Kajian ANALIS ISU-ISU SEKTOR ESDM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kajian ANALIS ISU-ISU SEKTOR ESDM"

Transkripsi

1

2 Kajian ANALIS ISU-ISU SEKTOR ESDM

3

4 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kami telah menyelesaikan Laporan Akhir Analisis Isu-Isu Sektor ESDM. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bagian dari tupoksi dan respon Pusdatin ESDM dalam mencermati berbagai perkembangan isu-isu strategis terkait sektor ESDM baik di lingkup nasional maupun global. Seiring dengan pertambahan populasi dan pertumbuhan perekonomian nasional, konsumsi energi di Indonesia dalam satu dasawarsa terus meningkat sekitar 7-8% per tahun. Kemudian, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka mendukung pembangunan melalui sektor energi, yang tentu akan berdampak pada manajemen energi secara keseluruhan. Hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan kehandalan penyediaan energi untuk menopang akselerasi perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, Kementerian ESDM dalam rangka menjalankan salah satu kewajibannya dalam pengelolaan energi dan mineral nasional tentu menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang perlu disikapi dengan tepat dan komprehensif. Untuk itu, melalui kegiatan Analisis Isu-Isu Sektor ESDM diharapkan dapat memberikan antisipasi dan rekomendasi kepada pimpinan Kementerian ESDM dalam penyusunan strategi kebijakan untuk penyelesaian permasalahan di sektor ESDM saat ini dan masa mendatang. Penyusun 1

5 KATA PENGANTAR BAB I. PENDAHULUAN BAB II. KEBIJAKAN SEKTOR ESDM DAN PROYEKSI EKONOMI INDONESIA Kebijakan Subsidi Listrik Landasan Hukum Tarif Tenaga Listrik Pt Pln (Persero) Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Subsidi Listrik Upaya Penurunan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) Kesimpulan 2.2. Kebijakan Subsidi Bbm Landasan Hukum Latar Belakang Metoda Perhitungan Subsidi Bbm Outlook Subsidi Bbm Tahun Kesimpulan Rekomendasi 2.3. Kebijakan Ekspor Mineral Dan Batubara Latar Belakang Kondisi Saat Ini Kebijakan Ekspor Batubara Arah Kebijakan Tahun Permasalahan Sektor Pertambangan Dan Upaya Penyelesaian Kesimpulan Dan Rekomendasi 2.4. Perkembangan Dan Outlook Ekonomi Indonesia Dan Implikasinya Pada Kebijakan Energi Nasional Latar Belakang Perkembangan Terkini Perekonomian Dampak Kebijakan Energi Pada Perekonomian Implikasi Kebijakan Kesimpulan Dan Rekomendasi

6 BAB III. MENCARI TEROBOSAN INVESTASI PANAS BUMI INDONESIA 3.1 Pendahuluan 3.2 Potensi Panas Bumi Indonesia 3.3 Kendala Dan Upaya Penyelesaian Tumpang Tindih Lahan Peraturan Perundang Undangan Negosiasi Kontrak 3.4 Kebijakan Pemerintah Untuk Meningkatkan Pengembangan Panas Bumi 3.5 Peluang Investasi 3.6 Kesimpulan Dan Rekomendasi BAB IV. MANFAAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PERUSAHAAN TAMBANG TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR 4.1 Pendahuluan Latar Belakang Definisi Sejarah Singkat CSR 4.2 Cakupan CSR 4.3 Peran Pertambangan Mineral Dan Batubara 4.4 Rumusan Permasalahan 4.5 Pembahasan 4.6 Kesimpulan Dan Rekomendasi BAB V. PENUTUP

7 BAB I PENDAHULUAN Dalam satu dasawarsa terakhir, konsumsi energi Indonesia menunjukkan peningkatan rata-rata 7-8% per tahun seiring dengan pertambahan populasi dan pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Kondisi ini menuntut ketersediaan energi yang baik untuk mendukung aktifitas perekonomian dan dinamika sosial masyarakat. Namun demikian, terdapat berbagai tantangan dan kendala untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut diantaranya produksi minyak bumi yang cenderung menurun sementara akselerasi pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung baru energi nasional masih belum maksimal. Berdasarkan data dari Handbook of Energy and Economics Indonesia (Pusdatin, 2011), produksi minyak bumi Indonesia mengalami trend penurunan dimana pada tahun 2000 tingkat produksi mencapai 1,4 juta barel per hari (bph), namun di tahun 2010 tingkat produksi hanya sekitar 940 ribu bph. Di saat bersamaan, tingkat konsumsi BBM nasional terus meningkat dari 960 ribu bph di tahun 2010 menjadi 1,151 juta bph di tahun 2010 sehingga di tahun 2004, Indonesia telah menjadi net importir minyak disebabkan tingkat produksi minyak nasional tidak dapat mencukupi kebutuhan domestik. Walaupun diperkirakan pada tahun 2015, produksi minyak bumi nasional akan kembali mencapai angka 1 juta bph, namun pertumbuhan kebutuhan BBM nasional juga terus meningkat melampaui kondisi yang ada saat ini. Hal ini tentu akan menyebabkan volume impor minyak mentah maupun BBM terus membesar sehingga dapat menimbulkan ancaman terhadap ketahanan energi karena di saat bersamaan kemampuan produksi kilang BBM nasional juga belum dapat ditingkatkan dari level sekarang yang mencapai 1,157 juta bph. Di sektor ketenagalistrikan, dengan pertumbuhan permintaan tenaga listrik yang mencapai sekitar 8-9% per tahun tentu harus diimbangi dengan pasokan tenaga listrik yang handal. Sampai dengan tahun 2011, kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia mencapai MW yang terdiri dari pembangkit PLN sebesar MW dan sisanya merupakan pembangkit IPP (Independent Power Producer) 4

8 sebesar MW serta pembangkit PPU (Private Power Utility) sebesar MW dan rasio elektrifikasi mencapai 72,95% (Ditjen Ketenagalistrikan, 2012). Dengan kondisi tersebut, semua upaya untuk mewujudkan ketahanan energi harus menjadi agenda prioritas bagi Indonesia, dimana bukan hanya pasokan energi fosil yang harus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya namun juga energi baru terbarukan yang sumber dayanya cukup melimpah dan beragam di seluruh Indonesia diantaranya tenaga air (dengan potensi 75 GW), panas bumi 29 GW, tenaga surya, tenaga angin dan biofuel. Pentingnya mewujudkan ketahanan energi ini disebabkan dinamika sektor energi global di tahun 2012 dan tahun-tahun mendatang nantinya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor supply, demand, dan harga namun juga faktor lainnya seperti isu geopolitik dan stabilitas kawasan dimana terletak sumber-sumber energi dunia seperti di kawasan Timur Tengah dan Laut China Selatan. Berikut, isu-isu yang diperkirakan akan memengaruhi trend sektor energi mendatang: Pertama, energi fosil masih tetap menjadi primadona dalam konsumsi energi di masa mendatang. Saat ini, Asia menjadi konsumen minyak yang mengalami kenaikan permintaan terbesar dan pada 2020 diperkirakan Asia juga akan menjadi konsumen gas terbesar di dunia. Seiring dengan fakta ini, justru cadangan minyak dunia khususnya, di Asia terus mengalami penurunan dalam 20 tahun terakhir ini. Kedua, negara-negara berkembang di Asia, termasuk raksasa Cina dan India, kini sedang memasuki fase most energy-intensive. Tingginya demand terhadap kebutuhan energi akan menstimulasi mereka untuk menggunakan energi alternatif yang lebih efisien. Di samping itu, dalam rangka menjaga pasokan energi di negaranya, Cina kini juga banyak berburu sumber-sumber energi di negara lain yang memiliki sumber-sumber energi besar, termasuk Indonesia dengan batubaranya. Ketiga, pada 2015, pertumbuhan produksi minyak dan gas diperkirakan tidak akan match dengan pertumbuhan demand-nya. Sementara itu, pertumbuhan produksi batu bara diperkirakan juga akan mulai dibatasi karena isu lingkungan. Akibatnya, sumber energi alternatif 5

9 seperti biofuel diperkirakan akan menjadi bagian yang signifikan dalam energy mix policy masing-masing negara. Keempat, meskipun energi fosil saat ini dan dalam jangka menengah masih akan mempertahankan share-nya dalam energy mix dan merespon demand, isu emisi CO2 akan menjadi tantangan serius bagi industri migas global. Tuntutan perubahan iklim akan berkembang lebih serius dan ini tentunya akan direspon industri manufaktur untuk melakukan perubahan dalam desain industrinya. Industri otomotif, misalnya, diperkirakan akan semakin mengurangi produksi kendaraan berbasis BBM fosil dan akan lebih banyak memproduksi kendaraan berbasis BBM non-fosil. Kelima, keadaan ekonomi di Zona Eropa dan Amerika masih menunjukkan ketidakpastian setelah selama 2012 kedua kawasan ini diterpa berbagai permasalahan ekonomi politik yang cukup kritis seperti resiko gagal bayar negara anggota Uni Eropa yang mendorong beberapa negara mengancam keluar dari keanggotaan Uni Eropa dan krisis jurang fiskal (fiscall cliff) di Amerika Serikat pasca kemenangan Barack Obama untuk menjabat presiden untuk keduakalinya. Untuk itu, kegiatan Analisis Isu-Isu Sektor ESDM merupakan salah satu kegiatan yang perlu dilakukan oleh Pusdatin sebagai unit yang memiliki tugas untuk melakukan kajian energi dan mineral. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi dan strategi alternatif bagi pimpinan KESDM dalam menghadapi berbagai permasalahan dan isu-isu aktual strategis sektor ESDM yang terjadi saat ini dan masa mendatang. Adapun analisis isu-isu strategis sektor ESDM yang dibahas pada kegiatan ini adalah Kebijakan Sektor ESDM dan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013, Mencari Terobosan Investasi Panas Bumi Indonesia, dan Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Tambang Terhadap Masyarakat Sekitar. Kebijakan Sektor ESDM Dan Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 Dalam perekonomian nasional, sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) memegang peran yang sangat strategis. Di satu sisi, sektor ESDM merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap penerimaan negara, namun di sisi lain sektor ESDM dalam tugasnya menjamin ketersediaan energi juga mengakibatkan konsekuensi subsidi dalam alokasi anggaran negara yaitu dalam bentuk subsidi BBM dan listrik. 6

10 Pada tahun 2011 kontribusi sektor ESDM mencapai Rp 352 triliun dari total penerimaan nasional Rp triliun atau sekitar sekitar 29,4%. Sementara subsidi energi yang meliputi subsidi BBM dan listrik mencapai total Rp 255,6 triliun. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengingat hampir 72,6% penerimaan sektor ESDM digunakan hanya untuk memberikan subsidi BBM dan listrik. Akan lebih baik tentunya jika sebagian besar penerimaan dari sektor ESDM digunakan untuk meningkatkan kehandalan infrastruktur energi sehingga akses mayarakat terhadap energi dapat lebih ditingkatkan. Dengan semakin baiknya infrastruktur energi, kekurangan gas untuk kebutuhan sektor industri, kelangkaan pasokan BBM, dan keterbatasan pasokan listrik akan teratasi. Kondisi ini dapat mendorong tumbuhnya minat investasi sehingga dapat memperluas lapangan kerja, memperbesar pendapatan negara, mengurangi penduduk miskin yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga ke depan sektor ESDM tidak lagi berkontribusi sebagai sumber penerimaaan negara semata namun dapat memberikan nilai tambah terhadap perekonomian nasional. Di saat bersamaan, berbagai kebijakan di sektor ESDM seperti kebijakan subsidi harga BBM dan Tarif Tenaga Listrik (TTL), kebijakan penghematan energi, dan pembatasan ekspor bahan mentah komoditas mineral serta rencana pembatasan ekspor batubara diharapkan dilakukan secara jelas dan komprehensif sehingga dampak terhadap perekonomian dapat lebih terukur. Oleh karena itu pusdatin melakukan analisis dalam rangka meningkatkan koordinasi dan sinkroniasi kebijakan di sektor energi dan sektor ekonomi khususnya monter dan fiskal, dengan masukan dari beberapa narasumber dari Ditjen Ketenagalistrikan, Ditjen Minerba, BP Migas, dan Bank Indonesia. Mencari Terobosan Investasi Panas Bumi Indonesia Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia yaitu sekitar MW yang terdiri dari total sumber daya (spekulatif dan hypothetical) sebesar MW dan cadangan sebesar MW, yang terdiri dari cadangan terduga (possible) sebesar MW, cadangan mungkin (possible) sebesar 823 MW, dan cadangan terbukti (proven) sebesar MW. Namun dengan potensi sebesar 7

11 itu, pemanfaatannya masih kecil, yaitu kapasitas terpasang PLTP sebesar MW (Ditjen EBTKE, 2012). Dalam rangka pengembangan panas bumi, Pemerintah sudah menetapkan roadmap Pengembangan Panas Bumi yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Sebagai implementasi Perpres tentang KEN ini, Pemerintah telah mencanangkan Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik MW Tahap II yang ditegaskan di dalam Perpres No. 4 Tahun 2010 dimana kontribusi PLTP sampai tahun 2014 diharapkan dapat mencapai MW. Namun demikian, dalam implementasinya di lapangan realisasi Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik MW Tahap II, khususnya untuk PLTP masih sangat kecil. Oleh karena itu, Pusdatin ESDM bersama para narasumber dan pakar ekonomi energi melakukan analisis untuk mengetahui serta mencari solusi dan terobosan dalam peningkatan realisasi investasi panas bumi di indonesia. Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Tambang Terhadap Masyarakat Sekitar. Sebagai sumber penerimaan negara, sektor ESDM setiap tiap tahun memberikan kontribusi sekitar 30% terhadap penerimaan nasional. Pada tahun 2011, penerimaan sektor ESDM mencapai Rp 387,97 triliun atau sekitar 29% terhadap perkiraan penerimaan nasional sebesar Rp triliun. Penerimaan sektor ESDM tersebut 109% dari APBN-P 2011 sebesar Rp 324 triliun, dan 122% dari penerimaan tahun 2010 sebesar Rp. 288,84 triiliun. Dari jumlah tersebut, kontribusi sektor pertambangan mencapai Rp 77,3 triliun terhadap total penerimaan negara. Namun, data ini tidak berbanding lurus dengan kondisi pendapatan di daerah karena masih terdapat ketimpangan tingkat pendapatan atau kemiskinan di daerahdaerah penghasil mineral tambang. Hal ini tentu menjadi bahan diskusi tentang kontribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan di daerah. Berdasarkan kondisi tersebut, Pusdatin ESDM melakukan analisis dengan mengundang beberapa pakar ekonomi, sosial dan pertambangan dalam rangka menggali pengembangan manfaat dari 8

12 pendapatan mineral dan batubara dan sejauh mana dampak dimensi industri pertambangan terhadap pengentasan kemiskinan di daerahdaerah tambang. Selain itu, itu untuk mengidentifikasi berbagai penyebab mengapa pelaksanaan CSR kurang memberikan manfaat maksimal terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitar pertambangan dan bagaimana program CSR akan dijalankan di masa mendatang. 9

13 BAB II KEBIJAKAN SEKTOR ESDM DAN PROYEKSI EKONOMI INDONESIA TAHUN 2013 Sektor ESDM memiliki peranan penting dalam pembangunan dan perekonomian nasional yaitu sebagai penjamin sumber pasokan (energi dan minerba) yang didukung oleh harga energi yang terjangkau dan kemampuan meningkatkan nilai tambah. Sektor ESDM akan berpengaruh terhadap pembangunan nasional dan perekonomian nasional baik melalui indikator fiskal, moneter dan sektor riil. Dari sisi fiskal, sektor ESDM berkontribusi terhadap penerimaan negara (revenue) tapi di sisi lain menimbulkan konsekuensi subsidi energi dalam upaya menerapkan kebijakan harga energi yang terjangkau bagi masyarakat. Dari moneter, komoditas ESDM yang bersifat adminestered price akan berperan terhadap besaran/dinamika inflasi nasional. Sedangkan dari sektor riil, secara timbal balik, sektor ESDM berperan terhadap tumbuhnya investasi dan di saat bersamaan juga membutuhkan investasi untuk berkembang. Pada tahun 2011 kontribusi sektor ESDM mencapai Rp 352 triliun dari total penerimaan nasional Rp triliun atau sekitar sekitar 29,4%. Sementara subsidi energi yang meliputi subsidi BBM dan listrik mencapai total Rp 255,6 triliun. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengingat hampir 72,6% penerimaan sektor ESDM digunakan hanya untuk memberikan subsidi BBM dan listrik. 2.1 KEBIJAKAN SUBSIDI LISTRIK Landasan Hukum Sebagaimana kita ketahui bahwa landasan hukum dalam pemberian subsidi adalah berpijak dari Peraturan Perundangan yang berlaku, antara lain adalah sebagai berikut: UU No. 30/2007 tentang Energi: Sesuai ketentuan Pasal 7 (1) Harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan dan (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana subsidi untuk masyarakat tidak mampu ; Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan 10

