IV. KONDISI UMUM KABUPATEN MAMUJU UTARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. KONDISI UMUM KABUPATEN MAMUJU UTARA"

Transkripsi

1 22 IV. KONDISI UMUM KABUPATEN MAMUJU UTARA 4.1.Letak Geografis Kabupaten Mamuju Utara terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Barat atau pada bagian barat dari Pulau Sulawesi Ibu kota kabupaten ini terletak di Pasangkayu. Kabupaten Mamuju Utara merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Mamuju yang terletak 719 km dari Makassar. Secara geografis terletak pada posisi: Lintang Selatan Bujur Timur dari Jakarta, ( Jakarta = Bujur Timur Green Wich). Kabupaten Mamuju Utara dibatasi oleh : Utara : Kabupaten Donggala; Timur : Kabupaten Luwu Utara; Selatan : Kabupaten Mamuju; Barat : Selat Makasar. Gambar 8. Peta Batas Kecamatan Kabupaten Mamuju Utara.

2 23 Kabupaten Mamuju Utara dengan luas wilayah Ha yang secara administrasi kepemerintahan pada tahun 27 terbagi atas 11 kecamatan, terdiri dari 63 desa. Kecamatan Baras merupakan kecamatan terluas yaitu Ha atau 17,62% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Mamuju Utara, sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Pedongga yaitu 3.11 Ha (,69%). Jarak antara kecamatan dengan ibukota kabupaten yang paling jauh adalah Kecamatan Duripoku dengan ibukota Tammarunang yang berjarak sekitar 11 km dari Pasangkayu, sedangkan kecamatan yang terdekat adalah Kecamatan Pedongga yang beribukota di Malei yang berjarak sekitar 15 km dari Pasangkayu. 4.2.Penutupan Lahan Secara umum wilayah di Kabupaten Mamuju Utara di dominasi oleh penggunaan lahan untuk perkebunan yang terdiri dari perkebunan ke coklat, jeruk dan kelapa dalam. Selain untuk perkebunan seluas ha atau 43,76% dari luas wilayah kabupaten Mamuju Utara, sebagian kecil lahan digunakan untuk persawahan seluas ha atau.4%, pemukiman seluas ha atau,76%, dan sebagai lahan tambak seluas ha atau,42%. Meskipun demikian sampai saat ini masih terdapat wilayah hutan yang cukup luas, yang meliputi area seluas wilayah Kabupaten Mamuju Utara. 4.3.Penduduk Kabupaten ini berpenduduk jiwa dimana adalah laki-laki dan sisanya jiwa adalah wanita. Populasi tersebut tersebar di 4 kecamatan dengan total luas wilayah Km². Jumlah penduduk Mamuju Utara pada pada Tahun 26, 27 dan 28 berturut-turut adalah jiwa, jiwa dan jiwa (Mamuju Utara dalam Angka, 29). Jumlah penduduk mengalami peningkatan sejalan dengan waktu. Pada Tabel 7 nampak bahwa beberapa kecamatan baru dibentuk menjelang 28 karena adanya pemekaran daerah, sehingga pada Tahun 26 dan 27 tidak ada penduduknya.

3 24 Tabel 7. Jumlah Penduduk pada Setiap Kecamatan Pada Tahun dan 28 Kecamatan Tahun - Year District Sarundu Dapurang Duripoku Baras Bulu Taba Lariang Pasangkayu Tikke Raya Pedongga Bambalamotu Bambaira Sarjo Jumlah/total Secara keseluruhan, jumlah penduduk paling besar berada pada kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar jiwa. Jenis kelamin dari penduduk Mamuju Utara lebih besar laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari rasio jenis kelamin masing-masing kecamatan yang mempunyai nilai lebih dari 1. Pada Tahun 28 penduduk Mamuju Utara tertinggi berada di Kecamatan Pasangkayu yaitu sebesar jiwa, sedangkan kecamatan yang paling sedikit penduduknya adalah Kecamatan Pedongga yaitu 6 58 jiwa. Namun demikian, kecamatan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km 2. Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km 2.dengan kepadatan penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Sarjo dengan kepadatan penduduk sebesar 25,27 jiwa per km². Sementara kepadatan penduduk Kecamatan Pasangkayu sendiri sebesar 82,56 jiwa per km².

4 25 PEMBAHASAN 5.1. Interpretasi penutupan lahan Mamuju Utara tahun 21 Peta penutupan lahan bersumber dari (KLH, 21), namun pada beberapa lokasi dijumpai ketidaktepatan koreksi geometri dan deleniasi penggunaan lahan sehingga dilakukan perbaikan interpretasi pada lokasi tersebut. Beberapa ketidaktepatan kenampakan objek di citra dapat dilihat pada Gambar 9. (a) (b) (c) (d) Gambar 9. Contoh Batas Objek yang Belum Diperbaiki (merah) dan Sudah Diperbaiki (hitam) pada (a & d) Tubuh Air, (b) Kebun Campuran, (c) Hutan. Dalam interpretasi penutupan dari citra Landsat digunakan kombinasi band 543 (RGB). Kombinasi band tersebut dipilih karena memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga memudahkan untuk membedakan penutupan lahan. karakteristik kenampakan kelas penutupan lahan pada citra Landsat yang terdapat di Kabupaten Mamuju Utara disajikan pada Gambar 1.

5 26 Kc Hp Kb Mgv Kebun campuran (kc) Hutan primer (hp) Perkebunan (kb) Mangrove (mgv) Sb Ta Tg Tmb Semak belukar (sb) Tubuh air (Ta) Tegalan (Tg) Tambak/empang (Tmb) Tnb Rw Sw Pmk Tanah Terbuka (Tnb) Rawa (Rw) Sawah (Sw) Pemukiman (Pmk) Gambar 1. Kenampakan Penutupan Lahan pada Citra Landsat Kabupaten Mamuju Utara, 21. Hutan primer (Hp) memiliki pola dengan bentuk bergerombol, ukurannya luas, berwarna hijau tua sampai gelap dengan tekstur relatif kasar. Hutan primer tersusun oleh vegetasi yang rapat sehingga kanopi antar vegetasi saling menutupi dan tersusun dari vegetasi dengan ketinggian yang lebih rendah (stara kedua) yang berupa tanaman berkayu, tanaman bawah yang berupa semak belukar dan didominasi oleh pohon Gmenia, Eukaliptus. Hutan Primer merupakan jenis penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara yaitu ± 5%. (KLH, 21). Kebun campuran (Kc), dibandingkan dengan hutan, kenampakan kebun campuran pada citra Landsat lebih berwarna terang dengan tekstur relatif kasar dan polanya bergerombol atau berdekatan dengan pemukiman atau mengikuti jalur aliran sungai. Pada Kabupaten Mamuju Utara kebun campuran didominasi oleh tanaman ketapang, pisang, angsana dan coklat. Dalam kawasan kebun campuran juga dijumpai tanaman bawah yang berupa rumput dan dibeberapa lokasi nampak adanya semak belukar (KLH, 21).

6 27 Perkebunan (Kb) sawit memiliki karakter bentuk dan pola bergerombol hingga menyebar dengan tekstur halus dan berwarna hijau muda. Perkebunan sawit terletak diantara hutan dan lahan-lahan terbuka, terkadang bercampur dengan kawasan permukiman (KLH, 21). Umur kelapa sawit memberikan warna serta ukuran kanopi yang berbeda. Pada umumnya, kelapa sawit dengan umur muda memiliki kanopi lebih kecil dan berwarna hijau muda dibandingkan dengan kelapa sawit yang tua. Fenomena tersebut akan berpengaruh terhadap nilai reflektan pada citra Landsat. Tegalan/Ladang (Tg) memiliki warna terang dan tekstur kasar, pola yang menyebar, bentuk tidak beraturan. Tegalan/ladang didominasi oleh tanaman pangan seperti singkong dan jagung. Tanaman bawah pada kawasan tegalan/ladang relatif lebih jarang dan di beberapa lokasi dijumpai tanah tanpa vegetasi (KLH, 21). Rawa (Rw) memiliki pola yang tidak teratur, warna bercak gelap kebiruan. Di Kabupaten Mamuju Utara rawa berupa lahan yang sedikit tergenang dan dijumpai tanaman rawa yang berupa tanaman liar serta dijumpai tanaman lain seperti kelapa dengan jarak yang lebar (KLH, 21). Mangrove (Mgv) memiliki pola yang tidak teratur dan bergerombol, warna yang gelap kebiruan dan berada dekat pantai. Mangrove merupakan hutan bakau, nipah dan nibung yang berada disekitar pantai didominasi oleh jenis vegetasi bakau (Rhizophora sp) dan api-api (Avecinia sp). Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh diatas garis pasang dan surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Darsidi, 1986). Kondisi mangrove bervariasi antara mangrove yang masih kecil (baru ditanam), mangrove yang tua dengan kanopi yang cukup lebar dan mangrove yang telah ditebang. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman (KLH, 21). Tambak/empang (Tmb), Kenampakan tambak/empang pada citra Landsat memiliki pola berpetak-petak berwarna biru kehitaman gelap. Tambak/empang berupa petakan yang berisi air payau sebagai tempat pemeliharaan ikan, udang. Tambak/empang terletak didekat pantai karena kebutuhan suplay air laut dengan pembatasnya berupa galengan (KLH, 21).

7 28 Tubuh air (A) berwarna biru dan memiliki pola yang berkelok-kelok (meander) pada sungai. Tubuh air dominan berupa genangan kecil yang menyebar dibeberapa lokasi. Semak belukar (Sb) bentuk tidak teratur, berwarna hijau agak terang, pola teratur, terdapat diantara perkebunan dan hutan ada juga yang berbentuk spot. Semak belukar merupakan kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengn liputan pohon jarang atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (KLH, 21). Tanah terbuka (Tnb) mempunyai bentuk dan pola yang menyebar di antara hutan, semak belukar dan perkebunan dan memiliki warna merah jambu. Tanah terbuka merupakan kenampakan lahan terbuka tanpa vegetasi. Pemukiman (Pmk) memiliki pola yang rapat, tekstur halus sampai kasar, warna magenta, ungu kemerahan dan dekat dengan areal perkebunan. Pemukiman meliputi perkotaan, pedesaan dan industri. Sawah (Sw) memiliki pola yang berpetak-petak yang umumnya berada pada daerah yang datar dan rona yang gelap/tergenang. Sawah merupakan lahan pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya.

8 Penutupan Lahan Mamuju Utara Tahun 21 Kelas penutupan lahan setelah dilakukan revisi mengalami penambahan dari 9 kelas menjadi 12. Penambahan kelas penutupan lahan dan luas dari masingmasing tipe penutupan lahan sebelum dan sesudah revisi disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luas Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju, 21 Penutupan Lahan KLH (sebelum revisi) Penutupan Lahan (setelah revisi) % Nama Kode Luas (ha) Nama Kode Luas (ha) % Hutan Primer Hp ,1 5 Hutan Primer Hp Kebun Campuran Kc 6315,7 2 Kebun Campuran Kc Perkebunan Kb 56997,8 19 Perkebunan Kb Mangrove Mgv 289,5 1 Mangrove Mgv 124 Rawa Rw 128,3 1 Rawa Rw Tambak/Empang Tmb 6579,8 2 Tambak/Empang Tmb Tanah Terbuka Ta 21,1 1 Tanah Terbuka Ta 399,5 Tegalan/Ladang Tg 2198,6 7 Tegalan/Ladang Tg Tubuh Air A 2244,8 Tubuh Air A Semak Belukar Sb 27681,2 8 Sawah Sw 182 Pemukiman Pmk Jumlah , ,7 1 Penutupan lahan setelah revisi dikelompokan menjadi 12 kelas yaitu hutan primer (hp), kebun campuran (kc), mangrove (mgv), perkebunan (kb), rawa (rw), tambak/empang (tmb), tanah terbuka (ta), tegalan (tg), dan tubuh air (ta). Sedangkan penambahannya adalah semak belukar (sb), sawah (sw) dan pemukiman (pmk). Hutan primer, kebun campuran dan perkebunan memiliki urutan persentase luas penutupan lahan dalam kelompok tiga besar baik pada peta penutupan lahan sebelum revisi maupun sesudah revisi. Namun pada peta penutupan lahan sebelum revisi, dimana tegalan berada diurutan ke empat dengan persentase 7%, sedangkan penutupan lahan yang lain relatif kecil yaitu 2%. Sementara setelah revisi, semak belukar dan tegalan berada pada urutan empat dan lima yang masing-masing sebesar 8% dan 7% sedang penutupan lahan lain relatif kecil yaitu 3%.

9 3 Gambar 11. Peta Penutupan Lahan Kabupaten Mamuju Utara Tahun 21 Pada peta penutupan lahan nampak bahwa penutupan lahan hutan primer mendominasi di Kabupaten Mamuju Utara, tepatnya dibagian timur Kecamatan Dapurang, Duri Poku, Baras, Bulu Taba dan Kecamatan Bambalamotu. Penutupan lahan dominan kedua ditempati oleh perkebunan sawit yang hampir menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan di Kecamatan Pasangkayu, Pedongga dan Baras. Kebun campuran tersebar pada bagian utara dan selatan tepatnya pada Kecamatan Sarudu dan Kecamatan Bambaira. Pemukiman mendominasi pada kawasan dekat perkebunan. Namun penyebaran

10 31 mangrove hanya terdapat pada kawasan yang berapa dekat laut atau pantai. Sedangkan semak belukar dan tegalan menyebar secara acak Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang Pada Masing-Masing Penutupan Lahan di Lokasi Sampel Biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong yang bersumber dari (KLH, 21) disajikan pada tabel 9: Tabel 9. Karakteristik Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong No Koordinat X Y Sampel Kabupaten Biomassa (kg)/ha Biomassa (ton)/ha Rataan Biomassa (ton)/ha 1 13,9-2,25 Hp Paser ,3 85, ,51-1,72 Hp 1 Mamuju Utara ,8 32, ,99-8,3 Hp 2 Flores Timur , 84,39 181, 4 119,58-1,12 Hp 2 Mamuju Utara ,7 251, ,57-1,8 Hs Tabalong 92.47,6 92,5 6 13,91-1,8 Hs 1 Paser ,2 39, ,89-8,3 Hs 2 Flores Timur ,5 66,64 85, ,68-8,5 Hs 3 Flores Timur 144.8,3 144,8 9 14,1-2,14 Kb Paser ,3 134, ,38-1,3 Kb 1 Mamuju Utara , 584,5 283, ,56-2,1 Kb I Tabalong ,1 132, ,72-1,67 Kc Paser 9.196,2 9, ,66-1,79 Kc Tabalong , 125, ,23-8,3 Kc 1 Flores Timur ,4 56, ,47-1,6 Kc 1 Mamuju Utara ,3 37,78 145, ,71-8,6 Kc 2 Flores Timur ,6 17, ,39-1,16 Kc 2 Mamuju Utara , 83, ,21-1,8 Mgv Paser 5.598,2 5, ,3 Mgv 1 Flores Timur ,4 44, ,79-8,4 Mgv 2 Flores Timur ,5 135,1 72, ,29-1,45 Mgv 2 Mamuju Utara ,9 15, ,78-8,4 Rw Flores Timur ,6 21, ,36-1,19 Rw Mamuju Utara 11.79,6 11,8 12, ,25-1,81 Rw Paser 4.174, 4, ,82-1,79 Sb Paser 2.84,8 2, ,44-2,14 Sb I Tabalong 1.418,3 1,42 5, ,44-2,15 Sb II Tabalong 2.247,5 2, ,6-8,4 Svn Flores Timur 9.73,2 9,73 9, ,39-1,54 Sw Paser 4.5, 4, ,62-2,7 Sw I Tabalong 151,4,15 2, ,1-8,3 Tg Flores Timur 68.29,1 68, ,11-2,26 Tg Paser 2.136,8 2, ,56-2,1 Tg I Tabalong 18.55,5 18,51 25, ,57-2 Tg II Tabalong ,4 11,62

