PEDOMAN PRAKTIS untuk Menyusun Kajian Pengeluaran Publik untuk Pendidikan di Tingkat Kabupaten

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEDOMAN PRAKTIS untuk Menyusun Kajian Pengeluaran Publik untuk Pendidikan di Tingkat Kabupaten"

Transkripsi

1 Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized PEDOMAN PRAKTIS untuk Menyusun Kajian Pengeluaran Publik untuk Pendidikan di Tingkat Kabupaten Catatan Contoh-contoh Data Pertanyaan Utama Data

2 Daftar Isi DAFTAR ISI 2 1. PENDAHULUAN 3 2. PERENCANAAN DAN PENYUSUNAN ANGGARAN 4 3. BELANJA PENDIDIKAN 6 1. Sumber anggaran pendidikan kabupaten 6 2. Gambaran belanja pendidikan di tingkat kabupaten 7 3. Analisis komposisi belanja 7 4. Analisis belanja pribadi rumah tangga (out-of-pocket) Analisis perbandingan KINERJA PENDIDIKAN Analisis input Analisis output Analisis pencapaian ANALISIS EKUITAS DAN EFISIENSI Analisis ekuitas Analisis efisiensi Batasan praktik terbaik LAMPIRAN 21 DATA YANG DIBUTUHKAN 21 ANALISIS DATA 24 2

3 1. Pendahuluan Beberapa tahun belakangan ini, belanja pendidikan di tingkat kabupaten telah meningkat pesat baik dalam hal tingkatan maupun sebagai bagian dari belanja pendidikan nasional. Jumlah belanja pendidikan di tingkat kabupaten meningkat dari Rp. 26 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 52 triliun pada tahun 2006 dan mencapai lebih dari 50 persen dari total pengeluaran publik nasional untuk pendidikan pada tahun Bagi sebagian kabupaten, pendidikan merupakan prioritas dalam anggaran pemerintah daerah dan rata-rata menyerap hampir satu per tiga dari pengeluaran di tingkat pemerintah daerah. Selain itu, pendidikan di tingkat kabupaten juga menjadi prioritas sejak berlakunya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengharuskan pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari anggaran mereka untuk sektor tersebut. Akan tetapi, masih terdapat perbedaan dalam hal output dan pencapaian walaupun belanja pendidikan telah ditingkatkan. Beberapa kabupaten masih tertinggal, sementara kabupatenkabupaten lainnya berhasil menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam mencapai sasaran-sasaran pendidikannya. Perbedaan-perbedaan dalam distribusi guru, jumlah sekolah, mutu sarana dan prasarana, serta berbagai sumber daya lainnya mungkin merupakan faktorfaktor yang menyebabkan adanya perbedaan pencapaian tersebut. Kurangnya keselarasan antara perencanaan dan penyusunan anggaran serta inefisiensi dalam alokasi anggaran juga dapat menghambat pencapaian seperti yang diharapkan. Memahami pola pengeluaran pemerintah kabupaten dan bagaimana hal tersebut terkait dengan input dan output di bidang pendidikan merupakan salah satu cara yang dapat membantu mengubah sumber daya pendidikan yang signifikan menjadi pencapaian yang meningkat. Dengan melakukan analisis terhadap pengeluaran publik untuk pendidikan, dapat dibuat penilaian yang baik terhadap efektivitas dan efisiensi pengeluaran pemerintah kabupaten. Panduan ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten untuk melakukan penilaian sendiri atas pengeluaran publik untuk pendidikan guna mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Panduan ini disusun sebagai bagian dari program peningkatan kapasitas SISWA bagi pemerintah daerah. Buku panduan ini dikembangkan atas dasar metodologi yang telah diterapkan dalam program PEACH (Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization atau Analisis Pengeluaran Publik dan Harmonisasi Kapasitas). 3

4 2. Perencanaan dan Penyusunan Anggaran Tujuan Tujuan dari bab ini adalah untuk: (i) menganalisis konsistensi antara perencanaan, penyusunan anggaran, dan pola realisasi belanja; (ii) menganalisis konsistensi antara perencanaan sektoral dan daerah; (iii) menganalisis apakah rencana sektor pendidikan mencerminkan permasalahan dan tantangan aktual yang dihadapi oleh sektor pendidikan di daerah yang bersangkutan; dan (iv) menganalisis kelebihan dan kekurangan dalam proses perencanaan dan penyusunan anggaran. Dokumen-dokumen dasar yang diperlukan untuk melaksanakan analisis tersebut adalah dokumen-dokumen anggaran (APBD) yang dapat diperoleh dari kantor anggaran dan dokumendokumen perencanaan dari kantor Bappeda. Jenis analisis yang diperlukan 1. Analisis prioritas pembangunan. (i) Jelaskan prioritas pembangunan daerah, bahaslah prioritas untuk sektor pendidikan sebagaimana tercantum dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). (ii) Lakukan penilaian apakah prioritasprioritas tersebut mencerminkan permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh sektor pendidikan di daerah yang bersangkutan berdasarkan pencapaian dan output di bidang pendidikan saat ini. (iii) Lakukan penilaian terhadap tingkat keterkaitan dan keselarasan di antara berbagai dokumen perencanaan tersebut. 2. Keterkaitan antara perencanaan dan penyusunan anggaran. Pandanglah anggaran sebagai perwujudan perencanaan pembangunan dan tetapkan prioritas pembangunan. Lakukan penilaian apakah anggaran yang ada (APBD) benar-benar berkaitan dengan dokumen-dokumen perencanaan. Lakukan penilaian apakah anggaran publik mengungkapkan tujuan-tujuan pembangunan yang tercantum dalam dokumendokumen perencanaan. 3. Praktik yang baik dalam perencanaan dan penyusunan anggaran: Lakukan tinjauan ulang apakah dokumen-dokumen perencanaan dan penyusunan anggaran yang ada juga mempertimbangkan prinsip-prinsip Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework atau MTEF) dan penyusunan anggaran berdasarkan kinerja (performance-based budgeting atau PBB). Lihat bagaimana konsep MTEF dan PBB diterapkan dalam sistem anggaran saat ini. 4. Perencanaan dan penyusunan anggaran pembangunan secara partisipatif. Periksa apakah daerah yang berkaitan telah menerapkan proses partisipatif dalam perencanaan pembangunan. Pahamilah manfaat dan kerugian dari proses tersebut. 5. Analisis kerangka peraturan perundang-undangan. Perhatikan apakah proses perencanaan dan penyusunan anggaran telah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi kerangka waktu yang ditentukan. 4

