PEMBUATAN PADUAN Mg 2 Ni DAN MgNi 2 DENGAN METODE MECHANICAL ALLOYING DAN KARAKTERISASINYA. Oleh : RATNA PERMATA SARI G

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBUATAN PADUAN Mg 2 Ni DAN MgNi 2 DENGAN METODE MECHANICAL ALLOYING DAN KARAKTERISASINYA. Oleh : RATNA PERMATA SARI G"

Transkripsi

1 i PEMBUATAN PADUAN Mg 2 Ni DAN MgNi 2 DENGAN METODE MECHANICAL ALLOYING DAN KARAKTERISASINYA Oleh : RATNA PERMATA SARI G PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

2 ii ABSTRAK RATNA PERMATA SARI. Pembuatan Paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 dengan Metode Mechanical Alloying dan Karakterisasinya. Dibimbing oleh MUHAMMAD NUR INDRO dan ANDON INSANI. Dalam penelitian ini telah dibuat paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 dengan metode mechanical alloying dengan lima variasi durasi milling, yaitu 0,5, 5, 10, 15 dan 20 jam. Kemudian dilakukan analisa difraksi sinar-x untuk mengidentifikasi fasa - fasa, mengetahui perubahan fraksi volume dan dimensi kristalin dari fasa - fasa yang telah terbentuk pada masing-masing paduan selama proses milling. Selain itu, dilakukan pengamatan morfologi dan pengukuran dimensi partikel. Setelah itu dilakukan perbandingan karakteristik antara paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2. Setelah milling 0,5 jam, hanya terdapat fasa Mg dan Ni. Fasa Mg 2 Ni dan MgO pada pembuatan paduan Mg 2 Ni, demikian pula fasa MgNi 2 pada paduan MgNi 2 muncul setelah milling 5 jam. Fraksi volume Mg, Ni, MgO dan Mg 2 Ni yang terbentuk pada pembuatan paduan Mg 2 Ni setelah 20 jam secara berturut-turut: 0,17 %, 1,89 %, 56,05 % dan 41,89 %. Sedangkan pada pembuatan paduan MgNi 2, fraksi volume Mg, Ni, MgO dan MgNi 2 setelah milling 20 jam secara brturut-turut: 4,32 %, 70,02 %, 12,75 % dan 12,91 %. Setelah milling 20 jam, dimensi kristalin Mg 2 Ni (6,192 nm) lebih kecil dari pada dimensi kristalin MgNi 2 (15,471 nm). Dimensi partikel paduan Mg 2 Ni (50 nm) pun lebih kecil dari pada MgNi 2 (80 nm) setelah milling 20 jam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dimensi kristalin dan dimensi partikel Mg 2 Ni maupun MgNi 2 yang terbentuk setelah milling 20 jam telah mencapai orde nano.

3 iii PEMBUATAN PADUAN Mg 2 Ni DAN MgNi 2 DENGAN METODE MECHANICHAL ALLOYING DAN KARAKTERISASINYA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Oleh : RATNA PERMATA SARI G PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

4 iv Judul : Pembuatan Paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 dengan Metode Mechanical Alloying dan Karakterisasinya Nama : RATNA PERMATA SARI NRP : G Menyetujui : Pembimbing I Pembimbing II Drs. Muh. Nur Indro, M. Sc. Andon Insani, M.Eng. NIP : NIP : Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, M.S. NIP : Tanggal Lulus :

5 v RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1986 sebagai anak ke-1 dari 2 bersaudara dari pasangan Rustam Rascani dan Isnawati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Susukan 08 pagi Jakarta Timur pada tahun Pendidikan menengah pertama berhasil dilalui di SLTPN 174 Jakarta pada tahun 2000, dan pada tahun 2003 berhasil menyelesaikan pendidikan menengah tinggi dengan baik di SMUN 58 Jakarta. Pada tahun 2003, penulis berhasil diterima di Institut pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa di Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menjalani perkualiahan, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, antara lain Departemen Kastrad (Kajian Strategis dan Advokasi) Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA (BEM FMIPA) tahun serta Departemen Keilmuan Himpunan Mahasiswa Fisika (HIMAFI) pada tahun Penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Umum pada tahun serta pernah menjadi Asisten Praktikum mata kuliah Eksperimen Fisika I pada tahun Selain itu penulis juga aktif sebagai staff pengajar di beberapa Lembaga Pendidikan dan privat di Bogor dan Jakarta selama tahun

6 vi PRAKATA Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kemurahan dan anugerahnya, Sholawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Rasulullah SAW, semoga semangat Beliau tetap membakar semangat perjuangan para penerus generasi Islam hingga akhir zaman. Setelah mengalami berbagai macam halangan dan cobaan, akhirnya karya sederhana ini dapat terselesaikan. Skripsi ini berjudul Pembuatan Paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 dengan Metode Mechanical Alloying dan Karakterisasinya. Karya kecil ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari orang-orang yang mendukung penulis selama proses penelitian maupun penulisan. Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk menghaturkan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Muh. Nur Indro, M. Sc selaku pembimbing I dalam penelitian ini yang telah bersedia membimbing dan mendengarkan curahan hati penulis. 2. Ibu Andon Insani, M. Eng selaku pembimbing II dalam penelitian ini yang telah membimbing penulis di tengah kesibukkan beliau, memberikan banyak literatur, nasehat, saran dan penginapan selama penelitian. 3. Bapak Dr. Akhiruddin Maddu dan Ibu Mersi Kurniati, M. Si yang telah bersedia menjadi penguji pada seminar dan sidang saya. 4. Seluruh dosen di lingkungan Departemen Fisika IPB yang telah mentransfer ilmu dengan ikhlas dan penuh kesabaran dalam mendidik para mahasiswanya. 5. Seluruh karyawan Departemen Fisika IPB khususnya Bapak Firman atas bantuannya selama ini. 6. Bapak Sulistioso Giat, M.T atas bantuannya mengenai perizinan di BATAN. 7. Bapak Bambang dan Bapak Imam atas bantuannya pada saat karakterisasi difraksi sinar- X serta atas kesediaannya untuk berdiskusi dengan penulis. 8. Ibu Ari atas bantuannya pada saat karakterisasi dengan alat SEM. 9. Para pegawai PTBIN-BATAN atas segala bantuannya, terutama Bapak Andika yang telah meminjamkan komputer untuk penulis. 10. Mama dan Papa tercinta atas segala kasih sayang, perhatian, pendidikan yang telah diberikan dan atas semua pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran dalam mendidik keluarga. Semoga semua amal dan ibadah mama dan papa diberi balasan yang setimpal oleh Allah SWT. 11. Adikku, Rian atas kasih sayang dan perhatian yang kamu berikan, kamu adalah adikku satu-satunya. 12. Ibu Tati atas bantuannya selama ini dalam memberikan beasiswa dan semangat. 13. Ibu Tuti Lampung beasiswa yang telah beliau berikan. 14. Uni Ana dan Keluarga Besar Pak Tuo Amran atas bantuan yang telah mereka berikan baik secara moril maupun materil. 15. Kak Arifku tersayang atas segala dukungan, semangat, motifasi, dan keceriaan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT memberikan kesabaran kepada kita. 16. Rekan penulis dalam penelitian ini, Neng Nenden Mulyaningsih, atas kerja sama yang baik selama penelitian, walaupun berbeda topik penelitian. 17. Rekan-rekan seperjuangan Fisika angkatan 40: Ulis, Rika, Ijal, Hudar, Opik, Priyo, Gita, Tia, Atik, Ita, Lira, Asih, Dicky, Azis, Mardanih, Alwi, Yulia, Subhi, Kusnadi, Marwan, double Adi, Ziah, Icha, Haristinah, Irma, Awit, Tahyudi, Mada dan Meli, atas kerja samanya. 18. Teman-teman Fisika 38, 39, dan 41, atas dukungan dan bantuannya kepada penulis. Apabila penulisan ini terdapat kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kesalan yang terdapat dalam penulisan. Semoga penelitian ini dapat berguna dan membawa manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan dapat menambah pengetahuan bagi para pencari ilmu. Bogor, Maret 2007 Ratna Permata Sari

7 vi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii vii DAFTAR LAMPIRAN... viii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 1 TINJAUAN PUSTAKA... 1 Hidrida Logam... 1 Paduan Magnesium Sebagai Penyimpan Hidrogen... 2 Mechanical Alloying... 3 XRD (X-Ray Diffraction)... 4 SEM (Scanning Electron Microscopy)... 5 BAHAN DAN METODE... 5 Tempat dan Waktu Penelitian... 5 Bahan... 6 Alat... 6 Pembuatan Paduan Mg 2 Ni dan MgNi Karaktrisasi Paduan Mg 2 Ni dan MgNi XRD... 6 SEM... 6 HASIL DAN PEMBAHASAN... 7 Analisa XRD... 7 Identifikasi fasa pada pembuatan paduan Mg 2 Ni... 7 Identifikasi fasa pada pembuatan paduan MgNi Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi Perbahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Perbahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan MgNi Analisa Morfologi dan Dimensi Partikel dengan SEM Paduan Mg 2 Ni Paduan Mg 2 Ni Pengaruh Dimensi Kristalin, Dimensi Partikel dan Pembentukan MgO apabila Diaplikasi sebagai Paduan Penyimpan Hidrogen SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 20

8 vii DAFTAR TABEL Halaman 1 Kelompok hidrida yang dapat membentuk paduan antar logam Posisi atom-atom Mg 2 Ni Posisi atom-atom MgNi Rencana perolehan data... 7 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur kristal magnesium Struktur kristal nikel Struktur Mg 2 Ni Struktur MgNi Serbuk yang terjepit ketika media milling bertumbukan Lima tahap dari mechanical alloying yang dideskripsikan oleh Benjamin dan Volin Proses terjadinya difraksi oleh kisi kristal Proses pemencaran elektron Skema penelitian Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling Perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Hasil pengamatan SEM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni pada berbagai durasi milling Perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling Hasil pengamatan SEM pada pembuatan paduan MgNi 2 pada berbagai durasi milling... 17

9 viii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Penghaluasan (refinement) Tabel perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Tabel perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 0,5 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 5 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 10 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 15 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 20 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 0,5 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 5 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 10 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 15 jam Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 20 jam Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi Data JCPDS Peralatan milling Peralatan Karakterisasi... 47

10 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sumber energi dunia berasal dari bahan bakar berbasis fosil, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Konsumsi energi tersebut semakin lama semakin meningkat, namun ketersediaannya di alam ini semakin menurun bahkan dalam waktu dekat akan mengalami krisis [1]. Selain keterbatasan sumber energi tersebut, konsumsi berbasis fosil memberikan efek yang negatif, yaitu bertambahnya karbon dioksida di atmosfer yang merupakan penyebab peningkatan temperatur bumi [2]. Oleh karena itu, kita harus mencari alternatif sumber energi baru yang lebih aman dan bersih. Hidrogen terbukti dapat memberikan kontribusi sebagai sumber energi [3]. Hidrogen sebagai sumber energi memiliki banyak kelebihan, diantaranya ringan, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Namun, karena sifat hidrogen yang mudah terbakar dan meledak maka masalah penyimpanan menjadi persoalan utama [1, 4]. Beberapa cara penyimpanan yang telah dilakukan antara lain dengan mengompres gas hidrogen ke dalam tabung (compressed hydrogen gas, CHG), hidrogen cair (liquid hydrogen, LH) dan disimpan ke dalam logam dalam bentuk hidrida logam (metal hydride, MH) [2]. Penyimpanan hidrogen dalam bentuk hidrida logam (metal hydride, MH) lebih menguntungkan dari pada cara penyimpanan yang lain, sebab paling ringkas karena padat, paling aman, tingkat kemurnian tinggi, kandungan oksigen yang rendah dan mudah dipindahkan. Namun penyimpanan hidrogen dalam bentuk hidrida logam memiliki kapasitas penyimpanan yang rendah. Dibandingkan dengan paduan yang lain, magnesium memiliki kapasitas penyimpanan yang paling tinggi, yaitu 7,6 wt %. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis memilih paduan berbasis magnesium, yaitu Mg 2 Ni dan MgNi 2 sebagai penyimpan hidrogen. Teknologi seperti ini dapat diaplikasikan pada batere dan fuel cell [4]. Akhir-akhir ini mechanical alloying diketahui sebagai teknik baru yang menggunakan impak energi yang besar untuk mendapatkan campuran logam yang sangat halus tanpa menyebabkan paduan logam meleleh. Teknik ini sangat cocok digunakan pada pembuatan dengan perbedaan titik leleh yang tinggi. Dalam penelitian ini akan dilakukan pembuatan dan karakterisasi paduan berbasis magnesium: Mg 2 Ni dan MgNi 2 yang berukuran nano. Tujuan Penelitian 1. Membuat paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 yang berukuran nano dengan metode mechanical alloying. 2. Membandingkan karakteristik paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2. TINJAUAN PUSTAKA Hidrida Logam Logam, paduan logam dan senyawa antar logam (intermetallic compound) secara umum dapat bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk hidrida logam. Senyawa hidrida yang terbentuk dapat berupa ikatan ion, kovalen atau logam. Batas antara ikatanikatan tersebut tidak jelas, tergantung elektronegativitas dari unsur-unsur pembentuknya [3]. Elektronegativitas memberikan gambaran mengenai mudah atau sukarnya suatu atom menarik elektron. Semakin besar elekronegativitas suatu unsur, maka makin mudah unsur tersebut menarik elektron dari atom lain atau makin mudah membentuk ion negatif. Apabila dua atom yang berbeda keelektronegativitasannya berikatan, maka semakin besar perbedaan elektronegativitas antar unsur, maka semakin jauh jarak antar muatannya sehingga gaya elektrostatis semakin kecil dan senyawa lebih mudah terbentuk. Unsur-unsur elektropositif yaitu unsurunsur yang memiliki elektron valensi yang bermuatan positif. Unsur-unsur ini bersifat reaktif, diantaranya adalah kelompok skandium, ytrium, lantanida, aktinida, vanadium, dan titanium. Hidrida biner dari logam transisi biasa dikenal sebagai hidrida logam. Banyak dari senyawa ini (MH n ) jauh menyimpang dari stoikiometri ideal (n = 1, 2, 3) dan dapat membentuk sistem multi fasa. Atom hidrogen yang berada pada posisi interstitial logam disebut sebagai hidrida interstitial. Struktur jenis ini memiliki komposisi MH, MH 2 dan MH 3, dimana atom hidrogen menempati posisi oktahedral atau tetrahedral atau kombinasi keduanya pada kisi-kisi logam. Bagian paling menarik adalah senyawa antar logam dari hidrida logam, dalam kasus paling sederhana sistem

