TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH"

Transkripsi

1 45 TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH Bentuk Partisipasi Stakeholder Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh para stakeholder yaitu menyumbang ide/gagasan sebanyak 9 orang atau sebesar 75 persen dan 3 orang atau 25 persen memilih sumbangan bentuk lainnya yaitu membantu mencarikan donatur. Sedangkan untuk pilihan jawaban menyumbang uang, barang dan tenaga tidak ada yang memilih. Hal ini menggambarkan bahwa secara pribadi ataupun sebagai stakeholder tingkat kecamatan hanya mengajukan usulan kepada pemerintah tingkat diatasnya karena ada asumsi bahwa pembiayaan pembangunan baik fisik maupun non fisik kegiatan pendidikan merupakan tanggung jawab penuh pemerintah baik tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Selain itu, masing-masing pihak beranggapan bahwa bentuk partisipasi agar dapat terlaksananya suatu kegiatan tidak lagi hanya berorientasi pada uang/materi tetapi sudah berkembang dan mempunyai makna yang lebih luas serta disadari menjadi tanggung jawab bersama antara para stakeholder beserta seluruh lapisan masyarakat. Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap awal kegiatan sebagaimana pada Tabel 11 dan Gambar 18. Tabel 11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan Tahap awal kegiatan Bentuk partisipasi Pilihan jawaban Frekwensi % Menyumbang uang a 0 - Menyumbang barang b 0 - Menyumbang tenaga c 0 - Menyumbang ide/gagasan d 9 75 Sumbangan bentuk lain e 3 25 Jumlah Menyumbang uang Menyumbang barang Menyumbang tenaga 75% Menyumbang ide/gagasan Sumbangan bentuk lain Gambar 18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan

2 46 Tampak pada Tabel 11 dan Gambar 18, bahwa tidak ada pilihan jawaban pada opsi menyumbang uang, menyumbang barang dan menyumbang tenaga. Biasanya dalam program pembangunan fisik kegiatan, untuk pembiayaan konstruksi dan faktor pendukung lainnya sudah disiapkan oleh pemerintah kabupaten ataupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat melalui APBD dan APBN. Kemudian, sangat jarang terjadi para stakeholder menyumbang materi kecuali mereka juga berpredikat sebagai orangtua/wali yang anaknya berstatus siswa di suatu sekolah yang akan melaksanakan pembangunan fisik. Hal ini merupakan representasi dari fungsi keberadaan stakeholder sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk merencanakan, menetapkan dan melaksanakan suatu program kegiatan. Pada tahap pelaksanaan kegiatan, 11 stakeholder atau sebesar 92 persen menentukan pilihan bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Sedangkan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen memilih jawaban bentuk lainnya. Pemerintah dalam hal ini adalah para stakeholder tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Hasil perhitungan bentuk partisipasi pada tahap pelaksanaan kegiatan sebagaimana pada Tabel 12 dan Gambar 19. Tabel 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan Tahap pelaksanaan kegiatan Bentuk partisipasi Pilihan jawaban Frekwensi % Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat a Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program tersebut b 0 - Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah c 0 - Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa d 0 - Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa dan Komite Sekolah e 0 - Bentuk lainnya f 1 8 Jumlah Tampak pada Tabel 12, bahwa hampir semua responden memilih opsi bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat dan tidak ada pilihan jawaban membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program, menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah, menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orangtua/siswa serta menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orangtua siswa dan komite sekolah. Hal ini mengambarkan bahwa semua stakeholder telah menyadari peran penting semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, dalam menyukseskan suatu pelaksanaan program kegiatan sehingga sebagian besar memilih opsi untuk bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat.

