MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN"

Transkripsi

1 140 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN Model kelembagaan klaster agroindustri minyak nilam dirancang melalui pendekatan sistem dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modelling). Gambar 47 menunjukkan diagram alir ISM-VAXO. Mulai Nama Elemen Nama Sub-elemen Pakar Penentuan Hubungan Kontekstual (VAXO) antar Sub-elemen pada setiap Elemen untuk setiap Pakar Pembentukan Reachability Matrix (RM) untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen Matriks Self Structural Interpretive (SSIM) untuk setiap Pakar dan pada setiap Elemen Modifikasi menjadi Matriks Transitif Tidak Transitif? Ya Pembentukan RM Pendapat Gabungan Pakar Reachability Matrix Pendapat Gabungan Pakar Selesai Strukturisasi Sistem Pengembangan Kelompok Sub-elemen Strukturisasi Elemen Sistem Penetapan Sub-elemen Kunci Kategorisasi Sub-elemen Gambar 47 Diagram alir ISM-VAXO Strukturisasi sistem dan kelembagaan yang dianalisis terdiri atas delapan elemen, yaitu: (1) sektor masyarakat yang terpengaruh; (2) kebutuhan dari program; (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan; (5) tujuan program; (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; (8) lembaga yang terlibat dengan pelaksanaan program. Setiap elemen terdiri dari sub-elemen yang mempunyai hubungan kontekstual satu sama lain yang ditetapkan sesuai dengan implementasi program pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri. Tabel 20 menunjukkan adanya hubungan kotekstual dari tiap sub-elemen.

2 141 Tabel 20 Hubungan kontekstual tiap sub-elemen No Elemen Hubungan Kontekstual Sektor masyarakat yang terpengaruh (M) i Kebutuhan dari program (B) i Kendala utama (K) i Perubahan yang dimungkinkan (R) i Tujuan program (S) i Tolok ukur untuk menilai tujuan (TS) i 7 Aktivitas yang dibutuhkan guna 8 perencanaan kerja (A) i Lembaga yang terlibat dengan pelaksanaan program (L) i Ij = 1,2,3,...(i,j 10) M i peranannya mendukung M j B i mendukung B j K i menyebabkan K j R i mengakibatkan R j S i berkontribusi tercapainya S j TS i berpengaruh terhadap TS j A i mempengaruhi A j L i peranannya mendukung L j Proses analisis diawali demngan penilaian hubungan kontekstual antara masing-masing sub-elemen pada setiap elemen melalui proses brainstorming dengan para pakar. Hasil penilaian sejumlah elemen melalui teknik ISM terhadap sistem pemberdayaan masyarakat pedesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri selanjutnya dibahas lebih lanjut. Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri berdasarkan hasil kajian terdiri dari 5 subelemen, yaitu: 1. Petani (E-l) 2. Petani-penyuling (E-2) 3. Pedagang / pengumpul (E-3) 4. Keluarga pelaku usaha (E-4) 5. Masyarakat lokal (E-5)

3 142 Strukturisasi terhadap lima sub-elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 21 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen sektor masyarakat yang terpengaruh. Tabel 21 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen sektor masyarakat yang terpengaruh sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 DP RDP E E E E E D RD Elemen kunci: E-1 dan E-2 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Petani E-2 : Petani-penyuling E-3 : Pedagang / pengumpul E-4 : Keluarga pelaku usaha E-5 : Masyarakat lokal Merujuk Tabel 20, sub-elemen petani (E-1) dan sub-elemen petanipenyuling (E-2) memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Hasil ini menjelaskan bahwa petani dan petani-penyuling mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dapat dilihat pada Gambar 48. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen sektor masyarakat

4 143 yang terpengaruh yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Berdasarkan Gambar 48, sub-elemen kunci dari elemen sektor masyarakat yang terpengaruh adalah sub-elemen petani dan sub-elemen petani-penyuling yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu petani dan petani-penyuling memerlukan dukungan sub-elemen level 2 yaitu pedagang / pengumpul dan sub-elemen level 3 yaitu keluarga pelaku usaha dan masyarakat local. Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 48 Struktur hirarki elemen sektor masyarakat yang terpengaruh Gambar 49 menunjukkan hasil pengelompokan elemen sektor masyarakat yang terpengaruh ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence. 6 E1, E E E4, E Gambar 49 Klasifikasi elemen sektor masyarakat yang terpengaruh dalam diagram Driver Power-Dependence

5 144 Merujuk Gambar 49, sub-elemen petani dan sub-elemen petani-penyuling termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen pedagang/pengumpul mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang sama. Sub-elemen keluarga pelaku usaha dan masyarakat lokal termasuk peubah linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen kebutuhan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 7 sub-elemen, yaitu: 1. Peran serta masyarakat (E-l) 2. SDM yang kompeten dengan program (E-2) 3. Peralatan dan bahan untuk pelatihan (E-3) 4. Dana pembinaan dari investasi usaha (E-4) 5. Teknologi tepat guna (E-5) 6. Komitmen dan konsisten dari pemerintah pusat dan daerah (E-6) 7. Instrumen monitoring dan evaluasi (E-7) Strukturisasi terhadap tujuh sub-elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 22 menunjukkan hasil analisis masingmasing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Merujuk Tabel 22, sub-elemen dana pembinaan dari investasi usaha dan subelemen teknologi tepat guna memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan cukup rendah. Hasil ini menjelaskan bahwa

6 145 dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Tabel 22 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 DP RDP E E E E E E E D RD Elemen kunci: E-4 dan E-5 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Peran serta masyarakat E-2 : SDM yang kompeten dengan program E-3 : Peralatan dan bahan untuk pelatihan E-4 : Dana pembinaan dari investasi usaha E-5 : Teknologi tepat guna E-6 : Komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah E-7 : Instrumen monitoring dan evaluasi Gambar 50 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.