11 2 AB X H n, menyebabkan variasi unsur-unsur seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Unsur A pada umumnya merupakan logam alkali dan cenderung untuk membentuk hidrida stabil. Sedangkan unsur B merupakan logam transisi dan membentuk hidrida yang tidak stabil. Paduan Magnesium Sebagai Penyimpan Hidrogen Magnesium dan paduan berbasis magnesium merupakan material yang atraktif sebagai penyimpan hidrogen. Magnesium dapat membentuk hidrida (MgH 2 ) yang mengandung 7,6 wt.% hidrogen. Namun magnesium sebenarnya tidak praktis digunakan untuk menyimpan hidrogen. Alasan utamanya adalah reaksi hidrogenasi dan dehidrogenasinya sangat lambat dan hanya dapat terjadi pada suhu sekitar o C. Hal ini disebabkan oleh kuatnya ikatan Mg-H [3]. Ada beberapa faktor yang dapat mengurangi tingkat hidrogenasi. Salah satunya adalah oksidasi dari permukaan magnesium. Magnesium oksida dengan mudah terbentuk pada permukaan magnesium jika permukaan magnesium terkontaminasi dengan udara. Lapisan MgO ini dapat mencegah atom - atom hidrogen masuk ke dalam logam. Suatu proses yang dapat mengurangi lapisan pengganggu tersebut adalah annealing. Proses ini dapat menyebabkan keretakan pada lapisan MgO. Sedangkan faktor yang dapat meningkatkan kecepatan maupun kapasitas penyerapan hidrogen adalah penambahan unsur atau senyawa sebagai katalisator. Unsur-unsur yang sering digunakan sebagai katalisator adalah nikel dan paladium [5]. Karakteristik dari magnesium adalah sebagai berikut [8]: Kerapatan : 1738 kg m -3 Modulus Young : 45 GPa Resistivitas lisrik : 4.4 x 10-8 Ω m Titik lebur : 923 K atau 650 C Titik didih : 1363 K atau 1090 C Konduktivitas temal : 160 W m -1 K -1 Struktur kristal :Space group: P6 3 /mmc (Space group number : 194) Struktur : hcp (hexagonal close - packed) (Gambar 1) Parameter kisi : a = Å α = o b = Å β = o c = 5.211Å γ = o Sedangkan nikel memiliki karakteristik sebagai berikut [9]: Kerapatan : 8908 kg m -3 Modulus Young : 200 GPa Resistivitas lisrik : 7 x 10-8 Ω m Titik lebur : 1728 K atau 1455 C Titik didih : 3186 K atau 2913 C Konduktivitas temal : 91 W m -1 K -1 Struktur kristal: Space group: Fm3m (Space group number : 225 ) Strukrur : ccp (cubic closepacked) (Gambar 2) Parameter kisi : a = Å α = b = Å β = c = Å γ = Tabel 1 Kelompok hidrida yang dapat membentuk paduan antar logam [3] Gambar 1 Struktur kristal magnesium [8]. Gambar 2 Struktur kristal nikel [9].

12 3 = nikel = magnesium Tabel 2 Posisi atom-atom Mg 2 Ni [6] atom m x y z o Mg Mg Ni Ni Gambar 3 Struktur Mg 2 Ni. Keterangan: m = multiplisitas o = okupasi Tabel 3 Posisi atom-atom MgNi 2 [6] = nikel atom m x y z o Mg Mg Ni Ni Ni = magnesium Keterangan: m = multiplisitas o = okupasi Gambar 4 Struktur MgNi 2. Gambar 3 menunjukkan struktur Mg 2 Ni yang memiliki struktur heksagonal dengan space group P , parameter kisi a = 5,21 Å dan c = 13,23 Å. Posisi atom-atomnya adalah tertulis seperti pada Tabel 2. Berdasarkan informasi tersebut terlihat bahwa pada fasa Mg 2 Ni jumlah multiplisitas atom-atom Mg (12) dua kali jumlah multiplisitas atom-atom Ni (6). Sedangkan Gambar 4 menunjukkan struktur MgNi 2 yang memiliki struktur heksagonal dengan space group P63/mmc parameter kisi a = 4,825 Å dan c = 15,79 Å. Posisi atom-atomnya ditunjukkan pada Tabel 3. Fasa MgNi 2 jumlah multiplisitas atom-atom Ni dua (16) kali jumlah multiplisitas atom-atom Mg (8). Gambar-gambar tersebut dibuat dengan menggunakan program MAUD (Material Analysis Using Diffraction) [4]. Mechanical Alloying Mechanical alloying (MA) mula-mula dikembangkan pada tahun 1970 di International Nickel Co. (INCO) sebagai suatu teknik untuk mendispersi ukuran nano, termasuk di dalamnya paduan berbasis magnesium. MA pada dasarnya memiliki pendekatan yang berbeda dengan teknik pemaduan logam konvensional, karena MA didasarkan pada proses deformasi untuk mencampur bahan. Berbeda dengan teknik konvensional yang menggunakan perlakuan panas dan reaksi kimia untuk menggabungkan komponen-komponen paduan. Sifat-sifat dari paduan konvensional dapat diubah dengan menggunakan proses deformasi tetapi derajat deformasi yang dicapai lebih rendah dari pada MA. Selama proses mechanical alloying, partikel-partikel serbuk secara periodik terjebak diantara bola-bola yang saling bertumbukan secara plastis terdeformasi (Gambar 5). Bola-bola yang saling bertumbukan tersebut menyebabkan perpatahan dan penyatuan dingin (cold welding) dari partikel-partikel elementer dan menyebabkan paduan tersebut menjadi skala atomik. Selanjutnya milling menimbulkan peningkatan jumlah interface dan penurunan luas komponen elementer dari milimeter

13 4 menjadi submikrometer [7]. Pada skala ini hanya Transmission Electron Microscopy (TEM) cara yang tepat untuk mengamati distribusi regangan dari fasa peralihan yang dihasilkan di dalam partikel atau pada permukaan paduan. Ketika waktu (durasi) milling meningkat, fraksi volume unsurunsur awal menurun, sedangkan fraksi volume paduan meningkat [10]. Ukuran, bentuk, densitas serbuk dan derajat kemurnian mempengaruhi hasil akhir paduan [11]. Deformasi yang dialami oleh bahan yang digiling (milled) merupakan bagian intrinsik dari proses MA. Sebelum proses mechanical alloying, partikel awal terdiri dari partikel Mg dan Ni yang masing-masing berbentuk bulat (Gambar 6a). Kemudian Benjamin dan Volin [11] mengidentifikasikan lima tahap dalam mechanical alloying, seperti gambar pada Gambar 6 (b - f). Tahap pertama yaitu perataan partikel: partikel diratakan menjadi berbentuk pipih (flake like). Tahap selanjutnya adalah penyatuan predominan (welding predomonance): partikel yang telah diratakan (bentuk pipih) disatukan membentuk seperti lembaran (lamellar). Tahap ketiga adalah pembentukan partikel pada arah yang sama (equiaxed) menyerupai lembaran yang lebih pipih dan bulat. Perubahan bentuk ini disebabkan oleh pengerasan (hardening) dari serbuk. Tahap selanjutnya yaitu orientasi penyatuan acak (random welding orientation): fragmenfragmen membentuk partikel-partikel equiaxed kemudian disatukan dalam arah yang berbeda dan struktur seperti lembaran mulai terdegradasi. Tahap akhir yaitu proses steady state (steady state processing): struktur bahan yang perlahan-lahan menghalus sebagai fragmen-fragmen kemudian disatukan dengan fragmenfragmen lain dalam arah yang bebeda. a b c d e f a. Partikel awal b. Perataan partikel (tahap 1) c. Penyatuan predominan (welding predomonance) (tahap 2) d. Pembentukan partikel pada arah yang sama (equiaxed) (tahap 3) e. Orientasi penyatuan acak (random welding orientation) (tahap 4) f. Proses steady state (steady state processing) (tahap 5) Gambar 6 Lima tahap dari mechanical alloying yang dideskripsikan oleh Benjamin dan Volin [9]. ` XRD (X-Ray Difraction) 1 P 1 P 2 λ 2 A θ O θ θ C θ 2 d sin θ = n λ Gambar 7 Proses terjadinya difraksi oleh kisi kristal [13]. B 2 1 d a. b. c. a. 2 bola saling mendekat (approach) b. 2 bola saling bertumbukan (impact) c. 2 bola saling berpisah (separation) Gambar 5 Serbuk yang terjepit ketika media milling betumbukan [11]. Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang (0,1-100) Å, namun yang digunakan untuk analisa kristal adalah sinar- X yang memiliki panjang gelombang (0,5-2,5) Å [10]. Gambar 7 menunjukkan berkas sinar-x dengan panjang gelombang λ, jatuh dengan sudut θ pada sekumpulan bidang kristal (P 1 dan P 2 ) yang terpisah pada jarak d. Sinar yang dipantulkan dengan sudut θ hanya dapat tampak jika berkas-berkas dari

14 5 tiap bidang yang saling berdekatan berinterferensi saling menguatkan (perbedaan lintasan sama dengan kelipatan bulat n untuk panjang gelombang λ). Hal ini mengakibatkan luas AOC = luas BOC, karena AC = BC dan AC + BC = 2AC = 2BC = n λ. Dari gambar terlihat AC/d = sin θ, sehingga diperoleh persamaan hukum Bragg [12, 13, 14]. 2 d sin θ = nλ (1) Berdasarkan hukum Bragg di atas, sudut difraksi dipengaruhi oleh lebar celah kisi sedangkan intensitas cahaya difraksi dipengaruhi oleh jumlah kisi kristal yang memiliki orientasi yang sama. Dengan menggunakan metode ini dapat ditentukan struktur kristal, parameter kisi dan fasa yang terdapat dalam suatu sampel [14, 15, 16, 17]. SEM (Scanning Electron Microscopy) Ketika seberkas elektron menumbuk permukaan sampel maka akan terjadi beberapa peristiwa (Gambar 8). SEM memanfaatkan elektron hamburan balik dan elektron sekunder. Elektron hamburan balik disebabkan oleh elektron yang bertumbukan dengan atom sampel, kemudian terhambur dengan sudut 180 o (Gambar 8). Hasil dari elektron hambur balik berhubungan langsung dengan nomor atom spesimen. Nomor atom unsur yang lebih besar nampak jelas dari pada nomor atom unsur yang lebih kecil. Interaksi ini digunakan untuk membedakan bagian spesimen yang memiliki perbedaan nomor atom. elektron sekunder elastis berkas datang (elektron) elektron hambur balik sampel Auger ditransmisikan inelastis Sinar-X Sedangkan elektron sekunder adalah elektron yang dihasilkan setelah berkas elektron menumbuk material dan mengenai elektron pada kulit yang memiliki energi terendah, yaitu kulit K, kemudian terjadi ionisasi elektron. Hal ini menyebabkan sedikit energi lolos dan alur berubah dalam peristiwa elektron dan ionisasi elektron dalam spesimen atom. Elektron yang terionisasi ini kemudian meninggalkan atom dengan energi kinetik 5 ev dan kemudian dikategorikan sebagai elektron sekunder. Masing-masing elektron dapat menghasilkan beberapa elektron sekunder. Hasil dari elektron sekunder sangat berhubungan dengan topografi. Walupun energinya 5 ev, hanya elektron sekunder yang sangat mendekati permukaan (<10 nm) dapat keluar dari sampel dan diuji. Beberapa perubahan dalam topografi pada sampel yang lebih besar dari pada kedalaman sampel akan mengubah hasil dari elektron sekunder yang berkaitan dengan efisiensi koleksi. Koleksi dari elektron ini dibantu dengan menggunakan kolektor. Kolektor adalah suatu kisi atau lubang kecil dengan potensial 100V yang diberlakukan baginya yang ditempatkan di samping detektor. Tarik menarik elektron yang bermuatan negatif kemudian menerobos lubang kisi dan kemudian masuk kedalam detektor [12]. Elektron-elektron yang dihamburkan balik amat peka terhadap jumlah atom sehingga dapat menunjukkan perbedaan pada perubahan komposisi. Intensitas dari elektron yang dihamburkan balik peka terhadap orientasi berkas sinar datang relatif terhadap kristal. Efek ini menimbulkan perbedaan orientasi antara butir satu dengan butir lain dalam suatu sampel polikristal [12]. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PTBIN- BATAN, Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang. Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 10 bulan, yaitu dari Mei sampai Maret 2007 yang meliputi penelusuran literatur, penulisan proposal, penelitian dan penulisan skripsi (Gambar 9). Gambar 8 Proses pemencaran elektron [12].