3 47 Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat 92% Membuat kesepakatan atau aturan tertentu dalam melaksanakan program tersebut Menyerahkan kepada masyarakat dengan dana dari pemerintah Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa Menyerahkan kepada sekolah dengan dana dari orang tua siswa dan Komite Sekolah Bentuk lainnya Gambar 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan Tampak pada Tabel 12 dan Gambar 19, pada tahap pelaksanaan kegiatan pilihan jawaban paling banyak pada opsi menyumbang ide/gagasan yaitu sebesar 92 persen. Pada tahap ini, nampaknya para stakeholder memanfaatkan posisi mereka sebagai orang yang berkompeten menampung dan menyampaikan aspirasi pembangunan dari masyarakat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan kegiatan opsi yang paling banyak dipilih adalah bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat. Para stakeholder telah menempatkan posisi mereka sebagai perwakilan pemerintah daerah sehingga dalam setiap pelaksanaan pembangunan berupaya melibatkan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dimaklumi karena stakeholder tingkat kecamatan merupakan perpanjangan tangan pemerintah kabupaten sehingga segala kebijakan pembangunan yang dilaksanakan diwilayah kecamatan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten, yang sumber dananya baik berasal dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Menganalisis tingkat kehadiran dalam pertemuan, digunakan skala penilaian dengan berpedoman pada Teori Sherry Arstein yaitu menggunakan delapan tangga partisipasi. Kedelapan tangga tersebut adalah : a) hadir karena terpaksa, b) hadir sekedar memenuhi undangan, c) hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat, d) hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi pendapatnya tidak diperhitungkan, e) hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, f) hadir dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, g) hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, h) hadir dan mampu membuat keputusan. Kategori tingkat partisipasi ditentukan dengan penghitungan sebagai berikut : Dari satu variabel pertanyaan diatas terdapat delapan pilihan jawaban dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 8. Urutan skor tersebut berdasarkan pada 8 (delapan) tingkat partisipasi dari Sherry Arstein, sehingga diperoleh skor minimum 1, yang berasal dari 1 x 1 dan skor maksimum dari tiap individu adalah 8, yang berasal dari 1 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya adalah 12 x 1 = 12, dan skor maksimum adalah 12 x 8 = 96. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (96 12) / 8 = 10,5. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masingmasing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 13.

4 48 Tabel 13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor 8 Citizen Control 85, Delegated Power 75-85,5 6 Partnership 64, Placation 54-64,5 4 Consultation 43, Informing 33-43,5 2 Therapy 22, Manipulation 12-22,5 Tingkat Partisipasi Stakeholder Pada tahap ini, sebanyak 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi hadir dalam pertemuan dan akan memberikan pendapat walaupun hanya sedikit pendapat yang akan diperhitungkan, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi hadir hanya untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat, dan 1 orang atau sebesar 8 persen yang memilih opsi hadir dan mendapat pembagian tugas yang setara, demikian juga opsi hadir dan mampu membuat keputusan dipilih oleh 1 orang atau sebesar 8 persen. Hasil perhitungan tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Tabel 14 dan Gambar 19. Tabel 14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x Bobot 1 Tingkat kehadiran dalam pertemuan Hadir karena terpaksa Hadir sekedar memenuhi undangan Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan Hadir dan mampu membuat keputusan Jumlah

5 Kesadaran stakeholder untuk hadir dalam pertemuan cukup tinggi, meski dengan alasan yang bervariasi. Tidak ada stakeholder yang memilih opsi hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar memenuhi undangan. Walaupun sebagian besar stakeholder memilih opsi hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan, yang menunjukkan masih terdapat rasa pesimis terhadap realisasi berbagai usulan ide/gagasan. Penyebab mayoritas opsi ini paling banyak dipilih karena berbagai macam alasan yang menjadi penyebab betapa banyak usulan kegiatan pembangunan tidak dapat dilaksanakan, dan alasan klasik adalah terbatasnya pendanaan sehingga setiap usulan hanya mendapat jawaban klasik juga yaitu ditampung dan diupayakan. Tentu saja, kondisi ini menimbulkan sikap apatis dan apriori dari stakeholder non pemerintah, sehingga apabila diminta mengusulkan suatu kegiatan terkesan lambat dan bahkan malas untuk mengusulkannya kepada stakeholder pemerintah baik tingkat kecamatan maupun kabupaten. Fenomena yang ada dan berkembang bahkan tidak jarang stakeholder non-pemerintah (kalangan masyarakat) lebih cenderung mengusulkan ke stakeholder di tingkat provinsi ataupun stakeholder di tingkat pusat. Diagram tingkat partisipasi untuk hadir dalam pertemuan sebagaimana pada Gambar Hadir karena terpaksa Hadir sekedar memenuhi undangan 17% 42% Hadir untuk memperoleh informasi tanpa menyampaikan pendapat Hadir untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat tapi tidak diperhitungkan Hadir dan memberikan pendapat namun hanya sedikit pendapat yang diperhitungkan Hadir dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Hadir dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan Hadir dan mampu membuat keputusan Gambar 20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam pertemuan Tampak pada Tabel 14 dan Gambar 20, sebanyak 3 stakeholder atau sebesar 25 persen dan 1 stakeholder atau sebesar 8 persen yang memilih opsi memiliki kewenangan untuk membuat keputusan dan mampu membuat keputusan, menunjukkan bahwa stakeholder telah memahami posisi strategis mereka sebagai penentu kebijakan akhir dari usulan perencanaan pembangunan yang akan dilakukan didaerahnya. Hal ini sejalan dengan pilihan para stakeholder bahwa diantara mereka tidak ada yang hadir karena terpaksa ataupun hadir sekedar untuk memenuhi undangan, yang mengindikasikan para stakeholder memiliki kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama masyarakat merencanakan dan melaksanakan program pengembangan pendidikan didaerahnya. Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa partisipasi tingkat kehadiran dalam pertemuan memiliki nilai 66, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga

6 50 Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kerjasama). Pada tingkat ini, kehadiran dalam suatu pertemuan tidak akan dapat menghasilkan apa-apa bila tidak adanya kerjasama berbagai pihak dan harus ada kejelasan pembagian tanggung jawab antar stakeholder dalam merencanakan berbagai program sehingga terdapat kesamaan kepentingan antara stakeholder. Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, 5 orang atau sebesar 42 persen memilih opsi aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggungjawab yang setara, 3 orang atau sebesar 25 persen memilih opsi aktif tetapi merasakan hanya sedikit hasil diskusi yang diperhitungkan, 2 orang atau sebesar 17 persen memilih opsi aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan, 1 orang atau sebesar 8 persen memilih opsi mendapat informasi dan merasakan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan, dan 1 orang atau sebesar memilih opsi aktif berdiskusi dan merasakan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan. Tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena terpaksa, mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 21. Tabel 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat No. Variabel Skala penilaian n % Bobot 2 Tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan mengemukakan pendapat n x Bobot Berdiskusi karena terpaksa Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan Jumlah Tampak pada Tabel 15 diatas, terlihat bahwa kondisi sesungguhnya para stakeholder memiliki kesadaran untuk bertanggungjawab dalam hal pengembangan pendidikan didaerahnya karena tidak ada yang memilih opsi berdiskusi karena terpaksa ataupun mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya ataupun mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat, yang artinya mereka tetap memiliki harapan agar kiranya dari suatu pertemuan didapat kesepakatan yang memberikan kontribusi positif terhadap upaya pengembangan pendidikan didaerahnya.

7 51 Berdiskusi karena terpaksa 17% 42% Mendapat informasi dan berdiskusi sekedarnya Mendapat informasi dan tidak diberi kesempatan berpendapat Mendapat informasi dan boleh berpendapat tapi tidak diperhitungkan Aktif, tetapi hasil diskusi hanya sedikit sekali diperhitungkan Aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara Aktif berdiskusi dan memiliki kewenangan membuat keputusan Aktif berdiskusi dan mampu membuat keputusan Gambar 21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat Tampak pada Tabel 15 dan Gambar 21, sebagian besar stakeholder terlibat aktif dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Opsi paling banyak yaitu pada tingkat aktif berdiskusi dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara, yang artinya 5 orang atau sebesar 42 persen selalu terlibat aktif dalam pertemuan untuk mengemukakan pendapat dan mereka mendapatkan pembagian tugas yang merata, sesuai dengan jabatan masing-masing. Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan dalam berdiksusi dan mengemukakan pendapat memiliki skor 71 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam berdiskusi dan mengemukakan pendapat, sebagian besar stakeholder berkeinginan untuk aktif dalam berdiskusi dan berharap mendapatkan limpahan tugas yang setara. Pada tingkat partisipasi stakeholder untuk terlibat dalam kegiatan fisik, ada dua opsi yang dipilih oleh masing-masing 3 orang atau sebesar 25 persen yaitu jawaban terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan dan opsi terlibat dan memiliki pembagian tanggung jawab yang sama. Opsi berikutnya yaitu dipillih oleh dua orang atau sebesar 17 persen yaitu terlibat dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar. Kemudian, masing-masing satu orang atau sebesar 8 persen memilih opsi terlibat sekedarnya saja, terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide, terlibat dan berkesempatan menyampaikan ideide tapi tidak diperhitungkan serta terlibat dan memiliki kewenangan untuk melaksanakan ide tersebut. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik sebagaimana pada Gambar 22.