7 146 Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 50 Struktur hirarki elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 50, sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen dana pembinaan dari investasi usaha dan sub-elemen teknologi tepat guna menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, subelemen pada level 1 yaitu dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna memerlukan dukungan sub-elemen level 2 yaitu komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah serta sub-elemen level 3 yaitu peran serta masyarakat, SDM yang kompeten dengan program serta peralatan dan bahan untuk pelatihan. Gambar 51 menunjukkan hasil pengelompokan elemen kebutuhan sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence. 8 E4, E5 7 6 E6 5 4 E1, E2, E3, E Gambar 51 Klasifikasi elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence

8 147 Merujuk Gambar 51, dana pembinaan dari investasi usaha, teknologi tepat guna serta komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah, termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan komitmen dan konsistensi dari pemerintah pusat dan daerah, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen peran serta masyarakat, SDM yang kompeten dengan program serta peralatan dan bahan untuk pelatihan berada diantara peubah linkages (sektor III) dan dependence (sektor II). Hasil ini member pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 6 sub-elemen, yaitu: 1. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah (E-l) 2. Keterbatasan sumberdaya finansial (E-2) 3. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan (E-3) 4. Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur (E-4) 5. Pemasaran hasil (E-5) 6. Ketersediaan informasi jejaring usaha/networking (E-6) Strukturisasi terhadap enam sub-elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 23 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.

9 148 Tabel 23 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 DP RDP E E E E E E D RD Elemen kunci: E-2 dan E-4 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah E-2 : Keterbatasan sumberdaya finansial E-3 : Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan E-4 : Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur E-5 : Pemasaran hasil E-6 : Ketersediaan informasi jejaring usaha/networking Merujuk Tabel 23, sub-elemen keterbatasan sumberdaya finansial dan subelemen terbatasnya fasilitas dan infrastruktur memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen pemasaran hasil memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan lebih tinggi dari sub-elemen kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan dan ketersediaan informasi jejaring usaha/networking. Hasil ini menjelaskan bahwa keterbatasan sumberdaya finansial serta terbatasnya fasilitas dan infrastruktur merupakan kendala yang besar dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 52 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen kebutuhan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan yang

10 149 mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 52 Struktur hirarki elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 52, sub-elemen kunci dari elemen kendala utama dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen keterbatasan sumberdaya finansial dan sub-elemen terbatasnya fasilitas dan infrastruktur yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur merupakan kendala yang dapat mempengaruhi sub-elemen level 2 yaitu pemasaran hasil serta sub-elemen level 3 yaitu kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan usaha/networking. pengetahuan serta ketersediaan informasi jejaring Gambar 53 menunjukkan hasil pengelompokan elemen kendala utama dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence dapat dilihat pada.

11 150 7 E2, E4 6 5 E E1, E3, E Gambar 53 Klasifikasi elemen kendala utama dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 53, keterbatasan sumberdaya finansial, terbatasnya fasilitas dan infrastruktur serta pemasaran hasil termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan pemasaran hasil, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen kesadaran terhadap pentingnya pendidikan yang masih rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan serta ketersediaan informasi jejaring usaha/networking berada pada peubah dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 7 sub-elemen, yaitu: 1. Terbentuknya kelompok tani (E-l) 2. Pengetahuan dan keterampilan usaha (E-2) 3. Kewirausahaan (E-3)

12 Perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung (E-4) 5. Kebijakan pemerintah daerah (E-5) 6. Insentif/bantuan sektoral (E-6) 7. Koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral (E-7) Strukturisasi terhadap enam sub-elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 24 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Merujuk Tabel 24, sub-elemen terbentuknya kelompok tani dan subelemen kebijakan pemerintah daerah memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral memiliki daya dorong cukup tinggi, namun ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan lebih tinggi dari sub-elemen terbentuknya kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah. Hasil ini menjelaskan bahwa terbentuknya kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam perubahan yang dimungkinkan pada sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Tabel 24 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 DP RDP E E E E E E E D RD Elemen kunci: E-1 dan E-5

13 152 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Terbentuknya kelompok tani E-2 : Pengetahuan dan keterampilan usaha E-3 : Kewirausahaan E-4 : Perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung E-5 : Kebijakan pemerintah daerah E-6 : Insentif/bantuan sektoral E-7 : Koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral Gambar 54 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen perubahan yang dimungkinkan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Merujuk Gambar 54, sub-elemen kunci dari elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen kelompok tani dan sub-elemen kebijakan pemerintah daerah yang menempati hirarki terendah (level 1). Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 54 Struktur hirarki elemen perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu kelompok tani dan sub-elemen kebijakan pemerintah daerah memiliki perubahan yang memungkinkan terhadap sub-elemen level 2 yaitu

14 153 insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral serta sub-elemen level 3 yaitu pengetahuan dan keterampilan usaha, kewirausahaan dan perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung. Gambar 55 menunjukkan hasil pengelompokan elemen perubahan yang dimungkinkan dalam sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence. 8 E1, E E6, E E2, E3, E Gambar 55 Klasifikasi elemen perubahan yang dimungkinkan pada sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 55, sub-elemen kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Sub-elemen insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral berada pada peubah bebas (sektor independent) dan sektor linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa kelompok tani dan kebijakan pemerintah daerah mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan insentif/bantuan sektoral dan koordinasi dan sinergitas program lintas sektoral, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen pengetahuan dan keterampilan usaha, kewirausahaan dan perubahan pola pikir dan kebiasaan menabung berada pada peubah dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.

15 154 Elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 5 sub-elemen, yaitu: 1. Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) (E-l) 2. Meningkatkan taraf hidup keluarga (E-2) 3. Meningkatkan pendidikan dan pengetahuan (E-3) 4. Memperluas lapangan kerja (E-4) 5. Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) (E-5) Strukturisasi terhadap lima sub-elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 25 menunjukkan hasil analisis masingmasing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Merujuk Tabel 25, sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) (E-1) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga, meningkatkan pendidikan dan pengetahuan dan memperluas lapangan kerja memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan. Tabel 25 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 DP RDP E E E E E D RD Elemen kunci: E-1 dan E-5

16 155 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) E-2 : Meningkatkan taraf hidup keluarga E-3 : Meningkatkan pendidikan dan pengetahuan E-4 : Memperluas lapangan kerja E-5 : Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) Hasil ini menjelaskan bahwa membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 56 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Merujuk Gambar 56, sub-elemen kunci dari tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) memiliki tujuan terhadap sub-elemen level 2 yaitu meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan.

17 156 Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 56 Struktur hirarki elemen tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Gambar 57 menunjukkan hasil pengelompokan elemen tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan ke dalam empat sektor Driver Power- Dependence. Merujuk Gambar 57, sub-elemen membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja berada pada sektor dependent (sektor II) dan sektor linkages (sektor III). Sub-elemen meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada sektor dependent (sektor II). 6 E1, E E2, E E3 0 Gambar 57. Klasifikasi elemen tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power- Dependence

18 157 Hasil ini memberi pengertian bahwa membangun kelompok usaha bersama (KUBE) dan sub-elemen membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM- Des) mempunyai kekuatan penggerak yang lebih besar dibandingkan dengan Subelemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada peubah dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 6 subelemen, yaitu: 1. Presentasi jumlah rumah tangga petani miskin (E-l) 2. Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi (E-2) 3. Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) (E-3) 4. Meningkatnya jumlah tabungan keluarga (E-4) 5. Menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf (E-5) 6. Meningkatnya pelaku usaha (E-6) Strukturisasi terhadap enam sub-elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 26 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.

19 158 Tabel 26 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 DP RDP E E E E E E D RD Elemen kunci: E-2, E-3 dan E-6 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Presentasi jumlah rumah tangga petani miskin E-2 : Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi E-3 : Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) E-4 : Meningkatnya jumlah tabungan keluarga E-5 : Menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf E-6 : Meningkatnya pelaku usaha Merujuk Tabel 26, sub-elemen terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen presentasi jumlah rumah tangga petani miskin, meningkatnya jumlah tabungan keluarga dan menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf memiliki ketergantungan tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Hasil ini menjelaskan bahwa terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri.

20 159 Gambar 58 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiria. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Level 2 Level 1 Gambar 58 Struktur hirarki elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 58, sub-elemen kunci dari tolok ukur untuk menilai tujuan dari pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah subelemen terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) dan meningkatnya pelaku usaha yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) dan meningkatnya pelaku usaha merupakan tolok ukur untuk menilai tujuan terhadap sub-elemen level 2 yaitu meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan. Gambar 59 menunjukkan hasil pengelompokan elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence.

21 160 7 E2, 6 E3, E E1, E4, E Gambar 59 Klasifikasi elemen tolok ukur untuk menilai tujuan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 59, sub-elemen terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Sedangkan sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 3 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada sektor dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi, meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petanipenyuling) dan meningkatnya pelaku usaha mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri.. Sub-elemen meningkatkan taraf hidup keluarga dan memperluas lapangan kerja serta sub-elemen level 2 yaitu meningkatkan pendidikan dan pengetahuan berada pada peubah dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah-peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil. Elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan Berdasarkan hasil kajian, elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 5 sub-elemen, yaitu: 1. Pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi (E-l) 2. Pelatihan teknologi budidaya (E-2)

22 Pelatihan pasca panen pengolahan nilam (E-3) 4. Penyuluhan manajemen keuangan keluarga (E-4) 5. Penyaluran kredit usaha mikro (E-5) Strukturisasi terhadap lima sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 27 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri dapat dilihat pada. Tabel 27 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Elemen kunci: E-1 Keterangan: Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 DP RDP E E E E E D RD D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi E-2 : Pelatihan teknologi budidaya E-3 : Pelatihan pasca panen pengolahan nilam E-4 : Penyuluhan manajemen keuangan keluarga E-5 : Penyaluran kredit usaha mikro Merujuk Tabel 27, sub-elemen pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Sedangkan sub-elemen pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro memiliki ketergantungan tinggi terhadap

23 162 pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Hasil ini menjelaskan bahwa pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dari sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Gambar 60 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri dapat dilihat pada. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya. Level 3 Level 2 Level 1 Gambar 60 Struktur hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 60, sub-elemen kunci dari elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sub-elemen pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk memberdayakan masyarakat agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi merupakan aktivitas yang digunakan untuk tindakan terhadap sub-elemen level 2 yaitu pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro serta sub-elemen level 3 yaitu penyuluhan manajemen keuangan keluarga.

24 163 Gambar 61 menunjukkan hasil pengelompokan elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence. 6 E1 5 4 E2, E3, E E4 0 Gambar 61 Klasifikasi elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk tindakan dalam sistem pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Merujuk Gambar 61, sub-elemen pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa pembentukan kelompok usaha bersama/koperasi mempunyai kekuatan penggerak yang besar, namun mempunyai sedikit ketergantungan terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Sedangkan sub-elemen pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro berada pada peubah linkages (sektor III). Hasil ini memberi pengertian bahwa pelatihan teknologi budidaya, pelatihan pasca panen pengolahan nilam dan penyaluran kredit usaha mikro memiliki ketergantungan tinggi teerhadap system pemberdayaan agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen penyuluhan manajemen keuangan keluarga berada pada sektor dependent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.