15 6 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1) Serbuk magnesium (99.8 %, 270 mesh, Aremco) 2) Serbuk nikel (99.0 %, 10 µm, MERCK) 3) Aseton 4) Aquades 5) Argon Alat Peralatan yang digunakan meliputi : 1) High Energy Ball milling Spex ) Vial (stainless steel (SS) 3) Bola-bola : stainless steel (SS) diameter = 8 mm massa = 2 gram 4) Glove box 5) Neraca digital 6) Spatula 7) XRD (Shimadzu 610) 8) SEM (Philips 515) 9) Gelas kimia 50 ml : 2 Pembuatan Paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 Vial yang dalam keadaan terbuka dan bola-bola yang berdiameter 8 mm sebanyak 60 buah (Lampiran 19) dimasukkan ke dalam glove box, kemudian glove box divakumkan hingga tekanan mencapai sekitar 76 cmhg agar udara yang berada di dalamnya tersedot ke luar. Kemudian glove box diisi gas argon. Proses pemvakuman tersebut dilakukan sebanyak 3 kali untuk menghindari terjadinya oksidasi. Kemudian serbuk magnesium dan nikel ditimbang dengan perbandingan stoikiometri sehingga membentuk paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2. Untuk membuat 15 gram paduan Mg 2 Ni dibutuhkan 6,8 gram serbuk magnesium dan 8,2 gram sebuk nikel. Sedangkan untuk membuat 15 gram paduan MgNi 2 dibutuhkan 2,57 gram serbuk magnesium dan 12,43 gram serbuk nikel. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam vial yang memiliki panjang 7,6 cm dan diameter 5,1 cm, kemudian ditambahkan bola-bola. Selanjutnya vial ditutup rapat. Setelah itu vial dikeluarkan dari glove box dan selanjutnya dilakukan milling dengan menggunakan Spex 8000 high energy ball milling (HEBM) selama 20 jam secara diskrit (Lampiran 19). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terlihat seperti Gambar 9. Sedangkan data yang akan diharapkan terlihat seperti pada Tabel 4 Karakterisasi Paduan XRD XRD digunakan untuk menentukan struktur paduan yang terbentuk, baik dalam bentuk serbuk maupun pellet. Selain itu alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan fraksi volume dari fasa-fasa yang terbentuk. Mula-mula sampel sebanyak 2 gram yang berbentuk bubuk direkatkan ke dalam holder berukuran 2 cm x 2 cm. Kemudian ditekantekan agar padat dan setelah itu diletakkan pada alat XRD Shimadzu 610 dengan target CuKα (panjang gelombang 1,54 Å). Pada komputer dicantumkan nama sampel, sudut awal (20 o ), sudut akhir (100 o ), step scanning 0,005 o 1 o / step dan kecepatan baca 2 o per menit. Setelah itu alat XRD siap dijalankan. SEM Ukuran partikel dan morfologi paduan dapat diamati dengan SEM (tegangan, V = 220kV). Sebelum diamati dengan SEM, sampel harus dipreparasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 2 mg dimasukan ke dalam tabung yang berisi aseton. Kemudian campuran tersebut diaduk. Setelah itu diteteskan ke holder, setelah aseton menguap, sampel berikutnya diteteskan kembali. Setelah preparasi tersebut, sampel dilapisi dengan emas agar sampel bersifat lebih konduktor. Sampel siap diamati dan difoto. Dimensi partikel yang diperoleh memiliki perbesaran kali dari dimensi aslinya. Penelusuran Literatur dan Diskusi Persiapan Alat dan Bahan Pembuatan Mg 2 Ni dan MgNi 2 (Ball Millling) Karakterisasi Sampel (XRD dan SEM) Pengambilan dan Analisis Data Penulisan Skripsi Gambar 9 Skema penelitian.

16 7 Tabel 4 Rencana perolehan data Durasi milling sampel (jam) Mg 2 Ni MgNi karakterisasi XRD dan SEM HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Fasa dengan XRD Identifikasi fasa pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Fasa yang terbentuk dalam Mg 2 Ni dapat diidentifikasi dengan melakukan karakterisasi XRD. Identifikasi fasa tersebut dilakukan dengan menggunakan fitting dari analisa kualitatif dengan menggunakan program MAUD. Pola difraksi sinar-x paduan Mg 2 Ni dengan variasi milling 0,5, 5, 10, 15 dan 20 jam terlihat seperti pada Gambar 10. Pada milling t = 0,5 jam hanya terdapat fasa magnesium dan nikel. Berdasarkan gambar tersebut terdapat 14 puncak tertinggi yang berada pada posisi 32,2 o ; 34,38 o ; 36,57 o ; 47,80 o ; 57,33 o ; 63,10 o dan 68,57 o ; 67, 314 o dan 69,996 o. Apabila posisi tersebut dibandingkan dengan data JCPDS (Joint Committee of Powder Difraction Standard) ID maka puncak-puncak tersebut milik fasa Mg dengan bidang (hkl): 100, 002, 101, 102, 110, 103, 200,112 dan 201. Lima puncak tertinggi yang lain berada pada posisi 44,37 o ; 51,86 o ; 76,37 o ; 92,76 o dan o menurut JCPDS ID adalah milik fasa Ni dengan bidang (hkl): 111, 200, 220, 311 dan 222. Pada milling selanjutnya (t = 5 jam), fasa Mg 2 Ni sudah mulai terbentuk. Berdasarkan analisa kuantitatif menggunakan program MAUD dan selanjutnya membandingkan dengan data JCPDS ID , puncak Mg 2 Ni terdapat pada posisi 20,15 o dengan bidang 003. Selain fasa tersebut ternyata ada fasa lain yang hadir, yaitu MgO. Fasa ini terbentuk akibat Mg yang terkontaminasi dengan udara, sehingga Mg teroksidasi membentuk MgO. Puncak MgO berada pada posisi 42,93 o ; 62,32 o dan 78,71 o. Data-data ini cocok apabila dibandingkan dengan data JCPDS ID Fasa Ni dan Mg masih hadir, namun jumlahnya menurun. Hal ini dapat dilihat dari intensitas Ni dan Mg yang menurun karena sebagian Ni dan Mg bergabung membentuk Mg 2 Ni dan sebagian Mg yang lain berikatan dengan O membentuk MgO. Ketika durasi milling meningkat hingga 10 jam, fasa-fasa yang hadir sama dengan fasa-fasa pada durasi milling 5 jam, yaitu Mg, Ni, Mg 2 Ni dan MgO. Namun, fasa Mg 2 Ni dan MgO yang terbentuk mengalami peningkatan. Sedangkan fasa Ni dan Mg mengalami penurunan, sebab Mg dan Ni yang saling berikatan semakin meningkat. 0,5 jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam I relatif = Ni = Mg = MgO = Mg 2 Ni θ Gambar 10 Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni.

17 8 Seiring dengan peningkatan durasi milling (t), fasa Mg 2 Ni yang terbentuk pun semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan data hasil XRD saat t = 15 jam dengan t = 0,5, 5 dan 10 jam. Pada saat t = 15 jam, intensitas fasa Mg 2 Ni lebih tinggi dari pada t = 0.5, 5, dan 10 jam. Fasa MgO terlihat meningkat secara drastis. Hal ini menunjukkan bahwa sampel semakin mudah teroksidasi apabila ukuran partikel sampel menurun. Faktor oksidasi ini terjadi pada permukaan sampel. Oleh sebab itu luas permukaan sampel mempengaruhi tingkat oksidasi. Semakin luas permukaan suatu sampel (dimensi partikel semakin kecil) maka oksigen semakin banyak yang berreaksi di permukaan sampel atau dengan kata lain semakin kecil dimensi partikel sampel maka sampel tersebut semakin mudah teroksidasi. Sama halnya dengan t = 10 jam, fasa Ni dan Mg semakin berkurang. Intensitas fasa Ni semakin menurun. Demikian pula pada fasa Mg, seiring dengan kenaikan durasi milling, puncak Mg terkesan hilang, menggantikan fasa Mg 2 Ni dan MgO. Pada tahap akhir (t = 20 jam), intensitas Mg 2 Ni dan MgO semakin meningkat. Hal ini adalah suatu bukti bahwa semakin lama waktu milling, fasa Mg 2 Ni dan MgO yang terbentuk semakin meningkat. Sedangkan intensitas Ni dan Mg mengalami penurunan. Keadaan ini menunjukkan bahwa komposisi Ni dan Mg semakin menurun. Berdasarkan Gambar 10 tersebut, fasa Mg 2 Ni terkesan hadir hanya pada posisi 20,15 o saja, namun sebenarnya fasa tersebut banyak hadir di sekitar posisi (36-46) o. Pada rentang posisi tersebut hadir pula fasa Ni, Mg dan MgO. Dengan demikian puncak dari keempat fasa itu ada yang saling bertumpang tindih. Akibatnya lebih sulit untuk mengidentifikasikannya. Ada suatu cara, yaitu dengan membandingkan data eksperimen dengan data JCPDS, misalnya kita ingin mengidentifikasikan pada posisi 62,79 o terdapat puncak fasa apa. Jika melihat hasil fitting seperti pada lampiran, di sekitar posisi tersebut terdapat puncak yang saling bertumpang tindih. Jika dibandingkan dengan data JCPDS, pada posisi 63,058 o adalah puncak Mg dengan intensitas relatif 16, 63,402 o adalah puncak Mg 2 Ni dengan intensitas relatif 9 dan pada posisi 62,304 o adalah puncak MgO dengan intensitas relatif 39. Terlihat bahwa ketiga posisi pada data JCPDS tersebut hampir mendekati posisi data eksperimen. Jadi, posisi yang memiliki intensitas tertinggilah yang kita pilih. Dengan demikian pada posisi 62,79 o diidentifikasi sebagai puncak MgO. Demikian selanjutnya jika terdapat puncakpuncak yang saling bertumpang tindih. Selain pada posisi 20,15 o posisi Mg 2 Ni berdasarkan JCPDS ID terdapat pada posisi 45,152 o ; 39,962 o ; 37,087 o dan 39,487 o. Posisi-posisi tersebut diurut berdasarkan intensitas tertinggi. Identifikasi fasa pada pembuatan paduan MgNi 2 Sama halnya dengan Mg 2 Ni, identifikasi fasa pada pembuatan paduan MgNi 2 dengan variasi milling 0,5, 5, 10, 15 dan 20 jam yang diperoleh dari difraksi sinar-x dilakukan menggunakan program MAUD. Pola difraksi tersebut terlihat seperti Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pada milling t = 0,5 jam hanya terdapat fasa magnesium dan nikel, sedangkan fasa Mg 2 Ni dan MgO belum terbentuk. Berdasarkan gambar tersebut terdapat 12 puncak tertinggi yang berada pada posisi yang hampir sama dengan puncak-puncak pada pembuatan paduan Mg 2 Ni yang telah mengalami proses milling selama 0,5 jam, yaitu 32,.2 o ; 34,38 o ; 36,57 o ; 47,80 o ; 57,33 o ; 63,10 o dan 68,57 o. Apabila posisi tersebut dibandingkan dengan data JCPDS ID maka puncak-puncak tersebut milik Mg dengan bidang (hkl): 100, 002, 101, 102, 110, 103 dan 112. Terlihat bahwa pada pola difraksi sinar-x paduan ini hanya terdeteksi 7 puncak Mg, sedangkan pada pola difraksi sinar-x pada paduan Mg 2 Ni terdapat 8 puncak Mg. Pada paduan MgNi 2 puncak Mg pada posisi 67,314 o tidak terdeteksi sebab intensitasnya rendah. Menurut JCPDS ID intensitas relatif pada posisi tersebut hanya 2 cacahan (count). Lima puncak tertinggi yang lain berada pada posisi yang sama pada pembuatan paduan Mg 2 Ni yang telah mengalami proses milling selama 0.5 jam, yaitu 44,37 o ; 51,86 o ; 76,37 o ; 92,76 o dan 98,69 o. Apabila dibandingkan dengan data JCPDS ID maka puncakpuncak tersebut adalah fasa Ni dengan bidang (hkl): 111, 200, 220, 311 dan 222. Namun intensitas Mg pada pembuatan paduan MgNi 2 lebih rendah dari pada Mg 2 Ni. Hal ini terjadi karena massa Mg pada pembuatan paduan MgNi 2 (2,574 gram) jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan massa Mg pada pembuatan paduan Mg 2 Ni (6,800) gram.