11 32 Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong diperoleh berdasarkan kelas penutupan lahan hutan primer, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar, dan sawah. Urutan rataan biomassa atas permukaan pada berbagai penutupan lahan dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah perkebunan dengan total rata-rata biomassa sebesar 283,6 ton/ha, hutan primer memiliki total rata-rata biomassa terbesar kedua yaitu sebesar 181, ton/ha, sedangkan kebun campuran dengan jumlah rata-rata sebesar 145, ton/ha, hutan sekunder memiliki total biomassa terbesar ke empat sebesar 85,5 ton/ha, sedangkan mangrove, tegalan, rawa, savana, semak belukar dan sawah berturut-turut adalah 72,7 ton/ha, 25,1 ton/ha, 12,2 ton/ha, 9,7 ton/ha, 5,2 ton/ha, 2,3 ton/ha. Urutan rata-rata biomassa hasil pengukuran lapang hutan primer, hutan sekunder, perkebunan dan kebun campuran memiliki jumlah estimasi biomassa dalam kelompok 4 besar dibandingkan penutupan lahan lainnya. Hal ini berkaitan dengan umur tanaman yang mempengaruhi tempat penyimpanan biomassa. Lebih Lanjut Hairiah dan Rahayu (27) mengatakan, tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan biomassa yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan biomassa tertinggi (baik diatas maupun di dalam tanah). Pada hutan, perolehan rataan biomassa di hutan primer jauh lebih besar 181 ton/ha, dibandingkan hutan sekunder 85,5 ton/ha. Hal ini serupa dengan pernyataan Kementerian Kehutanan pada laporan cadangan karbon berbagai tipe hutan, bahwa hutan primer mampu menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya sehingga memiliki kerapatan kayu yang rendah dibandingkan hutan primer. Jumlah biomassa tersimpan pada setiap penutupan lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta

12 33 cara pengelolaannya. Misalnya pada kawasan perkebunan dimana areal tersebut merupakan suatu kawasan yang intensif dalam pengelolaannya sehingga biomassa pada perkebunan relatif lebih besar dibandingkan dengan kebun campuran, tegalan, dan semak belukar. Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 27). (Rahayu, S et al., 27) menyatakan bahwa perbedaan perolehan biomassa dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi dan keragaman ukuran diameternya, dimana penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Hasil perolehan nilai kerapatan kayu untuk spesies yang ditemukan pada berbagai sistem penggunaan lahan di Kabupaten Nunukan, hutan primer mempunyai presentase spesies dengan kerapatan kayu berat hingga sangat berat sekitar 42%, hutan bekas tebangan 32%, agroforestri 11% dan jakaw 19%. Sedangkan pada keragaman ukuran diameter, keberadaan pohon dengan diameter > 3 cm pada suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total cadangan karbon. Pada hutan primer 7% dari total biomasa berasal dari pohon yang berdiameter > 3 cm, sedangkan pohon yang berdiameter antara 5-3 cm hanya sekitar 3% Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan Simpanan biomassa di pohon berbeda-beda. Biomasa terbesar sekitar (68,8-82,28) % terdapat di batang, di daun terdapat (4,17-14,44) %, di ranting terdapat (6,16-1,32) % serta (7,15-7,45) % terdapat di cabang (Widyasari 21). Simpanan Biomassa Berbagai Penutupan Lahan dalam hal ini dikelompokan menjadi 4 yaitu simpanan biomassa di kawasan hutan alam, hutan tanaman, agroforestri, dan kawasan non hutan. Pola jumlah biomassa masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.

13 Biomassa N o n H u t a n a g r o f o r e s t r y H u t a n t a n a m a n H u t a n A l a m Gambar 12. Grafik Simpanan Biomassa Atas Permukaan Pada Berbagai Penutupan Lahan yang Diperoleh dari Berbagai Sumber, seperti yang di sajikan pada Lampiran 2 s/d 5.

14 Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Alam Kawasan hutan alam terdiri dari: hutan dipterokarpa, hutan lindung, hutan sekunder bekas kebakaran hutan, hutan mangrove sekunder, hutan bekas tebangan, hutan alam primer dataran tinggi dan rendah, hutan sekunder dataran tinggi dan rendah, hutan gambut dan hutan gambut bekas tebangan. Hutan alam memiliki pola yang relatif seragam dibandingkan yang lainnya. Simpanan biomassa pada berbagai kelas penutupan lahan di hutan alam berkisar antara (78,96-528,4) ton/ha. Simpanan biomassa terendah terdapat pada hutan sekunder dataran tinggi sedangkan simpanan biomassa tertinggi terdapat pada hutan alam dipterokarpa, seperti tercantum pada Lampiran 2. Secara umum pada hutan lahan kering primer mampu menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan hutan lahan kering sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan terhadap tegakannya. Kebakaran, ekstraksi kayu, pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dan kejadian atau aktivitas lainnya di kawasan hutan yang menyebabkan berkurangnya potensi biomassa yang berindikasi langsung terhadap kemampuannya menyimpan karbon. Pola tersebut juga terjadi pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan menyimpan biomassa dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat menyimpan karbon Simpanan Biomassa pada Kawasan Hutan Tanaman Simpanan biomassa untuk berbagai jenis pohon dan umur di hutan tanaman tercantum pada Lampiran 3 yang berkisar antara 71,4 561,78 ton/ha. Dimana pola terendah terdapat pada Hutan tanaman Peronema canescensdan dan pola tertinggi terdapat pada Hutan tanaman Acacia mangium. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda. Apabila dilihat dari produktivitasnya menyimpan biomassa (persatuan luas dan per satuan waktu) maka ada kemungkinan hutan tanaman akan memiliki kemampuan menyimpan

15 36 karbon pada tegakannya dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan di hutan alam karena daurnya lebih pendek. Pada Gambar 12 terlihat bahwa pola simpanan biomassa bervariasi, hal ini disebabkan karena perbedaan umur yang bervariasi pada masing-masing jenis tanaman. Simpanan biomassa cenderung semakin besar dengan meningkatnya umur tanaman. Hutan tanaman yang memiliki simpanan biomassa yang relatif besar, umumnya terdapat pada hutan tanaman cepat tumbuh yaitu jenis tanaman Acacia dan hutan tanaman lambat tumbuh yang memiliki simpanan biomassa tinggi adalah jenis tanaman Shorea. Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan biomassa tersebut akan dipengaruhi oleh jenis vegetasi yang ditanam, kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur atau intensitas pemeliharannya. Hutan tanaman untuk jenis-jenis pohon berdaur panjang seperti kemiri, agathis, shorea rasamala dan pinus memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah relatif sama dengan tegakan yang hidup di hutan alam. Jenis pohon daur pendek dihutan tanaman yang memiliki prospek menyimpan karbon dalam jumlah besar diantaranya adalah sengon dan Acacia crassicarpa, pohon tersebut termasuk ke dalam jenis pionir dan cepat tumbuh Simpanan Biomassa pada Hutan Rakyat dan Tegakan agroforestri Simpanan biomassa pada hutan rakyat terdiri dari pohon jati, pohon Afrika (Maesopsis eminii), tanaman buah-buahan: rambutan (Nephelium lappaceum) dan non pohon (kopi (Coffea app)). Adapun beberapa tipe tegakan agroforestri adalah: agroforestri pola tegakan murni, pola kebun campuran, tipe agroforestri tanaman kopi agroforestri tegakan murni dan agroforestri kebun campuran. Kisaran biomassa pada hutan rakyat dan tegakan agroforestri sebesar (4-384,66) ton/ha. Sedangkan simpanan biomassa dominan berkisar antara (3-14) ton/ha. Nilai terendah terdapat pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran dan nilai tertinggi terdapat pada tegakan pohon Afrika (Maesopsis eminii). Hal tersebut dipengaruhi karena tegakan pada pohon yang terbentuk. Pohon afrika memiliki tegakan yang mampu menyimpan biomassa dalam jumlah yang banyak dibandingkan pada tanaman kopi agroforestri kebun campuran.