25 164 Elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Berdasarkan hasil kajian, elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri terdiri dari 8 sub-elemen, yaitu: 1. Aparatur pemerintah pusat (E-l) 2. Dinas daerah yang terkait (E-2) 3. Lembaga keuangan mikro dan kecil (E-3) 4. Perbankan nasional (E-4) 5. Lembaga pembiayaan non bank (E-5) 6. Koperasi (E-6) 7. Lembaga swadaya masyarakat (E-7) 8. Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan (E-8) Strukturisasi terhadap delapan sub-elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri menghasilkan matriks reachability, struktur hirarki dan klasifikasi sub-elemen. Tabel 28 menunjukkan hasil analisis masing-masing sub-elemen dalam bentuk reachability matriks final terhadap elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan dapat dilihat pada. Merujuk Tabel 28, sub-elemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank memiliki driver power (DP) atau daya dorong dengan peringkat tertinggi yang disebut sebagai elemen kunci (key element). Hasil ini menjelaskan bahwa dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan lembaga pembiayaan non bank mempunyai peran besar dalam mendukung pemberdayaan agroindustri minyak atsiri.

26 165 Tabel 28 Hasil Reachability Matriks Final dan Interpretasi terhadap elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Kode E-1 E-2 E-3 E-4 E-5 E-6 E-7 E-8 DP RDP E E E E E E E E D RD Elemen kunci: E-2, E-3, E-4 dan E-5 Keterangan: D : Dependence RD : Ranking Dependence DP : Driver Power RDP : Ranking Driver Power E-1 : Aparatur pemerintah pusat E-2 : Dinas daerah yang terkait E-3 : Lembaga keuangan mikro dan kecil E-4 : Perbankan nasional E-5 : Lembaga pembiayaan non bank E-6 : Koperasi E-7 : Lembaga swadaya masyarakat E-8 : Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan Gambar 62 menunjukkan hasil strukturisasi terhadap hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Struktur hirarki menunjukkan hubungan langsung dan kedudukan relatif antar sub-elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan yang mana terpenuhinya sub-elemen tersebut didukung oleh terpenuhinya sub-elemen pada hirarki dibawahnya.

27 166 Level 2 Level 1 Gambar 62 Struktur hirarki elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Merujuk Gambar 62, sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri adalah subelemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank yang menempati hirarki terendah (level 1). Hasil tersebut memberi pengertian bahwa untuk pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri, sub-elemen pada level 1 yaitu dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen aparatur pemerintah pusat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan. Hasil pengelompokan elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri ke dalam empat sektor Driver Power-Dependence dapat dilihat pada Gambar 63. Merujuk Gambar 63, sub-elemen dinas daerah yang terkait, lembaga keuangan mikro dan kecil, perbankan nasional dan sub-elemen lembaga pembiayaan non bank termasuk dalam peubah bebas (sektor independent). Hasil ini memberi pengertian bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Sub-elemen aparatur pemerintah pusat, koperasi, lembaga swadaya masyarakat serta perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan termasuk peubah independent (sektor II). Hasil ini memberi pengertian bahwa peubahpeubah tersebut harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah saling terkait dan tidak stabil.

28 E2, E3, E4, E E1, 8 E6, E7, E Gambar 63. Klasifikasi elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pemberdayaan agroindustri minyak atsiri dalam diagram Driver Power-Dependence Hasil kajian di atas menunjukkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri, faktor yang paling menentukan adalah petani dan petani-penyuling yang tergabung dalam wadah koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan. Hal tersebut memberi gambaran bahwa dalam program pemberdayaan PAP-Klaster, petani dan petani-penyuling yang tergabung dalam wadah koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan merupakan pelaku kunci. Hal ini dapat diartikan bahwa petani dan petani-penyuling harus dipandang sebagai komponen lembaga pelaku pemberdayaan PAP-Klaster yang perlu mendapat perhatian utama. Selain koperasi usahatani dan industri kecil penyulingan, komponen kelembagaan lain yang perlu diperhatikan adalah lembaga keuangan mikro dan kecil serta perbankan nasional. Demikian halnya Dinas Daerah yang teerkait serta Perguruan Tinggi/lembaga riset dan pengembangan, adalah pelaku yang secara terus menerus harus berkoordinasi dan bersinergi dalam memfasilitasi segala bentuk kebutuhan yang terkait dengan program pemberdayaan PAP-Klaster. Dengan adanya sistem otonomi, Pemerintah Daerah (Dinas yang terkait) memiliki peran yang sangat strategis karena menjadi penentu kebijakan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan diharapkan keberpihakannya dengan memandang

29 168 bahwa pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster yang berorientasi sentra produksi merupakan terobosan dalam menciptakan nilai tambah secara maksimal sehingga tercipta struktur perekonomian perdesaan yang tangguh. Apabila hal ini tertangani secara sungguh-sungguh, maka dapat diyakini bahwa pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri akan mampu menjadi motor penggerak perekonomian perdesaan khususnya di Kabupaten Kuningan dan Brebes yang menjadikan nilam sebagai komoditas unggulan. Hasil analisis strukturisasi sistem dan pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster, dapat diketahui sub-elemen kunci dari masing-masing elemen yang diteliti. Sub-elemen kunci tersebut dapat dijadikan pedoman dalam merancang bangun sistem pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sehingga memberi hasil yang maksimal. Kedelapan elemen sistem yang telah dianalisis seluruhnya berhasil diidentifikasi komponen-komponennya. Demikian pula gambar struktur subelemen dari masing-masing elemen telah diketahui dan matriks hubungan DP-D berhasil digambarkan yang terbagi dalam empat sektor atau kategori. Demikian pula sub-elemen kunci masing-masing elemen telah dapat diketahui. Elemen kunci sistem pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster secara rinci terangkum dalam Gambar 64.