18 9 Pada milling selanjutnya (t = 5 jam), fasa MgNi 2 sudah mulai terbentuk. Fasa ini dapat jelas terlihat (tidak bertumpang tindih) berada pada posisi 22,05 o, bidang 101. Data tersebut pun cocok apabila dibandingkan dengan data JCPDS ID Fasa MgO juga sudah mulai terbentuk dalam pembuatan paduan ini, namun memiliki komposisi yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan fasa MgO pada pembuatan paduan Mg 2 Ni yang telah dilakukan milling dengan durasi yang sama. Hal ini dapat terlihat dari intensitas puncak yang lebih rendah dari pada MgO yang terbentuk pada pembuatan paduan Mg 2 Ni pada durasi milling yang sama. Puncak MgO berada pada posisi 49,97 o ; 62,32 o dan 78,71 o. Data-data ini cocok apabila dibandingkan dengan data JCPDS ID Fasa Ni dan Mg pun masih hadir, namun jumlahnya menurun dibandingkan dengan t = 0,5 jam, sebab Mg dan Ni sudah lebih banyak bergabung menjadi MgNi 2 dan MgO. Hal ini dapat dilihat dari intensitas Ni dan Mg yang menurun. Ketika durasi milling meningkat hingga 10 jam, fasa-fasa yang hadir sama dengan fasa-fasa pada durasi milling 5 jam, yaitu Mg, Ni, MgNi 2 dan MgO. Namun, fasa MgNi 2 dan MgO yang terbentuk mengalami peningkatan akibat bertambahnya durasi milling. Sedangkan fasa Ni dan Mg mengalami penurunan,bahkan sudah ada puncak Mg yang hilang. Seiring dengan peningkatan durasi milling (t), fasa MgNi 2 yang terbentuk pun semakin meningkat. Hal ini terbukti saat t = 15 jam, intensitas fasa MgNi 2 mengalami peningkatan dari pada t = 0.5, 5, dan 10 jam. Namun, fasa Ni dan Mg semakin berkurang sehingga intensitas fasa tersebut semakin menurun. Pada tahap akhir (t = 20 jam), intensitas MgNi 2 dan MgO semakin meningkat. Hal ini menjadi suatu bukti pula bahwa semakin lama waktu milling, fasa MgNi 2 dan MgO yang terbentuk semakin meningkat. Sedangkan intensitas Ni dan Mg mengalami penurunan. Keadaan ini menunjukkan bahwa komposisi Ni dan Mg semakin menurun. Berdasarkan kedua sampel di atas, yaitu Mg 2 Ni dan MgNi 2 terlihat terdapat perbedaan yang mencolok, yaitu intensitas MgO pada pembuatan paduan Mg 2 Ni lebih tinggi dari pada intensitas MgO pada pembuatan paduan MgNi 2 baik yang dilakukan proses milling dengan durasi 5, 10, 15 dan 20 jam. Tinggi rendahnya intensitas MgO ini sebanding dengan komposisi (fraksi volume) MgO yang terbentuk pada paduan-paduan tersebut. Pembahasan mengenai fraksi volume akan dibahas secara terpisah dengan pembahasan identifikasi fasa. I relatif 0.5 jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam = Ni = Mg = MgO = MgNi 2 Gambar 11 Pola difraksi 2 θ sinar-x pada pembuatan paduan MgNi 2. Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni

19 10 Sama halnya dengan identifikasi fasa, perubahan fraksi volume paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2 diperoleh dari analisa pola difraksi sinar-x dengan menggunakan program MAUD. Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni yang terjadi selama peningkatan durasi milling dari 0,5 sampai 20 jam ditunjukkan oleh Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa semakin besar durasi milling fraksi volume fasa awal, yaitu nikel dan magnesium bekurang sedangkan fraksi volume paduan yang terjadi semakin bertambah. Fasa yang terjadi saat mencampurkan 6,8 gram magnesium dan 8,2 gram nikel adalah Mg, Ni, Mg 2 Ni dan MgO. Fasa Mg 2 Ni adalah fasa yang diharapkan sedangkan MgO tidak diharapkan, sebab fasa ini merupakan oksidasi dari magnesium dan dalam kaitannya dengan penyimpanan hidrogen, fasa ini dapat menghalangi proses hidrogenasi. Pada awal milling (t = 0,5 jam), hanya terdapat fasa Mg dan Ni. Fasa Mg terdapat sebanyak 61,71 % dan Ni 38,29 % volume. Setelah milling selama 5 jam, fraksi volume Ni dan Mg menurun mencapai 39,65 % dan 8,99 % secara berturut-turut. Hal ini disebabkan oleh pembentukan fasa baru, yaitu Mg 2 Ni dan MgO. Fraksi volume Mg 2 Ni dan MgO secara berturut-turut adalah 29,93 % dan 21,43 %. Setelah milling selama 10 jam, fraksi volume Ni dan Mg semakin menurun mencapai 19,66 % dan 0,21 % secara berturut-turut. Hal ini menunjukkan semakin banyak Mg dan Ni yang bergabung membentuk fasa Mg 2 Ni dan dengan peningkatan durasi milling semakin banyak Mg yang teroksidasi karena luas permukaan nya semakin besar, sehingga O lebih mudah berreaksi. Sedangkan fraksi volume Mg 2 Ni dan MgO mengalami peningkatan, secara berturut-turut adalah 35,55 % dan 44,58 %. Fraksi volume Ni setelah milling selama 15 jam adalah 7,89 % dan Mg 0,18 %. Fraksi volume Mg 2 Ni pada durasi ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi, yaitu mencapai 40,89 %. Hal ini terjadi karena Mg 2 Ni yang telah terdeformasi setelah milling 10 jam, menjadi lebih terdeformasi lagi akibat tekanan bolabola setelah milling 15 jam. Demikian pula dengan MgO, mencapai 51,61 %. Pada akhir milling (t = 20 jam) fasa Mg 2 Ni yang telah terbentuk tidak terlalu banyak mengalami peningkatan, hanya mencapai 41,89 %. Sedangkan MgO 56,05 %, sisanya fasa magnesium 0,17 % dan nikel 1,89 %. Walaupun sampel dipreparasi dalam lingkungan argon namun fasa MgO masih saja terbentuk bahkan dalam jumlah yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa sampel mudah sekali teroksidasi. Dalam hal ini unsur Mg bersifat reaktif sehingga mudah berikatan dengan oksigen. Proses ini terjadi saat sampel terkontaminasi dengan udara dalam waktu yang agak lama saat ingin dikarakterisasi dengan XRD. Penurunan fraksi volume Mg dan Ni yang terjadi seiring dengan peningkatan durasi milling terjadi karena sebagian Mg dan Ni saling berikatan membentuk Mg2Ni dan sebagian Mg teroksidasi membentuk MgO. Walaupun pada pola difraksi XRD fasa Mg 2 Ni terkesan memiliki intensitas yang rendah di sekitar posisi (20-25) o, namun fasa yang telah terbentuk memiliki fraksi volume 41,89 %. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sebenarnya fasa tersebut tidak hanya terdapat pada posisi (20-25) o saja, namun pada posisi antara (37-46) o banyak terdapat puncak milik Mg 2 Ni. hanya saja puncak-puncak tersebut saling bertumpang tindih dengan fasa Ni dan MgO, sehingga tidak dapat terlihat dengan jelas peningkatan intensitasnya. fraksi volume (%) Ni Mg Mg 2 Ni MgO durasi milling (jam) Gambar 12 Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi 2

20 11 Gambar 13 menunjukkan perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat pertambahan durasi milling dari 0 sampai 20 jam. Pada awal milling (t =0,5 jam), hanya terdapat fasa Mg dan Ni. Fasa Mg terdapat sebanyak 20,22 % dan Ni 79,78 % volume. Setelah milling selama 5 jam, fraksi volume Ni dan Mg menurun mencapai 73,24 % dan 10,31 % secara berturut-turut. Hal ini disebabkan oleh pembentukan fasa baru, yaitu MgNi 2 dan MgO. Fasa yang terjadi setelah mencampur 2,8 gram magnesium dan 12,6 gram nikel adalah Mg, Ni, MgNi 2 dan MgO. Semakin bertambah durasi milling, fraksi volume serbuk awal, yaitu nikel dan magnesium semakin berkurang sedangkan fraksi volume paduan yang terbentuk semakin bertambah. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya durasi milling, maka Mg dan Ni menjadi semakin terdeformasi dan secara mekanik terbentuk fasa baru, yaitu MgNi 2. Akibatnya sebagian Mg dan Ni berikatan membentuk MgNi 2 dan sebagian lagi, Mg teroksidasi menjadi MgO, dengan demikian fraksi volume Mg dan Ni semakin menurun sedangkan fraksi volume MgNi 2 semakin meningkat. Seperti yang telah dijelaskan pada kasus oksidasi Mg pada pembuatan paduan Mg 2 Ni, pada pembuatan paduan MgNi 2 pun semakin bertambah durasi milling maka luas permukaan Mg semakin meningkat, sehingga fasa MgO yang terbentuk semakin meningkat. Selain terlihat dari intensitas MgO yang semakin meningkat, hal ini juga dapat terlihat dari semakin meningkatnya fraksi volume MgO. ` fraksi volume (%) Gambar 13 Perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi 2 Setelah milling selama 10 jam, fraksi volume Ni dan Mg menurun mencapai 72,09 Ni Mg MgNi2 MgO durasi milling(jam) % dan 8,87 % secara berturut-turut. Sedangkan fraksi volume MgNi 2 dan MgO mengalami peningkatan, secara berturutturut adalah 7,49 % dan 11,55 %. Fraksi volume Ni setelah milling selama 15 jam adalah 70,95 % dan Mg 6,41 %. Fraksi volume MgNi 2 pada durasi ini mengalami sedikit peningkatan, yaitu mencapai 10,59 %. Fraksi volume MgO pun hanya mengalami sedikit peningkatan, yaitu mencapai 12,05 %. Saat durasi milling 20 jam, fasa MgNi 2 yang telah terbentuk sebanyak 12,91 % sedangkan MgO 12,75 %, sisanya 4,32 % fasa magnesium dan 70,02 % fasa nikel. Apabila dibandingkan pada pembuatan paduan Mg 2 Ni, fasa MgO yang terbentuk pada pembuatan paduan MgNi 2 jauh lebih sedikit. Hal ini disebabkan pada pembuatan paduan MgNi 2 mengandung magnesium lebih sedikit dibandingkan pada pembuatan paduan Mg 2 Ni. Secara umum semakin tinggi kandungan magnesium di dalam suatu sampel maka sampel tersebut akan mudah teroksidasi dengan membentuk lapisan MgO. Demikian sebaliknya semakin sedikit kandungan magnesium dalam suatu sampel maka sampel tersebut memiliki kemungkinan yang kecil untuk teroksidasi. Selain itu fasa MgNi 2 yang terbentuk jauh lebih sedikit dibandingkan fasa Mg 2 Ni baik pada durasi milling 5, 10, 15 maupun 20 jam. Hal ini dapat terlihat pada fraksi volume MgNi 2 yang terbentuk jauh lebih sedikit dari pada fraksi volume Mg 2 Ni yang telah dilakukan milling pada durasi yang sama. Fenomena ini terjadi karena modulus Young Mg (45 GPa) jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan modulus Young Ni (200 GPa). Modolus Young didefinisikan sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan [12]. Nilai tersebut sangat berhubungan dengan kekerasan dan ketangguhan suatu bahan. Smallman R. E. [12] mendefinisikan nilai kekerasan Brinell sama dengan tegangan (P/A) dalam kg m -2, dimana P adalah beban dan A adalah luas permukaan jejak indentor yang berbentuk cekung dan ketangguhan didefinisikan sebagai energi yang diperlukan sehingga bahan terdeformasi. Energi di sini didefinisikan sebanding dengan gaya. Berdasarkan definisi kekerasan dan ketangguhan, maka bahan yang memiliki modulus Young yang tinggi berarti bahan tersebut memiliki kekersan dan ketangguhan yang tinggi pula. Oleh sebab itu bahan tersebut sulit terdeformasi.