14 Pasal 4 ayat (3) huruf a : Untuk penyediaan tenaga listrik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk: kelompok masyarakat tidak mampu. Pasal 34 ayat (1) Pemerintah sesuai dengan kewenangannya menetapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Penjelasan pasal 66 ayat 1 (mengenai Kewajiban Pelayanan Umum/KPU): Meskipun BUMN didirikan dengan maksud dan tujuan untuk mengejar keuntungan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh Pemerintah. Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga listrik Pasal 41 ayat 2 : Dalam menetapkan tarif tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, harus memperhatikan: keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik; kepentingan dan kemampuan masyarakat; kaidah industri dan niaga yang sehat; biaya pokok penyediaan tenaga listrik; efisiensi pengusahaan; skala pengusahaan dan interkoneksi sistem; dan tersedianya sumber dana untuk investasi. Pasal 41 ayat (4) : Untuk mendapatkan penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik mengajukan permohonan tertulis kepada: Menteri; Gubernur; atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Peraturan Presiden RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik PT PLN. Permenkeu Nomor: 111/PMK.02/2007 tentang Tatacara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik. 11

15 Tarif Tenaga Listrik PT PLN (Persero) Dalam rangka mempertahankan kelangsungan pengusahaan penyediaan tenaga listrik dan peningkatan mutu pelayanan kepada konsumen, maka perlu dilakukan penyesuaian tarif tenaga listrik yang disediakan oleh PT Pembangkit Listrik Negara (Persero), dimana Besaran Tarif Tenaga Listrik (TTL) tahun 2011 mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2011, sedangkan pada tahun 2013 pemerintah menyesuaikan harga Tarif Tenaga Listrik, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 30 Tahun 2012 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero). Dimana pada tahun 2013 mengalami total kenaikan sebesar 15%, dengan dilakukan penyesuian per Triwulan sekali (untuk golongan rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mengalami kenaikan). Formula Perhitungan Subsidi Listrik, sesuai dengan PMK 111/2007: Subsidi = - (Tarif BPP (1 + m)) x V Dimana: Tarif = Tarif Tenaga Listrik (TTL) rata-rata (Rp/kWh) (ada tidaknya kenaikan tarif, termasuk besaran serta waktu pemberlakuannya, akan diusulkan dalam Nota Keuangan) BPP = Biaya Pokok Penyediaan rata-rata (Rp/kWh) m = Margin usaha (%) V = Volume penjualan tenaga listrik (kwh) Kementerian ESDM selaku regulator menjaga agar penyediaan tenaga listrik dilakukan secara efisien dan menjaga keseimbangan kepentingan penyedia listrik (PLN) dan konsumen. Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik pada dasarnya sama dengan Tarif Tenaga Listrik (TTL) yang dibayar oleh konsumen, namun saat ini TTL masih dibawah BPP. Oleh karena itu, maka Pemerintah melakukan evaluasi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN, dengan berprinsip pada Allowable Cost, dan memaksimalkan efisiensi melalui diversifikasi energi primer dan penurunan losses. Dalam rangka subsidi listrik diprioritaskan bagi konsumen tidak mampu (450 s.d VA), tarif lainnya ditetapkan sesuai BPP dan 12

16 keekonomian secara bertahap. Subsidi diperlukan apabila tingkat TTL dibawah nilai semestinya (biaya pokok penyediaan + margin). Tahun Tebel 2.1 Perkembangan subsidi Listrik dan kebijakan Alokasi Subsidi (Triliun Rp) Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Realisasi Subsidi (Triliun Rp) Kebijakan Subsidi ,93 3,93 Defisit Arus Kas ,62 4, ,10 4, ,76 3, ,31 3, ,51 10, ,2 33, ,4 37, ,50 78, ,55 53, ,10 58, ,56 93,18 Konsumen Terarah, Khusus pelanggan s.d. 450 VA dan pemakaian 60 kwh Konsumen Diperluas, TDL rata-rata lebih rendah dari BPP Dari data tabel di atas dapat terlihat bahwa subsidi listrik tahun 2011 sebesar Rp 93,18 Triliun atau naik sekitar sekitar 60,37% jika dibandingkan besarnya subsidi listrik tahun 2010 yang sebesar Rp 58,10 Triliun. Kenaikan subsidi ini dikarenakan adanya kenaikan terhadap BPP, dimana pada tahun 2010 sebesar Rp 1.008/kWH, naik menjadi Rp 1.251/kWH pada tahun Kenaikan BPP ini dikarenakan meningkatnya penjualan listrik pada tahun 2011, seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap listrik nasional. Komponen-komponen yang mempengaruhi BPP tenaga listrik pada tahun 2011, sesuai dengan PMK Nomor 111/PMK.02/2007 adalah sebagai berikut: Pembelian tenaga listrik termasuk juga didalamnya sewa pembangkit. 13

17 Biaya terhadap pengadaan bahan bakar, yang terdiri dari bbm, gas alam, panas bumi, batubara, minyak pelumas, serta adanya biaya retribusi air permukaan. Adanya biaya pemeliharaan, yang terdiri dari material, dan jasa borongan. Biaya kepegawaian Biaya administrasi Adanya penyusutan aktiva tetap operasional. Adanya bunga dan keuangan yang digunakan untuk penyediaan tenaga listrik. Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Gambar 2.1 Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Subsidi Listrik (selain kurs dan ICP) Faktor-Faktor Berpengaruh Terhadap Subsidi Listrik Faktor yang mempengaruhi Subsidi Listrik secara garis besar dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu adanya faktor BPP+Margin dan Pendapatan. Faktor BPP dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yaitu besarnya biaya penyediaan energi primer dan komposisi energy mix pada pembangkitan. 14

18 Besarnya biaya energi primer dipengaruhi oleh harga gas, harga batubara dan harga bbm, sedangkan komposisi dari energi mix pembangkit ditentukan oleh keadaan infrastruktur dan pasokan gas, juga dengan COD PLTU batubara. Pendapatan dari perusahaan juga mempengaruhi besarnya subsidi, dimana pendapatan ini akan dipengaruhi dari besarnya penjualan listrik dan tarif tenaga listrik. Dimana penjualan listrik didapatkan dari produksi listrik dari semua pembangkit dengan mempertimbangkan losses yang terjadi. Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Gambar 2.2 Perkembangan Dan Target Energy Mix Tahun Dari gambar di atas dapat terlihat bahwa tahun 2012 share prosentase untuk bbm pada pembangkit listrik mengalami penurunan, dimana pada tahun 2011 sebesar 22,95% menurun menjadi 13,83% pada tahun 2012, dan ditargetkan akan menurun lagi pada tahun 2013, yaitu sebesar 9,70%. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan energi primer pada pembangkit listrik, PT PLN mengembangkan pembangkit dengan EBT antara lain energi air, biodiesel, panas bumi, serta energi lainnya. Disamping itu PT PLN juga mengembangkan pembangkit gas bumi 15

19 serta adanya pembangkit listrik tenaga batubara. Dimana pada tahun 2013 pembangkit listrik PT PLN didominasi oleh pembangkit batubara, yaitu sebesar 56,66%. Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Gambar 2.3 Harga Rata-rata Gas, BBM, Dan Batubara Untuk Pembangkit PLN Tahun Dari gambar di atas terlihat bahwa, harga batubara dari tahun ketahun mengalami kenaikan harga, dimana pada tahun 2011 harga sebesar US$ 4,54 per MSCF mengalami kenaikan menjadi US$ 6,12 per MSCF pada tahun 2012, dan US$ 7,96 per MSCF pada tahun Sedangkan untuk harga batubara pada tahun 2013 konstan jika dibandingkan tahun 2012, yaitu sebesar Rp 792/kg. Dan untuk harga bbm pada tahun 2013 diprediksikan mengalami sedikit penurunan harga, yaitu Rp 8233/liter, sedangkan pada tahun 2012 sebesar Rp 8336/liter. Apabila hanya dilihat dari harga diatas, khususnya batubara dan bbm, tentunya yang harganya cenderung konstan, kemungkinan tidak akan mempengaruhi dari pada BPP, namun apabila dilihat dari volumenya dan nilai tukar rupiah terhadap US$ serta harga ICP, maka harga tersebut juga akan mempengaruhi dari BPP. 16

20 Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Gambar 2.4 Roadmap Dan Realisasi Penurunan Susut Jaringan Dari gambar roadmap di atas, terlihat bahwa PT PLN berupaya melakukan efisiensi terhadap kehilangan/losses ataupun susut jaringan, dari tahun ke tahun akan mengalami penurunan, untuk tahun 2013 penurunan susut jaringan yang ditargetkan dalam APBN 2013 sebesar 8,50%. Beberapa upaya PT PLN dalam rangka efisiensi terkait susut jaringan antara lain: Memperbanyak trafo distribusi sisipan baru; Mengurangi transfer energi dengan mempercepat COD pembangkit baru; Penggunaan trafo distribusi low-losses; Meningkatkan penertiban pemakaian listrik, termasuk Penerangan Jalan Umum dan pemakaian listrik billboard ilegal; Mendorong penggunaan listrik prabayar. 17

21 Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Gambar 2.5 Target Ratio Elektrifikasi 2012 Ratio elektrifikasi nasional pada tahun 2011 sebesar 72,95%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami kenaikan menjadi 75, 30%. Untuk tahun 2013, rasio elektrifikasi nasional ditargetkan sebesar 77, 65%, dan ini akan terus ditingkatkan menjadi 80% pada tahun Dalam rangka mewujudkan target rasio elektrifikasi tersebut, maka Pemerintah dan PT PLN (Persero) merencanakan penambahan kapasitas pembangkit dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik dan untuk mendukung program MP3EI. Berdasarkan RUPTL PLN , pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik diproyeksikan sekitar 8.46% pertahun dan kapasitas pembangkit sebesar MW hingga tahun 2020 atau rata-rata MW pertahun. Dan dalam implementasinya pemerintah sudah melaksanakan Fast Track Program (FTP) MW tahap I dan FTP II. Dimana pada FTP I pembangkit listriknya masih bertumpu pada pembangkit batubara, sedangkan pada FTP II sudah mencantumkan pembangkit energi baru dan terbarukan. Dengan adanya penambahan kapasitas pembangkit listrik tersebut, maka kebutuhan energi primernya juga akan bertambah, dan dengan 18

22 adanya penambahan kebutuhan energi primer tersebut, maka BPP juga akan ikut mengalami kenaikan Upaya Penurunan BPP Tenaga Listrik Dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik yang terus meningkat, Pemerintah dan PT PLN (Persero) berupaya menurunkan BPP tenaga listrik, antara lain melalui: Program diversifikasi energi pembangkit BBM ke non BBM; Program penurunan susut jaringan (losses); Optimalisasi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar gas dan batubara; Meningkatkan peran energi baru terbarukan dalam pembangkitan tenaga listrik Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik 2013 Subsidi listrik dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, dimana dalam APBN-P 2012 subsidi listrik mencapai Rp 64,97 Triliun, dan diperkirakan apabila tidak ada penyesuaian harga listrik, maka diperkirakan pada tahun 2013 subsidi listrik bisa mencapai Rp 93,52Triliun. Dalam rangka mengurangi beban subsidi listrik pada APBN Tahun 2013, maka pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik secara bertahap triwulanan rata-rata 4,3% yang diberlakukan mulai Januari Namun untuk golongan pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA tidak mengalami kenaikan. Uraian Tabel 2.2 Skenario Penyesuian TTL Tahun 2013 TTL Tetap Skenario Penyesuaian TTL 2013 % rata-rata naik triwulanan TTL naik triwulanan mulai Januari TTL Jan- Mar TTL Apr - Jun Penjualan (TWh) TTL rata-rata (Rp/kWh) TTL Jul - Sept TTL Okt - Des % Subsidi (Triliun Rp.) Sumber : Ditjen Ketenagalistrikan,

23 Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan: Dari data dan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan untuk subsidi listrik tahun 2013, adalah sebagai berikut: 1. Penyesuaian tarif tenaga listrik tahun 2013 sangat diperlukan agar pendistribusian subsidi listrik lebih tepat sasaran; dana penghematan subsidi listrik dapat dipakai untuk membangun infrastruktur; 2. Kebutuhan dana untuk pembangunan jaringan dan pembangkit guna meningkatkan Rasio Elektrifikasi (dari realisasi 2011 sebesar 72,95% dengan target sebesar 77,65% pada tahun 2013) dan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 6,8% pada tahun 2013; 3. Dengan pertumbuhan penjualan listrik sebesar 9%, susut jaringan 8,5%, dan margin 7%, maka dibutuhkan dana pengadaan listrik sebesar Rp. 226,91 triliun; 4. Dengan kenaikan TTL sebesar 15% pada tahun 2013, dibutuhkan subsidi tahun berjalan sebesar Rp. 78,63 triliun. Apabila tidak dinaikkan diperlukan Rp. 93,52 triliun, artinya mendapat penghematan anggaran sebesar Rp. 14,89 triliun; 5. Penerima subsidi terbesar adalah dua golongan; yaitu R1/450 VA dan R1/900 VA (total: pelanggan) yang mencapai 53,1% (Rp. 41,76 triliun) dari kebutuhan subsidi listrik tahun Upaya-upaya yang dilakukan untuk menekan BPP, yaitu Optimalisasi energi primer untuk pembangkit yaitu dengan meningkatkan pemanfaatan batubara dan gas bumi. Setiap peningkatan 1% penggunaan batubara pada bauran energi untuk menggantikan minyak diperkirakan dapat menghemat subsidi listrik sebesar Rp. 2,3 T. Dalam hal pemanfaatan gas, setiap peningkatan 1% pada bauran energi diperkirakan dapat menghemat subsidi sebesar Rp.2,1 T; Pembangunan FSRU antara lain di Teluk Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Tengah; Program peningkatan efisiensi melalui penurunan susut jaringan (losses). 20

24 Rekomendasi: 1. Permasalahan utama yaitu energi mix pada pembangkit lisrik, dimana komposisi BBM masih cukup tinggi sehingga hal ini menjadi tantangan PT PLN untuk dapat mengurangi seefisien mungkin, karena biaya BBM merupakan komponen terbesar dalam struktur BPP listrik. Oleh karena itu, diharapkan PT PLN agar berkomitmen untuk merealisasikan project FTP I dan FTP II sesuai dengan jadwal. 2. PT PLN agar mengoptimalisasi keandalan dan efisiensi pembangkit, transmisi, dan distribusi. 3. PT PLN diharapkan agar mengembangkan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan, sesuai dengan potensi daerah setempat dalam rangka meningkatkan ratio elektrifikasi. 4. Dalam rangka penyediaan tenaga listrik, diharapkan agar menggunakan komponen lokal, untuk mendukung pertumbuhan industri ketenagalistrikan dalam negeri KEBIJAKAN SUBSIDI BBM Landasan Hukum Sebagaimana kita ketahui bahwa landasan hukum dalam pemberian subsidi adalah berpijak dari Peraturan Perundangan yang berlaku, antara lain adalah sebagai berikut: UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 8 (2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah NKRI PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas, Pasal 4c, Menteri menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM di seluruh wilayah NKRI ; UU No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi Pada Pasal 7 AYAT 2 : Pemerintah & Pemerintah Daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Peraturan Presiden RI 45/2009 jo Perpres 71/2005 tentang Penyediaan Dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, yang mengharuskan Pemerintah mensubsidi selisih harga jual dan harga patokan; Peraturan Presiden RI No. 15/2012 tentang Harga Jual Eceran 21

25 dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu, yang mengatur harga jual eceran untuk BBM untuk konsumen tertentu. Peraturan Presiden RI No. 104/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan Harga LPG Tabung 3Kg; Peraturan Presiden RI No. 64/2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, & Penetapan Harga BBG untuk Transportasi Jalan; Peraturan Menteri ESDM No. 12/2012 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak Latar Belakang Realisasi pemakaian bbm bersubsidi tahun 2011 mengalami lonjakan volume (over kuota) dari volume bbm bersubsidi yang telah ditetapkan dalam APBN 2011 sebesar 38,59 juta KL, namun dalam perjalanan waktu kemudian mengalami lonjakan lagi sehingga masuk dalam APBN-P 2011 sebesar 40,79 juta KL. Dan pada akhirnya sampai akhir tahun 2011, realisasi bbm bersubsidi mencapai 41,79 juta KL. Tabel 2.3 Realisasi Volume BBM Bersubsidi Tahun 2011 (juta KL) Sumber: Ditjen Migas,

26 Beberapa penyebab utama adanya over kuota ini adalah sebagai berikut: Program pengaturan BBM bersubsidi tahun 2011 hanya secara persuasif sehingga belum dapat mengendalikan volume sesuai rencana semula Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011 lebih tinggi (dari 6,4% menjadi 6,5%) (sumber : Kementerian Keuangan) Peningkatan penjualan mobil di penghujung tahun 2011 mencapai 900 ribu (estimasi 850 ribu unit/tahun) (sumber : Gaikindo). Tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM non subsidi sehingga terjadi migrasi konsumen dari BBM Non Subsidi ke BBM Bersubsidi. Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.6 Perkembangan subsidi Dari tahun ke tahun besar subsidi cenderung mengalami kenaikan, dimana pada tahun 2009 subsidi BBM/BBN dan LPG sebesar Rp 45 triliun, tahun 2010 menjadi Rp 82,3 triliun, dan tahun 2011 sebesar 168,2 triliun. 23

27 Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.7 Persentase Kelompok Rumah Tangga Penerima Subsidi Dari gambar di atas ini dapat dilihat bahwa sebesar 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi justru yang menerima alokasi subsidi yaitu sebesar 77%. Sementara kelompok 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15%. Oleh Karena itu telah terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang telah berlangsung bertahun tahun dalam pengalokasian sasaran penerima subsidi BBM, atau dengan kata lain, pengalokasian bbm besrsubsidi selama ini kurang tepat sasaran. Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.8 Konsumsi Premium Tahun

28 Premium merupakan jenis BBM yang menyerap subsidi terbanyak yaitu sebesar 60% (23,1 juta KL) dari total perkiraan realisasi BBM Bersubsidi tahun 2010 sebesar 38,38 juta KL. Berdasarkan sektor pengguna BBM bersubsidi, sektor transportasi (darat) menggunakan 89% (32,49 juta KL) dari perkiraan realisasi BBM bersubsidi 2010 sebanyak 38,38 juta KL. Konsumsi premium pada sektor transportasi (darat) didominasi oleh mobil pribadi sebesar 53% (13,3 juta KL) dari total konsumsi premium untuk transportasi darat. Dari sisi kewilayahan, Jawa- Bali mengkonsumsi 59% kuota premium nasional, dimana sebesar 30%nya dikonsumsi di Jabodetabek (sama dengan 18% konsumsi premium nasional) Metoda Perhitungan Subsidi BBM Lembaga Penilaian Harga Minyak untuk kawasan Asia terutama di Singapore adalah Platts dan Argus Media. Dua lembaga tersebut memiliki metode yang berbeda dalam hal penilaian harga minyak di Singapura. Metode yang berbeda membuat penilaian harga minyak di Singapore yang diterbitkan 2 lembaga tersebut juga akan berbeda. Penilaian harga Platts (MOPS) berdasarkan transaksi yang terjadi di sistem window Platts. Di mana seller dan buyer memasukkan volume untuk jenis minyak yang sesuai spesifikasi Platts dan harga bid/offer. Sedangkan Argus Media menggunakan metode survei, testing, dan analisis untuk menentukan penilaian harga minyak. Platts merupakan salah satu divisi dari The McGraw-Hill Companies (NYSE-MHP), sebuah perusahaan penyediaan informasi global dan sister to such market-leading brands as Standard & Poor s, J.D. Power & Associates, Aviation Week, and McGraw-Hill Construction. Sejak tahun 1953, Platts menyediakan informasi tentang metal, perkapalan, pasar yang berkaitan dengan energi seperti minyak, batubara, listrik, tenaga nuklir, petrokimia, energi terbarukan dan emisi. SUBSIDI BBM = Volume BBM x [Harga Patokan Harga Jual Eceran (tidak termasuk pajak)] 25

29 Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.9 Formula Perhitungan Subsidi BBM *) Catatan: Pajak terdiri dari: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) PBBKB hanya untuk Premium dan Solar Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.10 Flow Harga Patokan BBM Harga Patokan dihitung setiap bulan berdasarkan MOPS rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin (Perpres No. 71 Tahun 2005, pasal 1 (6)); 26

30 Harga Patokan = MOPS + ALPHA a. MOPS (Mean of Platts Singapore) adalah Indeks Pasar Produk Minyak yang merupakan HargaTransaksi Jual Beli di Pasar Singapura yang dipublikasikan secara harian; b. Alpha ditentukan oleh Pemerintah atas persetujuan DPR. Perhitungan alpha untuk RAPBN-P 2012 sama dengan APBN 2012 dengan menggunakan formula sebagai berikut : Alpha = a MOPS + b, Dimana: a. biaya distribusi yang terkait dengan MOPS, biaya angkut (bahan bakar) tanker, truk, dan losses (dinilai dalam prosentase terhadap MOPS, dalam US$/barel) b. biaya tetap seperti biaya operasi dan perawatan depo, fee penjualan ke SPBU dan Margin Badan Usaha pelaksana PSO (dalam rupiah/liter) Harga eceran adalah harga yang sama dengan harga patokan apabila tidak ada subsidi. Dengan adanya subsidi, harga eceran selalu dibawah harga patokan Angka alpha diperoleh dari penjumlahan biaya transportasi BBM dari Kilang/penyediaan sampai dengan penyalur/custody transfer ditambah dengan angka margin; Biaya yang diperhitungkan antara lain : Freight Cost (Darat, Laut atau Udara); Insurance; Working Capital; Depreciation; Storage and Handling Cost; Losses; Marketing Cost; Wholesale Margin; Retail Margin. MOPS (Mean of Platts Singapore), adalah rata-rata dari harga rendah 27

31 dan tinggi yang dipublikasikan oleh Platts Singapore dari setiap jenis BBM sebagai harga indeks pasar BBM yang berada di Singapura (FOB Singapura) yang mencerminkan transaksi jual beli produk minyak. MOPS (Mean of Platts Singapore) adalah Indeks Pasar Produk Minyak yang merupakan HargaTransaksi Jual Beli di Pasar Singapura yang dipublikasikan secara harian; Sampai dengan akhir 2005, MOPS digunakan sebagai referensi penetapan harga jual BBM. Mulai 1 Januari 2006, MOPS digunakan sebagai reference penetapan harga patokan dengan pertimbangan sebagai border price refference yang most likely memasok BBM ke Indonesia Tabel 2.3 Biaya Distribusi dan Margin Outlook Subsidi BBM Tahun 2013 Besaran subsidi BBM selain dipengaruhi oleh besaran volume konsumsi BBM bersubsidi juga dipengaruhi oleh harga minyak bumi dan nilai tukar rupiah. 28

32 Sumber: Laporan esdm 2012 dan rencana 2013, KESDM Gambar 2.11 Perkembangan Harga Minyak Indonesia Dan Minyak Utama Dunia Trend ICP tahun 2012 (s.d 18 Desember 2012) mengalami peningkatan yang cukup tinggi pada bulan Maret 2012 dengan ratarata ICP bulan Maret 2012 sebesar US$128,14/barel dan penurunan terendah pada bulan Juni 2012 dengan rata-rata ICP bulan Juni 2012 sebesar US$99,08/barel, kemudian bulan-bulan selanjutnya berada pada kisaran US$102 US$111/barel. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga minyak antara lain: kondisi geopolitik di kawasan Timur Tengah dan Afrika yang tidak stabil dan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya pasokan minyak, kekhawatiran pasar terhadap prospek penyelesaian krisis hutang Yunani dan atas ancaman resesi ekonomi global salah satunya resesi ekonomi di AS akibat fiscal cliff. Harga BBM tahun 2012 tidak dinaikkan, karena sesuai APBN-P 2012 harga ICP 6 bulan kebelakang selama tahun 2012 tidak pernah melebihi 15% dari asumsi APBN-P sebesar US$ 105/barel atau sebesar US$ 120,75/barel. 29

33 Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.12 Proyeksi Harga Minyak Mentah Indonesia 2013 Keterangan: 1. Short Term Energy Outlook, 7 Agustus Hasil pooling Reuters 29 Agustus CGES: Center For Global Energy Studies, Monthly Oil Report volume 21 issue 8, 20 Agustus 2012 Harga minyak dunia cenderung mengalami peningkatan di triwulan I Tahun 2012, sebagai akibat dari memburuknya situasi geopolitik di Timur Tengah, serta belum pulihnya krisis hutang dan finansial Eropa dan Amerika namun cenderung turun di awal triwulan II Tahun 2012 sebagai akibat mulai meredanya ketegangan di Timur Tengah dan membaiknya perkonomian Amerika. Prediksi harga minyak dunia pada 2013 berdasarkan berbagai sumber (Reuters, DOE & OPEC) berkisar antara US$ /barel. (status mei 2012) Berdasarkan perkembangan realisasi ICP dan harga minyak dunia, prediksi harga minyak dunia tahun 2013 dari berbagai sumber, serta masih tingginya ketidakpastian faktor-faktor yang mempengaruhi harga minyak, seperti pertumbuhan ekonomi dan kondisi geopolitik di kawasan penghasil minyak maka ICP untuk RAPBN 2013, yang diusulkan pada kisaran US$ /barel dan disetujui dalam APBN 2013 sebesar US$ 100/ barrel. 30

34 Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.13 Prosuksi Migas Nasional Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.14 Prognosa Produksi/Lifting Minyak Bumi 2013 Berbagai langkah-langkah strategis dalam upaya peningkatan produksi migas dilakukan melalui penerapan Inpres No. 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional, intensifikasi penerapan Pedoman Kebijakan Peningkatan Produksi Migas (re. Permen ESDM No 6/2010), mengoptimalkan Tim Pengawasan Peningkatan Produksi Migas dan Tim Monitoring Fasilitas Produksi yang antara lain untuk mengurangi gangguan produksi. 31

35 Berdasarkan perkembangan produksi 2011, dan upaya peningkatan produksi, serta perkiraan adanya tambahan produksi dari pengembangan lapangan baru, maka prognosa lifting minyak bumi dan kondensat pada RAPBN 2013 diusulkan sebesar ribu Barel Oil Per Day (BOPD), sedangkan disetujui dalam APBN 2013 sebesar barrel/hari. Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.15 Prognosa Lifting Gas Bumi 2013 Berbagai langkah-langkah strategis dalam upaya peningkatan produksi gas bumi antara lain melalui intensifikasi penerapan Pedoman Kebijakan Peningkatan Produksi Migas (re. Permen ESDM No 6/2010), mengoptimalkan Tim Pengawasan Peningkatan Produksi Migas dan Tim Monitoring Fasilitas Produksi yang antara lain untuk mengurangi gangguan produksi. Berdasarkan perkembangan produksi gas di tahun 2012 dan upaya peningkatan produksi, serta perkiraan adanya tambahan produksi dari pengembangan lapangan baru, maka prognosa lifting gas bumi pada APBN 2013 disetujui sebesar Ribu BOEPD. Sumber: Ditjen Migas, 2012 Gambar 2.16 Prognosa Lifting Migas 2013 Berdasarkan perkembangan produksi migas di tahun 2012, dan upaya peningkatan produksi, serta perkiraan adanya tambahan produksi dari pengembangan lapangan baru, maka prognosa produksi/lifting migas pada APBN 2013 disetujui sebesar Ribu BOEPD. 32

36 Tabel 2.4 Volume BBM Bersubsidi Sumber: Ditjen Migas, 2012 Proyeksi Volume BBM bersubsidi tahun 2013, diperkirakan sekitar 45,0 48,0 juta KL dengan memperhatikan tingkat keberhasilan dari program penghematan BBM bersubsidi tahun 2012 dan kelanjutannya. Volume BBM bersubsidi tahun 2013 dapat dikendalikan menjadi 45 juta KL apabila program penghematan BBM tahun 2012 tetap diimplementasikan dan adanya penyesuaian harga jual BBM. Volume BBM bersubsidi tahun 2013 dapat mencapai 48 juta KL apabila program penghematan belum sesuai yang diharapkan dan penyesuaian harga BBM tidak dapat dilaksanakan di tahun Proyeksi tersebut adalah pertumbuhan dari hasil penghematan tahun 2012 yang diperkirakan menjadi 44 juta KL dengan pertumbuhan 9%. Dalam kesepakatan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah disepakati dalam APBN 2013 volume subsidi BBM dan BBN sebesar 46,01 Juta KL, volume subsidi LPG 3 kg sebesar 3,86 Juta Mton. Tabel 2.5 Subsidi BBN SATUAN REALISASI KESEPAKATAN NOTA APBN-P sd 31 Ags Outlook ) KOMISI VII 2) KEUANGAN a. Biodiesel (BBN) Rp./liter ) b. Bioethanol (BBN) Rp./liter c. LGV Rp./liter ) d. BBM (Alpha) Rp./liter 662,93 658,03 628,38 641,94 4) 669,64 5) 642,64 Sumber: Ditjen Migas,

37 Catatan : Perbandingan harga BBN, terhadap harga BBM fosil cenderung mengalami penurunan, namun harga penyediaannya masih diatas harga BBM fosil, untuk itu pada APBN 2013 disetujui tambahan subsidi BBN sebesar Rp /liter untuk biodiesel dan Rp / liter untuk bioethanol. Sejalan dengan perkembangan program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg dan perkembangan pemakaian dari pengguna LPG 3 kg untuk isi ulang/refill LPG 3 kg tahun 2013 diproyeksikan sebesar 3,86 4,29 juta Metrik Ton, dan yang disetujui dalam APBN 2013 sebesar 3,86 Juta Mton. Program konversi tahun 2013 direncanakan dilaksanakan untuk Kabupaten/Kota yang belum terkonversi di Provinsi yang sudah terkonversi dan penyisiran rumah tangga yang belum mendapatkan paket konversi Kesimpulan Dari data dan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Subsidi BBM, BBN, dan LPG tahun 2013 (Kurs Rp ,36/ US$) : Volume subsidi BBM dan BBN pada tahun 2013 sesua dengan nota keuangan sebesar 46,01Juta KL. Volume LPG 3 Kg sebesar 3,86 Juta MTon Subsidi Biodiesel (BBN) sebesar Rp 3.000/ liter Subsidi Bioethanol (BBN) sebesar Rp 3.500/ liter Subsidi untuk LGV sebesar Rp 1.500/ liter BBM (Alpha) sebesar Rp 642,64/ liter (Alpha BBM dengan asumsi ICP: US$ 100/bbl, Kurs Rp /US$) 34

38 2. Sebesar 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan tertinggi justru yang menerima alokasi subsidi yaitu sebesar 77%. Sementara kelompok 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan (pengeluaran) per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15%. 3. Penyebab terjadinya over kuota yang berlangsung hampir setiap tahunnya adalah sebagai berikut: Meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Program pengaturan BBM bersubsidi yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan secara penuh Terjadinya peningkatan penjualan mobil & motor. Tingginya disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM non subsidi sehingga terjadi migrasi konsumen dari BBM Non Subsidi ke BBM Bersubsidi. 4. Upaya pemerintah dalam rangka mengurangi konsumsi BBM bersubsidi : Pengalihan Subsidi Harga ke Subsidi Langsung dan Bantuan Sosial melalui penguatan program-program penanggulangan kemiskinan. Pengurangan Volume (Q ) BBM tertentu, dengan cara : Pengurangan pemakaian Bahan Bakar Minyak Tertentu Diversifikasi energi Penerapan Sistem Distribusi Tertutup untuk pengguna tertentu Insentif dan Disinsentif Fiskal Pemilihan Harga Patokan BBM yang tepat Menekan biaya distribusi BBM Menghitung harga keekonomian penyediaan BBM Penetapan Harga Jual BBM tertentu sesuai daya beli pengguna tertentu Rekomendasi 1. Semakin tingginya beban APBN untuk subsidi bbm yang ditanggung oleh pemerintah, dimana tahun 2013 hampir mencapai Rp. 300 Triliun, maka perlunya penyesuaian harga BBM, agar APBN lebih sehat dan dananya dapat dialokasikan ke infrastruktur. 2. Perlunya sosialisasi yang lebih intens kepada masyarakat tentang 35

39 hemat energi, khususnya energi fosil. 3. Perlunya kebijakan pemerintah yang dapat menurunkan tingkat penjualan kendaraan bermotor, sebagai contoh kebijakan uang muka (DP) untuk kredit kendaraan bermotor, dan bunga bank. 4. Perlunya diversifikasi BBM dengan bahan bakar lainnya, BBG maupun BBN untuk kendaraan bermotor. 5. Perlunya perbaikan moda transportasi massa dengan bahan bakar gas yang lebih aman dan nyaman, agar dapat mengalihkan pemakaian kendaraan pribadi ke kendaraan umum KEBIJAKAN EKSPOR MINERAL DAN BATUBARA Latar Belakang Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Dalam pengelolaan kekayaan alam, sering terjadi perbedaan kepentingan dan perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan sektor Mineral dan Batubara sesuai dengan Undang-undang Penataan Ruang dan Undangundang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.17 Peran Subsektor Mineral Dan Batubara Dalam Pembangunan Sesuai ketentuan dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang 36

40 Pertambangan Mineral dan Batubara, wajib dilakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Adanya kemungkinan ekspor batubara dari Indonesia yang tidak tercatat pada data ekspor di Indonesia, serta adanya kemungkinan perbedaan data ekspor batubara yang tercatat di luar negeri dibandingkan dengan data yang tercatat di Indonesia Industri pertambangan mineral dan batubara ditujukan untuk mendukung kebijakan pemerintah Four Track Strategies yaitu: Pro Poor, Pro Job, Pro Growth dan Pro Environment sehingga terwujud pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang bermanfaat, berkeadilan dan keberpihakan bagi kesejahteraan masyarakat. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.18 Penguasaan Mineral Dan Batubara Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, maka bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai kepemilikannya oleh Negara, Bangsa Indonesia (mineral right). Sedangkan dalam rangka menyelenggarakan penguasaan pertambangan tersebut (mining right) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan dan tugas yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan 37

41 dalam rangka pengusahaannya diserahkan kepada pelaku usaha (economic right), yaitu BUMN/BUMD, Badan usaha lainnya, Koperasi, dan perorangan Kondisi Saat Ini Berikut ini adalah peta sebaran sumber daya dan cadangan mineral yang tersebar hampir diseluruh kepulauan di Indonesia. Komoditi tembaga hampir sebesar juta ton ore, emas juta ton ore, perak sebesar 7500 juta ton ore, nikel sebesar juta ton ore. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.19 Peta Sumberdaya Dan Cadangan Mineral Disamping itu terdapat pula komoditas lainnya, antara lain pasir besi, besi lateritic, besi primer, besi sedimen, mangan, perak, zinc, timah dan lead. Batubara memiliki total sumberdaya sebesar 161,34 Miliar Ton (termasuk 41 Miliar Ton SD baubara tambang dalam) dan cadangan totalnya sebesar 28,17 Miliar Ton, yang tersebar di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, dan di Papua. Cadangan batubara Indonesia berdasarkan kalori adalah untuk cadangan barubara dengan kalori rendah (< 5000kal/gr) sebesar ,02 Juta Ton, Kalori sedang ( kal/gr) sebesar 38

42 16.128,80 Juta Ton, cadangan kalori tinggi ( kal/gr) sebesar Juta Ton, dan cadangan kalori sanat tinggi (> 7100) sebesar 231,57 Juta Ton. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.20 Potensi Batubara Indonesia Negara-negara tujuan ekspor batubara dari Indonesia adalah Negara India, Malaysia, Thailand, China, Hongkong, Thaiwan, Philiphina, Korea, Jepang. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.21 Ekspor Batubara, Nikel, Tembaga Indonesia Negara tujuan ekspor nikel dari Indonesia, adalah Negara-negara di eropa dan USA, Taiwan, Korea, Jepang dan Australia. Sedangkan 39

43 untuk ekspor tembaga dengan Negara tujuan India, Korea, Jepang, Cina, Philipina dan Negara eropa dan USA. Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.22 Produksi, Ekspor dan Penjualan Domestik Batubara ( ) Dari gambar di atas bahwa, produksi batubara nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan, dimana pada tahun 2011 produksi batubara nasional mencapai 353 Juta Ton, naik sekitar 78 Juta Ton jika dibandingkan produksi batubara pada tahun 2010 yang sebesar 275 Juta Ton. Untuk konsumsi domestik batubara juga mengalami kenaikan, dimana pada tahun 2010 konsumsi dalam negeri sebesar 67 Juta Ton, naik sekitar 13 Juta Ton, menjadi 80 Juta Ton pada Tahun Demikian juga untuk batubara komoditas ekspor juga selalu mengalami kenaikan dari tahun 2007 sampai tahun 2011 terjadi kenaikan sebesar 110 Juta Ton, dimana kenaikan paling tinggi terjadi pada tahun 2010 ke tahun 2011, yaitu terjadi kenaikan sebesar 65 Juta Ton, dari 208 Juta Ton pada 2010 menjadi 273 Juta Ton pada tahun

44 Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.23 Ekspor Mineral Indonesia ( ) Dari gambar di atas dapat ilihat bahwa ekspor komoditi pertambangan semenjak tahun mencatat kenaikan yang cukup tinggi. Ekspor bijih nikel pada tahun 2011 mengalami kenaikan sekitar 8 kali lipat jika dibandingkan dengan ekspor pada tahun Ekspor bijih besi pada tahun 2011 mengalami kenaikan sekitar 7 kali lipat jika dibandingkan ekspor biji besi pada tahun Unuk ekspor bijih tembaga pada tahun 2011 mengalami kenaikan 11 kali lipat, jika dibandingkan ekspor pada tahun Sedangkan ekspor bijih bauksit mengalami kenaikan sekitar 5 kali lipat pada tahun 2011 jika dibandingkan tahun Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.24 Investasi Subsektor Mineral dan Batubara ( ) 41

45 Total investasi subsektor mineral dan batubara selama tahun 2007 sampai tahun 2011 mengalami kenaikan sekitar 25%. Dimana investasi pada tahun 2011 hampir mencapai 3500 Juta USD yang sebelumnya pada tahun 2007 masih sekitar 600 juta USD. Share investasi terbesar pada KK, IUJP, PKP2B dan IUP BUMN Kebijakan Ekspor Batubara Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan Negara dari sektor pertambangan dan batubara, maka pemerintah perlu melaksanakan pengawasan pelaksanaan ekspor batubara, dimana sampai saat ini masih terjadi perbedaan besarnya volume ekspor tersebut, khususnya ekspor batubara antara kementeriaan energi dan sumber daya mineral dengan pihak bea cukai, kementeriaan keuangan, kementeriaan perdagang maupun Bank Inonesia. Disamping itu KESDM juga berkoordinasi antar pihak-pihak terkait. PKP2B / IUP wajib menyampaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada Pemerintah Pusat / Daerah. Pemerintah Pusat / Daerah menetapkan Persetujuan RKAB yang salah satunya berisi total tonase batubara yang diijinkan untuk ekspor maupun penjualan domestik. RKAB yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten atau Propinsi harus disampaikan kepada ESDM (Ditjen Minerba) dan telah diterima oleh Ditjen Minerba selambat lambatnya akhir bulan Januari. Untuk penjualan ke domestik dalam rangka DMO, harus disesuaikan dengan kuota yang telah ditetapkan untuk masing masing PKP2B / IUP yang nantinya akan diverifikasi oleh surveyor yang ditunjuk oleh pemerintah. 42

46 Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 2.25 Bagan Pengawasan Mineral dan Batubara Untuk penjualan ekspor, akan dilakukan verifikasi oleh ESDM / Minerba sesuai dengan RKAB yang telah disetujui dan menetapkan jumlah ekspor per perusahaan per tahun dengan catatan sebagai berikut : Harga minimal sesuai HPB Sudah lunas royalty / DHPB sebelum nya Tonase yang telah ditetapkan dalam RKAB ESDM melalui Ditjen Minerba memberikan kepada Kementerian Perdagangan tentang data ekspor maksimum per perusahaan (PKP2B/IUP) per tahuan sesuai dengan persetujuan RKAB PKP2B maupun IUP yang telah disampaikan oleh Pemerintah Daerah. PKP2B / IUP mengajukan permohonan ijin ekspor kepada Kementerian Perdagangan untuk kuantitas (tonase) ekspor per triwulan nya. Kementerian Perdagangan akan menetapkan Ijin Ekspor Per Triwulan (tonase) berdasarkan rekomendasi ESDM (secara total setahun). Surveyor akan melakukan verifikasi terhadap kualitas dan kuantitas batubara yang akan diekspor dan akan mengeluarkan laporan hasil verivikasi. Bea cukai melakukan verifikasi terkait hasil verifikasi surveyor, rekomendasi maupun ijin dari Kementerian Perdagangan sebagai bahan evaluasi dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang merupakan pintu / filter terakhir dalam penjualan ekspor. 43

47 PKP2B / IUP dapat melakukan penjualan ekspor dengan cara penjualan langsung kepada end user atau melalui trader luar negeri maupun melalui trader domestik. Khusus untuk trader / pemegang IUP OP Khusus Pengangkutan dan Penjualan, penentuan perhitungan tonase ekspor tetap mengacu kepada ketentuan ekspor dari pemegang IUP Operasi Produksi dalam RKAB nya. Setiap penjualan ekspor harus mendapat dokumen PEB. Untuk DMO, Suveyor yang telah ditunjuk oleh Pemerintah akan melakukan verifikasi terhadap pemenuhan kuota DMO yang telah ditentukan kepada PKP2B / IUP dan hasil verifikasi nya disampaikan kepada ESDM. Apabila kuota ekspor sudah habis, PKP2B / IUP dapat meminta rekomendasi ke Ditjen Minerba ESDM, dengan catatan kewajiban ke domestik (DMO) telah dipenuhi sesuai ketentuan berlaku, kemudian ESDM akan memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perdagangan. Dilakukan koordinasi antara ESDM/Minerba, Kemdag, Beacukai, untuk rekonsiliasi realisasi ekspor dan perijinan ekspor yang telah diterbitkan Arah Kebijakan Tahun 2013 Mendorong pengembangan nilai tambah produk komoditi hasil tambang (a.l. pengolahan, pemurnian, local content, local expenditure, tenaga kerja dan pengembangan masyarakat); Melaksanakan peningkatan pembinaan dan pengawasan pada kegiatan pertambangan; Mendorong peningkatan investasi dan optimalisasi penerimaan negara melalui peningkatan kerjasama dengan instansi terkait (Pemda, BPK, BPKP, Kemenkeu dan KPK); Memberikan kepastian dan transparansi di dalam kegiatan usaha pertambangan dengan regulasi pendukung UU No. 4/2009 (Permen dan Kepmen); Menjamin keamanan pasokan batubara dalam negeri melalui Domestic Market Obligation (DMO); Mempertahankan kelestarian lingkungan melalui pengelolaan dan pemantauan lingkungan, termasuk reklamasi dan pasca tambang. 44

48 PERMASALAHAN SEKTOR PERTAMBANGAN DAN UPAYA PENYELESAIAN a. Rekonsiliasi IUP Masih banyaknya IUP yang belum clear and clean, oleh karena itu perlu melanjutkan verifikasi melalui unit pelayanan terpadu. Lambatnya respon Pemda (Pemprov, Pemkab/Pemkot) dalam menyelesaikan permasalahan tumpang tindih wilayah dan administrasi perijinan IUP, oleh karena itu diharapkan kedepannya agar Mendorong komitmen dari Gubernur, Bupati, Walikota untuk penyelesaian hal tersebut. Batas wilayah antar daerah secara definitif belum tegas, oleh karena itu perlu Penegasan batas wilayah antar daerah secara definitif yang telah ada Permendagri-nya yang dapat digunakan sebagai dasar dalam penataan IUP. b. Peningkatan Nilai Tambah/Hilirisasi Minerba Di Dalam Negeri Kemampuan industri dalam negeri untuk menyerap produk hasil pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara masih belum memadai apabila seluruh hasil tambang mineral diolah di dalam negeri, oleh karena itu tentunya kedepannya agar menningkaktan kemampuan industri dalam negeri untuk menyerap produk hasil pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara. Pasar luar negeri untuk produk hasil pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara mayoritas masih terbatas pada pasar jepang, china dan korea, upaya yang sangat di diperlukan adalah diplomasi perdagangan luar negeri yang kuat. Untuk membangun fasiiltas pengolahan dan pemurnian membutuhkan investasi yang sangat besar dengan payback period yang lama, sehingga diperlukan insentif agar menarik minat untuk berinvestasi. Untuk mengatasi permasalahan ini maka diperlukan kajian bersama antara KESDM, Kemenkeu dan Kemenperin terkait jenis insentif yang tepat untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara. c. Penyesuaian (Renegosiasi) KK Dan PKP2B Belum diperoleh rumusan ketentuan perpajakan untuk 45

49 penyesuaian/renegosiasi KK dan PKP2B belum diperoleh dari Kemenkeu. Oleh karena itu diharapkan agar Kemenkeu segera menyampaikan rumusan ketentuan perpajakan untuk penyesuaian KK dan PKP2B. Belum seluruh KK/PKP2B yang disesuaikan dengan UU No. 4 Tahun Oleh karena itu perlu adanya Koordinasi dengan SesMenko Perekonomian untuk pelaksanaan kegiatan Tim Pelaksanaan Evaluasi Penyesuaian KK/PKP2B sesuai dengan KepMenko Bid. Perekonomian No. KEP-54/M.EKON/06/ Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1. Lahirnya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, karena dalam proses penyusunannya banyak terkait dengan tuntutan demokratisasi, otonomi daerah, HAM, kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup, sehingga sumberdaya mineral dan batubara dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan bangsa dan negara. 2. Industri pertambangan mineral dan batubara ditujukan untuk mendukung kebijakan pemerintah Four Track Strategies yaitu: Pro Poor, Pro Job, Pro Growth dan Pro Environment, sehingga terwujud pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang bermanfaat, berkeadilan dan keberpihakan bagi kesejahteraan masyarakat. 3. Untuk menjamin keberlanjutan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri pada masa yang akan datang, maka mutlak untuk dilakukan pengendalian penjualan mineral ke luar negeri dalam bentuk bijih. 4. Permen ESDM No. 7/2012 dan peraturan lainnya sebagai acuan untuk tata laksananya, menjadi dasar hukum yang kuat bagi Pemerintah guna mendorong perusahaan melakukan peningkatan nilai tambah pertambangan mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 5. Fakta bahwa ekspor batubara dari Indonesia yang tidak tercatat pada data ekspor di Indonesia kemungkinan dapat menjadikan perbedaan data ekspor batubara yang tercatat di luar negeri dibandingkan dengan data yang tercatat di Indonesia 6. Pada saat ini masih terdapat sejumlah permasalahan yang perlu 46

50 menjadi perhatian bersama, diantaranya adalah: tumpang tindih perizinan, infrastruktur, dll. 7. Perlu dukungan semua pihak pemangku kepentingan untuk mewujudkan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri sesuai amanat UU No 4/ Prospek usaha pertambangan mineral dan batubara di masa mendatang masih sangat terbuka sebagai peluang berinvestasi. Kerjasama internasional diperlukan dalam berbagai kegiatan pertambangan, seperti eksplorasi, tambang bawah permukaan (underground mining), pengolahan dan pemurnian mineral, produk nilai tambah batubara: UBC, pencairan batubara, gasifikasi, dll). Rekomendasi 1. Dalam rangka mendorong perusahaan melakukan peningkatan nilai tambah pertambangan mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, diharapkan agar pasokan energi dapat terpenuhi untuk operasional smelter. 2. Perlunya penetapan batasan minimum pengolahan dan pemurnian dalam Permen yang otomatis diberlakukan pada IUP baru dan KK serta PKP2B yang akan memasuki tahap produksi. 3. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi Negara direkomendasikan pengendalian ekspor melalui penerapan Tata Niaga Ekspor dan Bea Keluar. 4. Penerbitan Izin Ekspor Mineral wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM dengan persyaratan: IUP Clear and Clean, Pemenuhan Kewajiban Keuangan, Rencana Pengolahan dan Pemurnian, dan menandatangani Pakta Integritas (untuk mengolah dan memurnikan ore/raw material di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014). 5. Penetapan tarif bea Keluar dikenakan pada semua komoditas mineral dengan tarif seragam karena keterbatasan data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah dan Pemegang IUP maka diusulkan bea Keluar menggunakan 1 tarif yang dapat diterima sebagian besar Pemegang IUP berbagai komoditas. 47

51 2.4. PERKEMBANGAN DAN OUTLOOK EKONOMI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA PADA KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL Latar Belakang Sejak era globalisasi, krisis keuangan terjadi lebih sering daripada sebelumnya, hal utamanya adalah karena kemajuan dalam bidang teknologi informasi, yang dapat memperbesar gelombang krisis dan mempercepat penyebarannya ke daerah atau negara lain. Selain itu, krisis disebabkan oleh perkembangan dari sektor keuangan yang sangat pesat, salah satu contoh adalah munculnya International Financial Integration (IFI). Dalam hal ini, Edison et al. (2002) menjelaskan bahwa IFI mengacu pada sejauh mana suatu perekonomian tidak membatasi transaksi lintas batas. Oleh karena itu, dengan sistem keuangan yang terintegrasi maka timbulnya gangguan keuangan domestik di satu negara dapat mengakibatkan efek domino dengan cara mengacaukan ekonomi terintegrasi lainnya yang mengarah kepada kekacauan keuangan global. Dalam dua dekade terakhir, setidaknya dua krisis keuangan besar terjadi, yaitu Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan Krisis Keuangan Global Jika krisis pada tahun 1997 disebabkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas pemerintah yang menyebabkan distorsi struktural dan gejolak ekonomi, sedangkan tahun 2008 terutama dipicu oleh inovasi yang cepat dalam produk keuangan seperti praktek sekuritisasi dan credit default swap. Hal ini diperburuk oleh spekulasi properti dan peringkat kredit yang tidak akurat dan kasus ini menyebar ke benua lain, dan menjadi krisis global karena efek menular di tengah sistem keuangan yang terintegrasi secara global dan penyebaran informasi yang cepat. Meskipun sumber krisis dapat bervariasi, konsekuensi dari krisis keuangan selalu dikaitkan dengan indikator makroekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi Perkembangan Terkini Perekonomian Tahun 2012 kondisi perekonomian global masih melambat dan diliputi ketidakpastian, dimana pertumbuhan ekonominya diperkirakan hanya mencapai 3,1% sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi global diperkirakan juga masih rendah, yaitu hanya sekitar 3,4%. Tren ekonomi Amerika Serikat juga masih menurun dan pada tahun 2013 tumbuh sekitar 2%. Uni Eropa juga masih mengalami 48

52 resesi, dan beresiko menurunnya peringkat rating invetasi beberapa negara anggota Zona Euro, bahkan menuju sub-investment grade, dan tahun 2013 diprediksi juga masih mengalami resesi. China sendiri pertumbuhannya tidak setinggi yang diperkirakan, namun akan membaik sejak Triwulan IV-2012, sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhan diperkirakan membaik dng pertumbuhan 8%. Di tengah kondisi ekonomi global yang melambat, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 masih tumbuh cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi tersebut terutama ditopang oleh permintaan domestik. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 mencapai 6,3% dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi dan paling stabil di dunia dalam 5 tahun terakhir. Konsumsi rumah tangga sebagai salah satu komponen yang mendorong tetap kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional, tumbuh cukup tinggi 5,4% pada tahun Berdasarkan komponennya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang kuat tersebut terutama bersumber dari konsumsi non-makanan. Kuatnya konsumsi rumah tangga tersebut didukung oleh menguatnya keyakinan konsumen, membaiknya daya beli masyarakat, rendahnya inflasi, dan tersedianya pembiayaan konsumsi. Investasi juga tumbuh tinggi sekitar 9,8%, meningkat dibandingkan pertumbuhan pada 2011 sebesar 8,8%. Kuatnya pertumbuhan investasi tersebut antara lain didorong oleh optimisme pelaku usaha terhadap perekonomian Indonesia, perbaikan iklim investasi serta terjaganya kestabilan makroekonomi. Dari sisi pembiayaan, peningkatan investasi juga didukung oleh meningkatnya Foreign Direct Investment (FDI), dukungan belanja modal pemerintah dan sumber pembiayaan eksternal lainnya. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi diperkirakan dapat mencapai kisaran 6,3%-6,7%. Sumber utama pertumbuhan tersebut diperkirakan didorong masih kuatnya konsumsi dan investasi, serta ekspor yang diperkirakan lebih baik sejalan dengan proyeksi membaiknya perekonomian dunia. Konsumsi yang masih kuat didukung oleh daya beli yang tetap tinggi yang didorong oleh meningkatnya pendapatan masyarakat terkait kenaikan Upah Minimum Regional, peningkatan gaji Pegawai Negeri Sipil dan kebijakan pemerintah menaikkan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). 49

53 Inflasi 2012 diperkirakan akan sedikit lebih rendah dari titik tengah target 4,5%, sejalan dengan permintaan yang mereda paska lebaran, koreksi harga komoditas global, serta ekspektasi yang terkendali. Inflasi bahan pangan (volatile food) juga menurun, didorong oleh penurunan harga komoditas pangan yang cukup signifikan, terjaganya pasokan, dan kebijakan intensif yang dilakukan Pemerintah dalam pengendalian harga pangan. Di sisi lain, inflasi administered prices juga terkendali dengan tidak adanya kebijakan Pemerintah di bidang harga barang dan jasa yang bersifat strategis. Inflasi tahun 2013 diprakirakan mencapai 4,8%, setelah menghitung dampak kenaikan TTL sebesar 15% (0,39%) dan kenaikan UMP secara rata-rata tertimbang 29% (0,25%). Kuatnya investasi dan konsumsi mendorong peningkatan barangbarang impor, baik impor bahan baku, barang modal dan konsumsi. Di tengah melemahnya ekspor, kuatnya impor menyebabkan melebarnya defisit transaksi berjalan yang diperkirakan akan mencapai sekitar 2,3% di akhir 2012 dan menjadi sekitar 2% di akhir Dampak Kebijakan Energi Pada Perekonomian Dengan masih adanya kebijakan subsidi harga BBM maka akan mendorong peningkatan konsumsi BBM. Di lain sisi, produksi minyak bumi nasional dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Konsumsi BBM nasional paling besar adalah untuk sektor transportasi yaitu hampir mencapai 90% dari konsumsi BBM nasional. Hal ini disebabkan kenaikan penjualan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor dari tahun ke tahun. Pertumbuhan permintaan dunia yang melambat dan harga komoditas ekspor yang menurun tajam, di tengah permintaan domestik yang masih kuat dan konsumsi BBM yang meningkat, menyebabkan surplus neraca perdagangan nonmigas menyusut dan defisit neraca perdagangan migas melebar. Konsumsi BBM yang lebih tinggi dari produksi minyak bumi mendorong peningkatan impor produk minyak. Akibatnya, pada tahun 2012 transaksi berjalan mengalami defisit sekitar 2,7% dari PDB. Namun, defisit transaksi berjalan ini dapat diimbangi oleh surplus transaksi modal dan finansial yang meningkat pesat dibandingkan tahun sebelumnya sehingga Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) masih mengalami surplus sebesar US$0,2 miliar dan cadangan devisa dapat dipertahankan pada tingkat relatif aman. 50

54 Kenaikan surplus transaksi modal dan finansial tersebut bukan hanya berasal dari investasi portofolio, tetapi juga berupa investasi Penanaman Modal Asing (PMA), dan didukung pula oleh semakin besarnya porsi devisa hasil ekspor yang diterima melalui perbankan domestik serta keberhasilan dalam meningkatkan arus masuk investasi asing dan mengendalikan defisit transaksi. Berdasarkan data historis, tekanan terhadap transaksi berjalan di tahun 2012 terjadi pula di tahun 2005 dan 2008 pada saat terjadi lonjakan impor minyak bumi Implikasi Kebijakan Komoditi yang termasuk dalam administered price adalah barangbarang yang mekanisme pembentukan harganya banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Walaupun pada periode-periode lainnya pergerakan harga komponen ini terbentuk dari mekanisme pasar, namun pada periode tertentu terdapat pengaruh dari kebijakan pemerintah yang berdampak sangat signifikan terhadap pembentukan keseimbangan harga yang baru pada komponen ini. Sehingga dalam jangka panjang, pembentukan harga komponen ini dapat dikatakan lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan administered prices berpengaruh terhadap inflasi melalui jalur langsung dan tidak langsung. Dengan demikian kebijakan harga energi untuk BBM dan TDL pada sektor rumah tangga merupakan startegic administered price akan berdampak langsung terhadap administered prices, dan dampak tidak langsung terhadap inflasi core. Sedangkan kebijakan pemerintah pada BBM dan TDL untuk sektor industri akan berdampak tidak langsung pada inflasi core. Bobot komponen administered price dalam pembentukan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) dapat menunjukkan seberapa besar peran pemerintah dalam perkembangan inflasi IHK. Sumber: Paparan BI Gambar 2.26 Kebijakan Administered Prices terhadap Inflasi IHK 51

55 Sebagai ilustrasi, Bank Indonesia (BI) melakukan simulasi terhadap dampak kenaikan harga BBM dimana dengan kenaikan Rp 500 per liter maka akan memberikan dampak langsung terhadap inflasi sebesar 0,3%. Sedangkan dampak tidak langsung akan lebih kompleks perhitungannya dengan memperhitungkan kenaikan tarif baru untuk transportasi orang maupun barang. Namun inflasi tidak langsung ini akan bersifat temporer one-time shock dan inflasi akan kembali menurun sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) akan memantau dengan ketat setiap kebijakan pemerintah, khususnya untuk BBM agar dapat dapat dijaga target inflasinya, melalui penguatan operasi moneter untuk mengendalikan ekses likuiditas jangka pendek serta dengan tetap menjaga konsistensi kebijakan suku bunga dengan prakiraan makroekonomi ke depan. Sumber: Paparan BI Gambar 2.27 Ekspektasi Inflasi Pedagang Selain itu, ekspektasi inflasi akan dilakukan pula oleh pedagang terhadap rencana Pemerintah tentang kebijakan harga BBM seperti yang terlihat dalam gambar di atas. Untuk memetakan ekspektasi inflasi pedagang ini, BI secara melakukan Survei Konsumen (SK) dan Survei Penjualan Eceran (SPE) yang hasilnya diterbitkan dengan menampilkan indeks ekspektasi harga tiga dan enam bulan ke depan menurut perspektif konsumen dan pedagang. Berdasarkan simulasi BI, kenaikan harga BBM bersubsidi yang dilakukan secara bertahap akan berdampak pada inflasi yang sedikit lebih rendah tetapi hal ini harus didukung dengan komunikasi yang baik untuk mengendalikan ekspektasi. 52

56 Tabel 2.6 Dampak Kenaikan Harga BBM Langsung dan Bertahap Sumber: Paparan BI Dari tabel di atas terlihat bahwa dampak langsung terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi akan memengaruhi IHK, dimana setiap ada kenaikan BBM secara langsung sebesar Rp 500 per liter akan berdampak inflasi IHK sebesar 0,69-0,81%, kenaikan Rp 1000 per liter berdampak inflasi IHK sebesar 1,5-1,62%, sedangkan untuk kenaikan BBM sebesar Rp 1500 per liter akan berdampak inflasi IHK 2,43%. Namun apabila kenaikan BBM tersebut dilakukan secara bertahap setiap triwulan sebesar Rp 500 per liter, akan berdampak pada inflasi IHK sebesar 2,35%. Besaran inflasi di atas sudah termasuk perhitungan terhadap dampak tidak langsung terhadap tarif angkutan umum, maupun ke komoditas lainnya. Kebijakan pembatasan BBM untuk mobil pribadi berdasar kapasitas mesin akan memberikan tambahan tekanan terhadap inflasi dengan besaran yang relatif moderat. Dari analisis Bank Indonesia, untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dengan asumsi mobil pribadi dengan kapasitas > cc yang menggunakan Pertamax 30%, maka akan berdampak inflasi sebesar 0,19%. Untuk wilayah Jawa-Bali berdampak inflasi sebesar 0,17%. Sedangkan untuk total Jawa-Bali berdampak inflasi sebesar 0,36%. Kenaikan TTL rumah tangga berdampak langsung pada IHK melalui komponen tarif listrik dalam keranjang IHK, sementara kenaikan TTL industri berdampak tidak langsung pada IHK melalui kenaikan biaya produksi. 53

57 Tabel 2.7 Dampak Inflasi dari Kenaikan TTL 2013 Dari tabel di atas, terlihat bahwa kenaikan TTL secara bertahap Triwulanan dengan total 22,09% (Tw I=5,39%, Tw II=6,91%, Tw III=5,07% dan Tw IV=4,73) akan berpengaruh terhadap total inflasi langsung sebesar 0,21%, dan inflasi dampak tidak langsung 0,18%, sehingga total inflasinya sebesar 0,39%. Total inflasi sebesar 0,39% tersebut sama dengan apabila pemerintah menaikan TTL sebesar 15,40% secara langsung di awal tahun Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan a. Pertumbuhan ekonomi global 2012 diperkirakan mencapai 3,1% dan 2013 mencapai 3,4%. b. Indeks harga ekspor non migas Indonesia (IHEx) Nov 2012 turun 11,9% (yoy) atau turun 2,9% (mom). Tahun 2013, IHEx diperkirakan akan naik 2% (yoy). c. Di tengah perlambatan global, ekonomi Indonesia cukup resisten. Pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3%, paling stabil di dunia dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih dalam kisaran 6,3 6,7% dengan faktor pendorong tetap dari permintaan domestik. d. Selama periode inflasi berdasarkan IHK dan inflasi inti (core inflation) menurun secara gradual. Inflasi tahun 2012 diperkirakan sedikit lebih rendah dari target sebesar 4,5%. Pada tahun 2013 inflasi diperkirakan 4,8% setelah menghitung dampak kenaikan TTL 15% (0,39%) dan kenaikan UMP rata-rata 29% (0,25%). e. Implikasi kebijakan energi pada perekonomian antara lain : Kebijakan subsidi energi berdampak pada transaksi berjalan dan stabilitas makroekonomi. 54

58 Inflasi masih rentan terhadap perubahan kebijakan energi (BBM dan TTL). Penyesuaian harga BBM harus memperhatikan waktu dan magnitude (besaran) untuk mengurangi dampak negatif jangka pendek terhadap perekonomian. Permintaan valas Pertamina sering menimbulkan volatilitas yang berlebihan. f. Kebijakan subsidi BBM mendorong peningkatan konsumsi BBM karena besarnya gap antara harga BBM subsidi dengan non subsidi. Sementara produksi minyak mengalami trend yang menurun sehingga mendorong peningkatan impor produk minyak. Hal ini menambah tekanan terhadap neraca pembayaran. g. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi untuk mobil pribadi berdasar kapasitas mesin akan memberikan tambahan tekanan terhadap inflasi dengan besaran yang relatif moderat. h. Kenaikan TTL rumah tangga berdampak langsung terhadap inflasi IHK melalui komponen tarif listrik. Kenaikan TTL industri berdampak tidak langsung terhadap inflasi IHK melalui kenaikan biaya produksi (biaya input). i. Kenaikan harga BBM yang tinggi berdampak pada inflasi, melemahkan keyakinan konsumen dan pertumbuhan PDB. Kenaikan harga BBM lebih dari 10% pada tahun 2005 menaikkan inflasi hingga 17% dan menurunkan PDB pada tahun Rekomendasi: a. Pemerintah harus dapat memberikan kepastian tentang kebijakan harga BBM serta metode apa yang dipakai sehingga dapat mengurangi resiko ekspektasi inflasi yang berlebihan dari masyarakat. b. Untuk meminimalkan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap inflasi maka harus dilakukan secara bertahap dan didukung komunikasi yang baik untuk mengendalikan ekspektasi. c. Diperlukan data dan informasi yang jelas terhadap kebutuhan valas Pertamina untuk mengimpor minyak/bbm sehingga pengelolaan pasar valas dapat diatur dengan baik untuk mengurangi volatitas nilai tukar. 55

59 BAB III. MENCARI TEROBOSAN INVESTASI PANAS BUMI INDONESIA 3.1. Pendahuluan Indonesia memiliki beragam sumber energi primer, baik sumber energi fosil (batubara, minyak dan gas bumi) maupun sumber energi terbarukan (panas bumi, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, dan biogas). Saat ini jenis energi primer yang dominan dalam penyedian energi untuk keperluan di dalam negeri adalah minyak bumi, diikuti oleh batubara, biomasa dan gas bumi. Disamping biomasa, sumber energi terbarukan yang telah cukup banyak dimanfaatkan adalah tenaga air skala besar dan panas bumi, sedangkan sumber energi terbarukan lainnya seperti bahan bakar nabati (BBN), tenaga surya dan angin belum banyak dimanfaatkan dan masih dalam tahap pengembangan. NO RENEWABLE ENERGY Tabel 3.1 Potensi Energi Terbarukan RESOURCES (R) INSTALLED CAPACITY (IC) RATIO IC/R (%) 1 Hydro 75,670 MW 6,866 MW Mini/Micro Hydro MW MW Geothermal 29,215 MW 1,228 MW Biomass 49,810 MW 1, MW Solar Energy 4.80 kwh/m 2 /day MW - 6 Wind Energy 3 6 m/s MW - 7 Ocean Energy MW - - Sumber: Ditjen EBTKE, 2012 Penyediaan energi nasional (enegy mix) masih didominasi oleh energi fosil yang disubsidi, sementara energi terbarukan belum banyak dimanfaatkan. Produksi minyak bumi dari tahun ketahun terus mengalami penurunan, dan cadanganpun demikian juga, dilain sisi penemuan cadangan baru belum tercapai. Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri, maka pemerintah setiap tahunnya melakukan impor bbm dari luar. Share pemakaian energi final tahun 2011 masih didominasi energi fosil, yaitu bbm sebesar 47,7%, batubara sebesar 18,9%, gas bumi sebesar 15,8%, listrik sebesar 12,8%, serta LPG sebesar 4,8%. 56

60 Potensi energi baru dan terbarukan Indonesia sangat besar dan beragam, sehingga pemanfaatan yang optimal akan meningkatkan kemandirian energi, dan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca. Disamping itu, Presiden RI pada Forum G-20 di Pittsburgh, USA tahun 2009 dan pada COP 15 di Copenhagen menyampaikan bahwa Indonesia bisa menurunkan emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri atau sebesar 41% dengan bantuan negara maju hingga tahun 2020, sehingga perlu disusun Agenda Sektor EBTKE dengan cara mengurangi emisi GRK. Sektor Energi berkewajiban menurunkan emisi sebesar 6%. Penerapan mandatori penyediaan energi terbarukan dan komitmen efisiensi pemanfaatan energi menjadi kunci utama dalam mencapai green energy. Landasan kebijakan pengembangan EBT di Indonesia sesuai dengan UU Energi, Nomor 30 Tahun 2007 bahwa: Pasal 20 : (1) d. Penyediaan energi dilakukan melalui diversifikasi, konservasi, dan intensifikasi sumber energi dan energi (2) Penyediaan energi oleh pemerintah/pemerintah daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, terpencil dan daerah perdesaan, dengan menggunakan sumber energi setempat khususnya sumber energi terbarukan. (3) Daerah penghasil sumber energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari energi setempat. (4) Penyediaan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (5) Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan o!eh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonorniannya. 57

61 Pasal 21: (1) Butir (c) Pemanfaatan energi memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi. (2) Pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. (3) Pemanfaatan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangarlnya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonorr~iannya 3.2. Potensi Panas Bumi Indonesia Sebagian besar dari lokasi panas bumi di Indonesia terletak di lingkungan vulkanik dan sisanya berada di lingkungan batuan sedimen dan metamorf, sehingga sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong mempunyai enthalpi tinggi dengan temperatur oc dan sisanya mempunyai enthalpi rendah atau sering disebut juga aquathermal dengan temperatur sekitar 140oC. Saat ini telah tersedia teknologi pembangkit listrik yang dapat memanfaatkan tenaga panas bumi dengan temperatur sekitar 140 oc, sehingga di masa mendatang panas bumi aquathermal dapat dimanfaatkan. Indonesia memiliki potensi Panas Bumi terbesar di dunia (29 GW), namun demikian pemanfaatannya masih kecil, yaitu kapasitas terpasang masih sebesar MW. SUMBER DAYA (MW) Tabel 3.2 Potensi Panas Bumi % CADANGAN (MW) Spekulatif Hipotesis Terduga Mungkin Terbukti (Speculative) (Hypothetical) (Possible) (Probable) (Proven) % Sumber: Ditjen EBTKE, % 54.83% Total sumber daya (spekulatif dan hypothetical) panas bumi sebesar MW, dan Cadangan sebesar MW, yang terdiri dari cadangan terduga (possible) sebesar MW, cadangan mungkin 58