30 169 TUJUAN PEMBERDAYAAN: Membangun kelompok usaha bersama (KUBE) Membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) MASYARAKAT YANG TERPENGARUH: Petani Petani-penyuling KEBUTUHAN PEMBERDAYAAN: Dana pembinaan dari investasi usaha Teknologi tepat guna AKTIVITAS YANG DIGUNAKAN: Pembentukan kelompok usaha bersama/ koperasi KENDALA PEMBERDAYAAN: Keterbatasan sumberdaya finansial Terbatasnya fasilitas dan infrastruktur SIITEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN PAP-Klaster LEMBAGA PELAKU PEMBERDAYAAN: Dinas daerah yang terkait Lembaga keuangan mikro dan kecil Perbankan nasional Koperasi Perguruan tinggi/lembaga riset dan pengembangan TOLOK UKUR PEMBERDAYAAN: Terbentuknya kelompok usaha bersama ekonomi (KUBE)/koperasi Meningkatnya pendapatan pelaku usaha (petani, petani-penyuling) Meningkatnya pelaku usaha PERUBAHAN YANG DIMUNGKINKAN: Terbentuknya kelompok tani Kebijakan pemerintah daerah Gambar 64 Elemen kunci pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster Strategi Pemberdayaan Masyarakat Merujuk Gambar 64, langkah strategi yang harus dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri melalui PAP-Klaster sebagai berikut:

31 170 Strategi harmonisasi sektor masyarakat yang terpengaruh program Program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster memberi dampak langsung dan tidak langsung bagi masyarakat petani dan petani-penyuling. Petani dan petanipenyuling bertindak sebagai pelaku utama dalam budidaya tanaman nilam dan dalam penyulingan minyak nilam, juga sebagai pemilik industri kecil penyulingan yang akan ditingkatkan kemampuannya. Untuk mewujudkannya, petani dan petani-penyuling hendaknya memahami sungguh-sungguh hak dan kewajibannya dalam program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster. Strategi pelaksanaannya dilakukan melalui sosialisasi kebermanfaatan PAP-Klaster bagi petani dan petani-penyuling, baik manfaat yang tangibles maupun intangibles. Sosialisasi ini dipandang penting karena berdasarkan hasil wawancara langsung dengan para petani dan petani-penyuling diperoleh keterangan bahwa ada kecenderungan petani dan petani-penyuling menolak setiap ajakan untuk bergabung dalam program-program yang baru. Alasan penolakan mereka dapat dimaklumi karena selama ini hampir setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan petani dan petani-penyuling dinilai merugikan dalam posisinya yang lemah. Implikasinya terhadap program pemberdayaan masyarakat perdesaan PAP-Klaster adalah member fleksibilitas pada petani dan petani-penyuling untuk turut berpartisipasi. Hal ini dikarenakan tidak ada paksaan untuk bergabung dan juga tidak ada larangan untuk untuk keluar jika merasa tidak mendapatkan kebermanfaatan (entry-exit). Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster hendaknya dapat dikelola dengan baik dan transparan sehingga dapat memberikan keuntungan yang proporsional antara petani dengan petani-penyuling dan dengan pelaku lainnya. Sosialisasi tentang program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sebaiknya juga dilakukan pada masyarakat sekitar lokasi budidaya dan industry penyulingan. Hal ini penting agar masyarakat sekitar dapat melihat adanya peluang kerja baru untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan kondisi tersebut, eksistensi program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster sangat dibutuhkan sebagai mitra strategis masyarakat setempat. PAP-Klaster dapat bertindak sebagai mediator antara usahatani dan industri kecil penyulingan dalam menentukan optimasi kesepakatan harga jual

32 171 nilam dan minyak nilam secara berkesinambungan berdasarkan informasi harga jual yang ada. Strategi pemenuhan kebutuhan pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster Kebutuhan utama program pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster melalui dana pembinaan dari investasi usaha dan teknologi tepat guna. Strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diupayakan melalui akses sumber-sumber dana yang tersedia, seperti: perbankan (bank konvensional dan syariah) dan lembaga permodalan lainnya (BUMD, BUMN, PNM, ventura dan lembaga donor). Pemenuhan kebutuhan ini sangat ditentukan oleh kemampuan jejaring usaha agroindustri minyak atsiri dalam mensosialisasikan program-program strategisnya serta bantuan pemerintah pusat dan daerah. Salah satu bentuk strategis yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah adalah mendirikan lembaga permodalan khusus agroindustri di perdesaan seperti Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des) dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Dalam pemenuhan kebutuhan ini, modal bukanlah satu-satunya faktor penentu. Diperlukan pula teknologi tepat guna bagi usahatani dan industri kecil penyulingan, perbaikan infrastruktur, penyediaan sarana dan prasarana produksi, penyediaan bibit unggul, dan kemudahan akses teknologi produksi. Factor-faktor tersebut akan berfungsi maksimal jika mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah serta dari perguruan tinggi/lembaga riset. Strategi mengatasi kendala utama pemberdayaan masyarakat PAP-Klaster Beberapa kendala utama yang menyebabkan pemberdayaan masyarakat perdesaan agroindustri minyak atsiri kurang berjalan adalah keterbatasan sumberdaya finansial dan terbatasnya fasilitas dan infrastruktur. Keterbatasan sumberdaya finansial atau sumber dana bagi kegiatan usaha kecil menengah dan koperasi menjadi kendala utama yang menyebabkan perekonomian perdesaan tidak berkembang dengan maksimal. Arah kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumber dana usaha lebih berorientasi pada usaha yang berskala besar atau usaha konglomerasi, sementara penyediaan dana untuk usaha kecil menengah dan koperasi masih kurang. Kebijakan demikian terkesan mengedepankan perolehan pendapatan negara bukan kemanfaatan masyarakat secara luas. Dengan kondisi