21 12 Berkaitan dengan modulus Young Mg yang jauh lebih kecil dari pada modulus Young Ni maka Mg lebih mudah terdeformasi akibat proses milling dari pada Ni. Berdasarkan stoikiometri, Mg 2 Ni memiliki kandungan Mg yang lebih dominan dari pada MgNi 2, maka dari itu Mg 2 Ni lebih mudah terdeformasi dan lebih mudah terbentuk dari pada MgNi 2. Hal ini terlihat dari fraksi volume Mg 2 Ni yang terbentuk jauh lebih besar dari pada MgNi 2 yang dilakukan milling dengan durasi yang sama. Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Dimensi kristal dapat diperkirakan dengan metode Scherrer dari lebar setengah puncak maksimum (full width at half maximum, FWHM) dengan menggunakan program POWDER-X. Hasil perhitungan FWHM dengan menggunakan program POWDER-X yaitu dalam satuan derajat. Maka dari itu hasil tersebut harus diubah terlebih dahulu dalam satuan radian dengan cara mengalikannya o dengan 3,14 kemudian dibagi 180. selanjutnya hasil tersebut dimasukkan ke persamaan Scherrer, yaitu : 0,9 λ = FWHM cosθ l (2) dengan l adalah dimensi kristalin (Å), λ adalah panjang gelombang sumber dan θ adalah sudut difraksi (radian). Pada saat durasi milling 0,5 jam, hanya terdapat fasa Mg dan Ni. Dimensi kristalin Mg dan Ni pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 22,763 nm dan 27,352 nm (Gambar 14). Setelah dilakukan proses milling selama 5 jam, fasa Mg 2 Ni mulai terbentuk. Dimensi kristalin Mg dan Ni menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Dimensi Mg dan Ni pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 17,862 nm dan 20,644 nm. Sedangakan dimensi kristalin Mg 2 Ni adalah 24,902 nm. Setelah proses milling selama 10 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni pun menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Ukuran dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 12,451 nm dan 15,933 nm. Selain itu, dimensi kristalin Mg 2 Ni juga mengalami penurunan mencapai 19,396 nm. dimensi kristalin (nm) Gambar 14 Mg Ni Mg2Ni durasi milling (jam) Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Setelah proses milling berlangsung selama 15 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni tetap mengalami penurunan. Dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 6,675 nm dan 10,801 nm. Sedangkan dimensi kristalin Mg 2 Ni adalah 14,214 nm. Setelah proses milling selama berlangsung selama 20 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni tetap menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 5,747 nm dan 8,73 nm. Sedangkan dimensi kristalin Mg 2 Ni adalah 6,192 nm. Berdasarkan fenomena tersebut jelas terlihat bahwa semakin bertambah durasi milling, maka baik dimensi kristalin Mg, Ni maupun Mg 2 Ni mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh tekanan yang dialami kristal-kristal tersebut pada saat terjebak diantara bola-bola, sehingga mereka terdeformasi. Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan MgNi 2 Sama halnya pada pembuatan paduan Mg 2 Ni, dimensi kristalin pada pembuatan paduan MgNi 2 juga dihitung menggunakan persaman Scherrer. Pada saat durasi milling 0,5 jam, hanya terdapat fasa Mg dan Ni. Dimensi kristalin Mg dan Ni pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 26,082 nm dan 30,402 nm (Gambar 15). Setelah dilakukan proses milling selama 5 jam, fasa MgNi 2 mulai terbentuk. Dimensi kristalin Mg dan Ni menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut

22 13 adalah 19,661 nm dan 23,472 nm. Sedangakan dimensi kristalin MgNi 2 adalah 7,972 nm. Setelah proses milling selama 10 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni pun menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Ukuran dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 13,703 nm dan 15,518 nm. Namun, dimensi kristalin MgNi 2 mengalami penurunan mencapai 13,485 nm. Setelah proses milling berlangsung selama 15 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni tetap mengalami penurunan. Dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 8,821 nm dan 10,565 nm. Sedangakan dimensi kristalin MgNi 2 adalah 13,485 nm. Setelah proses milling selama berlangsung selama 20 jam, dimensi kristalin Mg dan Ni tetap menurun seiring dengan peningkatan durasi milling. Dimensinya pada saat tersebut secara berturut-turut adalah 6,773 nm dan nm. Sedangakan dimensi kristalin MgNi 2 mengalami peningkatan mencapai 15,471 nm. Berdasarkan fenomena tersebut terlihat bahwa dimensi kristalin mengalami peningkatan setelah milling 10 jam, kemudian setelah milling 15 jam menurun dan setelah 20 jam meningkat kembali. Analisa Morfologi dan Dimensi Partikel dengan SEM Paduan Mg 2 Ni Baik pada pembuatan paduan Mg 2 Ni maupun MgNi 2 dilakukan karakterisasi SEM dengan menggunakan film polaroid. Pengamatan menggunakan SEM menunjukkan bahwa morfologi partikel berbentuk bulat. Selama proses milling, partikel-partikel tersebut tercampur dan mengalami impact, kemudian terdeformasi sehingga terjadi aglomerasi. Agar dimensi partikel mudah diukur, maka diusahakan sedemikian rupa sehingga paduan terdispersi dengan cara mencampurkan paduan dengan aseton sebelum diamati dengan SEM. Dengan demikian partikel terpisah dan terlihat bulat (Gambar 17 dan 19). Pengukuran partikel dilakukan dengan cara membandingkan dimensi partikel yang tercetak dengan skala pembesaran. Misalkan ukuran yang tercetak adalah 0,7 cm dan skala perbesaran = 2 x 10 4 kali atau dengan kata lain 2 cm mewakili 1 µm. Sehingga dimensi partikel yang sebenarnya adalah: 0,7cm 1µ m = 0,35µ m = 350nm (3) 2cm dimensi kristalin (nm) durasi milling (jam) Ni Mg MgNi2 Pengukuran tersebut dilakukan dengan mengukur 5 partikel dengan 8 posisi yang berbeda kemudian nilainya dirata-ratakan. Pada saat t = 0,5 jam dimensi rata-rata partikel adalah 342 nm. diameter partikel (nm) durasi milling (jam) Gambar 15 Perubahan dimensi kristalin pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling. Gambar 16 Perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling.

23 14 0,5 jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam Gambar 17 Hasil pengamatan SEM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni pada berbagai durasi milling

24 15 Pada awal milling pada pembuatan paduan Mg 2 Ni, yaitu saat t = 0,5 jam, terlihat bahwa paduan kurang terdispersi, sehingga masih terjadi aglomerasi seperti gumpalan awan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya aseton saat preparasi. Walaupun banyak partikel yang teraglomerasi, morfologi partikel yang bulat-bulat masih nampak, sehingga masih mungkin dilakukan pengukuran dimensi partikel. Dimensi rata-rata partikel paduan tersebut adalah 342 nm (Gambar16 dan 17). Pada tahap selanjutnya, yaitu saat t = 5 jam, terlihat bahwa paduan lebih terdispersi, namun sampel yang dilarutkan dengan aseton terlalu banyak dan berbentuk bulat. Pada tahap ini terlihat pula bahwa dimensi partikel lebih kecil dari pada dimensi partikel setelah milling 0,5 jam, karena paduan lebih terdeformasi akibat tumbukan dan tekanan yang diberikan bola-bola kepada paduan. Dimensi partikel rata-rata pada tahap ini menurun menjadi 200 nm. Pada saat t = 10 jam, paduan lebih terdispersi dari pada paduan saat t = 5 jam, namun sampel yang dilarutkan dengan aseton masih terlalu banyak, hampir sama halnya dengan saat t = 5 jam. Pada tahap ini dimensi partikel sedikit lebih kecil dari pada dimensi partikel setelah milling 5 jam. Hal ini juga disebabkan paduan semakin terdeformasi seiring dengan peningkatan durasi milling. Dimensi rata-rata partikel pada tahap ini berbeda 42 nm dari dimensi partikel rata-rata setelah milling 5 jam, yaitu 158 nm. Setelah sampel mengalami proses milling selama 15 jam, morfologi partikel sama dengan morfologi partikel pada tahap sebelumnya, hanya dimensinya yang berubah. Dimensi rata-rata partikel menurun menjadi 116 nm. Pada tahap akhir, yaitu saat t = 20 jam, dimensi rata-rata partikel tereduksi menjadi 50 nm. Pada tahap ini agak sulit untuk mengukur ukuran partikel sebab ukurannya sangat kecil. Berdasarkan data-data diatas, semakin bertambah durasi milling maka dimensi partikel semakin menurun. Untuk mempermudah mengamati perubahan dimensi rata-rata partikel seperti grafik pada Gambar16. Paduan MgNi 2 Sama halnya dengan paduan Mg 2 Ni, preparasi sampel untuk mengamati morfologi dan dimensi partikel MgNi 2 dilakukan dengan mencampurkan paduan dengan aseton murni agar partikel yang diamati terdispersi. Pada awal milling paduan MgNi 2, yaitu saat t = 0,5 jam, terlihat bahwa sampel terdispersi sempurna sehingga dimensi partikel dapat dengan mudah diukur dan morfologi partikel pun dengan mudah diamati (Gambar 18 dan 19), yaitu bulat. Nilai rata-rata dimensi partikel pada saat tersebut adalah 350 nm, sedikit lebih besar dari pada dimensi rata-rata partikel Mg 2 Ni dengan durasi milling yang sama. Pada tahap selanjutnya, yaitu saat t = 5 jam, terlihat bahwa paduan dapat dikatakan terdispersi, namun sampel yang dilarutkan dengan aseton terlalu banyak. Morfologi partikel masih tetap berbentuk bulat. Pada tahap ini terlihat pula bahwa dimensi partikel lebih kecil dari pada dimensi partikel setelah milling 0,5 jam. Dimensi partikel rata-rata pada tahap ini menurun menjadi 200 nm. Pada saat t = 10 jam, paduan pun terdispersi. Morfologi partikel tetap sama dengan morfologi partikel pada milling 5 jam, namun pada tahap ini dimensi partikel sedikit lebih kecil dari pada dimensi partikel setelah milling 5 jam. Dimensi rata-rata partikel pada tahap ini yaitu 175 nm. Setelah sampel mengalami proses milling selama 15 jam, walaupun gambarnya kurang bagus, akan tetapi morfologi masih jelas teramati dan dimensinya pun dapat diukur. Morfologi partikel tidak berbeda dengan morfologi partikel pada tahap sebelumnya, hanya dimensinya yang berubah. Dimensi rata-rata partikel menurun menjadi 145 nm. Pada tahap akhir, yaitu saat t = 20 jam, dimensi rata-rata partikel tereduksi menjadi 80 nm. Pada tahap ini agak sulit untuk mengukur ukuran partikel sebab ukurannya sangat kecil. Berdasarkan data-data tersebut maka dapat dibuat grafik seperti pada Gambar 18. Terlihat bahwa semakin bertambah durasi milling maka dimensi partikel MgNi 2 semakin tereduksi. Apabila dibandingkan secara seksama, dimensi partikel paduan Mg 2 Ni lebih kecil dari pada dimensi paduan MgNi 2 yang dilakukan proses milling dengan durasi 0,5, 10, 15 dan 20 jam, kecuali saat durasi milling 5 jam, dimensi partikel Mg 2 Ni sama dengan dimensi partikel MgNi 2 yang telah dilakukan proses milling dengan durasi yang sama.

25 16 dimensi partikel (nm) durasi milling (jam) Gambar 18 Perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling. Berdasarkan pengamatan partikel menggunakan SEM, terlihat dengan jelas bahwa parikel-partikel pada paduan Mg 2 Ni lebih kecil bila dibandingkan partikel MgNi 2 yang telah dilakukan milling dengan durasi yang sama.. Hal ini membuktikan bahwa partikel-partikel pada paduan Mg 2 Ni lebih mudah terdeformasi dari pada partikelpartikel pada paduan MgNi 2. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menurut Web Element Periodic Table [8], modulus Young Ni adalah 200 GPa, sedangkan modulus Young Mg hanya 45 GPa dan kekerasan Brinell Ni adalah 700 M N m -2. Berdasarkan data-data tersebut terlihat bahwa baik modulus Young maupun kekerasan Brinell Ni lebih besar dari pada Mg. Bahan yang memiliki modulus Young dan kekerasan Brinell lebih besar, maka bahan tersebut lebih sulit terdeformasi. Dengan demikian Ni lebih sulit terdeformasi dari pada Mg. Fasa Mg 2 Ni memiliki komponan Mg yang lebih dominan dari pada Ni, sedangkan fasa MgNi 2 memiliki komponan Ni yang lebih dominan dari pada Mg. Berdasarkan analisa di atas maka dapat dikatakan bahwa paduan dengan stoikiometri Mg 2 Ni lebih mudah terdeformasi dari pada MgNi 2. Oleh sebab itu, ukuran partikel rata-rata paduan Mg 2 Ni lebih cepat menurun dari pada MgNi 2. Pengaruh Dimensi Kristalin, Dimensi Partikel dan Pembentukan MgO apabila Diaplikasikan sebagai Paduan Penyimpan Hidrogen Seperti pada pembahasan sebelumnya, MgO terjadi akibat Mg yang teroksidasi ketika paduan terkontaminasi dengan udara. Dalam aplikasi paduan Mg (magnesium alloy) sebagai bahan penyimpan hidrogen (H), fasa ini dapat menghambat masuknya atom H ke dalam ruang intertisi pada paduan. Apabila dibandingkan antara paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2, paduan Mg 2 Ni sangat mudah teroksidasi dari pada paduan MgNi 2. Hal ini dapt terlihat dari intensitas dan fraksi volume MgO yang telah terbentuk dengan berbagai variasi milling. Dengan demikian, apabila hanya diamati dari kandungan MgO yang terbentuk maka dapat dikatakan MgNi 2 lebih baik sebagai bahan penyimpan H dari pada paduan Mg 2 Ni. Namun apabila dianalisa berdasarkan ukuran kristalin, setelah milling 20 jam, dimensi kristalin Mg, Ni, dan Mg2Ni pada paduan Mg 2 Ni lebih kecil dari pada dimensi kristalin Mg, Ni dan MgNi 2 pada paduan MgNi 2. Semakin kecil dimensi kristalin, maka semakin banyak batas butir yang terbentuk, sehingga ruang interstisi yang terbentuk pun semakin banyak. Dengan demikian paduan Mg 2 Ni dapt menyimpan H lebih banyak dari pada paduan MgNi 2. Hal ini dapat juga terlihat dari perbandingan dimensi partikel paduan Mg 2 Ni dan MgNi 2. Namun pada analisa ini, dimensi kristalin MgO baik yang berasal dari paduan Mg 2 Ni maupun MgNi 2 tidak dibahas, sebab H masuk ke ruang interstisi logam melalui batas butir paduan, sedangkan MgO berada pada permukaan paduan. Jadi dalam menganalisa paduan mana yang lebih baik untuk menyimpan H hanya dilihat dari dimensi kristalin Mg, Ni dan Mg 2 Ni dan MgNi 2. Hasil pengamatan SEM, menunjukkan bahwa dimensi partikel Mg 2 Ni maupun MgNi 2 berorde nano setelah milling selama 20 jam, namun dimensi rata-rata partikel Mg 2 Ni (50 nm) lebih kecil dari pada dimensi rata-rata partikel MgNi 2 (80 nm). Alasannya adalah seperti telah dijelaskan sebelumnya. Semakin kecil dimensi partikel suatu paduan, maka luas permukaan paduan tersebut semakin kecil pula dan akan semakin banyak probabilitas atom H untuk masuk masuk ke dalam ruang interstisi logam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa paduan Mg 2 Ni dapat menampung atom H lebih cepat dari pada paduan MgNi 2.

26 17 0,5 jam 5 jam 10 jam 15 jam 20 jam Gambar 19 Hasil pengamatan SEM pada pembuatan paduan MgNi 2 pada berbagai durasi milling SIMPULAN DAN SAR

27 18 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pada awal milling paduan Mg 2 Ni, hanya fasa Mg dan Ni yang terbentuk. Setelah 5 jam, mulai terbentuk fasa Mg 2 Ni dan MgO. Demikian pula pada paduan MgNi Pada paduan Mg 2 Ni, fraksi volume Mg dan Ni semakin menurun, sedangkan fraksi volume Mg 2 Ni dan MgO semakin meningkat dengan bertambahnya durasi milling. Demikian pula pada paduan MgNi Fraksi volume Mg 2 Ni lebih besar dari pada fraksi volume MgNi 2 pada durasi milling t = 20 jam. Dengan demikian dapat dikatakan paduan Mg 2 Ni lebih mudah terbentuk dari pada paduan MgNi Fraksi volume MgO yang terbentuk dari paduan Mg 2 Ni lebih besar dari pada fraksi volume MgO yang terbentuk dari paduan MgNi 2. Maka dari itu, paduan Mg 2 Ni lebih mudah teroksidasi dari pada paduan MgNi Dimensi kristalin Mg 2 Ni lebih kecil dari pada dimensi kristalin MgNi 2 setelah milling 20 jam. 6. Dimensi partikel paduan Mg 2 Ni lebih kecil dari pada dimensi prtikel paduan MgNi Paduan Mg 2 Ni lebih baik diaplikasikan menjadi paduan penympan hidrogen dari pada paduan MgNi 2. Saran Untuk penelitian lebih lanjut dapat divariasikan perbandingan massa bola-bola terhadap massa sampel agar lebih terlihat pengaruhnya terhadap pembentukan paduan. Selain itu perlu juga dilakukan penambahan durasi milling. Analisa difraksi sinar-x lebih mendalam juga perlu dilakukan agar dapat diperoleh informasi yang lebih lengkap. Untuk melengakpi hasil difraksi sinar-x, perlu dilakukan karakterisasi DTA untuk mengetahui pada suhu berapa terjadi perbahan fasa. Karakterisasi mekanik pun perlu dilakukan pada tahap selanjutnya agar diketahui kekerasan paduan yang dihasilkan. Untuk tahap selanjutnya perlu dilakukan karakterisasi kinetika penyerapan dan pelepasan hidrogen dengan menggunakan peralatan Sievert. DAFTAR PUSTAKA [1] Bormann R Hydrogen Storage Materials. [16 Pebruari 2006]. [2] Pyle W Hydrogen Storage. [16 Pebruari 2006]. [3] Züttel A Materials for Hydrogen Storage. [16 Pebruari 2006]. [4] Buschow KHJ, Bouten PCP Miedema AR Hydrides of Intermetalic Compounds of Two Transition Metals. [5] Zaluska A, Zaluski L, Ostrom J. Nanocrystaline Magnesium for Hydrogen Storage. Journal of Alloys and Componds 1999; 267: [6] ASM. Atlas of Crystal Structure Types. Vol. 3A. USA. [7] Gaffet E Mechanosynthesis : What does It Mean? (Mechanical Alloyimg, Ball Milling and Attrition). oesitmean.html [2 Maret 2006]. [8] Winter, M Web Elements Periodic Table : Magnesium : Physical Properties. [ 11 Juli 2006]. [9] Winter, M Web Elements Periodic Table : Nickel : Physical Properties. [ 11 Juli 2006]. [10] Anoname Mechanical Alloying, Casa Study. [2 Maret 2006]. [11] ASM. Milling of Brittle and Ductile Materials. Vol. 7. USA. [12] Smallman R. E Metalurgi Fisik Modern. Arifin B, Myrna A, penerjemah; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Modern Physical Metalurgy. [13] Arifianto Pengaruh Atmosfer dan Suhu Sintering terhadap Komposisi Pelet Hidroksiapatit yang Dibuat dari Sintesa Kimia dengan Media Air dan SBF [skripsi]. Bogor : IPB. [14] Purwanto, A Difraksi dalam Ilmu Bahan. Tangerang : Universitas Pelita Harapan.

28 [15] Cullity, B.D dan Stock, S.R Element of X-Ray Diffraction 3rd Edition.USA : Prentice Hall. [16] Tipler, P.A Fisika untuk Sain dan Teknik. Jakarta : Erlangga. [17] Jenkins, R X-Ray Technique : Overview (In Encyclopedia of Anaylytical Chemistry). Chichester : John Willey and Sons Ltd. [18] Suminta S, Fajar A, Raharjo HM, Santoso E Penghalusan Struktur Fasa Standar Si,Ni dan Al 2 O 3 dengan Metode Rietveld. Pusat Penelitian dan Pengembangan Iptek Bahan Batan Serpong. 19

29 LAMPIRAN 20

30 21 Lampiran 1 Penghalusan refinement) Analisa fasa dan persen volume dapat dilakukan dengan penghalusan (refinement) parameter. Pada program MAUD penulis melakukan penghalusan pada parameter latar belakang (background), fasa dasar, mikrostruktur, struktur kristal, faktor skala dan posisi atom. Untuk mengetahui baik atau tidaknya hasil penghalusan ditunjukkan oleh nilai reliabilitas bobot pola difraksi (R w ) dan kualitas fitting, goodness of fitting (Sig). Nilai - nilai ini menunjukkan kesesuaian data hasil pengamatan dengan perhitungan. Semakin kecil nilai R w dan Sig menunjukkan kesesuaian antara hasil peengamatan dengan perhitungan semakin baik [18]. Artinya bahwa parameter profil, parameter srtuktur kristal dan persen volume yang diuji semakin mendekati nilai yang sebenarnya. Menurut R.A. Young [18] nilai kualitas fitting (Sig) dengan katagori diterima dan memuaskan pada Sig = 1,35 %. Sedangkan penghalusan yang dikatagorikan memiliki tingkat kepecayaan yang tinggi jika nilai tingkat kepercayaan (R w ) lebih kecil dari 20 %. Profil pola difraksi sinar-x dari hasil penghalusan MAUD pada rentang sudut (20-100) o menghasilkan nilai kualitas fitting (Sig) dan tingkat kepercayaan (R w ) seperti yang tertera pada tabel berikut. 5,0 1,24 16,86 10,0 1,30 18,61 15, ,54 20, ,83 Tabel Data kualitas fitting MgNi 2 t (jam) Sig (%) R w (%) 0,5 1,18 16,78 5,0 1,23 17,93 10,0 1,22 16,36 15,0 1,30 19,61 20,0 1,19 17,61 Nilai kualitas fitting (Sig) baik pada fasa Mg 2 Ni maupun MgNi 2 lebih kecil dari 1,35 % dan nilai tingkat kepercayaan (R w ) kedua fasa tersebut lebih kecil dari 20 %. Dengan demikian nilai parameter profil, parameter srtuktur kristal dan persen volume yang diuji mendekati nilai yang sebenarnya atau dengan kata lain hasil penghalusannya dapat diterima dan memuaskan. Tabel Data kualitas fitting Mg 2 Ni t (jam) Sig (%) R w (%) 0,5 1,20 17,95

31 22 Lampiran 2 Tabel perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan Mg 2 Ni Durasi milling (jam) Ni (%) Mg (%) Mg 2 Ni (%) MgO (%) 0,5 61,71 38,29 0,00 0,00 5,0 39,65 8,99 29,93 21,43 10,0 19,66 0,21 35,55 44,58 15,0 7,89 0,18 40,32 51,61 20,0 1,89 0,17 41,89 56,05 Lampiran 3 Tabel perubahan fraksi volume pada pembuatan paduan MgNi 2 Waktu milling (jam) Ni (%) Mg (%) MgNi 2 (%) MgO (%) 0,5 79,78 20,22 0,00 0,00 5,0 73,24 10,31 5,21 11,24 10,0 72,09 8,87 7,49 11,55 15,0 70,95 6,41 10,59 12,05 20,0 70,02 4,32 12,91 12,75

32 23 Lampiran 4 Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 0,5 jam 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) ( radian) 32,136 2, ,5 261,5 0,2972 0, ,359 2, ,2 1129,1 0,2498 0, ,577 2, ,5 14,9 0,2906 0, ,050 2, ,0 368,8 0,8346 0, ,455 2, ,5 4897,9 0,3138 0, ,792 1, ,2 394,9 0,3566 0, ,834 1, ,2 2464,5 0,4838 0, ,380 1, ,2 184,3 0,3720 0, ,064 1, ,3 454,5 0,4095 0, ,694 1, ,1 290,5 0,5264 0, ,971 1, ,6 133,2 0,3879 0, ,423 1, ,9 1203,4 0,5997 0, ,963 1, ,6 1204,9 0,7449 0, ,574 1, ,4 395,6 0,7620 0,01329 Lampiran 5 Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 5 jam 2 teta FWHM FWHM d (A) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 22,137 4, ,5 29,8 0,3251 0, ,162 2, ,5 96,7 0,5134 0, ,249 2, , ,3966 0, ,580 2, ,1 663,9 0,7227 0, ,540 2, ,2 4111,7 0,4159 0, ,191 1, ,5 161,4 1,0838 0, ,879 1, ,0 1843,8 0,5681 0, ,464 1, ,0 105,9 0,6733 0, ,862 1, ,9 681,4 2,1693 0, ,863 1, ,9 88,3 0,5393 0, ,543 1, ,7 22,9 0,2836 0, ,435 1, ,1 949,4 0,6905 0, ,922 1, ,0 20,0 0,3252 0, ,960 1, ,5 42,5 0,6644 0, ,983 1, ,8 1237,7 0,8882 0, ,490 1, ,0 395,5 0,7330 0,01279

33 24 Lampiran 6 Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 10 jam 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 20,814 4, ,5 29,0 0,2748 0, ,382 2, ,3 1284,9 0,4070 0, ,330 2, ,9 2922,7 4,3441 0, ,209 2, ,9 4908,7 4,3441 0, ,922 2, ,7 8294,3 3,3986 0, ,398 2, ,2 2598,5 0,4862 0, ,324 1, ,1 1337,5 0,6125 0, ,754 1, ,3 1020,9 0,7092 0, ,384 1, ,9 767,4 2,0904 0, ,020 1, ,4 26,7 0,2768 0, ,781 1, ,5 1123,3 1,2464 0, ,208 1, ,2 663,6 0,9517 0, ,260 1, ,4 63,4 0,6522 0, ,506 1, ,4 98,0 0,8671 0, ,200 1, ,2 66,1 0,5745 0, ,900 1, ,9 660,9 1,2042 0, ,541 1, ,5 35,8 0,2682 0, ,731 1, ,2 29,0 0,3335 0, ,614 1, ,7 220,2 1,4518 0,02533 Lampiran 7 Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 15 jam 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 22,485 3, ,5 87,9 0,5699 0, ,234 2, ,1 677,1 1,4588 0, ,631 2, ,9 6057,0 5,4116 0, ,967 2, ,2 9343,2 2,9662 0, ,442 2, ,3 8365,7 2,5747 0, ,916 1, ,4 1167,1 1,3011 0, ,366 1, ,8 1537,9 1,6352 0, ,399 1, ,6 728,0 1,4819 0, ,299 1, ,2 1718,7 4,7146 0, ,374 1, ,4 57,9 0,4666 0, ,211 1, ,8 849,0 2,3247 0, ,355 1, ,0 178,3 1,1380 0,01985

34 25 Lampiran 8 Tabel FWHM pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 20 jam, 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 22,169 4, ,5 248,4 1,3075 0, ,939 2, ,5 586,2 1,2550 0, ,025 2, ,2 3687,9 1,2573 0, ,753 2, ,1 2765,7 1,0265 0, ,813 1, ,3 614,9 1,3548 0, ,256 1, ,0 1863,4 1,3887 0, ,325 1, ,0 25,9 0,2765 0, ,350 1, ,1 954,4 3,1418 0, ,614 1, ,9 667,9 1,7587 0, ,400 1, ,7 115,4 0,6445 0, ,826 1, ,7 397,0 1,5650 0, ,340 1, ,6 20,0 0,2106 0, ,309 1, ,3 49,2 0,3828 0,00668 Lampiran 9 Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 0,5 jam 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 22,526 3, ,3 9,8 0,6880 0, ,210 2, ,0 120,5 0,3434 0, ,422 2, ,4 162,5 0,3254 0, ,647 2, ,4 464,8 0,3385 0, ,553 2, ,1 68,5 0,3252 0, ,877 1, ,3 103,3 0,4560 0, ,939 1, ,9 3638,7 0,4730 0, ,418 1, ,7 108,8 0,7691 0, ,095 1, ,0 122,8 0,5467 0, ,611 1, ,0 48,7 0,3368 0, ,023 1, ,6 80,5 0,6022 0, ,538 1, ,4 1965,9 0,6110 0, ,123 1, ,5 2187,4 0,8034 0, ,486 1, ,8 773,3 0,8000 0,01396

35 26 Lampiran 10 Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 5 jam 2 teta (derajat) d (Å) Height Area FWHM (derajat) FWHM (radian) 21,994 4, ,4 160,4 1,0152 0, ,971 2, ,9 297,3 1,5956 0, ,519 2, ,8 3523,9 0,6225 0, ,702 1, ,3 7803,4 1,2209 0, ,857 1, ,9 1431,5 0,8873 0, ,030 1, ,5 55,1 0,3509 0, ,387 1, ,2 794,9 0,8705 0, ,289 1, ,0 40,0 0,2731 0, ,735 1, ,2 953,1 1,3521 0, ,478 1, ,0 266,5 0,8382 0,01462 Lampiran 11 Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 10 jam 2 teta (derajat) d (Å) Height Area FWHM (derajat) FWHM ( radian) 22,828 3, ,3 68,1 0,5961 0, ,292 2, ,7 7203,7 2,1290 0, ,321 1, ,2 2491,5 2,8578 0, ,676 1, ,8 198,3 1,3057 0, ,792 1, ,2 1240,5 2,7264 0, ,143 1, ,0 1240,6 2,7291 0, ,190 1, ,1 1721,2 0,8129 0, ,495 1, ,5 86,0 0,6610 0, ,415 1, ,8 930,2 3,1231 0, ,163 1, ,1 160,9 1,3483 0, ,777 1, ,3 60,2 0,5148 0,00898

36 27 Lampiran 12 Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 15 jam 2 teta FWHM d (Å) Height Area FWHM (derajat) (derajat) ( radian) 21,776 4, ,1 66,7 0,6000 0, ,805 3, ,8 143,0 1,2000 0, ,593 3, ,4 36,5 0,4159 0, ,581 2, ,7 27,6 0,2450 0, ,494 2, ,3 5846,7 1,9078 0, ,848 1, ,2 1582,4 2,3712 0, ,170 1, ,8 180,2 1,2229 0, ,105 1, ,1 161,5 0,4067 0, ,001 1, ,9 83,6 0,7186 0, ,385 1, ,9 810,5 3,0371 0, ,751 1, ,0 800,3 3,0001 0, ,894 1, ,1 53,2 0,4160 0, ,161 1, ,3 99,6 0,7436 0, ,884 1, ,2 47,4 0,3760 0,00656 Lampiran 13 Tabel FWHM pada pembuatan paduan MgNi 2 20 jam 2 teta FWHM FWHM d (Å) Height Area (derajat) (derajat) (radian) 22,029 4, ,8 73,4 0,5232 0, ,855 2, ,4 5939,5 1,4371 0, ,181 1, ,3 1129,1 1,1883 0, ,265 1, ,4 127,5 0,5279 0, ,443 1, ,1 1082,5 2,0900 0, ,645 1, ,2 754,4 1,6833 0, ,924 1, ,9 269,6 1,8884 0, ,834 1, ,2 127,4 0,8736 0,01524

37 28 Lampiran 14 Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Durasi Milling (jam) 0,5 5,0 10,0 Dimensi Partikel (nm) Partikel 1 Partikel 2 Partikel 3 Partikel 4 Partikel

38 29 Lampiran 14 (Lanjutan) Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan Mg 2 Ni akibat peningkatan durasi milling Durasi Milling (jam) 15,0 20,0 Dimensi Partikel (nm) Partikel 1 Partikel 2 Partikel 3 Partikel 4 Partikel

39 30 Lampiran 15 Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling Durasi Milling (jam) 0,5 5,0 10,0 Dimensi partikel (nm) Partikel 1 Partikel 2 Partikel Partikel 4 Partikel

40 31 Lampiran 15 (Lanjutan) Tabel perubahan dimensi partikel pada pembuatan paduan MgNi 2 akibat peningkatan durasi milling Durasi Milling (jam) 15,0 20,0 Dimensi Partikel (nm) Partilkel 1 Partikel 2 Partiel 3 Partikel 4 Partikel

41 32 Lampiran 16 Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 0,5 jam

42 33 Lampiran 16 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 5 jam

43 34 Lampiran 16 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 10 jam

44 35 Lampiran 16 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 15 jam

45 36 Lampiran 16 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan Mg 2 Ni 20 jam

46 37 Lampiran 17 Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi 2 0,5 jam

47 38 Lampiran17 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi 2 5 jam

48 39 Lampiran 17 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi 2 10 jam

49 40 Lampiran 17 (Lanjutan) Pola difraksi sinar-x pada pembuatan paduan MgNi 2 15 jam

50 41 Lampiran 17 (Lanjutan) Pola difraksi sinar- X pada pembuatan paduan MgNi 2 20 jam

51 Lampiran 18 Data JCPDS 42

52 Lampiran 18 (Lanjutan) Data JCPDS 43

53 Lampiran 18 (Lanjutan) Data JCPDS 44

54 Lampiran 18 (lanjutan) Data JCPDS 45

55 46 Lampiran 19 Peralatan milling High Energy Ball Milling Vial dan Bola-bola

56 47 Lampiran 20 Peralatan Karaktrisasi XRD (X-Ray Diffraction) SEM (Scanning Electron Microscopy)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah serbuk magnesium yang diproduksi oleh Aremco dengan kemurnian 99,8 % dan ukuran partikel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan 6 didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 3.3.3 Sintesis Kalsium Fosfat Sintesis kalsium fosfat dalam penelitian ini menggunakan metode sol gel. Senyawa kalsium fosfat diperoleh dengan mencampurkan serbuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. 10 dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis paduan CoCrMo Pada proses preparasi telah dihasilkan empat sampel serbuk paduan CoCrMo dengan komposisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kemajuan teknologi yang pesat pada abad 20 dan ditambah dengan pertambahan penduduk yang tinggi seiring dengan konsumsi energi dunia yang semakin besar. Konsumsi

Lebih terperinci

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER) Oleh: Kusnanto Mukti / M0209031 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta 2012 I. Pendahuluan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas 29 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung. Analisis difraksi sinar-x dan analisis morfologi permukaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu eksperimen. Pembuatan serbuk CSZ menggunakan cara sol gel. Pembuatan pelet dilakukan dengan cara kompaksi dan penyinteran dari serbuk calcia-stabilized

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

Galuh Intan Permata Sari

Galuh Intan Permata Sari PENGARUH MILLING TIME PADA PROSES MECHANICAL ALLOYING DALAM PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK γ-tial DENGAN MENGGUNAKAN HIGH ENERGY MILLING Dosen Pembimbing: 1. Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si 2. Ir. Rochman

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi serbuk. 3.2

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill I Wayan Yuda Semaradipta 2710100018 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI 140310110018 JURUSAN FISIKA OUTLINES : Sinar X Difraksi sinar X pada suatu material Karakteristik Sinar-X Prinsip

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG TELUR AYAM UNTUK SINTESIS HIDROKSIAPATIT DENGAN REAKSI KERING FITRIANI PRASETYANTI

PEMANFAATAN CANGKANG TELUR AYAM UNTUK SINTESIS HIDROKSIAPATIT DENGAN REAKSI KERING FITRIANI PRASETYANTI PEMANFAATAN CANGKANG TELUR AYAM UNTUK SINTESIS HIDROKSIAPATIT DENGAN REAKSI KERING FITRIANI PRASETYANTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK

Lebih terperinci

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : METODE X-RAY Kristalografi X-ray adalah metode untuk menentukan susunan atom-atom dalam kristal, di mana seberkas sinar-x menyerang kristal dan diffracts ke arah tertentu. Dari sudut dan intensitas difraksi

Lebih terperinci

ANALISIS KRISTAL DAN MORFOLOGI PERMUKAAN KOMPOSIT PARTIKEL MARMER KALSIT ANA ARMALIA K

ANALISIS KRISTAL DAN MORFOLOGI PERMUKAAN KOMPOSIT PARTIKEL MARMER KALSIT ANA ARMALIA K ANALISIS KRISTAL DAN MORFOLOGI PERMUKAAN KOMPOSIT PARTIKEL MARMER KALSIT ANA ARMALIA K DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ANALISIS KRISTAL

Lebih terperinci

PEMBUATAN KARAMEL DARI SUSU SAPI (KEMASAN) DAN KARAKTERISASI FISIK SERTA phnya. oleh: EUIS HANDAYANI G

PEMBUATAN KARAMEL DARI SUSU SAPI (KEMASAN) DAN KARAKTERISASI FISIK SERTA phnya. oleh: EUIS HANDAYANI G PEMBUATAN KARAMEL DARI SUSU SAPI (KEMASAN) DAN KARAKTERISASI FISIK SERTA phnya oleh: EUIS HANDAYANI G74103034 DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS SKRIPSI Oleh : Ahsanal Holikin NIM 041810201063 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bubuk magnesium oksida dari Merck, bubuk hidromagnesit hasil sintesis penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN MIKROSTRUKTUR, STRUKTUR KRISTAL, DAN KRISTALIT PERTUMBUHAN FASA Mg 2 Al 3 HASIL MECHANICAL ALLOYING

TINJAUAN MIKROSTRUKTUR, STRUKTUR KRISTAL, DAN KRISTALIT PERTUMBUHAN FASA Mg 2 Al 3 HASIL MECHANICAL ALLOYING TINJAUAN MIKROSTRUKTUR, STRUKTUR KRISTAL, DAN KRISTALIT PERTUMBUHAN FASA Mg 2 Al 3 HASIL MECHANICAL ALLOYING Hadi Suwarno (1) dan Wisnu Ari Adi (2) 1. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN 2. Pusat

Lebih terperinci

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA Oleh : Frischa Marcheliana W (1109100002) Pembimbing:Prof. Dr. Darminto, MSc Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Desain Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan menggunakan metode tape

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM

IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM IDENTIFIKASI Fase KOMPOSIT OKSIDA BESI - ZEOLIT ALAM HASIL PROSES MILLING Yosef Sarwanto, Grace Tj.S., Mujamilah Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir - BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang 15314.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

PREPARASI ULTRA FINE-GRAINED PADUAN HIDRIDA LOGAM SISTEM Mg-Fe MENGGUNAKAN TEKNIK MECHANICAL MILLING UNTUK HYDROGEN STORAGE

PREPARASI ULTRA FINE-GRAINED PADUAN HIDRIDA LOGAM SISTEM Mg-Fe MENGGUNAKAN TEKNIK MECHANICAL MILLING UNTUK HYDROGEN STORAGE PREPARASI ULTRA FINE-GRAINED PADUAN HIDRIDA LOGAM SISTEM Mg-Fe MENGGUNAKAN TEKNIK MECHANICAL MILLING UNTUK HYDROGEN STORAGE Wisnu Ari Adi* dan Hadi Suwarno** *Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir BATAN,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Paduan Fe-Al merupakan material yang sangat baik untuk digunakan dalam berbagai aplikasi terutama untuk perlindungan korosi pada temperatur tinggi [1]. Paduan ini