62 (possible) sebesar 823 MW, dan cadangan terbukti (proven) sebesar MW. Potensi panas bumi tersebut tersebar hampir diseluruh pulau di Indonesia yaitu di Sumatera sebesar MW (86 lokasi), di Jawa sebesar MW (71 lokasi), Bali 296 MW (5 lokasi), Nusa Tenggara MW (22 lokasi), Kalimantan 145 MW (12 lokasi), Sulawesi MW (56 lokasi), Maluku (30 lokasi) dan Papua 75 MW (3 lokasi). Sampai saat ini (Agustus 2012) telah ditetapkan sebanyak 58 WKP yang tersebar di NAD 2 WKP, Sumut 5 WKP, Sumbar 4 WKP, Jambi 1 WKP, Sumsel 3 WKP, Bengkulu 2 WKP, Lampung 5 WKP, Banten 2 WKP, Jawa Barat 10 WKP, Jawa Tengah 6 WKP, Jawa Timur 3 WKP, Bali 1 WKP, NTB 2 WKP, NTT 2 WKP, Sulawesi Tengah 2 WKP, Gorontalo 1 WKP, Sulawesi Utara 2 WKP, Maluku 1 WKP, dan Maluku Utara 2 WKP. Sumber: Ditjen ebtke Gambar 3.1 Distribusi Lokasi WKP Dalam rangka pengembangan panas bumi di Indonesia, Pemerintah sudah menetapkan road map Pengembangan Panas Bumi yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam implementasinya, pemerintah telah mencanangkan Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik MW tahap II yang ditegaskan di dalam Perpres no. 4 Tahun Kontribusi 59

63 pengembangan panas bumi sampai dengan Tahun 2014 sebesar MW. Daftar Proyek PLTP yang termasuk di dalam Perpres no. 4 Tahun 2010 sesuai dengan Lampiran Permen ESDM 1/2012. Dalam rangka pengembangan panasbumi dalam Program Percepatan MW Tahap II untuk hampir tersebar diseluruh wilayah Indonesia, yaitu di Pulau Sumatera (PLTP: MW), Pulau Jawa (PLTP: MW), Pulau Sulawesi (PLTP: 145 MW), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (PLTP: 65 MW), Pulau Sulawesi (PLTP: 145 MW), Pulau Maluku dan Papua (PLTP: 35 MW). Tabel 3.3 Daftar Proyek PLTP yang Masuk dalam Crash Program MW Tahap II (berdasarkan Permen ESDM No. 1/2012) NO. NAMA PROYEK PEMBANGKIT PROVINSI Sumber : Ditjen EBTKE, 2012 ESTIMASI KAPASITAS (MW) RENCANA KAPASITAS TERPASANG 1 PLTP Sungai Penuh Jambi 2x PLTP Hululais Bengkulu 2x PLTP Kotamobagu 1 dan 2 Sulawesi Utara 2x PLTP Kotamobagu 3 dan 4 Sulawesi Utara 2x PLTP Sembalun Nusa Tenggara Barat 2x PLTP Tulehu Maluku 2x PLTP Tangkuban Perahu I Jawa Barat 2x PLTP Kamojang 5 dan 6 Jawa Barat 1 x30 1 x PLTP Ijen Jawa Timur 2x PLTP Iyang Argopuro Jawa Timur 1 x PLTP Wilis/Ngebel Jawa Timur 3x PLTP Gunung Endut Banten 1 x PLTP Rawa Dano Banten 1 x PLTP Cibuni Jawa Barat 1 x PLTP Cisolok-Cisukarame Jawa Barat 1 x PLTP Karaha Bodas Jawa Barat 1 x30 2x PLTP Patuha Jawa Barat 3x PLTP Tampomas Jawa Barat 1 x PLTP Tangkuban Perahu II Jawa Barat 2x PLTP Wayang Windu Unit 3 dan 4 Jawa Barat 2x PLTP Gunung Ciremai Jawa Barat 2 x PLTP Baturaden Jawa Tengah 2x PLTP Dieng Jawa Tengah 1 x55 1 x PLTP Guci Jawa Tengah 1 x PLTP Ungaran Jawa Tengah 1 x PLTP Seulawah Agam Nanggroe Aceh Darussalam 1X PLTP Jaboi Nanggroe Aceh Darussalam 2x PLTP Sarulla 1 Sumatera Utara 3x PLTP Sarulla 2 Sumatera Utara 2x PLTP Umbul Telumoyo Jawa Tengah 1 x PLTP Simbolon Samosir Sumatera Utara 2x PLTP Sipoholon Ria-Ria Sumatera Utara 1 x PLTP Sorik Marapi Sumatera Utara 240 (Total) PLTP Muaralaboh Sumatera Barat 2x PLTP Bonjol Sumatera Barat 3x PLTP Lumut Balai Sumatera Selatan 4x PLTP Rantau Dadap Sumatera Selatan 2x PLTP Rajabasa Lampung 2x PLTP Ulubelu 3 dan 4 Lampung 2x PLTP Suoh Sekincau Lampung 4x PLTP Wai Ratai Lampung 1 x PLTP Danau Ranau Lampung 2x PLTP Lahendong 5 dan 6 Sulawesi Utara 2x PLTP Bora Sulawesi Tengah 1 x PLTP Marana/Masaingi Sulawesi Tengah 2x PLTP Hu'u Nusa Tenggara Barat 2x PLTP Atadei Nusa Tenggara Timur 2 x2, PLTP Sokoria Nusa Tenggara Timur 3x PLTP Mataloko Nusa Tenggara Timur 1 x PLTP Jailolo Maluku Utara 2x PLTP Songa Wayaua Maluku Utara 1 x5 5 TOTAL RENCANA KAPASITAS TERPASANG

64 Saat ini, kapasitas pembangkit panas bumi (PLTP) terpasang adalah sebesar MW atau 4,2% dari potensi panas bumi yang ada. Dimana kapasitas terpasang terbesar ada di Jawa yaitu sebesar MW (PLTP Salak 377 MW, PLTP Wayang Windu 227 MW, PLTP Kamojang 200MW, PLTP Drajat 270 MW, PLTP Dieng 60 MW), di Sumatera Utara 12 MW (PLTP Sibayak) dan di Sulawesi Utara PLTP Lahendong sebesar 80 MW. Tabel 3.4 Kapasitas PLTP Terpasang No. WKP, Lokasi PLTP Sumber : Ditjen EBTKE, KENDALA DAN UPAYA PENYELESAIAN Tumpang Tindih Lahan Kapasitas Terpasang (MW) 1 Sibayak Sinabung, SUMUT Sibayak 12 2 Cibeureum Parabakti, JABAR Salak Pangalengan, JABAR Wayang Windu Sebagian besar potensi panas bumi ada di kawasan hutan mencapai 42% atau setara dengan MW. Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka mempercepat penyelesaian tumpang tindih dan perizinan pengusahaan panas bumi pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan pengembangan panas bumi di kawasan konservasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Kehutanan telah melakukan koordinasi dan sinkronisasi yang hasilnya diwujudkan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman tanggal 19 Desember Penandatanganan Nota Kesepahaman ini merupakan salah satu upaya dalam rangka mendukung program percepatan pembangunan pembangkit listrik MW Tahap II, dimana PLTP diharapkan dapat memberikan konstribusi sekitar MW Kamojang Darajat, JABAR Kamojang Kamojang Darajat, JABAR Darajat Dataran Tinggi Dieng, JATENG Dieng 60 7 Lahendong Tompaso, SULUT Lahendong

65 Kementerian ESDM dan Kementerian Kehutanan telah menyepakati bahwa pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi merupakan program prioritas Pemerintah dalam rangka mendukung ketahanan dan kemandirian energi, dan untuk mengurangi emisi karbon sebagai upaya menurunkan efek gas rumah kaca. Terkait dengan kawasan konservasi yang merupakan kawasan tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan, perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, maka diperlukan kesamaan pemahaman dalam perumusan regulasi mengenai pemanfaatan panas bumi di kawasan tersebut. Dalam penandatanganan Nota Kesepahaman telah disepakati target penyelesaian perizinan pengusahaan panas bumi pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung dan langkahlangkah dalam pengembangan panasbumi di kawasan konservasi. Disamping itu perlu dilakukan terobosan agar pengembangan panas bumi dapat dilakukan namun tetap mempertimbangkan kelestarian hutan khususnya pada kawasan hutan konservasi Peraturan Perundang Undangan Undang undang Panas Bumi Nomor 27 Tahun 2003, Pasal 1, ayat 1 mencantumkan bahwa tidak memungkinkan melakukan kegiatan Panas Bumi pada kawasan hutan karena kegiatan Panas Bumi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan. Oleh karena itu dalam rangka mempercepat pemanfaatan panas bumi, maka pemerintah diharapkan dapat menyusun kembali peraturan perundangan agar dapat mendorong kegiatan panas bumi Negosiasi Kontrak. Negosiasi kontrak membutuhkan waktu lama, harga pembelian panas bumi disamakan untuk semua wilayah, maksimum 9,7 cent US$/kWh; Solusi Penyelesaian: Merevisi kebijakan harga listrik panas bumi dengan menggunakan feed-in tariff (harga listrik panas bumi per wilayah ditetapkan oleh Pemerintah dikaitkan dengan komitmen COD) sesuai Permen ESDM Nomor 22 Tahun 2012 Dalam rangka mempercepat proses pengusahaan panas bumi, harga jual listrik dari PLT panas bumi akan ditetapkan oleh Pemerintah secara 62

66 fix, tidak dinegosiasikan dengan PLN. Harga ini yang dikenal sebagai feed-in tariff, akan ditentukan dengan pertimbangan, ketersediaan sumber energi yang ada di suatu daerah; daya dukung lingkungan; dan keekonomian. Tabel 3.5 Harga Listrik Panas Bumi Sumber: Ditjen Ketenagalistrikan, 2012 Feed-in Tariff ini akan diberlakukan untuk kontrak baru dan extension atau penambahan kapasitas. Diharapkan dengan feed-in tariff tersebut, akan mempercepat sekurang-kurangnya pengembangan 16 proyek panas bumi Kebijakan Pemerintah Untuk Meningkatkan Pengembangan Panas Bumi a. Peningkatan dan harmonisasi kebijakan dan peraturan di bidang panas bumi antara lain dengan revisi UU 27/2003. Hal-hal pokok yang dimasukkan dalam draf RUU meliputi : Pengusahaan panas bumi tidak dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan; Untuk menunjang penetapan Wilayah Kerja, Menteri dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan Eksplorasi. Perizinan yang diperlukan dalam pengusahaan panas bumi selain IUP/IUPB ; Kewajiban penerbitan izin lingkungan sebelum melakukan kegiatan eksplorasi & eksploitasi; Pemegang IUPB wajib menawarkan participating interest kepada BUMD atau BUMN sebelum masuk ke tahapan eksploitasi sebesar 10% (sepuluh) persen. b. Kontribusi panas bumi pada Crash Program MW Tahap II yaitu MW 63

67 c. Pemerintah memberikan insentif fiskal bagi panas bumi, dengan dikeluarnya Permen Keuangan Nomor 21/PMK.011/2010 tentang Fasilitas Pajak dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Daya Energi Terbarukan, diantaranya perihal pembebasan bea impor untuk pembangunan industri kelistrikan. d. Untuk mempercepat pengembangan panas bumi, Pemerintah menawarkan Penugasan Survei Pendahuluan kepada pihak ketiga (investor) yang memberikan first right refusal. e. Mekanisme pemantauan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengelolaan Pembangunan (UKP4) membantu untuk memudahkan dalam koordinasi dengan pihak terkait f. Telah ditandatangani Nota Kesepahaman antara MESDM dan Menhut untuk mempercepat perizinan dikawasan hutan. g. Dalam waktu dekat Pemerintah berencana untuk menentukan harga listrik berdasarkan konsep feed-in tariff untuk setiap WKP, dengan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik setempat; Bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik; Daya dukung lingkungan; Harga keekonomian (tingkat pengembalian investasi yang menarik). Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No 2 / 2011 tentang Penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik panas bumi, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Harga patokan pembelian listrik Panas Bumi dengan harga tertinggi sebesar 9,7 cent US$ 3.5. PELUANG INVESTASI Pengembangan MW listrik dari Panas Bumi dalam Crash Program MW Tahap II sampai dengan tahun 2014 diperlukan lebih dari US$ 11 Miliar untuk investasi. Rencana pengembangan listrik dari panas bumi sebesar MW sampai tahun 2025 membutuhkan investasi sebesar US$ 36 Miliar. Pencapaian target tersebut membutuhkan dukungan perbankan dalam hal pendanaan. Kepemilikan Asing di Bisnis Panas Bumi diperbolehkan hingga 95%. Peluang bisnis di sektor panas bumi: Pemanfaatan langsung Panas Bumi; 64

68 Potensi panas bumi bersuhu rendah ; Pembangkit listrik skala kecil; UU No 27/2003 tentang Panas Bumi memberikan kesempatan bagi sektor swasta untuk terlibat dalam pengembangan panas bumi melalui Penugasan Survei Pendahuluan, Studi Kelayakan, Eksplorasi & Eksploitasi Panas Bumi; 3.6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN: 1. Permen ESDM No. 2 Tahun 2011 tidak sepenuhnya mengadopsi konsep feed-in tariff karena hanya menetapkan harga patokan tertinggi pembelian listrik oleh PT PLN sehingga mekarnisme lelang untuk mendapatkan WKP masih bisa dengan lelang harga terendah. 2. Beberapa pertimbangan terkait penetapan feed-in tariff: Bagaimana feed-in tariff disusun, bagaimana harga akan dibedakan mengingat proyek panas bumi sangat site specific. Penentuan kelompok harga hendaknya memerhatikan jenis teknologi, kapasitas proyek, kualitas resources, status pengembangan (green/existing field), dan lokasi/kondisi infrastruktur Perlu dipikirkan kaitannya dengan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengingat potensi akan Pasal 33 ayat 2. Bagaimana terkait proses pengusahaan panas buminya (lelang untuk mendapatkan WKP, mekanisme penugasan survei pendahuluan) proses lelang migas dapat menjadi acuan untuk proses lelang WKP karena harga sudah tidak menjadi faktor penentu. REKOMENDASI: 1. Pemerintah harus segera menetapkan feed in tariff untuk panas bumi dengan memerhatikan berbagai masukan terhadap potensi masalah yang ada. 2. Pemerintah harus terus mendorong penyelesaian perizinan existing WKP Pertamina dan PLN dalam rangka mempercepat pengembangan panas bumi, dengan harapan lebih mudah berkoordinasi dengan BUMN. 3. Pemerintah harus memfasilitasi pemenang WKP yang sudah 65

69 berizin IUP dengan PLN supaya pemenang WKP dapat segera melakukan eksplorasi. 4. Pemerintah dapat memberikan penugasan Survei Pendahuluan kepada Badan Geologi ESDM yang sejalan dengan Undang- Undang. 5. Pemerintah perlu memperjelas status dan peruntukan dana eksplorasi panas bumi yang ada di Kementerian Keuangan sehingga di kemudian hari tidak bertentangan dengan kebijakan feed in tariff 6. Pemerintah terus mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk pengembangan panas bumi nasional. 66

70 BAB IV MANFAAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PERUSAHAAN TAMBANG TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR 4.1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun lalu. Berbeda dengan kondisi Indonesia, kegiatan CSR baru dimulai tahun 1990 an, namun berkembang pada tahun Tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa 166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209 atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua, sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan social (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan). Hasil Program Penilaian Peringkat Perusahaan (PROPER) Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa dari 466 perusahaan dipantau ada 72 perusahaan mendapat rapor hitam, 150 merah, 221 biru, 23 hijau, dan tidak ada yang berperingkat emas. Dengan begitu banyaknya perusahaan yang mendapat rapor hitam dan merah, menunjukkan bahwa mereka tidak menerapkan tanggung jawab lingkungan. Disamping itu dalam prakteknya tidak semua perusahaan menerapkan CSR. Bagi kebanyakan perusahaan, 67

71 CSR dianggap sebagai parasit yang dapat membebani biaya capital maintenance. Kalaupun ada yang melakukan CSR, itupun dilakukan untuk adu gengsi. Jarang ada CSR yang memberikan kontribusi langsung kepada masyarakat. Kondisi tersebut makin populer tatkala DPR mengetuk palu tanda disetujuinya klausul CSR masuk ke dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan, setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (pasal 34 ayat (1) UU PM). Tentu saja kedua ketentuan undang-undang tersebut membuat fobia sejumlah kalangan terutama pelaku usaha lokal. Apalagi munculnya Pasal 74 UU PT yang terdiri dari 4 ayat itu sempat mengundang polemik. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Kalangan pelaku bisnis yang tergabung dalam Kadin dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sangat keras menentang kehadiran dari pasal tersebut. Pertanyaan yang selalu muncul adalah kenapa CSR harus diatur dan menjadi sebuah kewajiban? Alasan mereka adalah CSR kegiatan di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam perundang-undangan formal, seperti : ketertiban usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Jika diatur sambungnya selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. Apalagi kalau bukan menggerus keuangan suatu perusahaan. 68

72 Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum. (Kemen Hukum dan HAM) DEFINISI Ada beberapa definisi Corporate Social Responsibility (CSR) yang dapat menjadikan patokan audit program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan. Namun, sampai sekarang belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Ada beberapa definisi CSR di bawah ini yang menunjukkan keragaman pengertian CSR, adalah sebagai berikut: Undang-undang tentang CSR di Indonesia diatur dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib me0njalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selajutnya lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. CSR menurut World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) merupakan suatu komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi pada komonitas setempat ataupun masyarakat luas, bersamaan dengan peningkatan taraf hidup karyawan beserta seluruh keluarganya. Menurut ISO Karakteristik dari Social Responbility adalah kemauan sebuah organisasi untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab atas dampak dari keputusan sarta aktivitas yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan. International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga 69

73 mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan. Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham (shareholders) mereka. Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang. European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan. CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders. John Elkingston s menegaskan Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially (but not only) corporations, have an obligation to consider the interests of customers, employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspect of their operations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to comply with legislation It is true that economic and social objectives have long been seen as distinct and often competing. But this is a false dichotomy Companies do not function in isolation from the society around them. In fact, their ability to compete depends heavily on the circumstances of locations where they operate. Michael E. Porter dan Mark R. Kramer (2002: 5) 70

74 4.1.3 SEJARAH SINGKAT CSR Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio 71

75 Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya. (Rahmat Hidayat, S.T., M.Sc-Universitas Andalas) 4.2 CAKUPAN CSR Dari penelitian yang dilakukan oleh CECT di Indonesia, CSR memiliki beberapa tingkatan berdasarkan ruang lingkup dan kompleksitasnya, yaitu : Kepatuhan terhadap semua hukum yang ada CSR dalam bentuk Filantropi CSR dalam bentuk Community Development CSR dimana perusahaan mengandung dampak negatif yang timbul dari bisnisnya dan meningkatkan dampak positif bisnisnya. CSR sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam perencanaan bisnis perusahaan (Radyati, 2010) Berdasarkan tingkatan tersebut, perusahaan sangat dianjurkan melakukan kegiatan CSR yang melampaui kepatuhan terhadap semua hukum (beyond compliance). Dalam melaksanakan kegiatan CSR sangat dianjurkan perusahaan melibatkan komunitas setempat, sehingga kegiatan CSR tersebut menghasilkan dampak positif tidak hanya untuk internal tetapi juga eksternal perusahaan. Kegiatan perlibatan langsung komunitas di wilayah perusahaan berada selama ini dikenal dengan nama CD atau Comdev. Community Development (CD) atau yang dikenal sebagai Comdev atau pengembangan masyarakat merupakan suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial warga masyarakat melalui partisipasi aktif, dimana pada akhirnya akan menumbuhkan prakarsa dan kemandirian masyarakat itu sendiri. Konsep CSR erat kaitannya dengan konsep pengembangan masyarakat atau community development (Comdev), dimana Comdev merupakan bagian penting dalam proses implementasi kegiatan CSR. Sementara Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL), sebagaimana termaktub dalam Pasal 74 UU No. 40/2007 tentang perseroan Terbatas merupakan kepatuhan perusahaan kepada peraturan sektoral yang sudah ada. 72

76 CSR bisa dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan di bawah divisi human resource development atau public relations. CSR bisa pula dilakukan oleh yayasan yang dibentuk terpisah dari organisasi induk perusahaan namun tetap harus bertanggung jawab ke CEO atau ke dewan direksi. Sebagian besar perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan mitra lain, seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan. Beberapa perusahaan ada pula yang bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-sama menjalankan CSR. Beberapa perusahaan bahkan ada yang menjalankan kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas berbendera CSR (Suharto, 2007a). Pada awal perkembangannya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori perusahaan impresif, yang lebih mementingkan tebar pesona (promosi) ketimbang tebar karya (pemberdayaan) (Suharto, 2008). Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan karitatif semacam itu, karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. Sebagai contoh, Shell Foundation di Flower Valley, Afrika Selatan, membangun Early Learning Centre untuk membantu mendidik anak-anak dan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru bagi orang dewasa di komunitas itu. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan seperti Freeport, Rio Tinto, Inco, Riau Pulp, Kaltim Prima Coal, Pertamina serta perusahaan BUMN lainnya telah cukup lama terlibat dalam menjalankan CSR. 73

77 Kegiatan CSR yang dilakukan saat ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan needs assessment. Mulai dari pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi UKM, social forestry, penakaran kupu-kupu, pemberian beasiswa, penyuluhan HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar do good dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (Rahmat Hidayat, S.T., M.Sc-Universitas Andalas) 4.3 PERAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan (non renewable) yang dikuasai oleh negara, maka pengelolaannya harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional guna mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pengelolaan pertambangan mineral dan batubara berazaskan manfaat, keadilan dan keseimbangan, serta keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Sesuai ketentuan dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, wajib dilakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sektor ESDM sampai saat ini masih mempunyai peran yang sangat penting terhadap penerimaan negara, dimana pada tahun 2012 sektor esdm berkontribusi sekitar Rp 415,2 Triliun (30%) dari pagu APBN. Dimana tahun 2011 hanya sekitar Rp 387,97 Triliun (29%). 74

78 Tabel 3.6 Capaian Strategis Sektor ESDM Sumber: KESDM (Kilas Balik Sektor ESDM 2012 dan Rencana 2013) Tahun 2011 penerimaan negara sektor ESDM adalah sebesar Rp 387,97 Triliun, dimana penerimaan dari sub sektor minyak dan gas bumi (migas) masih merupakan komoditi primadona yaitu sebesar Rp 278,97 Triliun, sub sektor pertambangan umum sebesar Rp 107,27 Triliun, sub sektor panas bumi sebesar Rp 0,43 Triliun, sub sektor lainnya sebesar Rp 1,89 Triliun. Besarnya penerimaan sektor ESDM tersebut belum termasuk deviden dari BUMN di lingkungan sektor ESDM, pajak-pajak dari pengusahaan sektor ESDM yang terdiri dari PPN, PBBKB dan PBB dan royalti, iuran tetap dari pemegang IUP yang ijinnya diterbitkan oleh Bupati dan sebagian masih diaudit. Sebagai sumber penerimaan negara, sektor ESDM tiap tahunnya memberikan kontribusi sekitar 30% terhadap penerimaan nasional. Pada tahun 2011, penerimaan sektor ESDM mencapai Rp. 387,97 triliun atau sekitar 29% terhadap perkiraan penerimaan nasional sebesar Rp triliun. Penerimaan sektor ESDM tersebut 109% dari APBN-P 2011 sebesar Rp. 324 triliun, dan 122% dari penerimaan tahun 2010 sebesar Rp. 288,84 triiliun. Lebih tingginya realisasi 75

79 penerimaan migas antara lain disebabkan karena tingginya harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika. Besarnya penerimaan sektor ESDM tersebut belum termasuk deviden dari BUMN di lingkungan sektor ESDM, pajak-pajak dari pengusahaan sektor ESDM yang terdiri dari PPN, PBBKB dan PBB dan royalti, iuran tetap dari pemegang IUP yang ijinnya diterbitkan oleh Bupati dan sebagian masih diaudit. Growth 8% Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 3.2 Dana Community Development ( ) Peran sektor ESDM lainnya, juga penting sebagai pendorong pembangunan daerah. Peran sektor ESDM terhadap pembangunan daerah diwujudkan, antara lain melalui dana bagi hasil (DBH), kegiatan pengembangan masyarakat atau community development (comdev) atau corporate social responsibility (CSR). Selain itu terdapat program pembangunan Desa Mandiri Energi (DME), Pemboran air tanah dan listrik murah dan hemat yang merupakan program-program pro-rakyat sehingga pembangunan daerah dapat berjalan lebih efektif. 76

80 Tebel 3.7 Produksi Mineral Catatan : *) proyeksi hingga akhir tahun 2012 **) rencana 2013 Sumber: KESDM (Kilas Balik Sektor ESDM 2012 dan Rencana 2013) Secara umum, produksi mineral tahun 2011 relatif baik, terdapat peningkatan produksi dari beberapa komoditi mineral seperti logam timah, bijih besi, bijih nikel, ferro nike, dan granit dibandingkan produksi tahun Tidak tercapainya rencana produksi komoditas tembaga emas dan perak terjadi akibat penurunan produksi PT Freeport Indonesia yang terjadi akibat demo dan pemogokan kerja yang terjadi sejak triwulan III tahun 2011, yang berimbas pada berhentinya operasional PT Freeport Indonesia. Tidak tercapainya rencana produksi komoditas logam timah di tahun 2011 terjadi akibat keputusan bersama pengusaha timah di Bangka dan Belitung untuk menghentikan ekspor logam timah sejak Oktober Hal ini berimbas pada terhentinya aktivitas produksi logam timah di Bangka Belitung. Peran sektor ESDM juga penting sebagai pendorong pembangunan daerah. Peran sektor ESDM terhadap pembangunan daerah diwujudkan, antara lain melalui dana bagi hasil (DBH), kegiatan pengembangan masyarakat atau community development (comdev) atau corporate social responsibility (CSR). Selain itu terdapat program pembangunan Desa Mandiri Energi (DME), dan Pemboran air tanah yang merupakan program-program pro-rakyat sehingga pembangunan daerah dapat berjalan lebih efektif. 77

81 Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. DBH sektor ESDM bersumber dari kegiatan minyak bumi, gas bumi dan pertambangan umum, serta panas bumi. Tebel 3.8 Dana bagi hasil sektor esdm Triliun Rupiah Sumber: Ditjen Minerba, 2012 *) un-audited Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sebagaimana Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. DBH sektor ESDM bersumber dari kegiatan minyak bumi, gas bumi dan pertambangan umum, serta panas bumi. Dana bagi hasil sektor ESDM pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai sebesar Rp. 40,9 triliun yang terdiri dari minyak bumi Rp. 16,4 triliun, gas bumi Rp. 11,7 triliun, pertambangan umum Rp. 12,3 triliun dan panas bumi Rp. 0,5 triliun. 78

82 Tebel 3.9 Dana community development sektor esdm Miliar rupiah Miliar rupiah Sumber: Ditjen Minerba, 2012 *) un-audited Di sektor energi dan sumber daya mineral, community development (comdev) adalah bagian dari tanggung jawab korporat (Corporate Social Responsibility) yang merupakan komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut berikut komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Keseluruhan peran sektor ESDM memiliki satu muara tujuan yaitu : mengkonversi keunggulan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia berupa potensi Sumber Daya Alam (SDA) energi dan mineral yang dikenal sebagai comparative advantage yang merupakan keunggulan yang bersifat sementara menjadi keunggulan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang dikenal sebagai competitive advantage yang merupakan keunggulan yang bersifat kualitas. Upaya mengkonversi comparative advantage menjadi competitive advantage yang paling potensial adalah melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang pendidikan. Pendidikan berdampak besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (ability) dan budi pekerti (attitude). Implementasi program CSR secara nyata yaitu dengan pemberian beasiswa, bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan sarana olah raga, pelatihan, bantuan tenaga guru, dan pelatihan bagi guru, pembangunan tempat ibadah, pengadaan air bersih, pemberdayaan pertanian dan peternakan secara modern. 79

83 Dana comdev (CSR) sektor ESDM pada tahun 2011 sebesar Rp. 1,56 triliun, sedangkan realisasinya diperkirakan mencapai Rp. 1,66 triliun atau 106% terhadap target Program comdev yang dijalankan perusahaan, yaitu : a. Hubungan Masyarakat, berupa keagamaan, sosial, budaya dan olahraga b. Pelayanan masyarakat, berupa bantuan dan charity c. Pemberdayaan masyarakat, berupa kesehatan, pendidikan, ekonomi, dll d. Pengembangan infrastruktur, seperti sarana ibadah, saran kesehatan, dll Sumber: Ditjen Minerba, 2012 Gambar 3.3 Kontribusi Sub Sektor Minerba Terhadap Penerimaan Negara 4.4 RUMUSAN PERMASALAHAN Indonesia adalah negara penghasil tambang yang besar. Pada tahun 2010 tercatat GDP dari sektor pertambangan sebesar Rp ,8 milyar atau menyumbang 11,2% dari GDP total. Namun tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi penghasil utama pertambangan mineral masih tinggi. 80

84 Tabel 3.10 GDP sektor pertambangan di 5 propinsi penghasil tambang mineral terbesar di Indonesia Sumber: paparan SAM IP, 2012 Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negara yang begitu besar, namun berdasarkan data di atas, dapat terlihat bahwa masih terdapat ketimpangan tingkat pendapatan/kemiskinan didaerahdaerah penghasil mineral tambang. Oleh karena itu perlu upayakan maksimal pemerintah dalam rangka pengembangan manfaat dari pendapatan mineral dan batubara dan sejauh mana dampak dimensi industri pertambangan terhadap pengentasan kemiskinan di daerahdaerah tambang. Disamping itu kita dapat mengidentifikasi berbagai penyebab mengapa pelaksanaan CSR tidak berdampak nyata terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat disekitar pertambangan dan bagaimana program CSR kedepan. Kemudian mencari masukan bagaimana upaya untuk mewujudkan terjadinya trickle down effect industri pertambangan dalam pengentasan kemiskian terutama di daerah sekitar tambang. Seperti kita ketahui bersama bahwa mineral right atau kepemilikan dari mineral itu ada di bangsa dan negara. Inilah yang kemudian didalam peyelenggaraannya penguasaan pertambangan ini di delegasikan kepada pemerintah, yang dalam ini ada pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten Kota. Pemerintah pusat memiliki kewenangannya dalam hal penetapan kebijakan dan pengaturan. 81

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia bukanlah negara pengekspor besar untuk minyak bumi. Cadangan dan produksi minyak bumi Indonesia tidak besar, apalagi bila dibagi dengan jumlah penduduk. Rasio

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013

KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013 KEBIJAKAN DAN ALOKASI ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK TAHUN 2013 I. SUBSIDI BBM TAHUN 2013 a. Subsidi BBM Dalam Undang-undang No.19 Tahun tentang APBN 2013, anggaran subsidi BBM dialokasikan sebesar

Lebih terperinci

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan Focus Group Discussion Pendanaan Energi Berkelanjutan Di Indonesia Jakarta, 20 Juni 2013 Insentif fiskal dan Instrument Pembiayaan untuk Pengembangan Energi Terbarukan dan Pengembangan Listrik Perdesaan

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SUBSIDI BBM DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA I. PENDAHULUAN Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan salah satu input di dalam meningkatkan ekonomi masyarakat dan pada gilirannya akan mempengaruhi

Lebih terperinci

patokan subsidi (Mean of Pajak BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Biro

patokan subsidi (Mean of Pajak BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Biro SIMULASI SEDERHANAA : PERHITUNGAN HARGA SUBSIDI BBM BERSUBSIDI Pendahuluan Definisi subsidi BBM adalah selisih harga keekonomian BBM dengan harga subsidi. Harga keekonomian dipengaruhi oleh besaran ICP

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014 23 DESEMBER 2014 METODOLOGI 1 ASUMSI DASAR Periode proyeksi 2013 2050 dimana tahun 2013 digunakan sebagai tahun dasar. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya

Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program MW: Progres dan Tantangannya Materi Paparan Menteri ESDM Strategi dan Implementasi Program 35.000 MW: Progres dan Tantangannya Bandung, 3 Agustus 2015 Kementerian ESDM Republik Indonesia 1 Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan Nasional

Lebih terperinci

Rencana Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Dialog Energi Tahun 2017

Rencana Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Dialog Energi Tahun 2017 Rencana Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Dialog Energi Tahun 2017 Jakarta, 2 Maret 2017 Pengembangan Energi Nasional Prioritas pengembangan Energi nasional

Lebih terperinci

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN

SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN SUBSIDI BBM : PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN Abstrak Dalam kurun waktu tahun 2009-2014, rata-rata alokasi belanja non mandatory spending terhadap total belanja negara sebesar 43,7% dan dari alokasi

Lebih terperinci

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja

Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja Selanjutnya indikator-indikator dan target kinerja dari setiap sasaran strategis tahun 2011 adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Indikator Sasaran dan Target Kinerja Sasaran Indikator Target 2011 1. Meningkatnya

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009 Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 2009 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2009 adalah salah satu publikasi tahunan

Lebih terperinci

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013

BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013 BEBAN SUBSIDI BBM DALAM APBN TAHUN 2013 I. PENDAHULUAN Dalam Undang-undang No.19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, anggaran subsidi BBM dialokasikan sebesar Rp193,8 triliun meningkat Rp56,4 triliun bila dibandingkan

Lebih terperinci

PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI

PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI PENERAPAN PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN UU NOMOR 28 TAHUN 2009 TERKAIT BBM BERSUBSIDI 1. Permasalahan Penerapan aturan PBBKB yang baru merupakan kebijakan yang diperkirakan berdampak

Lebih terperinci

Materi Paparan Menteri ESDM

Materi Paparan Menteri ESDM Materi Paparan Menteri ESDM Rapat Koordinasi Infrastruktur Ketenagalistrikan Jakarta, 30 Maret 2015 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Energi Untuk Kesejahteraan Rakyat Gambaran Umum Kondisi Ketenagalistrikan

Lebih terperinci

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo

PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL. Agus Nurhudoyo PENELAAHAN PRIORITAS BESARAN CADANGAN BAHAN BAKAR NASIONAL Agus Nurhudoyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi agusn@p3tkebt.esdm.go.id

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA 2015-2019 DAN PELUANG MEMANFAATKAN FORUM G20 Siwi Nugraheni Abstrak Sektor energi Indonesia mengahadapi beberapa tantangan utama, yaitu kebutuhan yang lebih besar daripada

Lebih terperinci

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL SEMINAR OPTIMALISASI PENGEMBANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN MENUJU KETAHANAN ENERGI YANG BERKELANJUTAN Oleh: DR. Sonny Keraf BANDUNG, MEI 2016 KETAHANAN

Lebih terperinci

Ketidakwajaran perhitungan Pemerintah dan DPR (dugaan markup), terkait rencana kenaikan harga BBM 2012

Ketidakwajaran perhitungan Pemerintah dan DPR (dugaan markup), terkait rencana kenaikan harga BBM 2012 Ketidakwajaran perhitungan Pemerintah dan DPR (dugaan markup), terkait rencana kenaikan harga BBM 2012 Indonesia Corruption Watch ICW www.antikorupsi.org Jakarta,28 Maret 2012 Perhitungan Biaya Subsidi

Lebih terperinci

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012

TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012 TINJAUAN KEBIJAKAN HARGA BERSUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK DARI MASA KE MASA Jumat, 30 Maret 2012 Pada periode 1993-2011 telah terjadi 13 (tiga belas) kali perubahan harga bersubsidi bahan bakar minyak (bensin

Lebih terperinci

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat

ESDM untuk Kesejahteraan Rakyat 1. INDIKATOR MAKRO 2010 2011 2012 No Indikator Makro Satuan Realisasi Realisasi Realisasi Rencana / Realisasi % terhadap % terhadap APBN - P Target 2012 1 Harga Minyak Bumi US$/bbl 78,07 111,80 112,73

Lebih terperinci

PENURUNAN TARIF LISTRIK SEBAgAI DAmPAK TURUNNyA. David Firnando Silalahi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan

PENURUNAN TARIF LISTRIK SEBAgAI DAmPAK TURUNNyA. David Firnando Silalahi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan PENURUNAN TARIF LISTRIK SEBAgAI DAmPAK TURUNNyA harga minyak DUNIA David Firnando Silalahi Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan davidf_silalahi@djk.esdm.go.id SARI Kecenderungan penurunan harga minyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup besar dan diperkirakan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi hingga 59 tahun mendatang (ESDM, 2014). Menurut Kompas

Lebih terperinci

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya.

Daya Mineral yang telah diupayakan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah pada periode sebelumnya. BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi Dan Misi Dinas Energi Dan Sumber Daya Mineral VISI Memasuki era pembangunan lima tahun ketiga, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI Disampaikan pada Dialog Energi Tahun 2017 Jakarta, 2 Maret 2017 1 Outline paparan I. Potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan

BAB I PENDAHULUAN. masih ditopang oleh impor energi, khususnya impor minyak mentah dan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia masih belum dapat mencapai target pembangunan di bidang energi hingga pada tahun 2015, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri masih ditopang oleh impor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan,

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU Tahun Sidang : 2011-2012 Masa Persidangan : I Rapat ke : 16 Jenis Rapat : Rapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk melakukan kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar bisa berupa banyak

Lebih terperinci

PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL. Agus Nurhudoyo

PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL. Agus Nurhudoyo PENELAAHAN BESARAN SUBSIDI BIODIESEL Agus Nurhudoyo Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi agusn@p3tkebt.esdm.go.id, agusnurhudoyo@ymail.com

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010

RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010 RINGKASAN EKSEKUTIF PERTEMUAN TAHUNAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 2010 Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Pusat Data dan Informasi Energi dan

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan Direktorat

Lebih terperinci

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI

INSTRUMEN KELEMBAGAAN KONDISI SAAT INI POTENSI DAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA ENERGI INDIKASI PENYEBAB BELUM OPTIMALNYA PENGELOLAAN ENERGI MENUJU KEDAULATAN ENERGI DR. A. SONNY KERAF KOMISI VII DPR RI SEMINAR RENEWABLE ENERGY & SUSTAINABLE DEVELOPMENT IN INDONESIA : PAST EXPERIENCE FUTURE CHALLENGES JAKARTA, 19-20 JANUARI 2009 OUTLINE PRESENTASI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1404, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Subsidi Listrik. Penyediaan. Penghitungan. Pembayaran. Pertanggungjawaban. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Simulasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2014

Simulasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2014 Simulasi Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2014 Ringkasan Dengan menggunakan besaran harga MOPS yang bersumber dari perhitungan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGATURAN BBM BERSUBSIDI

KEBIJAKAN PENGATURAN BBM BERSUBSIDI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GAS BUMI KEBIJAKAN PENGATURAN BBM BERSUBSIDI Oleh: Dr.-Ing. Evita H. Legowo Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi disampaikan pada:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah (crude oil) maupun produk-produk minyak (oil product) termasuk bahan bakar minyak. Produksi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL KETENAGALISTRIKAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Insider Forum Series Indonesia Energy Roadmap 2017 2025 Jakarta, 25 Januari 2017 I Kondisi

Lebih terperinci

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS

BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS BAB 3 PEMODELAN, ASUMSI DAN KASUS 3.1 Kerangka Pemodelan Kajian Outlook Energi Indonesia meliputi proyeksi kebutuhan energi dan penyediaan energi. Proyeksi kebutuhan energi jangka panjang dalam kajian

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA. Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah EFEKTIVITAS KEBIJAKAN FIT (FEED IN TARIFF) ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DI INDONESIA Nanda Avianto Wicaksono dan Arfie Ikhsan Firmansyah Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi

Lebih terperinci

Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia

Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia Oleh: Riza Azmi dan Hidayat Amir Ketahanan energi kembali menjadi topik pembicaraan yang hangat. Belum lama ini Pemerintah mengabarkan stok

Lebih terperinci

POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN

POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI POTENSI BISNIS ENERGI BARU TERBARUKAN Maritje Hutapea Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan

Lebih terperinci

24/11/2014. ICW - Catatan Kritis terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi

24/11/2014. ICW - Catatan Kritis terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi ICW - Catatan Kritis terhadap kenaikan harga BBM bersubsidi Indonesia Corruption Watch (ICW) www.antikorupsi.org Jakarta, 19 November 2014 1 Harga Pasar (MOPS) Gasoline 95 & Diesel Berdasarkan publikasi

Lebih terperinci

Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus 2010

Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi. Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus 2010 Kebijakan Energi dan Implementasinya Tinjauan dari Sisii Ketahanan Energi Oleh Asclepias R. S. Indriyanto Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi Disampaikan pada Forum Diskusi Sore Hari LPEM UI 5 Agustus

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI J. PURWONO Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Disampaikan pada: Pertemuan Nasional Forum

Lebih terperinci

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040

KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 KONSERVASI DAN DIVERSIFIKASI ENERGI DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN ENERGI INDONESIA TAHUN 2040 Ana Rossika (15413034) Nayaka Angger (15413085) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar PLN, Menyongsong 2013

Tanya Jawab Seputar PLN, Menyongsong 2013 Tanya Jawab Seputar PLN, Menyongsong 20 Pada 20, PLN merencanakan meningkatkan kemampuan menjual listrik hingga 182 TWh guna mendorong pergerakan perekonomian dan memungkinkan lebih dari 2,5 juta pelanggan

Lebih terperinci

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1

Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1 Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 1 Perkembangan Pasar Minyak Dunia Harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan. Pada akhir bulan Oktober harga minyak mentah dunia menembus angka 90 dolar AS per

Lebih terperinci

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia Abstrak Dalam menjamin tersedianya pasokan listrik bagi masyarakat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya mendukung

Lebih terperinci

MENGELOLA SUBSIDI ENERGI, MENJAGA KESEIMBANGAN ANGGARAN IR. SATYA WIDYA YUDHA, M.SC WAKIL SEKJEN DPP PARTAI GOLKAR BID. ESDA

MENGELOLA SUBSIDI ENERGI, MENJAGA KESEIMBANGAN ANGGARAN IR. SATYA WIDYA YUDHA, M.SC WAKIL SEKJEN DPP PARTAI GOLKAR BID. ESDA MENGELOLA SUBSIDI ENERGI, MENJAGA KESEIMBANGAN ANGGARAN IR. SATYA WIDYA YUDHA, M.SC WAKIL SEKJEN DPP PARTAI GOLKAR BID. ESDA SERI DISKUSI PUBLIK DPP PARTAI GOLKAR BIDANG ESDA, 23 SEPTEMBER 2011 ASUMSI

Lebih terperinci

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi

Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi Pengendalian Konsumsi BBM Bersubsidi A. Pendahuluan Volume konsumsi BBM bersubsidi dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Tahun 2008 realisasi konsumsi BBM bersubsidi 1 menjadi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau

IV. GAMBARAN UMUM. Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar di berbagai pulau IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) LNG Indonesia diproduksi dari tiga kilang utama, yaitu kilang Arun, kilang Badak, dan kilang Tangguh. Ketiga kilang tersebut tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL Dasar Hukum RUEN UU No. 30/2007 Energi UU No.22/2001 Minyak dan Gas Bumi UU No.30/2009 Ketenagalistrikan PP No. 79/2014 Kebijakan Energi Nasional Perbaikan bauran

Lebih terperinci

Informasi Berkala Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral

Informasi Berkala Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral 1. Biro Kepegawaian Dan Organisasi Sekretariat Jenderal 1.1. Formasi CPNS KESDM yang telah ditetapkan 1.2. Penerimaan CPNS 1.3. Pengangkatan CPNS 1.4. Penempatan CPNS 1.5. Pelantikan Pejabat Struktural

Lebih terperinci

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014

Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014 Masih Perlukah Kebijakan Subsidi Energi Dipertahankan Rabu, 22 Oktober 2014 Akhir-akhir ini di berbagai media ramai dibicarakan bahwa â œindonesia sedang mengalami krisis energiâ atau â œindonesia sedang

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr. Unggul Priyanto Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 1 Pendahuluan Energi Primer Kelistrikan 3 Energy Resources Proven Reserve Coal 21,131.84 million tons Oil Natural Gas (as of 2010) 3,70

Lebih terperinci

KAJIAN EVALUASI RISIKO FISKAL ATAS KEBIJAKAN PSO DAN PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY

KAJIAN EVALUASI RISIKO FISKAL ATAS KEBIJAKAN PSO DAN PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY KAJIAN EVALUASI RISIKO FISKAL ATAS KEBIJAKAN PSO DAN PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY Abstraksi Berdasarkan data realisasi subsidi APBN, selama ini meningkatnya angka subsidi APBN di-drive oleh, salah satunya

Lebih terperinci

PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN, DAN PENETAPAN HARGA LPG TABUNG 3 KILOGRAM

PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN, DAN PENETAPAN HARGA LPG TABUNG 3 KILOGRAM PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN, DAN PENETAPAN HARGA LPG TABUNG 3 KILOGRAM sumber gambar: republika.co.id I. PENDAHULUAN Energi mempunyai peran penting dan strategis untuk pencapaian tujuan sosial, ekonomi,

Lebih terperinci

Copyright BPH Migas 2014, All Rights Reserved

Copyright BPH Migas 2014, All Rights Reserved 2 A. KUOTA JENIS BBM TERTENTU TAHUN 2014 Kuota Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) sesuai dengan APBN Tahun 2014 sebesar 48,00 Juta KL, dan Kuota Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya semata-mata dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan

Lebih terperinci

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI INEFISIENSI BBM INEFISIENSI BBM Kenaikan harga minyak yang mencapai lebih dari US$100 per barel telah memberikan dampak besaran alokasi dalam APBN TA 2012. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang mendorong pemerintah

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008 RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008 Indonesia Energy Outlook (IEO) 2008 disusun untuk menggambarkan kecenderungan situasi permintaan dan penyediaan energi Indonesia hingga 2030 dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia SIARAN PERS DEPARTEMEN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta 10110 Tel: 021 3858216, 23528400. Fax: 021-23528456 www.depdag.go.id Ekspor Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1. 1.1 PENDAHULUAN Latar Belakang Listrik merupakan salah satu sumber daya energi dan mempunyai sifat sebagai barang publik yang mendekati kategori barang privat yang disediakan pemerintah (publicly provided

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang sangat vital. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM mengambil peran di hampir semua

Lebih terperinci

Informasi Wajib Tersedia Setiap Saat Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral

Informasi Wajib Tersedia Setiap Saat Sekretariat Jenderal Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Sekretariat Jenderal 1. Biro Kepegawaian Dan Organisasi 1.1. Formasi CPNS KESDM yang sudah ditetapkan 1.2. Pengangkatan CPNS 1.3. Sumpah PNS 1.4. Administrasi bimbingan teknis kepegawaian dan pembekalan

Lebih terperinci

2015, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi

2015, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi No.1812, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Penyediaan Tenaga Listrik Skala Kecil. Percepatan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 16/PUU-XIV/2016 Subsidi Energi (BBM) dan Subsidi Listrik dalam UU APBN I. PEMOHON Mohamad Sabar Musman II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 47

Lebih terperinci

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia

Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia SEMINAR NASIONAL Mencari Harga BBM Yang Pantas Bagi Rakyat Indonesia ENNY SRI HARTATI Auditorium Kampus Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie Rabu, 24 September 2014 INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Kenaikan konsumsi tersebut terjadi karena salah satu faktornya yaitu semakin meningkatnya jumlah

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah konsumsi minyak bumi Indonesia sekitar 1,4 juta BOPD (Barrel Oil Per Day), sedangkan produksinya hanya sekitar 810 ribu BOPD (Barrel Oil Per Day). Kesenjangan konsumsi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DALAM NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 191 TAHUN 2014 TENTANG PENYEDIAAN, PENDISTRIBUSIAN DAN HARGA JUAL ECERAN BAHAN BAKAR MINYAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL VISI: Terwujudnya pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012

Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012 Benny Marbun Kepala Divisi Niaga PT PLN (Persero) Batam, 23 November 2012 1. 1 Proses produksi menuntut tersedianya pasokan listrik yang cukup, handal dan berkualitas 2. 2 PLN belum dapat menyediakan pasokan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017

PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN. 23 Oktober 2017 PEMBERDAYAAN DAN KEBERPIHAKAN UNTUK MENGATASI KETIMPANGAN 23 Oktober 2017 1 Minyak Solar 48 (Gas oil) Bensin (Gasoline) min.ron 88 Rp.7 Ribu Rp.100 Ribu 59 2 Progress dan Roadmap BBM Satu Harga Kronologis

Lebih terperinci

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH Abstrak Dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, PLN telah melakukan banyak upaya untuk mencapai target yang

Lebih terperinci

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III PERUBAHAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Kerangka Ekonomi Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah merupakan kerangka implementatif atas pelaksanaan RKPD Kabupaten Sijunjung Tahun

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI TERPILIH Maret 2010 Pada Maret 2010, sebagian besar indikator aktivitas ekonomi migas dan non migas terpilih mengalami pertumbuhan tahunan yang positif, dengan pertumbuhan tertinggi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabia diatur melambat

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.90, 2016 ENERGI. Darurat. Krisis. Penanggulangan. Penetapan. Tata Cara. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

Membangun Kedaulatan Energi Nasional

Membangun Kedaulatan Energi Nasional KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Membangun Kedaulatan Energi Nasional Disampaikan oleh Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama pada Pra-Musrenbangnas 2015 Jakarta, 16 April

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM Bahan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2015- Infrastructure: Executing The Plan KEMENTERIAN ENERGI

Lebih terperinci

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini. BAB 6 P E N U T U P L sebelumnya. aporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tahun 2011 merupakan media perwujudan akuntabilitas terhadap keberhasilan

Lebih terperinci

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI

INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Juli 2007 INDIKATOR AKTIVITAS EKONOMI Pada Juli 2007, secara tahunan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada produksi kendaraan non niaga, sedangkan kontraksi tertinggi terjadi pada penjualan minyak diesel.

Lebih terperinci

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,

Uka Wikarya. Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Kajian Kebijakan BBM Bersubsidi Oleh: Uka Wikarya Pengajar dan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas it Indonesia Yayasan Institut Indonesia untuk Ekonomi

Lebih terperinci

Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM

Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN SUBSIDI BBM tatus: 10012007 DEPARTEMEN ENERGI DAN UMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL MINYAK DAN GA BUMI Konsep KEBIJAKAN PENGURANGAN UBIDI BBM www.migas.esdm.go.id Jakarta, Januari 2006 KEBIJAKAN UBIDI BBM tatus:

Lebih terperinci