33 172 perekonomian saat ini, sudah saatnya arah kebijakan pemerintah dalam penyediaan sumberdaya finansial lebih berorientasi pada usaha kecil menengah dan koperasi. Belum memadainya infrastruktur di perdesaan, terbatasnya fasilitas atau sarana dan prasarana produksi, juga menjadi kendala dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Strategi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengajak para pelaku usaha untuk bekerjasama dan bersinergi dalam mengatasi kendala tersebut. Strategi perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri. Perubahan yang dimungkinkan dalam pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah terbentuknya kelompok tani dan kebijakan daerah. maka diperlukan penggabungan beberapa petani menjadi suatu kelompok tani. Setiap petani yang tergabung dalam program ini diasumsikan memiliki lahan produktif seluas satu hektar di bawah koordinasi seorang ketua kelompok. Dengan adanya kelompok tani, penyediaan bibit unggul, pupuk, peralatan produksi dan fasilitas lainnya dapat dilakukan secara bersama-sama sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Hasil panenpun dapat dijual bersama sehingga kelompok tani mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi. Arah kebijakan daerah harus sejalan dengan para pelaku usaha di perdesaan. Bentuk keterlibatan Pemerintah Daerah dan Dinas lintas sektoral dalam program pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah sebagai fasilitator, motivator dan melakukan pembinaan sehingga diperoleh peningkatan produktivitas usaha dan meningkatnya pendapatan para pelaku usaha. Strategi pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri Tujuan pemberdayaan masyarakat agroindustri minyak atsiri adalah membangun kelompok tani/kelompok usaha bersama (KUBE) dan membangun Badan Usaha Milik Desa (BUM-Des). Agar usahatani dan industri kecil penyulingan memiliki kekuatan untuk mengambil bagian atau peluang usaha yang lebih besar sehingga menjadi usaha yang

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster 200 Lampiran 1 Profil Usahatani, Industri Kecil Penyulingan dan Pedagang/Pengumpul Form A Kuesioner Profil Usaha Tani Program Penelitian Pemberdayaan Agroindustri Nilam di Pedesaan dalam Sistem Klaster

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM

BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 83 BAB V KONFIGURASI DAN PEMODELAN SISTEM 5.1. Konfigurasi Model Analisis sistem pada Bab IV memperlihatkan bahwa pengembangan agroindustri sutera melibatkan berbagai komponen dengan kebutuhan yang beragam,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 66 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian perancangan model pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam klaster agroindustri minyak atsiri dilakukan berdasarkan sebuah kerangka berpikir logis. Gambaran kerangka

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren.

Gambar 9 Sistem penunjang keputusan pengembangan klaster agroindustri aren. 44 V. PEMODELAN SISTEM Dalam analisis sistem perencanaan pengembangan agroindustri aren di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dan berperan didalam sistem tersebut. Pihak-pihak

Lebih terperinci

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH I. UMUM Penerapan otonomi daerah sejatinya diliputi semangat untuk mewujudkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL

BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL BAB 7 ANALISIS KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN PERIKANAN ARTISANAL Pencapaian sasaran tujuan pembangunan sektor perikanan dan kelautan seperti peningkatan produktivitas nelayan dalam kegiatan pemanfaatan

Lebih terperinci

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran

Kata Kunci: Analisis stuktur, kemitraan, agribisnis sayuran ANALISIS STRUKTUR SISTEM KEMITRAAN PEMASARAN AGRIBISNIS SAYURAN (Studi Kasus di Kecamatan Nongkojajar Kabupaten Pasuruan) Teguh Sarwo Aji *) ABSTRAK Pemikiran sistem adalah untuk mencari keterpaduan antar

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Penetapan visi sebagai bagian dari perencanaan strategi, merupakan satu langkah penting dalam perjalanan suatu organisasi karena

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix DAFTAR ISI DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Formulasi Permasalahan... 8 1.3.

Lebih terperinci

MODEL SISTEM KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TALAS

MODEL SISTEM KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TALAS AGROINTEK Vol 4, No. 2 Agustus 21 87 MODEL SISTEM KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI TALAS Iffan Maflahah Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Korespondensi : Jl.

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 47 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 63 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER

IX. STRUKTURISASI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI KOPI RAKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBER IX. STUKTUISASI PENGEMBANGAN AGOINDUSTI KOPI AKYAT DI KUPK SIDOMULYO, KABUPATEN JEMBE 9.1. Pendahuluan Sistem pengolahan kopi obusta rakyat berbasis produksi bersih yang diupayakan untuk diterapkan di

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah

4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah 4.2 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Daerah Mencermati isu-isu strategis diatas maka strategi dan kebijakan pembangunan Tahun 2014 per masing-masing isu strategis adalah sebagaimana tersebut pada Tabel

Lebih terperinci

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI 176 MODEL EMBERDAYAAN MASYARAKAT ERDESAAN DALAM KLASTER AGROINDUSTRI MINYAK ATSIRI Berdasarkan hasil analisis strategi sistem, strukturisasi sistem dan pemberdayaan masyarakat A-Klaster, dilakukan rekayasa

Lebih terperinci

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL 1 Oleh: Almasdi Syahza 2 Email: asyahza@yahoo.co.id Website: http://almasdi.staff.unri.ac.id Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu mencerminkan

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan sistem menghasilkan Model Strategi Pengembangan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2013 Analisis Terhadap Kendala Utama Serta Perubahan yang Dimungkinkan dari Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Ziarah Umat Katholik Gua Maria Kerep Ambarawa Ari Wibowo 1) *, Boedi Hendrarto 2), Agus Hadiyarto

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BEUTUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus menjadi tumpuan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemerintah menyadari pemberdayaan usaha kecil menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat dan sekaligus

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 67 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kakao merupakan komoditas ekspor unggulan non-migas yang bernilai ekonomi tinggi dan tercatat sebagai penyumbang devisa bagi perekonomian nasional. Ekspor produk

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 86 VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 6.1 Identifikasi Stakeholders dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening Secara umum, stakeholders kunci yang terlibat dalam pengelolaan Danau Rawa

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Nganjuk Visi merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana Pembangunan Pertanian

Lebih terperinci

APLIKASI TEKNIK PEMODELAN INTERPRETASI STRUKTURAL (Interpretive Structural Modeling) Teori dan Pemodelan Sistem

APLIKASI TEKNIK PEMODELAN INTERPRETASI STRUKTURAL (Interpretive Structural Modeling) Teori dan Pemodelan Sistem APLIKASI TEKNIK PEMODELAN INTERPRETASI STRUKTURAL (Interpretive Structural Modeling) Teori dan Pemodelan Sistem 1 Information Cycle NUMBER/ TERMS MIS DATA INFORMATION DSS DECISION ALTERNATIVE MES ACTION

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

X. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan

X. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan X. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan adalah model yang menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic versi 6.0. Model AINI-MS merupakan

Lebih terperinci

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran.

VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK. Kata kunci: Selat Rupat, pencemaran minyak, pengendalian pencemaran. 104 VIII. STAKESHOLDER YANG BERPERAN DALAM PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK Abstrak Industri pengolahan minyak, transportasi kapal di pelabuhan serta input minyak dari muara sungai menyebabkan perairan Selat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 08 Tahun 2015 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG USAHA MIKRO DAN KECIL DI KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Analisis Elemen Kunci untuk Pengembangan Usaha dengan Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) (Studi Kasus di KUD Dau, Malang)

Analisis Elemen Kunci untuk Pengembangan Usaha dengan Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) (Studi Kasus di KUD Dau, Malang) Analisis Elemen Kunci untuk Pengembangan Usaha dengan Metode Interpretative Structural Modelling (ISM) (Studi Kasus di KUD Dau, Malang) Enggar D. Kartikasari 1), Wike A. P. Dania 2), Rizky L. R. Silalahi

Lebih terperinci

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN Paradigma pembangunan saat ini lebih mengedepankan proses partisipatif dan terdesentralisasi, oleh karena itu dalam menyusun

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)

PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) PENERAPAN TEKNIK INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING (ISM) DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) Heri Apriyanto NRP. P062100201 Dadang Subarna NRP. P062100081 Prima Jiwa Osly NRP. P062100141 Program Studi

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel 54 ANALISIS SISTEM Sistem pengembangan agroindustri biodiesel berbasis kelapa seperti halnya agroindustri lainnya memiliki hubungan antar elemen yang relatif kompleks dan saling ketergantungan dalam pengelolaannya.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

VALIDASI MODEL Model Strategi Sistem Pengembangan Agrokakao

VALIDASI MODEL Model Strategi Sistem Pengembangan Agrokakao 104 VALIDASI MODEL Model Strategi Sistem Pengembangan Agrokakao Prioritas strategi sistem pengembangan Agrokakao pola-jasa dianalisis melalui komponen aktor, faktor, dan tujuan untuk mendapatkan skala

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB II VISI, MISI, TUJUAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN A. Visi Visi yang telah ditetapkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pelalawan adalah Menjadi Fasilitator dan Penggerak Ekonomi Masyarakat Perikanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.09/MEN/2002 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu produksi dan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENINGKATAN NILAI TAMBAH MELALUI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI Oleh : Supriyati Adi Setiyanto Erma Suryani Herlina Tarigan PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM

BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM BAB III BERBAGAI KEBIJAKAN UMKM Usaha Kecil dan Mikro (UKM) merupakan sektor yang penting dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PEREKONOMIAN BERBASIS KERAKYATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang BAB I PENDUHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah saat sekarang, daerah diberi kewenangan dan peluang yang luas untuk mengembangkan potensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sebagian besar

Lebih terperinci

V. ANALISIS KEBIJAKAN

V. ANALISIS KEBIJAKAN V. ANALISIS KEBIJAKAN 5.1. Pendekatan Kebijakan Kegiatan pertambangan mineral di Kabupaten Mimika secara signifikan telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, pemerintah daerah dan pusat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam perekonomian Indonesia dan dalam pembangunan nasional. Pembangunan dan perubahan struktur ekonomi tidak bisa dipisahkan dari

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelembagaan Pertanian (Djogo et al, 2003) kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH SAMBUTAN GUBERNUR SULAWESI TENGAH PADA ACARA PEMBUKAAN SINKRONISASI PROGRAM KEGIATAN PEMBANGUNAN PERTANIAN PROVINSI SULAWESI TENGAH SELASA, 01 MARET 2011 ASSALAMU ALAIKUM WAR,

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model

PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model PEMODELAN SISTEM Konfigurasi Model Rekayasa sistem kelembagaan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda,

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2007 Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian Oleh : Sahat M. Pasaribu Bambang Sayaza Jefferson Situmorang Wahyuning K. Sejati Adi Setyanto Juni Hestina PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN 111 BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN Sekalipun pelaksanaan P2FM-BLPS di Kabupaten Bogor mengalami berbagai kendala, namun program tersebut sangat mendukung kebijakan pemberdayaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEMBATA, Menimbang : a. bahwa usaha mikro, kecil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penduduk miskin di Indonesia berjumlah 28,55 juta jiwa dan 17,92 juta jiwa diantaranya bermukim di perdesaan. Sebagian besar penduduk desa memiliki mata pencarian

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN

FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN FAKTOR FAKTOR KELEMBAGAAN DALAM EKONOMI PERTANIAN A. Lembaga dan Peranannya Lembaga: organisasi atau kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian dan agribisnis di pedesaan merupakan sumber pertumbuhan perekonomian nasional. Agribisnis pedesaan berkembang melalui partisipasi aktif petani

Lebih terperinci

penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah. 4.1.15 URUSAN WAJIB KOPERASI DAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH 4.1.15.1 KONDISI UMUM Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah atau yang sering disebut UMKM, merupakan salah satu bentuk organisasi ekonomi rakyat

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Program Pembiayaan Pertanian Dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian telah dilaksanakan banyak program pembiayaan pertanian.

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AKAR WANGI (Vetiveria zizanoides L.) MENGGUNAKAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING

KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AKAR WANGI (Vetiveria zizanoides L.) MENGGUNAKAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING KAJIAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AKAR WANGI (Vetiveria zizanoides L.) MENGGUNAKAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING Analysis Of (Vetiveria zizanoides L.) Industry Development Using Interpretative Structural

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM Kementerian Koperasi dan UKM telah melaksanakan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) agar mampu menjadi pelaku

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014

Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014 Pengarahan KISI-KISI PROGRAM PEMBANGUNAN KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2014 PEMERINTAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2013 ISU STRATEGIS, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2014 A. Isu Strategis

Lebih terperinci

Bagian Ketujuh Bidang Pengembangan Usaha Pasal 20 (1) Bidang Pengembangan Usaha mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pengkajian bahan kebijakan

Bagian Ketujuh Bidang Pengembangan Usaha Pasal 20 (1) Bidang Pengembangan Usaha mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pengkajian bahan kebijakan Bagian Ketujuh Bidang Pengembangan Usaha Pasal 20 (1) Bidang Pengembangan Usaha mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pengkajian bahan kebijakan teknis dan fasilitasi pengembangan usaha peternakan. pada

Lebih terperinci

BUPATI BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KABUPATEN BONE BOLANGO NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Percepatan pembangunan pertanian memerlukan peran penyuluh pertanian sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh mempunyai peran penting

Lebih terperinci

Analisis kelembagaan Pengembangan Agroindustri (Studi kasus kabupaten Tebo, Jambi)

Analisis kelembagaan Pengembangan Agroindustri (Studi kasus kabupaten Tebo, Jambi) Analisis kelembagaan Pengembangan Agroindustri (Studi kasus kabupaten Tebo, Jambi) Institutional Analysis of Agroindustrial Development (A Case Study at Tebo egency, Jambi) Ammar Sholahuddin Peneliti Kelembagaan

Lebih terperinci

PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN

PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN PENGEMBANGAN SDM DALAM PENGUATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK (KONTEKS PEMASARAN) Oleh: Mochamad Wekas Hudoyo Penyuluh Perikanan Madya Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan pembangunan yang berbasis desa dengan mengedepankan seluruh aspek yang terdapat di desa termasuk juga pola kegiatan pertanian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia, hal ini

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia, hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia, hal ini sesuai dengan kondisi wilayah Republik Indonesia sebagai negara agraris. Sektor pertanian memberikan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR KINERJA DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN MODEL AGROPOLITAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGRIBISNIS.

LAPORAN AKHIR KINERJA DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN MODEL AGROPOLITAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGRIBISNIS. LAPORAN AKHIR KINERJA DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN MODEL AGROPOLITAN DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN EKONOMI WILAYAH BERBASIS AGRIBISNIS Oleh : I Wayan Rusastra Hendiarto Khairina M. Noekman Wahyuning K. Sejati

Lebih terperinci

MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN VI. MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Analisis kebijakan menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade 1982).

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN Irawati, Nurdeana C, dan Heni Purwaningsih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Email : irawibiwin@gmail.com

Lebih terperinci

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA)

Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) 28 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Skim Pembiayaan Mikro Agro (SPMA) Pendahuluan Latar Belakang Peraturan Presiden (PERPRES) Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

BUPATI TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KOPERASI, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi 9 BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Sejarah Singkat Perusahaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2008, Tentang Organisasi Perangkat Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 No.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PETANIAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI

SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI SISTEM PENGEMBANGAN BUNGA HIAS DI BALI I Putu Restu Wiana 1, I.A. Mahatma Tuningrat 2,A.A.P.Agung Suryawan Wiranatha 2 Email: restuwiana@ymail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk membuat model struktural

Lebih terperinci

PANDUAN OPERASIONAL PENGEMBANGAN JEJARING USAHA KELEMBAGAAN PETANI

PANDUAN OPERASIONAL PENGEMBANGAN JEJARING USAHA KELEMBAGAAN PETANI PANDUAN OPERASIONAL PENGEMBANGAN JEJARING USAHA KELEMBAGAAN PETANI I. Pendahuluan Upaya pemberdayaan dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain: (1) pemberdayaan sumberdaya manusia (SDM) baik secara

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 82/Permentan/OT.140/8/2013 TANGGAL : 19 Agustus 2013 PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KELOMPOKTANI DAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOKTANI BAB I

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA,

Lebih terperinci