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT APATIT-KITOSAN DENGAN METODE IN-SITU DAN EX-SITU ASTRI LESTARI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ABSTRAK

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sintesa Garam Magnesium Klorida Garam magnesium klorida dipersiapkan melalui dua bahan awal berbeda yaitu bubuk magnesium oksida (MgO) puritas tinggi dan bubuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus

BAB I PENDAHULUAN. energi listrik. Pemanfaatan energi listrik terus berkembang tidak hanya berfokus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring pertumbuhan penduduk di dunia yang semakin meningkat, kebutuhan akan sumber energi meningkat pula. Termasuk kebutuhan akan sumber energi listrik. Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai pada bulan Agustus 2011 sampai bulan Januari tahun 2012. Tempat penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu 6 Dilanjutkan dengan sintering pada suhu 900⁰C dengan waktu penahanannya 5 jam. Timbang massa sampel setelah proses sintering, lalu sampel dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan FTIR. Metode wise drop

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb.unit) Intensitas (arb. unit) Intensitas 7 konstan menggunakan buret. Selama proses presipitasi berlangsung, suhu larutan tetap dikontrol pada 7 o C dengan kecepatan

Lebih terperinci

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP LOGO PRESENTASI TESIS STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP. 1109201006 DOSEN PEMBIMBING: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. JURUSAN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI Oleh ARI MAULANA 04 04 04 010 Y SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN PERSYARATAN

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI

SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI SINTESIS DAN KARAKTERISASI CORE-SHELL ZnO/TiO2 SEBAGAI MATERIAL FOTOANODA PADA DYE SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC) SKRIPSI Oleh Yuda Anggi Pradista NIM 101810301025 JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 SINTESIS SBA-15 Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan material mesopori silika SBA-15 melalui proses sol gel dan surfactant-templating. Tahapan-tahapan

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK 1) Luluk Indra Haryani, 2) Suminar Pratapa Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas

METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Universitas Lampung. Analisis XRD di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif

Lebih terperinci

Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti

Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti Budi Amin Simanjuntak, Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Lama Waktu Hidrogenasi terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl

Pengaruh Variasi Lama Waktu Hidrogenasi terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-31 Pengaruh Variasi Lama Waktu terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl Nasrul Arif Pradana dan Hariyati Purwaningsih

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen secara langsung. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit pelet CSZ-Ni

Lebih terperinci

BAB III EKSPERIMEN. 1. Bahan dan Alat

BAB III EKSPERIMEN. 1. Bahan dan Alat BAB III EKSPERIMEN 1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah Ca(NO 3 ).4H O (99%) dan (NH 4 ) HPO 4 (99%) sebagai sumber ion kalsium dan fosfat. NaCl (99%), NaHCO 3 (99%),

Lebih terperinci

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd) Spektroskopi difraksi sinar-x (X-ray difraction/xrd) merupakan salah satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong,

III. METODOLOGI PENELITIAN. analisis komposisi unsur (EDX) dilakukan di. Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong, III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomassa, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. permukaan (SEM), dan Analisis difraksi sinar-x (XRD),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK SERBUK 4.1.1. Serbuk Fe-50at.%Al Gambar 4.1. Hasil Uji XRD serbuk Fe-50at.%Al Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang Digunakan Alat yang akan digunakan dalam

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN LAPORAN TUGAS AKHIR SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN Oleh: Lisma Dian K.S (1108 100 054) Pembimbing: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc., Ph.D. 1

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2013, dilaksanakan di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2013, dilaksanakan di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2013, dilaksanakan di Laboratorium Material Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI

BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI BAB III EKSPERIMEN & KARAKTERISASI Pada bab ini dibahas penumbuhan AlGaN tanpa doping menggunakan reaktor PA- MOCVD. Lapisan AlGaN ditumbuhkan dengan variasi laju alir gas reaktan, hasil penumbuhan dikarakterisasi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimental dan pembuatan keramik film tebal CuFe 2 O 4 dilakukan dengan metode srcreen

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik/fisik Fakultas

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik/fisik Fakultas III. METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik/fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bulan November

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan magnet barium ferit, tahap karakterisasi magnet

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi di dunia akan terus meningkat. Hal ini berarti bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi di dunia akan terus meningkat. Hal ini berarti bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan energi di dunia akan terus meningkat. Hal ini berarti bahwa negara-negara di dunia selalu membutuhkan dan harus memproduksi energi dalam jumlah yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil XRD

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil XRD 9 Hasil XRD HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi dengan difraktometer sinar-x bertujuan untuk mengetahui fasa kristal yang terdapat dalam sampel, mengetahui parameter kisi dan menentukan ukuran kristal.

Lebih terperinci

OPTIMASI EFISIENSI TUNGKU SEKAM DENGAN VARIASI LUBANG UTAMA PADA BADAN KOMPOR RIFKI MAULANA

OPTIMASI EFISIENSI TUNGKU SEKAM DENGAN VARIASI LUBANG UTAMA PADA BADAN KOMPOR RIFKI MAULANA OPTIMASI EFISIENSI TUNGKU SEKAM DENGAN VARIASI LUBANG UTAMA PADA BADAN KOMPOR RIFKI MAULANA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRAK RIFKI MAULANA.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI HASIL 4.1.1 Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam Pengujian untuk mengetahui densitas sampel pellet Abu vulkanik 9,5gr dan Al 2 O 3 5 gr dilakukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron BAB V HASIL PENELITIAN Berikut ini hasil eksperimen disusun dan ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar mikroskop dan grafik. Eksperimen yang dilakukan menggunakan peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying

SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying -ب س م الله ال رح من ال رح يم - SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying Oleh : Febry Nugroho 2709 100 016 Dosen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di lab. Fisika Material, Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zirkonium dioksida (ZrO 2 ) atau yang disebut dengan zirkonia adalah bahan keramik maju yang penting karena memiliki kekuatannya yang tinggi dan titik lebur

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 KEREAKTIFAN LOGAM ALKALI DAN ALKALI TANAH 7 Oktober 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 KEREAKTIFAN LOGAM ALKALI DAN ALKALI TANAH 7 Oktober 2014 SEPTIA MARISA ABSTRAK LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK 1 KEREAKTIFAN LOGAM ALKALI DAN ALKALI TANAH 7 Oktober 2014 SEPTIA MARISA 1113016200027 ABSTRAK Kereaktifan Logam alkali dan alkali tanah luar biasa besar. Dalam satu golongan,

Lebih terperinci

Metodologi Penelitian

Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1 Diagram Alir Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah penelitian laboratorium yaitu mensintesis zeolit K-F dari kaolin dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sinar-X ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895. Karena asalnya tidak diketahui waktu itu maka disebut sinar-x. Sinar-X digunakan untuk tujuan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA

PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA PEMBENTUKAN LAPISAN TIPIS TiC MENGGUNAKAN METODE PIRAC : OKSIDASI PADA 980 o C DI UDARA Penyusun: Dian Agustinawati 1110.100.061 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Suasmoro, DEA Jurusan Fisika Fakultas Matematika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

Karakterisasi XRD. Pengukuran

Karakterisasi XRD. Pengukuran 11 Karakterisasi XRD Pengukuran XRD menggunakan alat XRD7000, kemudian dihubungkan dengan program dikomputer. Puncakpuncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian dicocokkan dengan standar difraksi

Lebih terperinci

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g) 22 HASIL PENELITIAN Kalsinasi cangkang telur ayam dan bebek perlu dilakukan sebelum cangkang telur digunakan sebagai prekursor Ca. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kombinasi suhu

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Program Studi Kimia FMIPA ITB sejak September 2007 sampai Juni 2008. III.1 Alat dan Bahan Peralatan

Lebih terperinci

Titik Leleh dan Titik Didih

Titik Leleh dan Titik Didih Titik Leleh dan Titik Didih I. Tujuan Percobaan Menentukan titik leleh beberapa zat ( senyawa) Menentukan titik didih beberapa zat (senyawa) II. Dasar Teori 1. Titik Leleh Titik leleh adalah temperatur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium. Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium Kimia Bio Massa, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Universitas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Universitas 39 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Universitas Lampung. Analisis distribusi ukuran partikel dilakukan di UPT. Laboratorium

Lebih terperinci

KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( ) R I N I T H E R E S I A ( )

KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( ) R I N I T H E R E S I A ( ) KIMIA DASAR TEKNIK INDUSTRI UPNVYK C H R I S N A O C V A T I K A ( 1 2 2 1 5 0 1 1 3 ) R I N I T H E R E S I A ( 1 2 2 1 5 0 1 1 2 ) Menetukan Sistem Periodik Sifat-Sifat Periodik Unsur Sifat periodik

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen secara kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian ini menjelaskan proses degradasi fotokatalis

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik / Fisik Fakultas

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik / Fisik Fakultas 36 III. METODELOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik / Fisik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bulan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN No.06 / Tahun III Oktober 2010 ISSN 1979-2409 KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN Martoyo, Ahmad Paid, M.Suryadiman Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir -

Lebih terperinci

Bab III Metoda Penelitian

Bab III Metoda Penelitian 28 Bab III Metoda Penelitian III.1 Lokasi Penelitian Sintesis senyawa target dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik dan Laboratorium Kimia Fisik-Material Departemen Kimia, Pengukuran fotoluminesens

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2012 di Instalasi Elemen

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2012 di Instalasi Elemen III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2012 di Instalasi Elemen Bakar Eksperimental (IEBE), Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir (PTBN)-

Lebih terperinci

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO

2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 2 SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSTRUKTUR ZnO 3 Pendahuluan ZnO merupakan bahan semikonduktor tipe-n yang memiliki lebar pita energi 3,37 ev pada suhu ruang dan 3,34 ev pada temperatur rendah dengan nilai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material dan Laboratorium Kimia Instrumentasi FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 29 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Pada penelitian ini metode yang digunakan peneliti adalah metode eksperimen. Material yang digunakan berupa pasta TiO 2 produksi Solaronix, bubuk Dyesol

Lebih terperinci

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis 7 konsentrasi larutan Ca, dan H 3 PO 4 yang digunakan ada 2 yaitu: 1) Larutan Ca 1 M (massa 7,6889 gram) dan H 3 PO 4 0,6 M (volume 3,4386 ml) 2) Larutan Ca 0,5 M (massa 3,8449) dan H 3 PO 4 0,3 M (volume

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 METODOLOGI PENELITIAN Proses pembuatan sampel dilakukan dengan menggunakan tabung HEM dan mesin MILLING dengan waktu yang bervariasi dari 2 jam dan 6 jam. Tabung HEM

Lebih terperinci

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar dilapisi bahan konduktif terlebih dahulu agar tidak terjadi akumulasi muatan listrik pada permukaan scaffold. Bahan konduktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon. Permukaan scaffold diperbesar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer 7 Keterangan Gambar 7 : 1. Komputer 2. Ocean Optic USB 2000 Spektrofotometer 3. Sumber Cahaya (Polikromatis) 4. Fiber Optik 5. Holder 6. Samp 7. Gambar 7 Perangkat spektrofotometer UV-VIS. Karakterisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Morfologi Analisis struktur mikro dilakukan dengan menggunakan Scanning Electromicroscope (SEM) Philips 515 dengan perbesaran 10000 kali. Gambar 5. menunjukkan morfologi hidroksiapatit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh waktu annealing terhadap diameter dan jarak antar butir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh waktu annealing terhadap diameter dan jarak antar butir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh waktu annealing terhadap diameter dan jarak antar butir katalis Au Perubahan morfologi katalis telah dilihat melalui pengujian SEM, gambar 4.1 memperlihatkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah logam. Seiring dengan jaman yang semakin maju, kebutuhan akan logam menjadi semakin tinggi.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.I Sintesis dan Karakterisasi Zeolit Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kaolin alam Cicalengka, Jawa Barat, Indonesia. Kaolin tersebut secara fisik berwarna

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012 26 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2012 sampai Desember 2012 di Laboratorium Fisika Material, Laboratorium

Lebih terperinci

MOLEKUL, ZAT PADAT DAN PITA ENERGI MOLEKUL ZAT PADAT PITA ENERGI

MOLEKUL, ZAT PADAT DAN PITA ENERGI MOLEKUL ZAT PADAT PITA ENERGI MOLEKUL, ZAT PADAT DAN PITA ENERGI MOLEKUL ZAT PADAT PITA ENERGI edy wiyono 2004 PENDAHULUAN Pada umumnya atom tunggal tidak memiliki konfigurasi elektron yang stabil seperti gas mulia, maka atom atom

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material, Jurusan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material, Jurusan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material, Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III. 1. Tahap Penelitian Penelitian ini terbagai dalam empat tahapan kerja, yaitu: a. Tahapan kerja pertama adalah persiapan bahan dasar pembuatan LSFO dan LSCFO yang terdiri

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan analisis struktur kristal semen gigi seng oksida eugenol untuk mengetahui keterkaitan sifat mekanik dengan struktur kristalnya. Ada lima sampel

Lebih terperinci