16 Simpanan Biomassa pada Kawasan Non Hutan Simpanan biomassa kawasan non hutan pada berbagai jenis tanaman dan umur berkisar antara (12 533,28) ton/ha seperti tercantum pada Lampiran 5. Sedangkan simpanan biomassa dominan berkisar antara (2-2) ton/ha. Adapun tipe kawasan non hutan diantaranya: savana/padang rumput, semak belukar, agroforestry, hutan kota, dan ruang terbuka hijau. Kemampuan penyimpan biomassa dapat juga terjadi diluar kawasan hutan pada beberapa pemanfaatan lahan yang terdapat berbagai tumbuhan. Savana atau padang rumput dan semak belukar memiliki keterbatasan dalam menyimpan karbon terendah yaitu sebesar 12 ton/ha, sementara untuk hutan kota dan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh tumbuhan berupa pepohonan kemampuan menyimpan karbonnya lebih tinggi bahkan hampir sama dengan kawasan hutan lahan yaitu sebesar 533,28 ton/ha Indeks Vegetasi Pada Berbagai Penutupan Lahan di Lokasi sampel Penyebaran titik sampel lapang pada berbagai penutupan lahan di Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser, dan Tabalong disajikan pada Gambar 14, sedangkan perolehan nilai indeks vegetasi pada lokasi sampel di setiap penutupan lahan masing-masing indeks vegetasi dapat dilihat pada Tabel 1, dan Grafik kisaran nilai indeks vegetasi pada masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai Indeks Vegetasi 2, 18, 16, 14, 12, 1, 8, 6, 4, 2,, Hp Hs Kb Kc Mgv Rw Sb Svn Sw Tg TRVI median 2,29 2,5 1,94 2,11 2,5 1,78 1,53 1,92 1,52 1,67 TRVI rata-rata 2,31 2,6 1,96 2,14 2,7 1,82 1,53 1,96 1,54 1,7 RVI median 5,28 4,38 3,91 4,64 4,47 3,33 2,34 3,75 2,34 2,88 RVI rata-rata 5,39 4,42 3,96 4,74 4,55 3,44 2,35 3,92 2,39 2,94 TNDVI median 1,8 1,4 1,3 1,5 1,3,98,95 1,4,95,98 TNDVI rata-rata 1,8 1,4 1,3 1,5 1,3,98,95 1,4,95,98 NDVI median,66,59,56,61,52,49,4,57,4,45 NDVI rata-rata,67,58,56,62,53,54,4,57,42,46 Penutupan Lahan Gambar 12. Grafik Kisaran Nilai Indeks Vegetasi Masing-Masing Penutupan Lahan Pada Indeks Vegetasi NDVI, TNDVI, RVI dan TRVI

17 38 Pada masing-masing indeks vegetasi diperoleh dua parameter statistik dengan menghitung nilai rata-rata dan median, dimana nilai rata-rata tersebut diperoleh dari pembagian jumlah nilai digital number pada citra dengan banyaknya nilai digital number pada citra. Sementara median diperoleh dari nilai tengah digital number setelah nilai tersebut diurutkan. Peroleh nilai rata-rata dan median pada 1 penutupan lahan dari masingmasing indeks vegetasi bervariasi. Pada umumnya nilai rata-rata dan median dari masing-masing indeks vegetasi berbeda, fenomena tersebut dapat dilihat dari NDVI, RVI dan TRVI. Namun pada TNDVI perolehan nilai baik pada rata-rata maupun median relatif sama. Perbedaan perolehan antara rata-rata dan median pada perhitungan disebabkan karena nilai spektral masing-masing transformasi indeks vegetasi yang bervariatif. Kisaran nilai indeks vegetasi berbagai penutupan lahan masing-masing indeks vegetasi bervariasi, dimana kisaran masing-masing nilai indeks vegetasi pada rata-rata dan median yaitu NDVI (,4-,67), TNDVI (,95-1,8), RVI (2,34-5,39), dan TRVI (1,52-2,31). Pada masing-masing indeks vegetasi perolehan nilai terbesar ditempati oleh penutupan lahan hutan primer, sedangkan perolehan nilai terendah terdapat pada penutupan lahan sawah, yang artinya semakin besar nilai indeks vegetasi yang diperoleh mengindikasikan adanya vegetasi yang berumur tua dengan vegetasi yang lebat dan kondisi tanaman yang sehat, sehingga perolehan nilai reflektannya besar karena tingginya kandungan klorofil pada tanaman tersebut. Sedangkan perolehan nilai yang relatif kecil mengindikasikan bahwa vegetasi tersebut berumur relatif muda dengan vegetasi yang jarang serta kenampakan objek tersebut didominasi adanya genangan air dengan kerapatan tanaman yang relatif jarang, sehingga nilai reflektan yang dihasilkan rendah karena kandungan klorofil yang sedikit. Menurut (Howard dan Lillesand & Kiefer dalam Sobirin dkk, 27) perbedaan nilai reflektan yang bervariasi selain dipengaruhi karakteristik vegetasi, seperti umur dan jenis pohon, struktur daun dan tutupan kanopi, juga dipengaruhi oleh karakter tanah dan kondisi atmosfer.

18 39 Kabupaten NDVI TNDVI RVI TRVI Flores Timur Mamuju Utara Paser Tabalong Gambar 13. Kenampakan Citra Indeks Vegetasi dan Penyebaran Titik Sampel Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong.