8 52 Tabel 16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik No. Variabel Skala penilaian n % Bobot n x Bobot 3 Tingkat keaktifan dalam kegiatan fisik Terlibat karena terpaksa Terlibat sekedarnya saja Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidak diperhitungkan Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang sama Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide Terlibat dan mampu membuat keputusan Jumlah Terlibat karena terpaksa Terlibat sekedarnya saja 17% Terlibat tanpa mendapat kesempatan menyampaikan ide-ide Terlibat dan berkesempatan menyampaikan ide-ide tapi tidak diperhitungkan Terlibat tapi hanya sedikit ide yang diperhitungkan Terlilbat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang sama Terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide Terlibat dan mampu membuat keputusan Gambar 22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik memiliki skor 65 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, dalam kegiatan fisik, sebagian besar stakeholder terlibat dan mendapat pembagian

9 tanggungjawab yang sama serta terlibat dan memiliki kewenangan melaksanakan ide. Pada tingkat partisipasi stakeholder pada kesediaan untuk membayar, empat orang atau sebesar 33 persen memilih opsi terlibat dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang, tiga orang memilih opsi membayar tapi merasakan hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan. Masing-masing dua orang atau sebesar 17 persen memilih opsi membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi hanya sedikit yang diperhitungkan serta opsi membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang tersebut. Hasil perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 23. Tabel 17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar No. Variabel Skala penilaian n % Bobot 53 n x Bobot 4 Tingkat kesediaan untuk membayar Membayar karena terpaksa Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya Membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar Jumlah Tampak pada Tabel 17, tidak ada yang memilih opsi membayar karena terpaksa, membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya ataupun membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar. Menjadi hal menarik adalah ketidakmampuan stakeholder kecamatan untuk mengakses dana dari luar karena bukan hal yang sulit mengajak pihak swasta untuk bersinergi memberikan sumbangan dalam rangka pengembangan pendidikan diwilayahnya.

10 54 Membayar karena terpaksa Membayar sekedarnya dan tidak memperhatikan manfaatnya 33% 17% 17% Membayar dan tidak berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya Membayar dan berkesempatan menyampaikan ide pemanfaatannya tapi tidak diperhitungkan Membayar tetapi hanya sedikit ide pemanfaatan uang yang dilaksanakan Membayar dan mendapat pembagian tanggung jawab yang setara dalam pemanfaatan uang Membayar dan memiliki kewenangan melaksanakan ide pemanfaatan uang Membayar dan mampu membuat keputusan serta mampu mengakses dana dari luar Gambar 23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk membayar Selanjutnya, dapat ditentukan bahwa kesediaan untuk membayar memiliki skor 64 poin atau paling rendah diantara empat tingkat partisipasi, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership. Pada tingkat ini, sebagian besar stakeholder bersedia untuk membayar dan mendapatkan pembagian tanggungjawab yang setara dalam pemanfaatan uang. Setelah mendapatkan bobot hasil analisis dari tiap tingkat partisipasi stakeholder, langkah selanjutnya adalah merangkum bobot-bobot tersebut secara keseluruhan untuk mendapatkan tingkat partisipasinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan nilai dari masing-masing tingkat partisipasi untuk dihitung nilai keseluruhan sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir tingkatan partisipasi stakeholder dalam program pengembangan pendidikan menengah Di Kabupaten Bangka. Menghitung tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan dilakukan dengan cara sebagai berikut: Dari empat tingkat partisipasi, diperoleh skor minimum 4, yang berasal dari 4 x 1 dan skor maksimum dari tiap tingkat partisipasi adalah 32 poin, yang berasal dari 4 x 8. Dalam penelitian ini, responden berjumlah 12 orang, maka skor minimumnya adalah 4 x 12 = 48 poin, dan skor maksimum adalah 12 x 32 = 384 poin. Menentukan jarak intervalnya, yaitu (384 48) / 8 = 42 poin. Sehingga dengan menggunakan tipologi Arstein maka diperoleh 8 (delapan) tingkat partisipasi dengan nilainya masing-masing yaitu sebagaimana yang terdapat pada Tabel 18. Rangkuman hasil perhitungan tingkat partisipasi stakeholder yang terdiri atas: 1) tingkat kehadiran dalam pertemuan, 2) keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat, 3) keterlibatan dalam kegiatan fisik dan 4) kesediaan untuk membayar, dapat dirangkum hasil analisisnya sebagaimana terdapat pada Tabel 19.