5 6. Sistem kinerja anggaran. Perhatikan ketersediaan indikator kinerja dan lakukan analisis tentang apakah indikator-indikator kinerja tersebut telah ditentukan dengan benar. Pastikan bahwa indikator-indikator kinerja tersebut realistis dan terukur. 5

6 Tujuan 3. Belanja Pendidikan Tujuan dari bab ini adalah untuk memahami bagaimana pemerintah daerah membelanjakan anggaran pendidikannya dengan melihat sumber belanja pendidikan, tren-tren yang muncul seiring berjalannya waktu, komposisi belanja pendidikan berdasarkan klasifikasi ekonomi dan program, dan dengan membandingkan pengeluaran untuk sektor pendidikan dengan sektorsektor lainnya serta membandingkan belanja pendidikan dengan anggaran di kabupatenkabupaten lainnya atau dengan jumlah rata-rata nasional. Dokumen-dokumen dasar yang diperlukan untuk melaksanakan analisis tersebut adalah dokumen-dokumen anggaran (APBD) yang dapat diperoleh dari kantor anggaran atau Bappeda, Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Dinas Pendidikan, dan dokumen-dokumen perencanaan untuk sektor tersebut. Jenis analisis yang diperlukan 1. Sumber anggaran pendidikan kabupaten. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang sumber-sumber anggaran pendidikan dengan melihat belanja pendidikan dari pemerintah pusat untuk kabupaten termasuk dana Bantuan Operasional Sekolah, belanja pendidikan di kabupaten, dan pengeluaran rumah tangga di kabupaten tersebut. Contoh 1. Sumber belanja pendidikan di kabupaten, 2005 Contoh diagram di atas menunjukkan porsi relatif dari kontributor-kontributor utama untuk belanja pendidikan di tingkat kabupaten. Diagram tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar 6

7 pengeluaran untuk pendidikan berasal dari pemerintah daerah, disusul oleh rumah tangga dan pemerintah pusat. Diagram ini juga memberikan gambaran umum tentang tingkat desentralisasi fiskal saat ini di sektor pendidikan. Untuk dapat membuat diagram tersebut, diperlukan data-data tentang anggaran pemerintah daerah dari laporan-laporan anggaran kabupaten, dana dekonsentrasi pemerintah pusat dari pemerintah provinsi atau kantor kas daerah, dan data rumah tangga dari BPS. 2. Gambaran belanja pendidikan di tingkat kabupaten. Tujuannya di sini adalah untuk lebih memahami perbandingan tren dari tahun ke tahun antara jumlah belanja pendidikan di kabupaten dengan pengeluaran kabupaten secara keseluruhan. Analisis dilakukan dengan melihat tren pengeluaran absolut, porsi belanja pendidikan terhadap total jumlah pengeluaran kabupaten, dan membandingkan belanja pendidikan per kapita di kabupaten dengan kabupaten-kabupaten tetangga atau yang memiliki karakteristik serupa. Untuk analisis tren, lebih baik menggunakan nilai harga konstan. Contoh 2. Tren belanja pendidikan di tingkat kabupaten, Contoh diagram di atas memberikan dua rangkaian informasi dalam satu diagram: pertama, diagram tersebut menunjukkan tren dalam belanja pendidikan secara absolut, dan kedua, diagram tersebut menunjukkan porsi yang dialokasikan untuk pendidikan dari jumlah anggaran pemerintah kabupaten dari waktu ke waktu. Diagram tersebut dapat dijadikan dasar untuk analisis lebih lanjut tentang alasan-alasan di balik penurunan porsi belanja pendidikan walaupun terdapat tren kenaikan dalam belanja pendidikan absolut. 3. Analisis komposisi belanja. Disini tujuannya adalah untuk melihat komposisi belanja pendidikan berdasarkan kategori belanja rutin dibandingkan dengan belanja pembangunan, atau belanja modal dibandingkan dengan belanja bukan modal. Belanja dapat dibagi lebih lanjut menurut klasifikasi ekonomi dan program. Analisis menurut klasifikasi ekonomi dapat dieksplorasi dengan membagi lebih lanjut belanja tersebut menjadi belanja pegawai, barang, operasional/pemeliharaan, perjalanan, dan lainnya. Untuk belanja pendidikan berdasarkan 7

8 program, informasinya biasanya tersedia dalam pembukuan anggaran terpisah yang dipegang oleh satuan kerja dari dinas pendidikan di kabupaten terkait. Pembagian belanja berdasarkan jenjang pendidikan juga dapat dilakukan apabila data-datanya tersedia. Perlu diperhatikan bahwa sebelum melakukan analisis terhadap komposisi belanja, perlu dilengkapi latar belakang tentang format anggaran saat ini (belanja langsung dan tidak langsung) dan perkembangan format anggaran pemerintah daerah, terutama terkait dengan bagaimana belanja diklasifikasikan berdasarkan jangka waktu 5-6 tahun. Perlu dilakukan pemetaan atau penyelarasan terhadap berbagai format anggaran, terutama di sisi belanja, untuk memperoleh analisis tren belanja yang konsisten berdasarkan komposisinya. Kabupaten Contoh 3. Komposisi belanja pendidikan rutin dan pembangunan, Persen Rutin Pemb Rutin Pemb Rutin Pemb Rutin Pemb Rutin Pemb Kab. Asahan 93,0 7,0 92,6 7,4 92,6 7,4 93,1 6,9 96,5 3,5 Kota Binjai 89,0 11,0 91,0 9,0 84,1 15,9 91,1 8,9 90,3 9,7 Kab. Wonosobo 96,7 3,3 92,5 7,5 88,5 11,5 84,2 15,8 90,7 9,3 Kota Magelang 97,2 2,8 92,7 7,3 71,2 28,8 87,7 12,3 88,2 11,8 Kab. Minahasa 98,2 1,8 99,9 0,02 98,9 1,1 96,8 3,2 88,6 11,4 Kota Manado 83,2 16,8 98,8 1,2 91,8 8,2 96,4 3,6 96,0 4,0 Kab. Timtengsel 87,1 12,9 90,5 9,5 89,5 10,5 84,4 15,6 82,2 17,8 Kab. Belu 95,4 4,6 94,5 5,5 86,1 13,9 87,2 12,8 87,8 12,2 Kab. Jayawijaya 68,5 31,5 76,9 23,1 86,9 13,1 97,9 2,1 90,7 9,3 Kab. Jayapura ,3 48,7 45,8 54,2 92,1 7,9 80,1 19,9 Semua kabupaten di Indonesia 89,3 10,7 86,9 13,1 87,1 12,9 88,9 11,1 86,1 13,9 Tabel di atas menunjukkan pembagian belanja berdasarkan belanja rutin dan pembangunan. Untuk memperoleh penggolongan belanja rutin dan pembangunan, perlu dilakukan pemetaan antara format anggaran yang terdiri dari aparat dan publik, dan format anggaran sebelumnya yang terdiri dari belanja rutin dan pembangunan. Pemetaan ini sangat penting mengingat format anggaran daerah mengalami perubahan pada tahun 2003 dan yang lebih terkini lagi pada tahun Pemetaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan tren belanja yang konsisten berdasarkan periode waktu. 8