19 4 Tabel 1. Hasil Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasrkan Biomassa Atas Permukaan Hasil Pengukuran Lapang pada Kabupaten Flores Timur, Mamuju Utara, Paser dan Tabalong. No Koordinat Penutupan NDVI Rata-rata TNDVI Rata-rata RVI Rata-rata TRVI Rata-rata Kabupaten X Y Lahan R M R M R M R M R M R M R M R M 1 13,95-2,25 Hp Paser,51,5 1, 1, 3,1 3,6 1,76 1, ,51-1,72 Hp 1 Mamuju Utara,7,7 1,1 1,9 5,94 5,78 2,42 2,39,67,66 1,8 1,8 5,39 5, ,99-8,3 Hp 2 Flores Timur,73,73 1,11 1,11 6,53 6,43 2,56 2,54 2,31 2, ,58-1,12 Hp 2 Mamuju Utara,72,72 1,1 1,1 5,98 5,85 2,5 2, ,57-1,8 Hs Tabalong,47,47,99,98 2,81 2,77 1,67 1, ,91-1,8 Hs 1 Paser,42,43,96,96 2,51 2,48 1,58 1,57,58,59 1,4 1,4 4,42 4, ,89-8,3 Hs 2 Flores Timur,73,73 1,11 1,11 6,53 6,43 2,56 2,54 2,6 2, ,68-8,5 Hs 3 Flores Timur,71,71 1,1 1,1 5,84 5,83 2,42 2, ,1-2,14 Kb Paser,5,49 1, 1, 2,99 2,97 1,73 1, ,38-1,3 Kb 1 Mamuju Utara,71,71,56,56 1,1 1,1 1,3 1,3 6,1 5,93 3,96 3,91 2,45 2,43 1,96 1, ,56-2,1 Kb I Tabalong,48,47,99,98 2,87 2,82 1,69 1, ,72 1,67 Kc Paser,44,43,97,97 2,6 2,56 1,61 1, ,66-1,79 Kc Tabalong,47,46,98,98 2,76 2,73 1,66 1, ,23-8,3 Kc 1 Flores Timur,64,63 1,7 1,6 4,64 4,55 2,15 2,12,62,61 1,5 1,5 4,74 4, ,47-1,6 Kc 1 Mamuju Utara,7,69 1,9 1,9 5,87 5,73 2,41 2,38 2,14 2, ,71-8,6 Kc 2 Flores Timur,72,72 1,1 1,1 6,2 6,13 2,49 2, ,39-1,16 Kc 2 Mamuju Utara,72,71 1,1 1,1 6,37 6,14 2,5 2, ,21-1,8 Mgv Paser,24,21,85,84 1,79 1,71 1,31 1, ,3 Mgv 1 Flores Timur,53,54 1,1 1,1 5,8 5,73 2,4 2,39,53,52 1,3 1,3 4,55 4, ,79-8,4 Mgv 2 Flores Timur,63,63 1,6 1,6 4,64 4,58 2,14 2,13 2,7 2, ,29-1,45 Mgv 2 Mamuju Utara,71,7 1,1 1,1 5,98 5,85 2,44 2, ,78-8,4 Rw Flores Timur,51,49,94,94 3,64 3,48 1,86 1, ,36-1,19 Rw Mamuju Utara,61,59,54,49 1,5 1,5,98,98 4,41 4,26 3,44 3,33 2,8 2,4 1,82 1, ,25-1,81 Rw Paser,49,38,94,94 2,28 2,25 1,51 1, ,82-1,79 Sb Paser,39,38,94,94 2,27 2,25 1,51 1, ,44-2,14 Sb I Tabalong,43,43,4,4,96,96,95,95 2,49 2,48 2,35 2,34 1,58 1,58 1,53 1, ,44-2,15 Sb II Tabalong,39,39,94,94 2,29 2,28 1,51 1, ,6-8,4 Svn Flores Timur,57,56,57,57 1,4 1,3 1,4 1,4 3,92 3,75 3,92 3,75 1,96 1,92 1,96 1, ,39-1,54 Sw Paser,4,39,94,95 2,41 2,34 1,54 1,52,42,4,95,95 2,39 2, ,62-2,7 Sw I Tabalong,44,43,95,95 2,36 2,33 1,53 1,52 1,54 1, ,1-8,3 Tg Flores Timur,62,61 1,6 1,6 4,41 4,29 2,9 2, ,11-2,26 Tg Paser,35,34,92,92 2,14 2,9 1,46 1,44,46,45,98,98 2,94 2, ,56-2,1 Tg I Tabalong,44,43,97,97 2,62 2,57 1,62 1,6 1,7 1, ,57-2 Tg II Tabalong,44,43,97,97 2,6 2,55 1,61 1,59

20 Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan pada Vegetasi Alami dan Non Alami Tipe penutupan lahan yang digunakan untuk membangun model hubungan antara biomassa atas permukaan dengan indeks vegetasi dibedakan menjadi dua kelompok yaitu vegetasi alami dan non alami. Tipe penutupan lahan vegetasi alami merupakan tipe penutupan lahan yang terbentuk secara alamiah dan sedikit akan campur tangan manusia serta proses ekologi tersebut tidak terganggu secara signifikan. Tipe penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara yang termasuk vegetasi alami dibagi menjadi 3 kelas, yaitu hutan primer, mangrove, dan semak belukar. Tipe penutupan lahan non alami merupakan tipe penutupan yang terbentuk karena adanya campur tangan manusia. Tipe penutupan lahan pada vegetasi non alami di Kabupaten Mamuju Utara adalah perkebunan, kebun campuran, tegalan dan sawah. Berdasarkan pengukuran biomassa lapang dan nilai spektral dari indeks vegetasi (Tabel 1), diturunkan persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara parameter-parameter tersebut. Hasil penelitian menunjukan korelasi positif antara keempat indeks vegetasi dengan pengukuran biomassa lapang. Pada masing-masing Gambar menunjukan peningkatan biomassa tanaman yang di gambarkan dalam persamaan polinomial dan logaritmik. Hubungan biomassa atas permukaan hasil pengukuran lapang dengan indeks vegetasi pada vegetasi alami disajikan pada Gambar 15 dan 16, sedangkan pada vegetasi non alami disajikan pada Gambar 17 dan 18.

21 Polinomial y = -199,4x ,3x - 115,1 R² =,69,2,4,6,8 (a) Logaritmik y = 71,75ln(x) - 29,99 R² =, (c) Polinomial y = -649,7x ,x R² =,513 (b) Logaritmik y = 142,4ln(x) - 28,85 R² =,476 Gambar 14.Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Alami ,5 1 1, (d) Logaritmik y = 95,13ln(x) + 97,9 R² =,638,2,4,6,8 (c) Logaritmik y = 313,5ln(x) + 31, R² =,58 Gambar 15. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Rata-Rata Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Non Alami ,5 1 1,5 ) (a) (b) 7 Logaritmik Logaritmik y = 371,4ln(x) - 265,2 y = 759,1ln(x) - 27,5 R² =,492 R² =, (d)

22 Polinomial y = -9,65x ,2x - 82,3 R² =,594 (c) Polinomial y = -268,4x ,3x R² =,52-5,2,4,6,8,5 1 1,5-5 ) (a) (b) 16 Logaritmik 16 Logaritmik y = 71,56ln(x) - 28,74 y = 141,8ln(x) - 27,45 R² =,478 R² =, Indeka vegetasi (d) Gambar 16. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Alami Logaritmik y = 93,3ln(x) + 97,71 R² =,644,2,4,6,8 (c) Gambar 18. Hubungan Biomassa Atas Permukaan dengan Median Indeks Vegetasi (a) NDVI, (b) TNDVI, (c) RVI, (d) TRVI pada Vegetasi Non Alami Logaritmik y = 313,4ln(x) + 32,65 R² =,59 ) (a) (b) 7 Logaritmik 7 y = 378,7ln(x) - 265,6 R² =, ,5 1 1,5 Logaritmik y = 775,8ln(x) - 271,2 R² =, (d)

23 44 Hasil estimasi biomassa dengan persamaan empirik yang dihasilkan cukup menunjukan keadaan sesungguhnya di lapang. Hal ini dibuktikan dengan nilai korelasi pada masing-masing persamaan yang terbentuk. Hubungan antara indeks vegetasi dengan biomassa umumnya linear, dan berdasarkan nilai koefisien determinasinya model polinomial dan logaritmik adalah yang terbaik dengan nilai R²=,6. Nilai R² merupakan nilai yang menunjukan tingkat korelasi antara variabel yang dihubungkan, dalam hal ini indeks vegetasi dan biomassa. Dengan demikian, semakin besar nilai R² menunjukan bahwa korelasi antara indeks veggetasi dengan biomassa semakin baik. (Young, 1982 dalam Sulaiman, 22) menyatakan bahwa jika nilai koefisien R²,4 menunjukkan hubungan yang kuat. Adapun nilai R² diperoleh dari hubungan antara indeks vegetasi rata-rata, median dengan biomassa pada penutupan lahan alami dan rata-rata, median pada penutupan lahan non alami. Nilai R² masing-masing dinyatakan dalam Tabel 11 Tabel 11. Persamaan Regresi dan Koefisien Determinasi Masing-Masing Indeks Vegetasi pada Penutupan Lahan Alami dan Non Alami. Tipe Hubungan Persamaan R² Biomassa-NDVI(rata-rata) y = -199,4x ,3x - 115,1,69 Biomassa-NDVI(median) y = -9,65x ,2x - 82,3,594 Biomassa-TNDVI(rata-rata) y = -649,7x ,x 115,513 Alami Biomassa-TNDVI(median) y = -268,4x ,3x 616,52 Biomassa-RVI(rata-rata) y = 71,75ln(x) - 29,99,477 Biomassa-RVI(median) y = 71,56ln(x) - 28,74,478 Biomassa-TRVI(rata-rata) y = 142,4ln(x) - 28,85,476 Biomassa-TRVI(median) y = 141,8ln(x) - 27,45,477 Biomassa-NDVI(rata-rata) y = 95,13ln(x) + 97,9,638 Biomassa-NDVI(median) y = 93,3ln(x) + 97,71,644 Biomassa-TNDVI(rata-rata) y = 313,5ln(x) + 31,,58 Non Biomassa-TNDVI(median) y = 313,4ln(x) + 32,65,59 alami Biomassa-RVI(rata-rata) y = 371,4ln(x) - 265,2,492 Biomassa-RVI(median) y = 378,7ln(x) - 265,6,57 Biomassa-TRVI(rata-rata) y = 759,1ln(x) - 27,5,57 Biomassa-TRVI(median) y = 775,8ln(x) - 271,2,524 Pada Gambar 15, 16, 17, 18, dan Tabel 11 terlihat jelas bahwa indeks vegetasi NDVI pada penutupan lahan alami dan non alami merupakan indeks vegetasi yang paling baik untuk mengestimasi biomassa. Nilai R² sebesar,6 menunjukan bahwa persamaan tersebut dapat menggambarkan 6% hubungan antara nilai spektral indeks vegetasi dengan biomassa. Dari 16 model regresi yang

24 45 diperoleh, dipilih 2 model regresi dengan perincian 1 model yang mewakili vegetasi alami dan 1 model vegetasi non alami untuk masing-masing indeks vegetasi. Masing-masing persamaan regresi yang terpilih dari penutupan lahan alami R²=,69 dan y = -199,4x ,3x - 115,1, dan pada penutupan lahan non alami R²=,644 dan y = 93,3ln(x) + 97,71. Masing-masing model yang terpilih tersebut digunakan untuk mengestimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara berdasarkan penutupan lahannya. Dimana rentang nilai indeks vegetasi pada persamaan tersebut dapat dilihat pada Gambar Polinomial y = -199,4x ,3x - 115,1 R² =,69,2,4,6,8 (a) Gambar 19. Kurva Biomassa dengan Indeks Vegetasi NDVI (a) Penutupan Lahan Alami, (b) Penutupan Lahan Non Alami Logaritmik y = 95,13ln(x) + 97,9 R² =,638,2,4,6,8 (b) Pada umumnya hubungan antara biomassa dan indeks vegetasi membentuk kurva seperti yang dilihat pada Gambar 21, dengan data lapang berupa satu jenis tanaman yang sama dan berbagai umur. Seperti yang telah dilakukan penelitian sebelumnya, dimana (Ardiansyah et al., 25) memperoleh hubungan antara indeks NDVI dengan biomassa tegakan bersifat non-linear dan berdasarkan nilai koefisien determinasinya model power dan eksponensial adalah yang terbaik untuk kedua tegakan Acacia mangium dan crassicarpa. Pada penelitian ini model logaritmik dan polinomial adalah yang terbaik untuk memperoleh bentuk kurva tersebut, namun kurva yang diperoleh belum terbentuk secara sempurna. Hal ini kemungkinan dikarenakan sampel data lapang yang diperoleh tidak satu jenis tanaman dan data yang digunakan kurang kompleks dan bervariasi. Oleh karena itu kurva yang diperoleh hanya berlaku untuk kisaran nilai antara,24-,73. Bila diperoleh NDVI <,24 akan diasumsikan dengan nilai,24. Demikian juga untuk

25 46 nilai >,73 akan diasumsikan dengan nilai,73. Hal ini digunakan untuk menghindari estimasi yang under atau over estimate. NDVI NDVI Umur Biomassa Gambar 2. Kurva Hubungan NDVI dengan Umur Tanaman 5.7. Implementasi Penggunaan Model Terpilih Untuk Estimasi Biomassa Atas Permukaan Pada Kabupaten Mamuju Utara Penggunaan model regresi yang terpilih untuk estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara diawali dengan pemilihan sampel nilai indeks vegetasi berdasarkan warna dan pola (Lampiran 1) pada masing-masing penutupan lahan. Adapun pengambilan sampel unit indeks vegetasi pada citra dengan ukuran (1x1) pixel, sehingga diperoleh satu nilai yang digunakan untuk menghitung mengestimasi biomassa. Nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perhitungan Indeks Vegetasi Berdasarkan Penutupan Lahan di Kabupaten Mamuju Utara. Tipe Penutupan Lahan Alami Non alami NDVI Penutupan Lahan Ratarata Median Hutan primer,71 - Mangrove,58 - Semak belukar,41 - Perkebunan -,71 Kebun campuran -,7 Tegalan -,61 Sawah -,34

26 47 Perolehan nilai pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa pada penutupan lahan alami nilai terbesar berturut-turut pada masing-masing indeks vegetasi adalah hutan primer, mangrove dan semak belukar. Semak belukar memiliki nilai terendah dibandingkan hutan dan mangrove, hal ini disebabkan karena nilai reflektan pada citra mengindikasikan vegetasi lahan tersebut relatif jarang atau tidak selebat hutan primer dan mangrove. Perhitungan estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara pada penutupan lahan alami dan non alami dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perhitungan Estimasi Biomassa pada Penutupan Lahan Alami dan Non Indeks vegetasi Alami di Kabupaten Mamuju Utara. Penggunaan Lahan Rata- Rata R² Persamaan Regresi Total biomassa (ton/ha) ALAMI NDVI Hutan primer,71 y = -199,4x ,3x - 115,1 14,1 Mangrove,58,69 79, Semak belukar,41 36, NON ALAMI Median R² NDVI Perkebunan,71 66,1 Kebun campuran,7 65,1,644 y = 93,3ln(x) + 97,71 Tegalan,61 52,1 Sawah,37 5,6

27 Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami dan Non Alami Pada sub bab ini menjelaskan jumlah estimasi biomassa atas permukaan di Kabupaten Mamuju Utara berdasarkan tipe penutupan lahan pada vegetasi alami dan non alami. Jumlah estimasi biomassa atas permukaan pada vegetasi alami disajikan pada Gambar 19 dan pada vegetasi non alami disajikan pada Gambar 2. 12, 1, 8, 6, 4, 2,, Hutan primer Mangrove Semak belukar NDVI 14,1 79, 36, Penutupan Lahan Alami Gambar 21. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Penutupan Lahan Pada Vegetasi Alami. Estimasi biomassa atas permukaan pada penutupan lahan alami secara keseluruhan, nampak bahwa hutan primer memiliki kisaran total etimasi biomassa terbesar yaitu 14,1 ton/ha, lalu disusul oleh penutupan lahan mangrove 79, ton/ha dan jumlah estimasi biomassa terendah terdapat pada penutupan lahan semak belukar 36, ton/ha. Jumlah estimasi biomassa terbesar pada hutan primer disebabkan karena hutan primer memiliki kerapatan kayu yang lebih besar dibandingkan mangrove dan semak belukar. Jenis vegetasi hutan primer di Kabupaten Mamuju Utara terdiri dari tanaman Gmelina, Eukaliptus, coklat, durian, gamal dan meranti. Perolehan biomassa pada hutan primer pada beberapa penelitian bervariasi, antara lain: Dharmawan (21) memperoleh biomassa hutan primer dataran tinggi di wilayah Gunung Gede Pangrango Seksi Wilayah Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat dengan metode persamaan allometrik biomasa di atas permukaan tanah dengan Y =.1728 (DBH) 2,2234 dan nilai DBH 5,6 119, cm sebesar 26,32 ton/ha. Hendrayana (211) memperoleh biomassa hutan alam di kawasan wisata alam

28 49 Ciwidey sebesar 726,64 ton/ha. Siahaan (29) memperoleh biomassa jenis tanaman Eukaliptus pada umur 1-5 tahun melalui model penduga simpanan karbon teruji B = 288,4315 x D 1,94 sebesar 12,57 ton/ha. Estimasi biomassa yang diperoleh pada penelitian ini memiliki jumlah biomassa yang mendekati biomassa tanaman Eukaliptus pada umur 1-5 tahun. Vegetasi mangrove di Kabupaten Mamuju Utara dominasi oleh jenis vegetasi bakau (Rhizopora) dan api-api (Avecinia). Dharmawan dan Siregar (29), memperoleh biomassa pada hutan mangrove sekunder melalui metode Metode destructive sampling pada tegakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata di BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Jawa Barat dengan nilai DBH 5,5 35,5 cm, persamaan allometrik biomasa di atas permukaan tanah Y =.264 (DBH) 2,34 sebesar (18,2 365,) ton/ha. Dalam Dharmawan dan Chairil (28) menyebutkan bahwa hutan mangrove memiliki potensial kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha. Penelitian yang dilakukan oleh Bismarket et al., (28) yang dilakukan di hutan mangrove Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat, biomassa atas permukaan yang terdiri dari R. Apiculata, dan jenis B. Gymnorrhiza cukup rendah yaitu sebesar 49,13 ton/ha. Hasil penelitian Wulansari (28) menunjukan bahwa nilai biomassa pada hutan mangrove sebesar 261,74 ton/ha. Perolehan biomassa mangrove dari beberapa peneliti relatif besar dari hasil estimasi pada penelitian ini, adapun peolehan nilai yang mendekati hasil penelitian ini yaitu pada mangrove dengan jenis R. Apiculata, dan jenis B. Gymnorrhiza. Pada citra Landsat semak belukar mengindikasikan tanaman yang relatif memiliki kerapatan yang jarang yang umumnya berupa kawasan bekas lahan kering yang telah tumbuh kembali dengan dominasi vegetasi rendah sehingga perolehan biomassanya pun relatif lebih kecil 36, ton/ha, dibandingkan hutan primer dan mangrove. Dalam penelitian yang dihasilkan oleh Sofiyuddin (27) diketahui bahwa biomassa untuk semak belukar berkisar antara (4,58-59,8) ton/ha. Prasetyo (2) dalam Muzahid (28) memperoleh biomassa semak belukar yang berada di Jambi yaitu sebesar 3 ton/ha. Sementara Lusiana (25) dalam Muzahid (28) memperoleh biomassa semak belukar yang berada di Kabupaten

29 5 Nunukan sebesar 35 ton/ha. Sehingga perolehan estimasi biomassa pada semak belukar mendekati perolehan biomassa pada hasil penelitian Muzahid (28). 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1,, Perkebunan Kebun campuran Tegalan Sawah NDVI 66,1 65,1 52,1 5,6 Penutupan Lahan Non Alami Gambar 22. Grafik Jumlah Estimasi Biomassa Atas Permukaan Berdasarkan Penutupan Lahan Pada Vegetasi Non Alami. Kisaran estimasi biomassa atas permukaan pada penutupan lahan non alami secara keseluruhan, nampak bahwa perkebunan memiliki jumlah estimasi biomassa terbesar yaitu 66,1 ton/ha, lalu disusul oleh penutupan lahan kebun campuran 65,1 ton/ha, tegalan 52,1 kg/ha dan kisaran total estimasi biomassa terendah terdapat pada penutupan lahan sawah yaitu 5,6 ton/ha. Perolehan nilai estimasi terbesar pada perkebunan dan kebun campuran relatif lebih besar dibandingkan tegalan dan sawah dan tidak jauh berbeda. Dalam hal ini perkebunan dan kebun campuran merupakan jenis tanaman tahunan yang pada umumnya memiliki kerapatan pohon yang lebih besar dibandingkan tegalan dan sawah yang merupakan jenis tanaman semusim. Hairiah dan Rahayu (27) mengatakan, tanaman atau pohon berumur panjang merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan biomassa yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Perkebunan di Kabupaten Mamuju Utara didominasi oleh tanaman sawit. Tomich et al (1998) dalam Asyisanti (24) memperoleh biomassa sawit dengan umur 2 tahun di Kabupaten Nunukan, Kaltim sebesar 182 ton/ha. Hasil estimasi dengan menggunakan NDVI relatif lebih rendah dari hasil penelitian Asyisanti (24), dimana perbedaan tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan

30 51 umur. Dalam hal ini biomassa sawit yang lebih rendah mengindikasikan umur yang masih muda. Kebun campuran di Kabupaten Mamuju Utara dominasi tanaman (ketapang, pisang, sasuar, angsana, pinang, dan kelapa). Perolehan biomassa melalui NDVI memiliki nilai biomassa pada kisaran nilai yang relatif tidak jauh berbeda pada beberapa penelitian lain. Yuli (23) memperoleh biomassa kebun campuran pada umur 15, 2, 25, 3, 35, 38, 4, 5 dan 55 yang masing-masing memperoleh biomassa (4,66; 64,86; 67,54; 66,8; 179,32; 199,82; 185,56; 445,16; 14,3) ton/ha. Sorel (27) memperoleh biomassa kebun campuran pada tanaman (kemiri, durian, cengkeh, kayu manis dan alpukat) di Kabupaten Limapuluh Kota, Sulawesi Barat sebesar 198 ton/ha. Tegalan di Kabupaten Mamuju Utara dominasi tanaman palawija, seperti (jagung, singkong, ubi). Sitompul (23) memperoleh biomassa total tanaman jagung dan kedelai pada 45 hst sebesar 35,3 ton/ha dan 32 ton/ha. Sehingga perolehan estimasi biomassa pada tanaman palawija masih terdapat pada rentang nilai biomassa yang relatif tidak jauh. Sedangkan penutupan lahan sawah didominasi oleh tanaman padi, dimana perolehan estimasi biomassa pada padi relatif lebih rendah dibandingkan penutupan lahan non alami lainnya. Hal ini disebabkan karena padi memiliki tegakan yang relatif kecil. Rahayu et al (25) memperoleh biomassa pada sistem rotasi padi dataran tinggi sebesar 4,8 ton/ha.

HUBUNGAN BIOMASSA PENUTUP LAHAN DENGAN INDEKS VEGETASI DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT

HUBUNGAN BIOMASSA PENUTUP LAHAN DENGAN INDEKS VEGETASI DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT HUBUNGAN BIOMASSA PENUTUP LAHAN DENGAN INDEKS VEGETASI DI KABUPATEN MAMUJU UTARA, SULAWESI BARAT (Relationship Between Land Cover Biomass and Vegetation Indices in North Mamuju Regency, West Sulawesi)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perhitungan indeks vegetasi berdasarkan hasil intepretasi penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara. NDVI Ratarata.

Lampiran 1. Perhitungan indeks vegetasi berdasarkan hasil intepretasi penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara. NDVI Ratarata. LAMPIRAN 57 58 Lampiran 1. Perhitungan indeks vegetasi berdasarkan hasil intepretasi penutupan lahan di Kabupaten Mamuju Utara. Penutupan Lahan NDVI Ratarata Median Warna di Citra Hp gelap 0,70 sedang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tutupan Lahan dan Vegetasi Terdapat 6 jenis tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang ada dalam Tabel 4. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B Tabel 5 Matriks Transformed Divergence (TD) 25 klaster dengan klasifikasi tidak terbimbing 35 36 4.1.2 Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan

Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan Lampiran A. Kriteria (Deskripsi) Kelas Tutupan Hutan Penggunaan Lahan No. Kelas 1 Hutan lahan kering primer dataran rendah 2 Hutan lahan kering primer pegunungan rendah 3 Hutan lahan kering sekunder dataran

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

benar sebesar 30,8%, sehingga harus dilakukan kembali pengelompokkan untuk mendapatkan hasil proporsi objek tutupan lahan yang lebih baik lagi. Pada pengelompokkan keempat, didapat 7 tutupan lahan. Perkebunan

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU

TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU TUGAS TERSTRUKTUR I ANALISIS LANDSKAP TERPADU Kelas C Oleh : Ayu Sulistya Kusumaningtyas 115040201111013 Dwi Ratnasari 115040207111011 Fefri Nurlaili Agustin 115040201111105 Fitri Wahyuni 115040213111050

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN IV. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 4.1. Identifikasi Penggunaan Lahan Identifikasi penggunaan lahan di Citra Lansat dilakukan dengan membuat contoh (training area) penggunaan lahan yang mewakili tiap kelas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004

Tabel 11. Klasifikasi Penutupan Lahan Data Citra Landsat 7 ETM, Maret 2004 53 5.1.3 Klasifikasi Penutupan Lahan Klasifikasi data Citra Landsat dilakukan untuk pengelompokan penutupan lahan pada tahun 2004. Metode yang dipergunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification).

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011 di beberapa penutupan lahan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Gambar 1). Pengolahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 di Laboratorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013. 30 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pekon Gunung Kemala Krui Kabupaten Lampung Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.. Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Setiap obyek yang terdapat dalam citra memiliki kenampakan karakteristik yang khas sehingga obyek-obyek tersebut dapat diinterpretasi dengan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. DAS ini memiliki panjang sungai utama sepanjang 124,1 km, dengan luas total area sebesar

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di kebun kelapa sawit Panai Jaya PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif karena penelitian ini hanya

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif karena penelitian ini hanya BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif karena penelitian ini hanya memberikan deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH V. GAMBARAN UMUM WILAYAH 5.1. Kondisi Geografis Luas wilayah Kota Bogor tercatat 11.850 Ha atau 0,27 persen dari luas Propinsi Jawa Barat. Secara administrasi, Kota Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, yaitu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sulawesi barat. Kabupaten Mamuju memiliki luas Ha Secara administrasi,

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sulawesi barat. Kabupaten Mamuju memiliki luas Ha Secara administrasi, IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak Geografi Daerah Wilayah Kabupaten Mamuju merupakan daerah yang terluas di Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis Kabupaten Mamuju terletak di posisi : 00

Lebih terperinci

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) 4. Penghitungan dinamika karbon di tingkat bentang lahan Ekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Parakasak Kondisi tutupan lahan Gunung Parakasak didominasi oleh kebun campuran. Selain kebun campuran juga terdapat sawah dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan

PENDAHULUAN. hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan yang luas diberbagai benua di bumi menyebabkan karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan terlepas

Lebih terperinci

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama

Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama IDENTIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT THEMATIC MAPPER Ipin Saripin 1 Penggunaan data informasi penginderaan jauh terutama foto udara dianggap paling baik sampai saat ini karena

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT 8 (Studi Kasus : Sub Das Brantas Bagian Hulu, Kota Batu) Oleh : Aning Prastiwi

Lebih terperinci

5. SIMPULAN DAN SARAN

5. SIMPULAN DAN SARAN 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH ALOS AVNIR UNTUK PEMANTAUAN LIPUTAN LAHAN KECAMATAN Wiweka Peneliti Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Dosen Teknik Informatika, FTMIPA, Universitas Indraprasta

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis 3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Penelitian dilakukan di dua kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi. Fokus area penelitian adalah ekosistem transisi meliputi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur 26 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Sukaraja tahun 2006-2009 disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 8. Tabel

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang 43 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Umum Kecamatan Sragi a. Letak Geografis Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang ada di

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dijelaskan mengenai data dan langkah-langkah pengolahan datanya. Data yang digunakan meliputi karakteristik data land use dan land cover tahun 2005 dan tahun 2010.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, Halaman 301-308 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose KAJIAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE MENGGUNAKAN METODE NDVI CITRA LANDSAT

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografi Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105,14 sampai dengan 105,45 Bujur Timur dan 5,15 sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan karbon oleh hutan dilakukan melalui proses fotosintesis. Pada proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang penting untuk kehidupan manusia karena hutan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan. Fungsi lingkungan dari hutan salah

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian dari ekosistem alam sebagai assosiasi flora fauna yang didominasi oleh tumbuhan berkayu yang menempati areal yang sangat luas sehingga menciptakan

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG

ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG ANALISIS PERUBAHAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN GUNUNG PADANG KOTA PADANG Rina Sukesi 1, Dedi Hermon 2, Endah Purwaningsih 2 Program Studi Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

Luas dan Penggunaan Lahan Kabupaten Mamuju Tahun 2014

Luas dan Penggunaan Lahan Kabupaten Mamuju Tahun 2014 Luas dan Penggunaan Lahan Kabupaten Mamuju Tahun 2014 Nomor Katalog : 3311021.7604 Nomor Publikasi : 76043.1501 Ukuran Publikasi Jumlah Halaman Naskah Gambar Kulit Diterbitkan Oleh : 21,5 cm x 28,5 cm

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa TINJAUAN PUSTAKA Produksi Biomassa dan Karbon Tanaman selama masa hidupnya membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan?

3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? 3. Bagaimana cara mengukur karbon tersimpan? Mengukur jumlah C tersimpan di hutan dan lahan pertanian cukup mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Landsat Berdasarkan hasil interpretasi visual citra Landsat didapatkan beberapa kelas penggunaan lahan yaitu badan air

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

4.1. Letak dan Luas Wilayah

4.1. Letak dan Luas Wilayah 4.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Lamandau merupakan salah satu Kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Kotawaringin Barat. Secara geografis Kabupaten Lamandau terletak pada 1 9-3 36 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

Katalog BPS : 5201.004 2014 STATISTIK PENGGUNAAN LAHAN Provinsi Sulawesi Selatan BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan

Lebih terperinci

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

Gambar 1. Lahan pertanian intensif 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Penggunaan Lahan Seluruh tipe penggunaan lahan yang merupakan objek penelitian berada di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB - Bogor. Deskripsi

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2013 sampai dengan Desember 2013. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN LARIANG DALAM WILAYAH KABUPATEN MAMUJU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN LARIANG DALAM WILAYAH KABUPATEN MAMUJU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMUJU UTARA NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN KECAMATAN LARIANG DALAM WILAYAH KABUPATEN MAMUJU UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Agroforestri merupakan suatu sistem pengelolaan lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas lahan. Masalah yang sering timbul adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2017. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Perlindungan Setempat RPH Wagir BKPH Kepanjen KPH Malang.

Lebih terperinci