11 55 Tabel 18 Perhitungan tingkat partisipasi stakeholder secara keseluruhan No. Tangga Tingkat partisipasi Jumlah skor 8 Citizen Control Delegated Power Partnership Placation Consultation Informing Therapy Manipulation Tabel 19 Rangkuman perhitungan tingkat partisipasi stakeholder No. Variabel Skor 1 Tingkat kehadiran dalam pertemuan 66 2 Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat 71 3 Keterlibatan dalam kegiatan fisik 65 4 Kesediaan untuk membayar 64 Jumlah 266 Dari Tabel 19, tampak bahwa tingkat partisipasi yang memiliki nilai paling besar yaitu keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yaitu sebesar 71 poin. Berikutnya adalah tingkat kehadiran dalam pertemuan sebesar 66 poin, kemudian tingkat keterlibatan dalam kegiatan fisik sebesar 65 poin, dan yang memiliki nilai paling kecil yaitu tingkat kesediaan untuk membayar yaitu sebesar 64 poin. Keaktifan dalam berdiskusi dan menyampaikan pendapat yang memiliki nilai paling besar menunjukkan bahwa para stakeholder menyadari bahwa pelaksanaan suatu kegiatan berawal dari hasil pertemuan guna menentukan arah dan sasaran kegiatan sehingga program yang dilaksanakan dapat bermanfaat secara keseluruhan. Tentu saja keberadaan stakeholder dalam suatu pertemuan adalah keharusan karena mereka memiliki kewenangan yang legal dalam hal pengambilan suatu keputusan. Dari hasil rangkuman penghitungan analisis tingkat partisipasi stakeholder pada Tabel 19, maka dapat ditentukan bahwa bobot keseluruhan tingkat partisipasi berjumlah 266 poin, yang apabila didasarkan pada 8 (delapan) tangga Arstein maka termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Dalam hal ini diartikan bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta telah terdapat kesamaan pandangan antara stakeholder. Seperti yang diungkapkan oleh Epstein (2009) bahwa kemitraan (partnership) berperan penting dalam pengembangan pendidikan. Pemekaran wilayah sebagai implikasi penetapan sistem otonomi daerah telah memberikan ruang yang lebih besar kepada masyarakat dan para stakeholder untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dimana lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan.

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN 50 BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN Dalam penelitian ini, keberlanjutan kelembagaan dikaji berdasarkan tingkat keseimbangan antara pelayanan-peran serta (manajemen), tingkat penerapan prinsip-prinsip good

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Studi Literatur. Survei Lokasi. Pengumpulan Data

BAB III METODE PENELITIAN. Studi Literatur. Survei Lokasi. Pengumpulan Data BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Penelitian Tahapan dalam penelitian ini dimulai dari studi literatur hingga penyusunan Laporan Tugas Akhir, dapat dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini: Studi Literatur

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus pada Campaka Kecamatan Cigugur Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar)

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) Oleh: Aip Rusdiana 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 62 III. METODE PENELITIAN A. Definisi dan Indikator Variabel 1. Difinisi Variabel Definisi variabel dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisis data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis

Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis Reka Lingkungan Teknik Lingkungan Itenas No.1 Vol. 6 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional April 2018 Identifikasi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Air Bersih di Kelurahan Cihaurgeulis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Burung Hantu ( Tyto alba ) dan Pemanfaatannya Partisipasi Masyarakat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Burung Hantu (Tyto alba) dan Pemanfaatannya Burung hantu (Tyto alba) pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli tahun 1769. Nama alba berkaitan dengan warnanya

Lebih terperinci

PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DAN PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI POLA TANAM PADI

PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DAN PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI POLA TANAM PADI PENGARUH FAKTOR SOSIAL EKONOMI PETANI DAN PARTISIPASI PETANI DALAM PENERAPAN TEKNOLOGI POLA TANAM PADI (Oryza sativa L) JAJAR LEGOWO 4 : 1 (Studi Kasus pada Kelompoktani Gunung Harja di Desa Kalijaya Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lidia Susantii, 2015 Optimalisasi partisipasi orang tua dalam pengelolaaan program di PAUD EAGLE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lidia Susantii, 2015 Optimalisasi partisipasi orang tua dalam pengelolaaan program di PAUD EAGLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kegiatan yang sifatnya umum bagi kehidupan manusia di bumi ini, dan tidak terlepas dari segala aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepmendagri memuat pedoman penyusunan rancangan APBD yang. dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama Unit Organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepmendagri memuat pedoman penyusunan rancangan APBD yang. dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama Unit Organisasi BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses penganggaran daerah dengan pendekatan kinerja dalam Kepmendagri memuat pedoman penyusunan rancangan APBD yang dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama

Lebih terperinci

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan

5.2. Implikasi penelitian Implikasi teori Implikasi terapan BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam kinerja Komite Sekolah antara SD Negeri

Lebih terperinci

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan 2.1 Definisi Partisipasi Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Menurut Mubyarto dalam Ndraha (1990), partisipasi adalah kesediaan

Lebih terperinci

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LINGKUNGAN FISIK PERMUKIMAN (STUDI KASUS : KECAMATAN RUNGKUT) Disusun Oleh: Jeffrey Arrahman Prilaksono 3608 100 077 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Tindakan 4.1.1 Pelaksanaan Siklus 1 Dalam Siklus 1 terdapat 3 kali pertemuan dengan rincian sebagai berikut: a. Perencanaan (Planning) Pada siklus

Lebih terperinci

nilai tertinggi nilai terendah (log n) (log 32)

nilai tertinggi nilai terendah (log n) (log 32) 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Tlogo 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. Subyek yang menjadi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu komponen untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah adanya partisipasi masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 7 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kelembagaan dan Modal Sosial Kelembagaan mempunyai pengertian sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Aspirasi, Kebutuhan dan Keinginan Masyarakat Kebutuhan menurut Dwiyanto dkk (2003) adalah sesuatu rasa baik itu dalam bentuk produk, jasa, pelayanan, kesenangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Penyelenggaraan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Penyelenggaraan otonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang menganut asas desentralisasi dan dalam penyelenggaraan pemerintahan memberikan otonomi kepada daerah. Otonomi memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang. fundamental dalam hubungan Tata Pemerintah dan Hubungan Keuangan,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang. fundamental dalam hubungan Tata Pemerintah dan Hubungan Keuangan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Pelaksanaan Tindakan Pada bagian pelaksanaan tindakan, akan diuraikan empat subbab yaitu kondisi awal, siklus 1, siklus 2 dan pembahasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 42 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Gambaran Umum Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri Mangunsari 02 Salatiga dengan jumlah siswa 17 siswa. Sebelum dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengacu pada

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengacu pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mengacu pada Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No.33/2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 19 TAHUN 2006 PERATURAN BUPATI LEBAK NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAHAN KABUPATEN LEBAK DAN DESA TAHUN ANGGARAN 2006 BUPATI LEBAK,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Tindakan 4.1.1 Kondisi Awal Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kumpulrejo 02 Salatiga Kecamatan Argomulyo. Kepala Sekolah dari SD

Lebih terperinci

PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG. Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih

PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG. Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih PARTISIPASI PEMILIK RUMAH KOS DALAM IMPLEMENTASI PERDA KOTA SEMARANG NO. 3 TAHUN 2011 DI KELURAHAN TEMBALANG Oleh : Mey Prastiwi, Tri Yuniningsih DEPARTEMEN ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran matematika. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari matematika

BAB I PENDAHULUAN. pelajaran matematika. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari matematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketergantungan manusia terhadap teknologi modern dewasa ini dalam menjalani segala aktivitas setiap hari sangat tinggi. Matematika merupakan ilmu yang menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian

METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian 22 3. Terdapat hubungan nyata positif antara karakteristik personal, karakteristik lingkungan sosial, dan tingkat pengelolaan program dengan tingkat penghargaan masyarakat terhadap PDPT. 4. Terdapat hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi wewenang

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. Organisasi mahasiswa intra kampus bersifat pemerintahan (student

BAB VII PENUTUP. Organisasi mahasiswa intra kampus bersifat pemerintahan (student BAB VII PENUTUP Organisasi mahasiswa intra kampus bersifat pemerintahan (student government), khususnya di Yogyakarta pada kenyataannya masih menemui berbagai macam permasalahan baik di internal organisasinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah, masyarakat, orang tua dan stake holder yang lain. Pemerintah telah memberikan otonomi

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik

BAB I PENDAHULUAN. terlalu dominan. Sesuai konsep government, negara merupakan institusi publik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep governance dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government yang terlalu meletakkan negara (pemerintah) dalam posisi yang terlalu dominan. Sesuai

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KERJA SAMA DESA

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KERJA SAMA DESA BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses reformasi yang sedang bergulir, membawa perubahan yang sangat mendasar pada tatanan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU No 22 tahun

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Kelompok Tani Lestari Indah di Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Bontang adalah:

BAB V PENUTUP. Kelompok Tani Lestari Indah di Tanjung Laut Indah, Bontang Selatan, Bontang adalah: BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari analisis data mengenai Dampak Pemberdayaan Masyarakat bagi Perempuan mengenai Pelaksanaan CSR PT. Badak NGL terhadap Anggota Perempuan Kelompok Tani Lestari

Lebih terperinci

BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI

BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI 5.1. Penggolongan dan Non- LKMS Kartini Komunitas perdesaan dalam konteks penelitian ini tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan orang, namun juga sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya perubahan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Kondisi Awal A. Aktivitas Pembelajaran Ekonomi Dalam kegiatan belajar mengajar maupun dalam penugasan, siswa cenderung pasif kurang termotivasi

Lebih terperinci

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) Al Darmono Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah merupakan penyerasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-undang No 34 Tahun 2000 yang sekarang diubah menjadi Undang-undang No 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 menyatakan Daerah Otonom adalah kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

PENATAAN SARANA DAN PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERDASARKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI TEPIAN SUNGAI KOTA PANGKALAN BUN ( )

PENATAAN SARANA DAN PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERDASARKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI TEPIAN SUNGAI KOTA PANGKALAN BUN ( ) PENATAAN SARANA DAN PRASARANA LINGKUNGAN PERMUKIMAN BERDASARKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DI TEPIAN SUNGAI KOTA PANGKALAN BUN ENY RUSMITA (3210201002) Pangkalan Bun adalah ibu kota Kabupaten Kotawaringin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah desa merupakan simbol formil kesatuan masyarakat desa. Pemerintah desa sebagai badan kekuasaan terendah selain memiliki wewenang asli untuk mengatur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai kesatuan

Lebih terperinci

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DESA

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DESA BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

pujian atau kritik atas hasil kerja karyawan Tabel 4.14 Tanggapan responden mengenai pemimpin selalu meminta karyawan untuk berpartisipasi

pujian atau kritik atas hasil kerja karyawan Tabel 4.14 Tanggapan responden mengenai pemimpin selalu meminta karyawan untuk berpartisipasi DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Operasional Variabel... 37 Tabel 3.2 Arti pembobotan dengan Skala Likert... 45 Tabel 3.3 Skala Interval Gaya Kepemimpinan... 46 Tabel 3.4 Skala Interval Motivasi... 46 Tabel 3.5

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan suatu kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan suatu kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan tuntutan perkembangan sistem keuangan dan kemajuan ekonomi yang semakin kompleks, perubahan akan penggunaan laporan keuangan menjadi salah satu

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Wilayah Pesisir Sampai saat ini memang belum ditemukan definisi yang pasti mengenai wilayah pesisir karena batas-batas yang ada bisa berubah sewaktu-waktu, namun ada beberapa

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 No. 02/11/Th. XIV, 12 November 2014 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kota Bekasi Tahun 2013 A. Penjelasan Umum IPG merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA

BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA BUPATI PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANGANDARAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANGANDARAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan ini mengenai deskripsi pra siklus, deskripsi siklus 1, dan deskripsi siklus 2. Deskripsi siklus 1 tentang perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan presentasi maupun diskusi biasanya melibatkan guru dan siswa maupun siswa dengan siswa dalam suatu proses belajar mengajar, di dalam kegiatan presentasi

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF PERAN SERTA MASYARAKAT/ STAKE HOLDERS DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh: Ahmad Nawawi JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FIP UPI BANDUNG 2010 Latar Belakang l Lahirnya pendidikan inklusif sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan sumber daya manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dalam proses kehidupan. Majunya suatu bangsa dipengaruhi oleh mutu pendidikan dari bangsa itu sendiri karena mutu pendidikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di era perdagangan bebas atau globalisasi, setiap negara terus melakukan upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu menciptakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penemuan terbimbing dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. penemuan terbimbing dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Proses Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang menerapkan model penemuan terbimbing dalam meningkatkan kemampuan penalaran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Negeri Se-Kota Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Negeri Se-Kota Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan keaktifan mengikuti kegiatan organisasi siswa intra sekolah (OSIS) dan kemandirian belajar dengan prestasi belajar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, antara lain untuk menciptakan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu pembangunan pendidikan memerlukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT Nomor 11 Tahun 2007 Seri E Nomor 11 Tahun 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB VII MOTIVASI BERPERANSERTA PESERTA POSDAYA PADA POSDAYA

BAB VII MOTIVASI BERPERANSERTA PESERTA POSDAYA PADA POSDAYA BAB VII MOTIVASI BERPERANSERTA PESERTA POSDAYA PADA POSDAYA 7.1 Gambaran Peserta Posdaya Dalam Posdaya berperanserta responden terdiri dari motivasi merencanakan, motivasi melaksanakan, dan motivasi mengevaluasi

Lebih terperinci

BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Tindakan Pada pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilaksanakan dalam 4 langkah, diantaranya perencanaan, pelaksanan, observasi dan refleksi.

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA TINGGAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN

PENGARUH LAMA TINGGAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN PENGARUH LAMA TINGGAL TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN Sigit Wijaksono Architecture Department, Faculty of Engineering, Binus University Jl. K.H. Syahdan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Penelitian ini dilakukan pada Sekolah Dasar Negeri di Dabin V Kecamatan Kradenan Kabupaten Grobogan, dimana pada Dabin V Kradenan ini terdapat 10

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BADAN KELUARGA BERENCANA DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KABUPATEN GARUT TAHUN 2014 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo, dengan mengambil lokasi di sembilan Desa di Kabupaten Wonogiri yang menjadi

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS 53 EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat baik perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Adapun kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai

BAB V PENUTUP. Adapun kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai 153 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Uraian pembahasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu menjadi landasan penulis untuk mengemukakan beberapa kesimpulan terhadap kajian ini. Adapun kesimpulan-kesimpulan

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Tindakan Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam 2 siklus dan setiap siklus dilakukan 3 kali pertemuan dengan memanfaatkan model pembelajaran

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No., (06) ISSN: 7-59 (0-97 Print) C88 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman Kumuh di Kelurahan Kotalama Kota Malang Irwansyah Muhammad

Lebih terperinci

FUNGSI KOMITE SEKOLAH DALAM PERKEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM SEKOLAH DI SD NEGERI 19 KOTA BANDA ACEH

FUNGSI KOMITE SEKOLAH DALAM PERKEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM SEKOLAH DI SD NEGERI 19 KOTA BANDA ACEH FUNGSI KOMITE SEKOLAH DALAM PERKEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM SEKOLAH DI SD NEGERI 19 KOTA BANDA ACEH Hasmiana Hasan (Dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP Unsyiah) ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang

BAB I PENDAHULUAN. Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi komunikasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Secara konseptual, komunikasi dan pembangunan memandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDes)

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDes) 6 RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDes) Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan : RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA (RPJMDes) Waktu : 4 (empat) kali tatap muka pelatihan (selama 400

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 12 TAHUN 2007 TENTANG ALOKASI DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 72 Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan kerangka dasar otonomi daerah yang salah satunya mengamanatkan dilaksanakannya perencanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI SE KECAMATAN BAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN

PELAKSANAAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI SE KECAMATAN BAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN PELAKSANAAN FUNGSI KOMITE SEKOLAH PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI SE KECAMATAN BAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN Ramadhan Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNP Abstract The goal of this research

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan rekomendasi atas seluruh hasil studi tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap alokasi belanja daerah untuk

Lebih terperinci

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DESA DAN RENCANA KERJA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara karena maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka siswa diharapkan dapat mengusai keterampilan-keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, maka siswa diharapkan dapat mengusai keterampilan-keterampilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran wajib dan utama diajarkan di Sekolah Dasar. Dengan belajar Bahasa Indonesia, maka siswa diharapkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan metode ceramah dan metode tanya jawab. 2. Ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar K3 siswa. Hasil

BAB V PENUTUP. dengan metode ceramah dan metode tanya jawab. 2. Ada perbedaan yang signifikan antara hasil belajar K3 siswa. Hasil BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai perbedaan hasil belajar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) antara metode pembelajaran aktif tipe quiz team dengan metode ceramah

Lebih terperinci

BAB I INTRODUKSI. Bab I berisi mengenai introduksi riset tentang evaluasi sistem perencanaan

BAB I INTRODUKSI. Bab I berisi mengenai introduksi riset tentang evaluasi sistem perencanaan BAB I INTRODUKSI Bab I berisi mengenai introduksi riset tentang evaluasi sistem perencanaan penggunaan dana desa. Introduksi tersebut terdiri atas latar belakang, konteks riset, rumusan masalah, pertanyaan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DEVELOPMENT

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DEVELOPMENT DWI ASTUTI MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS MELALUI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DEVELOPMENT (STAD) Oleh: Dwi Astuti Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Ahmad

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN. secara berurutan sebagaimana telah disajikan dalam

BAB V PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN. secara berurutan sebagaimana telah disajikan dalam BAB V PENYAJIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini, semua data penelitian yang telah dipresentasikan di Bab terdahulu akan dibahas secara berurutan sebagaimana telah disajikan dalam penyajian data. Peneliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagai generasi penerus demi kemajuan bangsa ini.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagai generasi penerus demi kemajuan bangsa ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan generasi suatu bangsa. Sebab majunya suatu bangsa adalah dari generasi muda yang mempunyai ilmu

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disahkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disahkan pada tanggal 15 Januari 2014 dan secara resmi mulai di implementasikan di tahun 2015. Undang-undang ini menghadirkan

Lebih terperinci