9 Contoh 4. Komposisi ekonomi belanja rutin Nias, Belanja rutin berdasarkan klasifikasi ekonomi dapat dibagi lebih jauh, sebagaimana tampak pada diagram di atas, menjadi belanja pegawai, barang dan jasa, operasional dan pemeliharaan, perjalanan dinas, dan lain-lain. Klasifikasi ekonomi ini memungkinkan kita untuk melihat komponen apa yang mendapatkan alokasi terbesar dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi komponen-komponen lainnya. Pada diagram contoh tersebut, belanja untuk pegawai menyerap porsi paling besar dari anggaran pendidikan kabupaten dari waktu ke waktu, menyisakan hanya sedikit porsi untuk komponen-komponen lainnya. Analisis dapat pula dilakukan dengan melihat porsi anggaran untuk pemeliharaan dan menghubungkan hal ini dengan kondisi sarana dan prasarana pendidikan di seluruh kabupaten. Contoh 5. Komposisi program dari kabupaten-kabupaten yang telah dikunjungi,

10 Selain klasifikasi ekonomi, analisis juga dapat dilakukan dengan melihat pembagian belanja menurut klasifikasi program. Contoh diagram di atas menunjukkan porsi belanja yang dialokasikan untuk setiap program. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa klasifikasi belanja menurut program mungkin tidak sama antara satu kabupaten dengan lainnya. Analisis lebih lanjut berdasarkan diagram ini dapat dilakukan dengan membandingkan belanja yang dialokasikan untuk setiap program dengan output atau pencapaian yang berkaitan dengan program tersebut. 4. Analisis belanja pribadi rumah tangga (out-of-pocket). Analisis ini menelaah kontribusi rumah tangga dalam hal belanja pendidikan. Misalnya, analisis mengenai: besarnya kontribusi rumah tangga terhadap pendidikan; tren kontribusi tersebut dari waktu ke waktu; dan komposisi belanja pada berbagai tingkat pendapatan. Dampak dari program-program pembiayaan pendidikan yang baru, seperti program BOS, program beasiswa, dsb. terhadap pola belanja rumah tangga juga dapat dianalisis. Contoh 6. Belanja out-of-pocket rumah tangga di sejumlah kabupaten, Analisis perbandingan. Di sini dilakukan analisis relativitas pada seluruh kabupaten dan provinsi, serta seluruh sektor strategis. Perbandingan antara jumlah belanja yang dialokasikan dengan sektor-sektor strategis dalam tahun-tahun tertentu memberikan gambaran tentang apakah alokasi belanja pendidikan mencukupi atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan kunci antara lain: seberapa besar porsi yang dialokasikan untuk pendidikan dibandingkan dengan sektorsektor strategis lainnya seperti kesehatan dan infrastruktur; bagaimana kinerja belanja pendidikan kabupaten apabila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain atau secara nasional; dan kabupaten-kabupaten mana yang memiliki tingkat belanja pendidikan per kapita tertinggi. Setelah itu, alasan-alasan tentang perbedaan-perbedaan yang signifikan juga perlu dijelaskan lebih rinci. 10

11 Contoh 7. Keseluruhan belanja sektoral di Kab. Nias dan Kab. Nias Selatan, Contoh 7 menunjukkan perbandingan belanja antara sektor pendidikan dan sektor-sektor utama lainnya. Tujuan dari diagram tersebut adalah untuk menunjukkan prioritas pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumber dayanya dan untuk memperoleh gambaran umum tentang tingkat relatif belanja pendidikan dibandingkan dengan sektor-sektor strategis lainnya. Analisis juga dapat membandingkan belanja dalam hal porsi (dalam persentase) yang dialokasikan untuk pendidikan dengan yang dialokasikan untuk sektor-sektor lainnya. Contoh diagram di atas menunjukkan bahwa pendidikan telah menjadi prioritas dalam anggaran pemerintah daerah selama beberapa tahun dan tren yang ada saat ini dapat diperkirakan akan berlanjut apabila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan. Contoh 8. Belanja pendidikan per kapita,

12 Selain penilaian di seluruh sektor, perbandingan antar kabupaten dan provinsi juga dapat membantu memberikan gambaran umum tentang kinerja suatu kabupaten dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya. Kabupaten-kabupaten pembanding dapat dipilih berdasarkan berbagai indikator seperti kabupaten-kabupaten dengan kesamaan kelompok geografis, kelompok ekonomi,atau karakteristik lainnya yang terkait. Angka rata-rata nasional dapat digunakan sebagai acuan untuk menilai sejauh mana suatu kabupaten lebih maju atau tertinggal atas suatu indikator tertentu dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lainnya. 12

13 4. Kinerja Pendidikan Tujuan Tujuan dari bab ini adalah untuk melihat dengan lebih rinci mengenai keterkaitan antara belanja dan beberapa indikator kinerja utama dalam sektor pendidikan. Pembahasan tentang kinerja didasarkan pada beberapa indikator input (mis., fasilitas, SDM, dsb.), output (mis., angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, dsb.), dan indikator-indikator pencapaian (mis., nilai ujian). Perbandingan angka antar kecamatan, kabupaten, dan rata-rata nasional berguna untuk menambah wawasan analisis. Dokumen-dokumen dasar yang diperlukan untuk melakukan analisis tersebut adalah: statistik pendidikan tahunan kabupaten; dokumen-dokumen perencanaan di tingkat Dinas; survei-survei BPS (Susenas, Podes, dsb.); dan laporan-laporan Kabupaten dalam Angka. Jenis analisis yang diperlukan 1. Analisis input: Analisis pada bagian ini mempertimbangkan kondisi fasilitas, peralatan belajar dan mengajar, dan sumber daya manusia di sektor pendidikan. Pertanyaan-pertanyaan kunci antara lain: Apakah terdapat cukup sekolah di kabupaten tersebut? Bagaimana kondisi ruang kelas? Apakah buku-buku yang tersedia bagi para siswa telah memadai? Apakah jumlah guru yang memenuhi syarat di kabupaten tersebut mencukupi (rasio siswa-guru, besarnya kelas), dsb.? Keterkaitannya dengan belanja pendidikan dapat diperoleh misalnya dengan membandingkan kondisi ruang kelas dengan anggaran pemeliharaan dan operasional, atau dengan membandingkan jumlah guru yang memenuhi syarat dengan anggaran program peningkatan kapasitas guru/staf. Contoh 9. Sekolah Dasar/1.000 anak usia SD di Kab. Wonosobo,

14 Diagram di atas menunjukkan rasio sekolah dasar per anak usia SD di Kabupaten Wonosobo. Rasio tersebut mencoba mengukur apakah wilayah tersebut telah memiliki jumlah sekolah dasar yang memadai. Pada contoh di atas, rasio bervariasi dari yang paling tinggi yaitu 14 sekolah dalam satu kecamatan sampai yang paling rendah yaitu tiga sekolah dalam satu kecamatan. Kecamatan dengan jumlah sekolah tertinggi, yaitu 14 sekolah yang mengakomodasi anak usia sekolah atau sekitar 71 anak per sekolah mengindikasikan adanya kelebihan jumlah sekolah. Sebaliknya, kecamatan dengan rasio terendah, yaitu satu sekolah yang mengakomodasi 333 anak usia sekolah, atau rata-rata 55 anak per kelas mengindikasikan bahwa jumlah sekolah berada sedikit di bawah tingkat yang disarankan secara umum. Diagram tersebut dapat digunakan untuk mengindikasikan wilayah mana saja yang masih membutuhkan adanya sekolah baru dan wilayah mana yang telah memiliki terlalu banyak sekolah. Contoh 10. Kualifikasi guru sekolah dasar di sejumlah kabupaten, 2006 Diagram ini menunjukkan perbedaan besar antar kabupaten dalam hal kualifikasi guru. Kerangka peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa guru-guru paling sedikit harus memiliki latar belakang pendidikan D-4 (setara S1) atau sarjana (S1). Sebagian besar kabupaten hanya memiliki sejumlah kecil guru lulusan sarjana di tingkat sekolah dasar, sementara latar belakang pendidikan sebagian besar guru di kabupaten-kabupaten yang tertinggal hanya lulusan SLTA. Diagram ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan lebih banyak sumber daya guna meningkatkan kualifikasi guru di kabupaten tersebut. 2. Analisis output: Analisis pada bagian ini menilai pencapaian output di sektor pendidikan dengan menganalisis berbagai indikator output dari waktu ke waktu dan membandingkan indikator-indikator tersebut dengan kabupaten-kabupaten lainnya atau rata-rata nasional. Beberapa contoh indikator output yang digunakan dalam analisis ini adalah: angka partisipasi sekolah kasar dan murni, angka putus sekolah, angka melek huruf, persentase populasi berusia 15 tahun ke atas yang belum bersekolah (ini dapat dihubungkan dengan angka melek huruf), dan rata-rata tahun lamanya bersekolah. Keterkaitan dengan belanja pendidikan dapat dilihat dengan membandingkan belanja untuk sektor tersebut dari waktu ke waktu (5 sampai 6 tahun) dengan perubahan indikator kinerja output. 14

15 Contoh 11. Angka partisipasi kasar sekolah tingkat SMP di Kab. Nias, Diagram ini menunjukkan angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah menengah pertama selama tahun Ada beberapa cara untuk menafsirkan diagram ini: pertama, tren dari waktu ke waktu mengungkapkan bahwa Kab. Nias berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar SMP. Kedua, angka partisipasi kasar sekolah dapat dibandingkan dengan rata-rata provinsi dan nasional, yang mengungkapkan bahwa Nias masih tertinggal dibandingkan dengan rata-rata provinsi dan nasional. Contoh 12. Rata-rata tahun lamanya bersekolah di sejumlah kabupaten, Rata-rata lamanya sekolah mengindikasikan rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk di suatu kabupaten untuk bersekolah dan dengan demikian mengindikasikan kualitas modal manusia di wilayah tersebut. Rata-rata lamanya sekolah 9 tahun, seperti terlihat di Kota Manado dan Kota Magelang, berarti bahwa rata-rata populasi di kota tersebut telah menyelesaikan pendidikan menengah pertama. Harap dicatat bahwa indikator sumber daya manusia ini akan lebih rendah apabila populasi yang lebih tua berpendidikan lebih rendah daripada populasi usia sekolah saat ini, dengan demikian mengurangi rata-rata untuk seluruh populasi. 15

16 Contoh 13. Angka melek huruf di sejumlah kabupaten, Diagram di atas menunjukkan angka melek huruf pada orang dewasa di Indonesia, yang didefinisikan sebagai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Untuk dapat berfungsi dengan baik dalam masyarakat modern, orang dewasa harus memiliki kemampuan dasar tersebut. Perincian angka melek huruf berdasarkan kelompok umur mengindikasikan apakah terdapat angka melek huruf yang rendah dalam populasi usia sekolah dan dengan demikian dapat diatasi dengan sistem sekolah, atau apakah angka melek huruf yang rendah tersebut terdapat dalam populasi di atas usia sekolah, yang mungkin mengindikasikan perlunya perluasan program-program pendidikan informal untuk orang dewasa. 3. Analisis pencapaian: Bagian ini menilai pencapaian pendidikan melalui parameter prestasi akademis seperti rata-rata nilai ujian dalam mata pelajaran utama. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan urutan waktu dan perbandingan antar kabupaten. Analisis pada bagian ini menggunakan pendekatan yang hampir sama dengan yang digunakan dalam analisis output. Analisis output dan pencapaian seringkali digabungkan apabila hanya terdapat sedikit indikator pencapaian yang bisa diperoleh. 16

17 5. Analisis Ekuitas dan Efisiensi Tujuan Bab ini membahas lebih terperinci lagi tentang efisiensi belanja untuk pendidikan dan ekuitas dari belanja tersebut. Analisis ekuitas di sektor tersebut mempertimbangkan distribusi geografis dari input, output, dan pencapaian, serta distribusi belanja antar tingkat pendapatan. Tingkat efisiensi diperoleh dengan cara memperkirakan efektivitas biaya dari input yang diberikan dengan output yang diperoleh, serta dengan membandingkan unsur-unsur tersebut dengan sasaran-sasaran pendidikan di kabupaten. Perbandingan antar kecamatan dan kabupaten serta dengan angka-angka di tingkat nasional juga bermanfaat untuk memberikan wawasan analitis. Dokumen-dokumen dasar yang diperlukan untuk melakukan analisis tersebut adalah anggaran kabupaten (APBD), statistik pendidikan tahunan kabupaten, dokumen-dokumen perencanaan di tingkat Dinas, survei BPS (Susenas, Podes, dll), dan Kabupaten dalam Angka. Jenis analisis yang diperlukan 1. Analisis ekuitas: Analisis ini memperhatikan perbedaan-perbedaan berdasarkan gender, pendapatan rumah tangga, lokasi tempat tinggal (desa vs. kota), dan kelompok etnis atau agama. Perbedaan dianalisis berdasarkan indikator-indikator input, output, dan pencapaian. Pertanyaan-pertanyaan kunci antara lain: Bagaimana perbedaan angka partisipasi sekolah, angka putus sekolah, dan prestasi belajar berdasarkan sub-kelompok? Berapa rata-rata belanja untuk pendidikan yang dialokasikan rumah tangga di berbagai kuintil pendapatan? Bagaimana distribusi guru di daerah perkotaan vs. pedesaan? Program-program atau kebijakan-kebijakan pemerintah apa saja yang terkait dengan pemberian insentif keuangan untuk pendidikan? Contoh 14. Angka partisipasi murni sekolah berdasarkan kuintil pendapatan,

18 Diagram di atas menggambarkan distribusi angka partisipasi sekolah antar kelompok pendapatan rumah tangga. Berdasarkan informasi yang diberikan dalam diagram, dapat dianalisis apakah terdapat persamaan atau perbedaan untuk angka partisipasi sekolah pada tingkat kuintil pendapatan. Diagram di atas menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah SD di kabupaten-kabupaten tersebut hampir universal untuk semua kuintil pendapatan. Akan tetapi, hal ini berbeda di jenjang pendidikan menengah, di mana terdapat kesenjangan besar pada angka partisipasi sekolah antara kuintil pendapatan terendah dan tertinggi. Kuintil kabupaten Contoh 15. Belanja agregat kabupaten per kuintil kemiskinan, 2005 Pengeluaran kabupaten per kapita (Rp) Belanja pendidikan per siswa sekolah (Rp) % Jumlah belanja pendidikan nonpersonil Belanja pribadi rumah tangga [out-of-pocket] (Rp juta) Termiskin , , , , Terkaya , Tabel di atas memberikan pendekatan serupa dengan menggunakan kuintil kemiskinan di tingkat kabupaten. Tabel tersebut membandingkan belanja pendidikan di tingkat kabupaten dan rumah tangga secara agregat di lima kuintil kabupaten, dari yang termiskin (kuintil 1) sampai dengan yang terkaya (kuintil 5). 2. Analisis efisiensi: Menganalisis apakah anggaran tersebut telah dibelanjakan secara efisien dan efektif bergantung pada informasi seperti ketersediaan sistem kinerja, sistem evaluasi tahunan, dan standar pelayanan minimum, dsb. Pertanyaan-pertanyaan kunci antara lain: Apakah belanja pendidikan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan? Apakah keterkaitan antara kesuksesan di tiap jenjang pendidikan dengan pekerjaan dan gaji? Apakah yang menjadi dasar dalam mempekerjakan dan menempatkan guru-guru: kebutuhan geografis, jasa, atau senioritas? Apakah kriteria yang dipakai dalam memutuskan untuk membangun sekolah baru dan menetapkan lokasinya? Bagaimanakah tren-tren dalam populasi usia sekolah berpengaruh terhadap input yang diperlukan di kemudian hari? Apakah kabupaten yang bersangkutan telah berhasil memenuhi target standar pelayanan minimumnya? 18

19 Contoh 16. Kelebihan dan kekurangan jumlah guru SD, 2006 Diagram di atas menunjukkan porsi kecamatan dalam suatu kabupaten dengan kelebihan atau kekurangan jumlah guru. Data yang digunakan terdiri dari jumlah guru di kecamatan saat ini dan perkiraan jumlah guru yang dibutuhkan untuk sekolah-sekolah yang terdapat di setiap kecamatan. Perbedaan antara kedua set tersebut menghasilkan perkiraan tentang kelebihan atau kekurangan jumlah guru. Analisis terhadap kelebihan dan kekurangan jumlah guru memberikan gambaran tentang distribusi guru di kabupaten-kabupaten dan bagaimana negara secara keseluruhan dapat meningkatkan efisiensinya dalam hal distribusi guru, terutama dengan adanya porsi belanja pendidikan yang begitu besar untuk personil. Contoh 17. Rasio siswa-guru di tingkat SD di Kab. Timtengsel,

20 Diagram di atas merupakan contoh grafik sederhana tentang perbedaan distribusi guru antar kecamatan. Grafik semacam ini dapat juga diterapkan untuk indikator-indikator lain, seperti jumlah sekolah per siswa usia SD, angka melek huruf, belanja per kapita, dsb. dan ditujukan untuk membantu menganalisis disparitas di tingkat kabupaten dan provinsi. 3. Batasan praktik terbaik: Analisis batasan efisiensi menunjukkan perbedaan dalam kinerja sektor pendidikan antar kecamatan/kabupaten/provinsi. Analisis ini berupaya untuk menggambarkan kabupaten yang memiliki praktik terbaik dalam memaksimalkan output mereka dengan tingkat input tertentu. Dengan demikian, analisis tersebut juga dapat diartikan sebagai pengukur tingkat efisiensi dari sistem pendidikan di suatu kabupaten. Analisis batasan efisiensi dikembangkan dengan menggunakan serangkaian data input (seperti jumlah sekolah, rasio siswa-guru, belanja pemerintah daerah untuk pendidikan, dsb.) dan serangkaian data output (seperti angka partisipasi sekolah, angka melek huruf, nilai ujian, dsb.). Kedua rangkaian data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan metode analisis faktor yang bertujuan untuk membuat suatu indeks input dan output yang akan digunakan untuk menilai efisiensi sektor tersebut. Contoh 18. Batasan praktik terbaik kinerja sektor pendidikan di tingkat kabupaten 20

21 Data yang Dibutuhkan 6. Lampiran Tabel di bawah ini menyediakan beberapa daftar atas data yang dibutuhkan dan sumbersumber data untuk para peneliti. Jangka waktu dari setiap rangkaian data bergantung pada kebutuhan dari setiap analisis. Data kuantitatif No Jenis Nama Deskripsi Sumber Indikator 1 Fiskal APBN Belanja Nasional berdasarkan klasifikasi ekonomi dan fungsi. Depkeu Belanja Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan APBD Anggaran daerah (Tingkat Kab/Kota & Provinsi) yang terdiri dari pendapatan (berdasarkan komponen-komponennya), belanja langsung dan tidak langsung untuk dipetakan dengan format belanja sebelumnya. BPS ; Depkeu Pendapatan, belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi dan sektor DAU Alokasi DAU dan data dasar yang digunakan untuk penghitungan DAU (Tingkat Kab/Kota & Provinsi) Depkeu Alokasi DAU, populasi, angka kemiskinan, wilayah, IHBG, dsb. 2 Non Fiskal Indikatorindikator Sosial DAK Sensus Kependud ukan DAK Dana Reboisasi dan DAK Non Dana Reboisasi (Tingkat Kab/Kota & Provinsi) Sensus kependudukan nasional, diselenggarakan setiap 10 tahun sekali Depkeu BPS Alokasi DAK (Sektor infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan) Populasi SUSENAS SUSENAS yang terdiri dari KOR (tahunan) dan MODUL (setiap tiga tahun sekali untuk masing-masing jenis modul). Meliputi karakteristik rumah tangga dan anggota rumah tangga dalam rumah tangga sampel. BPS Prestasi pendidikan, angka melek huruf, % populasi perkotaan dan pedesaan, pendapatan dan belanja rumah tangga. SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahunan yang meliputi karakteristik pasar tenaga kerja nasional dari semua perorangan usia kerja dalam rumah tangga sampel. BPS Angkatan kerja (berdasarkan sektor), tingkat partisipasi kerja, angka pengangguran, dsb. 21

22 PODES Survei Potensi Desa (PODES) memberikan informasi tentang karakteristik dan infrastruktur desa. BPS Jumlah fasilitas sekolah, jarak ke sekolah, keadaan jalan atau infrastruktur, dll. Indikator Ekonomis GRDP Produk Regional (tingkat kab/kota dan provinsi) berdasarkan harga berlaku & konstan BPS Produk-produk sektoral Karakteri stik Pemerint ah Daerah GDS Survei Desentralisasi Kepemerintahan (Governance Decentralization Survey) 1, GDS 1+, GDS 2 WBOJ & PSKK-UGM Indikator kepemerintahan dan desentralisasi (transparansi, akuntabilitas, kualitas layanan) 22

23 Dokumen- dokumen kualitatif Jenis Rincian Jangka Waktu Perencanaan Proses Terkini perencanaan Anggaran Transfer Penyusunan Anggaran Publikasi Anggaran Pelaksanaan anggaran Penganggaran berdasar kinerja Pemakaian dana transfer Terkini Sumber Bappeda, Dinas Pendidikan Biro Keuangan, Bappeda, Dinas Pendidikan Informasi yang diperlukan Apa sajakah rencana yang dipersiapkan? Apakah masyarakat berpartisipasi dalam proses perencanaan? Jika ya, bagaimana? Apakah terdapat rencana/strategi peningkatan sektor pendidikan? Bagaimana pencapaian rencana yang terpantau? Apakah terdapat mekanisme formal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran? Jika ya, seberapa efektif? Bagaimana informasi kuantitatif digunakan untuk mengambil keputusan terkait anggaran? Bagaimana pengambilan keputusan terkait intervensi pemerintah dalam suatu sektor tertentu? Lembaga/instansi mana yang mengambil keputusan tentang alokasi anggaran final? Terkini Bappeda, Sekda Apakah anggaran tersedia untuk umum? Jika ya, bagaimana (melalui koran, berita negara, dsb.)? Terkini Biro Keuangan, Bappeda **Format sedapat mungkin dalam bentuk elektronik Unit apa yang bertanggung jawab untuk pencairan dana? Apakah kantor perbendaharaan daerah (BUD) telah didirikan? Apakah mekanisme pembayarannya (SPP)? Apakah terdapat masalah dengan pengelolaan kas? Jika ya, masalah apa? Apakah anggaran telah direvisi selama tahun buku tersebut? Terkini Bappeda Apakah telah diperkenalkan penyusunan anggaran kinerja? Jika ya, bagaimana kinerja dipantau? Terkini Biro Keuangan Berapa besar dana transfer yang berasal masing-masing dari DAU, bagi hasil, dan DAK untuk pendidikan? Bagaimana proses pengalokasiannya? 23

24 Analisis Data Menyepakati sumber dan analisis data Sumber data harus disepakati agar terdapat rangkaian data yang konsisten di sepanjang analisis, terutama pada kasus dimana analisis bagian yang berbeda dilakukan oleh peneliti yang berbeda. Hal-hal apa yang perlu disepakati? a. Data yang akan digunakan dalam analisis. Misalnya, data anggaran tersedia di tingkat pusat maupun daerah. Data yang akan digunakan perlu disepakati sebelum proses pengumpulan data dimulai. Idealnya, data fiskal sebaiknya berasal dari data yang dikumpulkan di tingkat kabupaten, karena data-data ini didasarkan pada dokumendokumen resmi yang telah diaudit. Akan tetapi, data yang berasal dari tingkat pusat juga berguna untuk melakukan analisis komparatif dengan kabupaten lain atau secara nasional. b. Data tentang Indeks Harga Konsument (IHK) daerah dan populasi. Data kependudukan ada bermacam-macam, yang berasal dari BPS pusat, BPS daerah, hingga berbagai instansi di pemerintah daerah. Kesepakatan tentang data mana yang akan digunakan sangat penting karena data tersebut digunakan untuk menghitung angka per kapita. Kadangkala, IHK untuk suatu daerah tidak tersedia. Perlu dibuat kesepakatan tentang IHK daerah mana yang akan digunakan untuk menormalkan angka-angka terhadap inflasi. Selain itu, diperlukan juga kesepakatan tentang tahun dasar untuk angka riil. Biasanya, tahun dasar adalah tahun terawal dalam rangkaian data. Akan tetapi, agar analisis memiliki wawasan ke depan, disarankan untuk menggunakan tahun terkini sebagai tahun dasar. Keuntungannya adalah pada waktu membandingkan angka-angka tren dan angka-angka antar bagian (yang merupakan data terkini), angka-angka yang diperoleh akan konsisten. c. Jangka waktu yang diperlukan. Ini merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas analisis. Idealnya, semakin panjang jangka waktunya, semakin baik, walaupun terdapat batasan data di suatu titik. Provinsi yang ditetapkan setelah desentralisasi tidak akan memiliki data sebelum tahun Idealnya, data minimum yang diperlukan adalah lima tahun. d. Keterbatasan data. Pada waktu membuat perbandingan daerah, tim akan menghadapi keterbatasan data, terutama data dari sumber-sumber di daerah. Biasanya, data yang diperoleh di tingkat daerah tidak mencakup data antar daerah. Data dari sumbersumber di tingkat pusat mencakup data antar daerah, tetapi biasanya tidak serinci yang diperoleh di tingkat daerah. Oleh sebab itu, disarankan untuk menggunakan data dari sumber di tingkat daerah untuk kepentingan analisis dan perbandingan untuk internal 24

25 lingkup daerah tersebut, sementara data dari sumber di tingkat pusat digunakan untuk melakukan analisis antar daerah dan membuat perbandingan di tingkat pemerintah agregat yang lebih tinggi. Hal ini juga merupakan salah satu hal yang harus disepakati. Catatan tentang analisis: 1. Semua analisis yang melibatkan data dari tahun-tahun yang berbeda harus diubah ke dalam angka riil (harga konstan). 2. Pada waktu menyampaikan analisis kuantitatif, jangan gunakan angka-angka desimal terlalu terperinci sampai digit terakhir. Bulatkan ke dalam ribuan, jutaan, milyaran, atau triliunan terdekat, walaupun hal ini tidak perlu dilakukan untuk angka per kapita. 25

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN 2011-2015 3.1. Arah Pengelolaan Pendapatan Daerah. Implementasi otonomi daerah menuntut terciptanya performa keuangan daerah yang lebih baik. Namun pada

Lebih terperinci

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral Temuan Pokok Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan.

Lebih terperinci

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 Belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011 diarahkan untuk:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

Tata Kelola Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pendidikan: Survei Kualitas Tata Kelola Pendidikan pada 50 Pemerintah Daerah di Indonesia

Tata Kelola Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pendidikan: Survei Kualitas Tata Kelola Pendidikan pada 50 Pemerintah Daerah di Indonesia Tata Kelola Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pendidikan: Survei Kualitas Tata Kelola Pendidikan pada 50 Pemerintah Daerah di Indonesia Wilayah Asia Timur dan Pasifik Pengembangan Manusia Membangun Landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah KEMENTERIAN Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah Mei 2012 Dari BOS ke BOSDA: Dari Peningkatan Akses ke Alokasi yang Berkeadilan Program

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI DANA INSENTIF DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI DANA INSENTIF DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI DANA INSENTIF DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.907, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Insentif Daerah. Tahun Anggaran 2012. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM

Lebih terperinci

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI

CPDA. Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI CPDA Consolidating for Peacefull Development in Aceh FAKULTAS EKONOMI Gambaran Umum 1 Grafik 1. 2 Aceh akan terus memiliki sumber daya keuangan yang besar dalam masa mendatang dari dana otonomi khusus.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Dana Insentif Daerah. Alokasi. Tahun Anggaran 2014. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8/PMK.07/2013 TENTANG PEDOMAN UMUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah terjadi pada tahun 1998 yang lalu telah berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Krisis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah daerah menjadi

Lebih terperinci

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tamba

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tamba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.172, 2011 KEMENTERIAN KEUANGAN. Dana Insentif Daerah. Pedoman Umum. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Pengelolaan Pendapatan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara bahwa Keuangan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia telah menjadikan investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan mengalokasikan persentase yang lebih

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI... Halaman PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2016-2021... 1 BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN RI PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN disampaikan pada: Sosialisasi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan metode pengelompokan data secara kuantitatif untuk menganalisis dan membandingkan alokasi dan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu proses yang memerlukan transformasi paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penganggaran merupakan suatu aktivitas pemerintah yang penting

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penganggaran merupakan suatu aktivitas pemerintah yang penting BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penganggaran merupakan suatu aktivitas pemerintah yang penting dan universal. Setiap pemerintahan harus menjalankan fungsi penganggaran dalam melakukan aktivitas dan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR

IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR IV. DINAMIKA PENDIDIKAN DASAR 4.1 Dinamika Pendidikan Dasar Sampai tahun 2012 Provinsi Sulawesi Utara mengalami pemekaran yang cukup pesat. Otonomi daerah membuat Sulawesi Utara yang sebelumnya hanya mempunyai

Lebih terperinci

Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia

Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia 47514 Investasi dalam Pendidikan pada Tingkat Kabupaten/Kota di Indonesia Sebuah Kajian Pengeluaran Publik dan Pengelolaan Keuangan pada Tingkat Daerah Public Disclosure Authorized Public Disclosure Authorized

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap desentralisasi di berbagai pemerintahan di belahan dunia. Bahkan banyak negara

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Secara umum, pendidikan ayah dan pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap probabilitas bersekolah bagi anaknya, baik untuk jenjang SMP maupun SMA. Jika dibandingkan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa yang akan datang (Mardiasmo, 2009). untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. masa yang akan datang (Mardiasmo, 2009). untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran merupakan rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran berisi estimasi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak antara 110 34 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah lebih kurang 101.510.0965 ha atau kurang lebih 4,5 % dari luas Propinsi Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

KAJIAN ANGGARAN PENDIDIKAN. Oleh: KANTOR STAF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN ANGGARAN PENDIDIKAN. Oleh: KANTOR STAF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KAJIAN ANGGARAN PENDIDIKAN Oleh: KANTOR STAF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 28 November 2017 2 PERBANDINGAN ANGGARAN PENDIDIKAN INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN (1/2) ANGGARAN PENDIDIKAN NEGARA LAIN LEBIH RENDAH

Lebih terperinci

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah

Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah BAB. 3 AKUNTABILITAS KINERJA A. PENGUATAN IMPLEMENTASI SAKIP PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Sebagai sebuah instansi sektor publik, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai rencana strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan nasional terdiri atas perencanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diatur dalam UU RI Nomor 33 Tahun 2004. UU ini menegaskan bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

RUANG FISKAL DALAM APBN

RUANG FISKAL DALAM APBN RUANG FISKAL DALAM APBN Ruang fiskal secara umum merupakan ketersediaan ruang dalam anggaran yang memampukan Pemerintah menyediakan dana untuk tujuan tertentu tanpa menciptakan permasalahan dalam kesinambungan

Lebih terperinci

ANALISIS EKUITAS ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN DI KABUPATEN BOYOLALI

ANALISIS EKUITAS ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN DI KABUPATEN BOYOLALI ANALISIS EKUITAS ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN DI KABUPATEN BOYOLALI NASKAH PUBLIKASI Disusun oleh : RETNO WULANDARI B 200 100 195 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kemakmuran masyarakat dapat diukur dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini berdasarkan pada pengertian yang disampaikan oleh Sadono Sukirno. Menurutnya, pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perwujudan good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintah dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

PECAPP. Pembelanjaan Publik Sektor Pendidikan. Nazamuddin FE Unsyiah

PECAPP. Pembelanjaan Publik Sektor Pendidikan. Nazamuddin FE Unsyiah A-PDF Watermark DEMO: Purchase from www.a-pdf.com to remove the watermark Pembelanjaan Publik Sektor Pendidikan Nazamuddin FE Unsyiah Disampaikan pada PELATIHAN ANALISIS BELANJA PUBLIK ACEH, 15 19 TH Oktober

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

oleh: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas Workshop Dana Alokasi Khusus SURAKARTA, 3 APRIL 2008

oleh: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas Workshop Dana Alokasi Khusus SURAKARTA, 3 APRIL 2008 Kriteria Perhitungan Alokasi DAK dalam mendukung Pencapaian Sasaran Prioritas Nasional oleh: Direktur Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Bappenas Workshop Dana Alokasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN BUPATI SUMEDANG TENTANG PAGU INDIKATIF ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2008 BERITA DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN 5.1 Kesimpulan dan Implikasi Penelitian Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan metode non parametrik (DEA) dapat dilihat secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan 2009-2013 Pengelolaan keuangan daerah yang mencakup penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

PROFIL KEUANGAN DAERAH

PROFIL KEUANGAN DAERAH 1 PROFIL KEUANGAN DAERAH Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang adalah menyelenggarakan otonomi daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

Perencanaan dan Pembiayaan dalam Pencapaian SPM Bidang Pendidikan: Berdasarkan Temuan Governance and Decentralization 2 (GDS2)

Perencanaan dan Pembiayaan dalam Pencapaian SPM Bidang Pendidikan: Berdasarkan Temuan Governance and Decentralization 2 (GDS2) Perencanaan dan Pembiayaan dalam Pencapaian SPM Bidang Pendidikan: Berdasarkan Temuan Governance and Decentralization 2 (GDS2) Blane Lewis dan Daan Pattinasarany Roundtable Discussion Penghitungan Biaya

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran

BAB I PENDAHULUAN. hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah menjadikan anggaran pendidikan sebagai prioritas utama dalam bidang pendidikan. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2002:61) adalah pernyataan

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB IV METODA PENELITIAN BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi dan kateristik obyek penelitian, maka penjelasan terhadap lokasi dan waktu penelitian

Lebih terperinci

Selamat Pagi. Sri Kadarwati, S.Si., M.T. Kepala BPS Kabupaten Lamongan. E :

Selamat Pagi. Sri Kadarwati, S.Si., M.T. Kepala BPS Kabupaten Lamongan. E : PENGENALAN BPS 2 Selamat Pagi Sri Kadarwati, S.Si., M.T. Kepala BPS Kabupaten Lamongan E : srikadar@bps.go.id 3 Overview : 1. Institusi statistik resmi BPS 2. Indikator Kinerja Utama 3. Peta Spasial 4

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN Bab ini berisi uraian tentang gambaran umum pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Purworejo. Adapun yang menjadi fokus adalah kinerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang No.

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI...

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI... DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1.1. Latar Belakang... 1.2. Dasar Hukum Penyusunan... 1.3. Hubungan Antar Dokumen... 1.4. Sistematika Penulisan... 1.5. Maksud dan Tujuan... BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI

Lebih terperinci

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH 5.1 PENDANAAN Rencana alokasi pendanaan untuk Percepatan Pembangunan Daerah pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2009 memberikan kerangka anggaran yang diperlukan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci