinitas (PSU) Permukaan Dasar Gambar 9. Distribusi salinitas Sungai Blanakan secara vertikal saat pasang air laut pada stasiun hulu, tengah dan hilir sungai 18

8 Salinitas Tengah Tambak Dari hasil pengamatan beberapa titik pada saluran besar atau Kalimalang pertama, Kalimalang kedua dan Kalimalang ketiga (Gambar 4 dan Lampiran 9), bagian saluran besar pertama, semakin jauh dari sungai maka nilai salinitas semakin besar dengan rentang nilai salinitas yang cukup besar yaitu -18PSU, untuk nilai tambak di sekitar saluran tersebut hamper sama berkisar antara 1-18PSU. Pada saluran kedua bagian tengah sungai nilai salinitas pada saluran berkisar -PSU dan pada tambak disekitar saluran berkisar 2-19PSU. Sedangkan hasil pengukuran nilai salintas pada saluran ketiga berkisar 12-19PSU dan untuk tambak sekitar saluran berkisar 13-PSU. Dari nilai-nilai salinitas tersebut terdapat suatu indikasi bahwa semakin menjauhi sungai Blanakan maka pasokan air tawar semakin berkurang namun hal tersebut tidak mutlak karena contoh air yang diambil pada setiap titik hanya satu kali ulangan. Selain itu hasil pengukuran salinitas pada saluran juga dilakukan pada tiga titik bagian hulu, tengah dan hilir pada saluran yang menuju laut dengan mengikuti waktu pasang disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar. Dari gambar Grafik tersebut secara umum nilai salinitas akan semakin meningkat seiring semakin dekat kearah laut, namun pada waktu-waktu tertentu nilai salinitas akan meningkat pada bagian hulu serta tengah saluran. Pada bagian hulu nilai salinitas tidak melebihi 5PSU baik pada pasang pertama maupun pasang kedua. Sedangkan bagian tengah pada saat pasang pertama nilai salinitas berkisar 17-PSU dengan nilai tertinggi adalah ± PSU pada pukul 6. WIB dan saat pasang kedua nilai salinitas berkisar 6-13PSU dengan nilai terndah adalah ± 6PSU pada pukul 15. WIB saat pasang kedua. Untuk bagian hilir saluran saat pasang pertama nilai salinitas berkisar 33-36PSU dan nilai salinitas cukup tinggi terjadi pada pukul 4. WIB yaitu sebesar ± 36PSU dan saat pasang kedua nilai salinitas berkisar 23-35PSU dengan nilai terbesar adalah ± 35PSU pada pukul 21. WIB. 19

9 Nilai Salinitas (PSU) 4 Hulu Nilai Salinitas (PSU) 4 Tengah Hilir Nilai Salinitas (PSU) 4 Gambar. Distribusi salinitas saluran tengah Tambak Jayamukti saat pasang air laut pada stasiun hulu, tengah dan hilir.

10 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan biota di dalam perairan dan juga mempengaruhi proses evaporasi atau penguapan. Dari hasil pengukuran pada saat pasang baik pada sungai Blanakan dan kalen atau saluran tengah memiliki nilai suhu yang tidak terlalu signifikan dengan suhu lingkungan, secara umum kabupaten Subang memiliki suhu rata-rata 27 C pada malam hari dan 33 C pada malam hari. Dari hasil pengukuran suhu pada sungai Blanakan saat pasang pertama, daerah hulu suhu air sungai Blanakan berkisar C, untuk daerah tengah sungai Blanakan memiliki suhu berkisar -31 C, sedangkan daerah hilir suhu sungai Blanakan berkisar -31 C, nilai tersebut meningkat dari awal pengukuran yang dimulai pukul 4. WIB hingga. WIB. Sedangkan pada saat pasang kedua yang diukur pada pukul 15. WIB hingga 21. WIB, daerah hulu dan tengah sungai Blanakan memiliki nilai suhu berkisar C, sedangkan untuk daerah hilir memiliki nilai suhu berkisar -32 C, nilai suhu terendah perairan sungai Blanakan adalah 27 C yang terjadi pada saat pukul 4. WIB, sedangkan suhu tertinggi terjadi pada siang hari pukul 15. WIB yaitu 32 C, hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari yang semakin meningkat ketika siang hari. Untuk nilai suhu pada saluran tengah tambak nilai suhu saat pasang pertama dari hasil pengamatan berkisar -32 C dimana nilai tertinggi pada pukul. WIB untuk daerah hulu dan tengah saluran tambak, sedangkan untuk daerah hilir suhu saluran tambak berkisar -33 C dengan nilai tertinggi terjadi pada saat pukul. WIB yaitu 33 C, sedangkan pada saat pasang kedua nilai suhu daerah hulu yaitu -32 C nilai tersebut menurun seiring dengan waktu pengamatan yaitu dari pukul 15. WIB hingga pukul 21.WIB. Sedangkan untuk daerah tengah dan hili berkisar C dan nilai tersebut menurun seiring dengan waktu pengamatan. Berikut ini adalah nilai suhu yang disajikan dalam bentuk grafik untuk sungai Blanakan dan saluran tambak saat pasang pertama dan kedua pada Gambar 11 dan 12 yang diolah dengan menggunakan Microsoft Excell. 21

11 22 Suhu C Hulu Suhu C Tengah Suhu C Hilir Gambar 11. Grafik suhu Sungai Blanakan pada saat pasang pertama dan kedua 22

12 23 Hulu Suhu C Suhu C Tengah Suhu C Hilir Gambar 12. Grafik suhu saluran tengah pada saat pasang pertama dan kedua 23

13 Pembahasan Dari hasil pengamatan pada sungai Blanakan memiliki nilai salinitas yang bervariasi ketika pasang. Dari tiga titik stasiun pada sungai Blanakan nampak perbedaan nilai salinitas di setiap titiknya, pada bagian hulu memiliki nilai salinitas berkisar 1-5PSU saat pasang pertama dan -19PSU pada saat pasang kedua, sedangkan pada bagian tengah berkisar 5-7PSU dan pada pasang kedua 3-25PSU, pada bagian hilir nilai salinitas berkisar 15- PSU saat pasang pertama dan pasang kedua -PSU perbedaan tersebut dipengaruhi oleh masukan air tawar dan gerakan pasut, sedangkan menurut Dahuri dkk (8) pada kawasan estuaria terjadi interaksi dari berbagai proses yang disebabkan oleh limpasan air sungai dengan pasut. Menurut Savenije (5) mekanisme masuknya air laut terdapat tiga bentuk yaitu, stratified type, partial mixed type, well mixed type, bila diperhatikan dari nilai salinitas yang telah diukur pada setiap stasiun di sungai Blanakan maka sungai Blanakan dapat dimasukan ke dalam type yang berstratifikasi hal ini ditunjukan dengan nilai yang berbeda mulai dari hulu sungai hingga hilir sungai. Perbedaan nilai salinitas yang ada dipengaruhi oleh waktu pasang surut yang terjadi pada laut daerah Blanakan. Dari hasil pengamatan pada sungai Blanakan yang dilakukan pada bulan Mei secara umum nilai salinitas tertinggi terjadi pada saat pasang kedua, pada bagian hulu memiliki nilai salinitas tertinggi sebesar 13PSU pada pukul 19. WIB, pada bagian tengah sungai salinitas terbesar bernilai PSU pada pukul 19. WIB dan pada bagian hilir pun terjadi pada pukul 19. WIB dengan nilai salinitas 34PSU. Maka dapat diduga pada saat pasang kedua memiliki pasang yang lebih tinggi, hal tersebut sesuai dengan grafik pasang surut yang telah disesuaikan dengan waktu Blanakan (Lampiran 6). Sedangkan pada saluran di tengah area tambak yang diukur pada bulan Agustus nilai salinitas tertinggi terjadi pada malam hari saat pasang pertama, bila dilihat dari grafik pasang surut bulan Agustus (Lampiran 6) pada hari pengukuran salinitas, pasang tertinggi terjadi saat pasang pertama sedangkan pasang kedua lebih rendah. Pada bagain hilir saluran nilai salinitas tertinggi terjadi pada pukul 4. WIB dengan nilai salinitas 36PSU, pada bagian tengah sungai nilai salintas tertinggi terjadi pada pukul 6. WIB dan pada bagian hulu pada pukul 8. WIB. Pada 24

14 25 saluran tambak tidak terjadi perbedaan nilai salinitas secara vertikal hal ini dikarenakan kedalaman yang kurang dari satu meter. Dari data salinitas sungai Blanakan dan saluran tengah tambak yang telah diukur dan grafik sebaran salinitas yang dihasilkan oleh program ODV, serta dengan menggunakan data salinitas (Lampiran 9) yang diambil sepanjang saluran besar yang berasal dari sungai Blanakan menuju sungai kecil (Gambar 3) atau biasa disebut Kalimalang oleh masyarakat setempat dan dengan asumsi bahwa tidak ada sekat atau sekat-sekat yang ada tidak memberikan pengaruh yang nyata, maka dapat diperkirakan persebaran salinitas pada desa Jayamukti saat pasang pertama dan pasang kedua atau dapat dibuat suatu peta skematik yang memperkirakan sebaran salinitas yang terjadi pada kawasan tambak desa Jayamukti seperti pada Gambar 13 dan 14 berikut ini. Gambar 13. Skematik perkiraan sebaran salinitas Desa Jayamukti saat pasang pertama 25

15 26 Gambar 14. Skematik perkiraan sebaran salinitas Desa Jayamukti saat pasang kedua Kisaran salinitas pada Gambar 13 dan 14 tersebut dapat dijadikan suatu acuan dalam memlihara biota sesuai dengan rentang nilai salinitas yang ada. Pada Tabel 1 di bawah ini adalah beberapa biota dengan nilai toleran salinitas. Tabel 1. Biota budidaya dengan nilai toleransi Nama Biota Nama Latin Optimal Sumber Ikan Nila O. niloticus -15 PSU Setyo (6) Mujair O.mossambicus -19 PSU Pompa dkk (1999) Ikan Bandeng Chanos chanos - PSU Suharyanto dkk () Udang Windu P. monodon PSU (Larva) Primevera (1989) PSU (Dewasa) Taki dkk (1985) Udang Vanamei L.vannamei -25 PSU (Larva) Palafox (1997) PSU (Dewasa) Hendrajat dkk (7) Beberapa biota yang terdapat pada tabel 1 merupakan biota yang umum dibudidayakan, masyarakat desa Blanakan biasa memelihara udang windu, ikan bandeng dan ikan mujair. Dengan mengetahui kisaran atau nilai optimal salinitas dari habitat biota budidaya, petambak dapat memperkirakan daerah yang sesuai dan berapa nilai salinitas air yang harus diambil. 26

16 27 Dari hasil wawancara beberapa petambak desa Jayamukti Blanakan, kondisi petambak yang ada saat ini adalah mereka tidak mengetahui nilai salinitas yang dari air yang akan digunakan, sehingga dalam mengukur nilai salinitas suatu perairan hanya menggunakan indera perasa dengan nilai tidak asin, asin dan sangat asin. Sedangkan dalam mengambil air para petambak hanya mengetahui bahwa untuk mengganti atau menambahkan air dilakukan pada malam hari tanpa memperhitungkan waktu pasang. Dari hasil pengamatan apabila petambak ingin mengganti atau menambahkan air maka saat yang tepat adalah sekitar pukul 21. WIB atau pasang kedua untuk nilai tertinggi pada masing-masing daerah hulu, tengah dan hilir, seperti pada Gambar 7 dan 8 sungai Blanakan saat pasang kedua bila dilihat secara horizontal maka untuk daerah hilir salinitas air sungai cukup tinggi baik di permukaan maupun di dasar untuk bagian permukaan sehingga apabila ingin memelihara udang hal tersebut sangat memungkinkan, menurut Primavera (1987) udang windu cukup baik pertumbuhannya pada salinitas 23-26PSU tapi mampu pada salinitas tinggi namun pertumbuhannya menjadi terganggu, untuk daerah tengah sungai Blanakan salinitas tertinggi hanya PSU namun pada bagian dasar sungai salinitas bisa mencapai 25PSU, sehingga bila ingin mendapatkan salinitas yang tinggi harus mengambil air pada bagian dasar sungai dan saat malam hari, sedangkan untuk daerah hulu nilai tertinggi adalah 19PSU. Untuk saluran tengah tambak pada Gambar bila dilihat secara keseluruahn maka daerah hulu ketika pasang sangat sulit mendapatkan salinitas yang cukup tinggi, sedangkan pada bagian tengah saluran tambak nilai maksimum yang didapat dari pengamatan adalah PSU dan pada bagian hilir saluran tambak cukup tinggi dengan nilai maksimum 36PSU. Nilai salinitas yang didapat bergantung pada kekuatan pasang dan masukan air tawar, bila pasang cukup tinggi dan masukan air tawar sedikit maka akan didapat salinitas yang cukup tinggi sebaliknya bila pasang cukup rendah sedangkan masukan air tawar cukup banyak maka akan didapatkan salinitas yang rendah. Dari pengamatan nilai sebaran salinitas yang telah diamati serta beberapa nilai toleran biota pada Tabel 1 maka apabila ingin meningkatkan produksi tambak perlu penyesuain terhadap biota yang dipelihara, seperti daerah antara kalimalang satu 27

17 28 dengan kalimalang dua memiliki kisaran salinitas dari PSU-15PSU seperti pada Gambar 13 dan 14, maka biota yang cocok berdasarkan tabel 5 adalah dari jenis ikan mujair, nila, dan bandeng serta apabila ingin membudidayakan udang bisa dilakukan tetapi sangat sulit mengingat salinitas maksimum adalah 15PSU, sehingga untuk biota yang dibudidaya lebih dioptimalkan pada jenis bandeng, mujair dan nila. Daerah kedua adalah antara kalimalang dua dengan Kalimalang tiga dengan kisaran salinitas 16-PSU maka biota yang cocok adalah ikan mujair, nila untuk daerah yang terdekat dengan saluran Kalimalang dua, lalu ikan bandeng dan udang vanamei dapat dipelihara pada seluruh daerah tetapi nilai salintas yang ada masih belum optimal untuk budidaya udang namun untuk dapat lebih sesuai untuk memelihara ikan bandeng mengingat ikan bandeng adalah ikan yang memiliki nilai toleran yang cukup luas, sehingga untuk daerah dekat kalimalang dua dapat dioptimalkan dengan untuk produksi ikan bandeng. Daerah ketiga adalah antara kalimalang tiga hingga dekat dengan laut, pada daerah ini memiliki kisaran salinitas yang tinggi yaitu 21PSU-PSU, dari Tabel 1 maka biota yang cocok adalah ikan bandeng, udang vanamei dan udang windu, nilai tersebut sudah cukup optimum untuk budidaya udang windu sehingga untuk daerah hilir produksi udang bisa lebih dioptimalkan. 28

PERWILAYAHAN KOMODITAS BUDIDAYA BERBASIS SALINITAS DI KAWASAN MANGROVE POLA SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT

PERWILAYAHAN KOMODITAS BUDIDAYA BERBASIS SALINITAS DI KAWASAN MANGROVE POLA SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT i PERWILAYAHAN KOMODITAS BUDIDAYA BERBASIS SALINITAS DI KAWASAN MANGROVE POLA SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT ALDIANO RAHMADYA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kajian Peta Daerah Berpotensi Banjir Rob Karena Pasang Surut Analisis daerah yang berpotensi terendam banjir rob karena pasang surut dilakukan dengan pemetaan daerah berpotensi

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil 27 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem- Pamanukan.

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Kecamatan Lagonkulon, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya Kecamatan Legonkulon karena Kecamatan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai PASANG SURUT Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 5. PASANG SURUT TUJUAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu 28 BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Menurut Tika (2005 : 1) penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan atau masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lokasi Penelitian Wilayah mangrove Desa Jayamukti dan Desa Langensari secara administrasi kehutanan termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara geografis, Kecamatan Padang Cermin terletak di sebelah Tenggara Kabupaten

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 212: 355-364 ISSN : 288-3137 PERUBAHAN GARIS PANTAI AKIBAT KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN BLANAKAN DAN KECAMATAN LEGONKULON, KABUPATEN SUBANG

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012)

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012) 17 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN TAMBAK POLA SILVOFISHERY DI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT OCI HARDIEL MAISAL FAJRI

DAYA DUKUNG KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN TAMBAK POLA SILVOFISHERY DI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT OCI HARDIEL MAISAL FAJRI DAYA DUKUNG KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN TAMBAK POLA SILVOFISHERY DI BLANAKAN, SUBANG, JAWA BARAT OCI HARDIEL MAISAL FAJRI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penutupan Lahan Tahun 2003 2008 4.1.1 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk membedakan penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Udang adalah komoditas unggulan perikanan budidaya yang berprospek cerah. Udang termasuk komoditas

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Wilayah Penelitian Kabupaten Subang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17 (a) Profil kecepatan arus IM3 (b) Profil arah arus IM3 Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM3 III-17 Gambar III.2 Spektrum daya komponen vektor arus stasiun IM2 Gambar III.21 Spektrum

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Perairan pantai Subang yang terletak di pantai utara pulau Jawa berhadapan langsung dengan Laut Jawa yang berada di sebelah utaranya. Beberapa sungai utama bermuara

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di pesisir utara Kabupaten Brebes, yaitu di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba. Secara geografis letak

Lebih terperinci

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Kadar Salinitas di Beberapa... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.) KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Dedi

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong Pemodelan ini menghasilkan dua model yaitu model uji sensitifitas dan model dua musim. Dalam model uji sensitifitas

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS

V. INTERPRETASI DAN ANALISIS V. INTERPRETASI DAN ANALISIS 5.1.Penentuan Jenis Sesar Dengan Metode Gradien Interpretasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan anomali gayaberat akan memberikan hasil yang beragam. Oleh karena

Lebih terperinci

HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR

HALAMAN PERSETUJUAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI vi HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xi INTISARI... xii

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis, Luas Wilayah, dan Administrasi Pemerintahan Secara geografis Kabupaten Subang terletak di sebelah utara Provinsi Jawa Barat dan terletak pada 107 0

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lamongan dan di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. lamongan dan di Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yang akan dilaksanakan di daerah pertambakan di Desa kemlagi kecamatan karanggeneng kabupaten lamongan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) Acta Aquatica. Aquatic Sciences Journal

Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) Acta Aquatica. Aquatic Sciences Journal ISSN. 2406-9825 Acta Aquatica 2:1 (April, 2015) 41-47 Acta Aquatica Aquatic Sciences Journal Status Ekologis dan Pengembangam Minawanabagi Peningkatan Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus: Kawasan Minawana,

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 21 BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Skenario Pengujian 4.1.1. Skenario Pengujian PLTS Pengujian PLTS dilakukan pada musim hujan bulan Mei Juni 21 menggunakan alat ukur seperti pada tabel 4.1. Pengujian

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124

BAB V. EVALUASI HASIL PENELITIAN Evaluasi Parameter Utama Penelitian Penilaian Daya Dukung dengan Metode Pembobotan 124 DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Persetujuan Kata Pengantar Pernyataan Keaslian Tulisan Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Peta Daftar Lampiran Intisari Abstract i ii iii iv v ix xi xii xiii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H PENGANTAR OCEANOGRAFI Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H21114307 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar 2014 Kondisi Pasang Surut di Makassar Kota

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM TAPAK

IV KONDISI UMUM TAPAK IV KONDISI UMUM TAPAK 4.1 Letak, Luas, dan Batas Tapak Secara geografis kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea terletak pada 16 32 BT 16 35 46 BT dan 6 36 LS 6 55 46 LS. Secara administratif terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL FAISOL MAS UD Dosen Fakultas Perikanan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Universitas Islam Lamongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data

Lokasi Penelitian Penetapan Lokasi Kajian Analisa Data PENDAHULUAN Hutan produksi merupakan suatu kawasan hutan tetap yang ditetapkan pemerintah untuk mengemban fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Pengelolaan hutan produksi tidak semata hanya untuk mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Mangrove. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem Mangrove. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,

TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.

Lebih terperinci

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi G186 Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi Muhammad Didi Darmawan, Khomsin Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Kecamatan Muara Gembong merupakan kecamatan di Kabupaten Bekasi yang terletak pada posisi 06 0 00 06 0 05 lintang selatan dan 106 0 57-107 0 02 bujur timur. Secara

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Geografis Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang terletak di kawasan utara Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Subang yaitu 2.051.76 hektar atau 6,34% dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di

TINJAUAN PUSTAKA. daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove biasa ditemukan di TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR 3 Dhani Dianthani Posted 3 May, 3 Makalah Falsafah Sains (PPs ) Program Pasca Sarjana /S3 Institut Pertanian Bogor Mei 3 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Dr Bambang Purwantara IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Mengunduh Citra Google Maps Dari proses mengunduh yang telah dilakukan, maka didapatkan citra Google Maps dalam format *jpg. Gambar 4.1 Citra Google Maps Yang Telah Diunduh

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI

IV. KONDISI UMUM LOKASI IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Letak dan Luas Kawasan hutan BKPH Cikiong terletak di tiga wilayah administratif pemerintahan, yakni: Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, dan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hutan Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong 5.1.1. Sejarah kawasan Kawasan Hutan RPH Cibuaya pada awalnya merupakan kawasan hutan alam yang di dominasi oleh warakas dan api

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Angin Meridional. Analisis Spektrum

Angin Meridional. Analisis Spektrum menyebabkan pola dinamika angin seperti itu. Proporsi nilai eigen mempresentasikan seberapa besar pengaruh dinamika angin pada komponen utama angin baik zonal maupun meridional terhadap keseluruhan pergerakan

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009 33 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16 4.1 Keadaan Wilayah Desa Sedari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Sedari adalah 3.899,5 hektar (Ha). Batas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci