HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Pengunaan Lahan DAS Way Betung

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Pengunaan Lahan DAS Way Betung"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Pengunaan Lahan DAS Way Betung Analisis perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung menunjukkan luas hutan secara konsisten menurun dari 973,3 ha (16,7%) tahun 1991 menjadi 508,1 ha (9,7%) tahun 1999 dan menjadi 377,1 ha (7,2%) tahun Di lain pihak penggunaan lahan berupa kebun campuran dan permukiman meningkat, namun penggunaan pertanian lahan kering relatif tetap, serta penggunaan lahan semak belukar berfluktuasi seiring dengan kebijakan pemerintah. Penggunaan lahan DAS Way Betung dikelompokkan menjadi 5 (lima) jenis penggunaan yaitu: hutan, kebun campuran, semak belukar, pertanian lahan kering dan permukiman. Karakteristik hutan dalam DAS Way Betung pada umumya didominasi vegetasi pohon yang rapat dan memiliki strata tajuk serta kondisi tumbuhan bawah yang rapat dan memiliki lapisan seresah (bahan organik) yang cukup tebal di permukaan tanah. Hal ini tentunya akan memberikan respons hidrologi yang baik terhadap masukan hujan dalam DAS Way Betung. Karakteristik kebun campuran yang ada dalam DAS Way Betung pada umumnya didominasi oleh tanaman kopi atau kakao yang diselingi oleh tanaman peneduh seperti dadap, jarak tanam tidak terlalu rapat serta permukaan tanah pada umumnya dibersihkan dari rumput dan gulma. Proporsi luas kebun campuran yang sangat besar (>50% luas DAS) tentunya akan sangat mempengaruhi respons hidrologinya. Karakteristik semak belukar yang ada di DAS Way Betung pada umumnya didominasi oleh alang-alang dan semak yang rapat. Karakteristik pertanian lahan kering yang biasa dilakukan oleh petani dalam DAS Way Betung adalah menanam tanaman sayuran dataran rendah seperti cabe, buncis dan tanaman palawija (jagung, kacang tanah dan kedelai). Luas lahan pertanian lahan kering relatif kecil (<10% luas DAS), namun karena umumnya petani belum menerapkan tindakan konservasi yang memadai, maka diduga kegiatan ini akan berpengaruh terhadap kondisi hidrologi DAS Way Betung. Karakteristik permukiman yang ada di dalam DAS Way Betung umumnya berada di luar kawasan hutan dengan tipe bangunan permanen dan semi permanen. Sebagai gambaran kondisi berbagai penggunan lahan DAS Way Betung disajikan pada Gambar

2 (a) (a) (b) (c) (d) Gambar 11. Kondisi penggunaan lahan DAS Way Betung (a) hutan, (b) kebun campuran, (c) semak belukar, (d) pertanian lahan kering dan (e) permukiman (e) Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 1990/ /2007 secara rinci disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan pada Tabel 7, terlihat bahwa persentase luas hutan dalam DAS Way Betung terus menurun dari 979,2 ha (16,6%) tahun 1990/1991 turun menjadi 508,1 ha (9,7%) tahun 1999/2000 dan menurun lagi menjadi 377,1 ha (7,2%) tahun 2006/2007. Penurunan luas hutan ini antara lain disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah sejak tahun Pemerintah (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung) pada saat itu memberi kesempatan kepada masyarakat sekitar hutan untuk menggarap lahan di kawasan hutan dengan pola tumpang sari. Kegiatan tersebut menyebabkan sebagian 76

3 kawasan hutan yang berubah menjadi kebun campuran, semak belukar atau pertanian lahan kering (Kanwil Dephut Provinsi Lampung, 1988). Hal ini sesuai penelitian Awang (2006), bahwa kawasan hutan Tahura WAR yang lebih dikenal sebagai kawasan hutan Register 19 Gunung Betung mulai digarap masyarakat sejak Walaupun sejak tahun 1993, pemerintah mengubah status kawasan hutan Register 19 dari hutan lindung menjadi Taman Hutan Raya WAR (Tahura WAR), dengan tujuan kawasan hutan akan direhabilitasi sehingga fungsi hidrologinya dapat baik kembali. Kebijakan tersebut diikuti dengan perintah pengosongan kawasan hutan dari para penggarap, namun pada kenyataannya masih banyak penggarap yang memiliki lahan di dalam kawasan hutan dan secara aktif masih memanfaatkannya. Penggarap kawasan hutan pada umumnya bertempat tinggal di luar kawasan hutan, namun mereka masih aktif melakukan kegiatan bertani dalam kawasan hutan. Sejak saat itu para petani selalu sembunyisembunyi dari petugas kehutanan (Polisi Hutan) dalam menggarap lahan mereka di dalam kawasan hutan (Tahura WAR). Hal inilah yang menyebabkan luas hutan terus menurun dari tahun ke tahun. Penggunaan lahan kebun campuran meningkat dari 2.458,1 (48,6%) tahun 1990/1991 menjadi 3.173,3 ha (60,3%) tahun 1999/2000 dan menurun menjadi 2.744,3 ha (52,2%) tahun 2006/2007. Berfluktuasinya luas penggunaan lahan kebun campuran tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah berupa pemberian izin kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm) dalam Tahura yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan 1998 dan berlaku selama 5 (lima) tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 1998). Adanya kegiatan tersebut sebagian kawasan hutan (sekitar 492,7 ha) digunakan untuk kegiatan hutan kemasyarakatan (HKm), hal ini menyebabkan meningkatnya luas kebun campuran secara signifikan di dalam kawasan hutan. Pada saat itu masyarakat menyambut baik adanya program hutan kemasyarakatan (HKm) yang dicanangkan oleh pemerintah. Masyarakat/petani peserta HKm sangat mengharapkan dapat memanfaatkan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 77

4 Tabel 7. Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 1990/ /2007 (ha) No 1990/ / /2007 Penggunaan lahan Kawasan Kawasan Kawasan APL Jml % % APL Jml % % APL (ha) % Hutan Hutan Hutan 1 Hutan 0,0 979,2 979,2 16,7-7,1 12,2 495,9 508,1 9,7-2,5 11,5 365,6 377,1 7,2 2 Kebun campuran 1.783,9 674, ,1 48,6 +11, , , ,3 60,3-8, , , ,3 52,2 3 Semak belukar 396,9 911, ,5 24,8-12,7 188,9 448,2 637,1 12,1 +9,9 523,7 632, ,2 21,9 4 Pert. lahan kering 194,9 109,6 304,5 5,7 +1,2 163,4 206,7 369,9 7,0-0,9 161,0 161,5 322,5 6,1 5 Permukiman 164,0 13,9 178,0 3,3 +3,7 354,3 16,2 370,5 7,0-0,2 313,4 45,3 358,7 6,8 6 Lain-lain*) 10,1 21,3 31,5 0,6 +3,2 90,5 110,6 201,0 3,8 +1,9 104,9 196,3 301,2 5,7 Jumlah 2.550, , ,0 100,0 0, , , ,0 100,0 0, , , ,0 100,0 Sumber : Data dianalisis dari interpretasi citra (1990,1999, dan 2006); *) Tidak teridentifikasi (awan) Keterangan : = perubahan penggunaan lahan antar dua periode berurutan, (+) bertambah dan (-) berkurang. APL = Areal penggunaan lain (di luar kawasan hutan) 78

5 Penggunaan lahan kebun campuran yang demikian luas (>50%) tentunya sangat mempengaruhi kondisi hidrologi DAS Way Betung. Hal ini mengingat bahwa penggunaan lahan kebun campuran pada umumnya didominasi oleh tanaman kopi atau kakao yang penutupan vegetasinya tidak terlalu rapat, sehingga diperkirakan akan menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Untuk itu, dalam perencanaan ke depan diperlukan tindakan konservasi yang mampu menurunkan erosi dan mengurangi aliran permukaan. Diharapkan tindakan konservasi yang diterapkan dapat memperbaiki kondisi hidrologi DAS Way Betung dan selanjutnya mampu meningkatkan pasokan air bersih bagi Kota Bandar Lampung. Penggunaan lahan semak belukar tahun 1990/1991 seluas 1.308,5 ha (24,8%) menurun menjadi 637,1 ha (9,9%) tahun 1999/2000 dan meningkat lagi menjadi 1.156,2 ha (21,9%) tahun 2006/2007. Luas semak belukar yang berfluktuasi dalam DAS Way Betung tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah. Seiring dengan diberikannya izin Hkm tahun 1999/2000, luas semak belukar menurun secara siginifikan. Petani peserta HKm menggarap semak belukar yang berada dalam kawasan hutan menjadi kebun campuran, sehingga pada saat itu luas semak belukar menurun. Namun pada tahun 2006/2007 luas semak belukar kembali meningkat, hal ini disebabkan pemerintah tidak memperpanjang izin sementara pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm). Tidak diperpanjangnya izin kegiatan HKm terkait dengan terbitnya SK Menhut No. 31 tahun 2001 tentang HKm, dinyatakan bahwa kegiatan HKm tidak dapat dilaksanakan dalam kawasan konservasi (termasuk Tahura). Adanya kebijakan tersebut menyebabkan masyarakat/petani peserta HKm meninggalkan lahannya, sehingga sebagian berubah menjadi semak belukar kembali. Hal ini terjadi karena tanaman serbaguna atau MPTS (Multi Purpose Trees Species) masih relatif muda sehingga tidak mampu bersaing dengan gulma atau tumbuhan liar/semak. Diberlakukannya kebijakan pemerintah yang tidak memperpanjang izin pemanfaatan hutan (HKm) dalam kawasan konservasi menyebabkan masyarakat/petani peserta HKm menjadi pesimis dalam ketidakpastian status mereka dan menyebabkan mereka enggan menggarap lahan HKm (Awang, 2006). Penggunaan lahan pertanian lahan kering DAS Way Betung tahun 1990/1991 seluas 304,5 ha (5,7) meningkat menjadi 369,9 ha (7,0%) tahun 79

6 1999/2000 dan menurun menjadi 322,5 ha (6,1%) tahun 2006/2007. Fluktuasi penggunaan lahan pertanian lahan kering selain dipengaruhi oleh adanya tekanan penduduk juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk yang tinggal disekitar kawasan Tahura WAR memiliki mata pencaharian utama sebagai petani penggarap dalam kawasan hutan. Hal ini seperti diungkapkan Setiawan (2000) dan Awang (2006), bahwa Tahura WAR seluas ha dikelilingi oleh 5 (lima) kecamatan yang meliputi 35 desa/kelurahan, sehingga tekanan penduduk terhadap kawasan hutan merupakan salah satu hal yang tidak dapat diabaikan. Selain dipengaruhi oleh tekanan penduduk bertambahnya luas pertanian lahan kering juga dipengaruhi oleh kebijakan kegiatan HKm dalam kawasan hutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan program HKm, bahwa masyarakat/petani peserta program HKm harus melakukan penanaman tanaman serbaguna (Multi Purpose Trees Species/MPTS). Masyarakat/petani HKm diharapkan dapat memanfaatkan hasil non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pada kenyataannya banyak lahan HKm yang ditanami MPTS belum produktif, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian petani HKm tetap mengusahakan tanaman semusim dalam kawasan hutan. Walaupun persentase luas pertanian lahan kering relative kecil (<10%), namun kegiatan petani tersebut perlu diwaspadai, hal ini karena kegiatan pertanian lahan kering yang dilakukan oleh petani pada umumnya belum menerapkan tindakan konservasi tanah yang memadai. Kegiatan pertanian tanpa tindakan konservasi akan berpotensi menimbulkan erosi dan aliran permukaan pada saat musim hujan, sehingga akan berpengaruh terhadap kondisi hidrologi DAS Way Betung. Hal ini pendapat yang dikemukakan oleh Sinukaban (2008), bahwa degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: (a) penggunaan dan peruntukan lahan yang menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah/ Daerah (misalnya hutan lindung difungsikan menjadi lahan pertanian, lahan permukiman atau industri), (b) penggunaan lahan yang tidak rasional (tidak sesuai kemampuan), (c) tidak diterapkannya teknik konservasi tanah dan air untuk lahan budidaya yang 80

7 berlereng curam, (d) belum adanya regulasi yang mengatur secara tegas, dan (e) tidak adanya komitmen pemerintah dalam penataan penggunaan lahan. Penggunaan lahan permukiman/lahan terbangun dalam DAS Way Betung tahun 1990/1991 seluas 178,0 ha (3,3%) meningkat menjadi 370,5 ha (7,0%) tahun 1999/2000 dan sedikit menurun menjadi 358,7 ha (6,8%). Fluktuasi penggunaan lahan permukiman relative kecil (<5%) dan pada umumnya permukiman dibangun di luar kawasan hutan (95%). Hal ini diperkirakan tidak banyak berpengaruh terhadap kondisi hidrologi DAS Way Betung, selain itu pada umumnya permukiman penduduk dibangun di atas lahan yang telah diratakan sehinga potensi erosi dan aliran permukaan menjadi lebih kecil. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Way Betung selama 15 (lima belas) tahun terakhir atau periode 1990/1991 sampai 2006/2007 sangat dinamis. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama yaitu : (a) kebijakan pemerintah, dan (2) tekanan penduduk terhadap lahan. Perubahan penggunaan lahan merupakan salah satu faktor penting pada suatu DAS dalam merespons masukan utama ke dalam DAS berupa curah hujan. Dengan demikian apabila penggunaan lahan berubah maka akan menyebabkan perubahan kondisi hidrologi DAS yang bersangkutan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada DAS Way Betung seperti diuraikan di atas akan memberikan dampak terhadap kondisi hidrologinya. Beberapa parameter yang dapat menggambarkan kondisi hidrologi suatu DAS adalah : (a) koefisien aliran permukaan (run-off coefficient) (b) debit sungai, yang meliputi debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin), dan (c) fluktuasi debit, digambarkan oleh rasio Qmax/Qmin. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 1990/1991, 1999/2000 dan 2006/2007 disajikan pada Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14. Secara rinci penggunaan lahan, jenis tanah dan kelas lereng DAS Way Betung tahun 1990/1991, 1999/2000 dan 2006/2007 disajikan pada Lampiran 14, Lampiran 15 dan Lampiran

8 Gambar 12. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 1990/

9 Gambar 13. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 1999/

10 Gambar 14. Peta penggunaan lahan DAS Way Betung tahun 2006/

11 Dampak Perubahan Penggunaan Lahan DAS Way Betung Terhadap Kondisi Hidrologi/Sumberdaya Air Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung berupa penurunan luas hutan dari 16,7% (1991) menjadi 7,2 % (2006) dan peningkatan kebun campuran dari 48,6% (1991) menjadi 52,2% (2006) (Tabel 7) menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan (C) tahunan dari 48,6% ( ) menjadi 61,6% ( ), peningkatan debit maksimum rata-rata harian (Qmax), peningkatan fluktuasi debit atau koefisien regim sungai (KRS), namun dilain pihak menurunkan debit minimum rata-rata harian (Q min). Perubahan penggunaan lahan ( ) berupa penurunan luas hutan dan peningkatan kebun campuran menyebabkan perubahan kondisi hidrologi, hal ini ditunjukkan dengan fluktuasi debit sungai (hidrograf aliran) (Gambar 15). Gambar 16 memperlihatkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan kebun campuran secara nyata menurunkan debit minimum dan meningkatkan debit maksimum sungai Way Betung. Hal ini seperti telah diuraikan di depan bahwa penggunaan lahan kebun campuran pada umumnya vegetasinya tidak terlalu rapat, sehingga berpotensi meningkatkan erosi dan aliran permukaan erosi yang selanjutnya meningkatkan debit rata-rata maksimum dan menurunkan debit ratarata minimum. Debit rata-rata (m3/det) Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun ,01 1,01 0,98 1,35 0,98 1,24 3,45 2,32 2,01 1,71 2,09 1, ,91 0,84 0,83 3,15 1,98 2,72 2,85 4,68 3,09 2,65 1,98 1, ,91 0,91 0,87 0,88 0,95 0,97 3,13 3,91 4,06 2,29 1,15 1,05 Gambar 15. Hidrograf aliran S.Way Betung tahun 1991, 1999, dan

12 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Agus, Gintings dan Noordwijk (2002) di Sumberjaya, besarnya aliran permukaan (termasuk debit sungai) ditentukan oleh kondisi topografi, sifat fisik tanah dan kualitas/kondisi penutupan lahan pada suatu DAS. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan (perubahan hutan menjadi kebun campurn), maka kondisi hidrologi DAS bersangkutan akan berubah diantaranya adalah aliran permukaan (debit sungai). Sebaliknya kondisi penutupan hutan yang rapat dan adanya seresah yang cukup tebal akan sangat mempengaruhi respons DAS terhadap masukan hujan, yaitu meningkatkan kapasitas infiltrasi dan mengurangi aliran permukaan. Apabila luas hutan menurun maka diperkirakan menurunkan debit minimum (Q min) dan meningkatkan debit maksimum (Q max). Perubahan penggunaan lahan DAS Way Betung yang dominan (Tabel 7), yaitu berupa penurunan luas hutan dan peningkatan kebun campuran secara nyata meningkatkan besarnya koefisien aliran permukaan tahunan (C) dari rata-rata 52,1% pada empat tahun pertama ( ) menjadi 61,6% pada lima tahun terakhir ( ) (Tabel 8). Tabel 8. Koefisien aliran permukaan (C) tahunan DAS Way Betung tahun Tahun Curah Debit ratarata harian Volume debit Hujan (mm) (m 3 (mm) /det) C (%) ,5 1,6 956,2 46, ,0 1, ,8 47, ,0 1, ,1 61, ,0 1, ,7 57, ,3 1,7 993,2 51, ,0 1, ,3 54, ,5 2, ,5 58, ,5 1, ,7 58, ,0 2, ,1 69, ,0 1, ,9 57, ,5 1, ,1 56, ,0 2, ,6 59, ,0 1, ,8 65,2 Sumber: Data diolah dari data debit dan curah hujan DAS Way Betung ( ) Keterangan: Curah hujan (Lampiran 2), Debit rata-rata harian (Lampiran 17) Volume debit = (debit*86.400*365)/luas DAS (5.260 ha) C= Koefisien aliran permukaan (Volume debit/curah hujan)*100 86

13 Besarnya koefisien aliran permukaan menggambarkan kehilangan air yang tidak dapat dimanfaatkan, karena langsung mengalir dan terbuang ke laut. Jumlah air yang hilang sebesar 62,2 juta m 3 /tahun dan dengan asumsi 50% dapat dijual PDAM, maka nilai kehilangan air adalah sebesar Rp.102,6 Milyar/tahun (harga air PDAM Rp.3.300,-). Nilai tersebut kurang lebih setara dengan 5 kali penerimaan PDAM/tahun dari pembayaran pelanggan yang tercatat dalam meter air. Kehilangan air yang demikian besar disebabkan karena perubahan penggunan lahan hutan ke penggunan lain seperti kebun campuran, semak, lahan kering atau permukiman, yang diduga dapat menurunkan kapasitas infiltrasi sehingga jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan air hujan yang terinfiltrasi. Untuk itu, sangat diperlukan upaya rehabilitasi hutan dan penerapan agroteknologi yang mampu mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi DAS Way Betung. Tabel 9. Koefisien aliran permukaan (C) DAS Way Betung musim hujan (Jan-Feb-Mar-Okt-Nov-Des) tahun Tahun Curah Hujan (mm) Debit ratarata harian bln.basah (m 3 /det) Volume debit (mm) C (%) ,5 1, ,5 55, ,0 2, ,8 55, ,0 2, ,1 69, ,0 2, ,3 68, ,3 1, ,1 60, ,0 2, ,4 66, ,5 3, ,8 80, ,5 2, ,9 70, ,0 2, ,5 85, ,0 2, ,2 77, ,5 2, ,4 82, ,0 2, ,2 76, ,0 2, ,8 85,9 Sumber: Data diolah dari data debit dan curah hujan DAS Way Betung ( ) Keterangan: Curah hujan (Lampiran 2), Debit rata-rata harian bulan basah (Lampiran 17) Volume debit = (debit*86.400*365)/luas DAS (5.260 ha) C= Koefisien aliran permukaan (Volume debit/curah hujan)*100 Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2006), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya koefisien aliran permukaan, yaitu : (1) jumlah, 87

14 intensitas, dan distribusi curah hujan, (2) topografi, dan jenis tanah, (3) luas DAS, (4) vegetasi penutup tanah dan (5) sistem pengelolaan tanah. Dengan demikian, apabila suatu DAS mengalami perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi, maka akan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan. Apabila dianalisis lebih lanjut, besarnya nilai koefisien aliran permukaan (C) pada musim hujan saja (Tabel 9) memperlihatkan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan seperti pada Tabel 7, secara nyata meningkatkan nilai C yang sangat signifikan yaitu rata-rata 61,9% pada tahun meningkat menjadi rata-rata 81,6 % tahun Diperkirakan jumlah air yang terbuang ke laut dan tidak dapat dimanfaatkan adalah sebesar 100,9 Juta m 3 /tahun dengan asumsi 50% dari jumlah tersebut dapat dijual kepada pelanggan, maka jumlah uang yang hilang Rp.166,5 Milyar/tahun (tarif air PDAM Rp.3.300/m 3 ). Kenyataan ini menunjukkan betapa besarnya dampak perubahan penggunaan lahan (Tabel 7) terhadap kondisi hidrologi DAS Way Betung, serta potensi terjadinya kerugian sumberdaya air. Dampak yang demikian besar diduga karena perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain (kebun campuran, lahan kering, permukiman dan semak) yang menyebabkan penurunan kemampuan tanah dalam menginfiltrasikan curah hujan sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan. Hal ini senada dengan pendapat Sinukaban (2008), bahwa degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: (a) penggunaan dan peruntukan lahan yang menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah/Daerah (misalnya hutan lindung difungsikan menjadi lahan pertanian, lahan permukiman atau industri), (b) penggunaan lahan yang tidak rasional (tidak sesuai kemampuan), (c) tidak diterapkannya teknik konservasi tanah dan air untuk lahan budidaya yang berlereng curam, (d) belum adanya regulasi yang mengatur secara tegas, dan (e) tidak adanya komitmen pemerintah dalam penataan penggunaan lahan. Analisis lebih lanjut dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi adalah dengan melihat hubungan (korelasi) antara nilai C (%) dengan penggunaan lahan DAS Way Betung (%) disajikan pada persamaan berikut (dengan n=13): 88

15 C (%) = X X2-237 X X4 + 32,7 X5...(30) (R 2 = 67,4%) (Lampiran 37). dimana: C = Koefisien aliran permukaan tahunan (%) X1= Luas hutan (%) X2= Luas kebun campuran (%) X3= Luas semak (%) X4= Luas pertanian lahan kering (%) X5= Luas permukiman (%) Analisis sensitivitas (persamaan 30 dan Lampiran 37) memperlihatkan bahwa proporsi luas hutan merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap besarnya nilai koefisien aliran permukaan (C). Selanjutnya untuk melihat hubungan (korelasi) antara proporsi luas hutan dengan nilai C dilanjutkan dengan analisis regresi bertahap (Stepwise Regression) dan dilakukan simulasi perubahan proporsi luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan (Gambar 16 dan persamaan 31). Analisis regresi bertahap (Stepwise Regression) menghasilkan persamaan: C (%) = 73,1 1,54 X1 (R 2 = 87,7%) (31) dimana: C = Koefisien aliran permukaan tahunan (%) X1= Luas hutan (%) 70.0 Koefisien Aliran Permukaan (%) C (%) = 73,1 1,54 X1 (R 2 = 87,7%) Proporsi Luas Hutan (%) Gambar 16. Simulasi perubahan proporsi luas hutan (%)terhadap koefisien aliran permukaan (%) Simulasi seperti pada Gambar 17 memperlihatkan bahwa peningkatan proporsi luas hutan akan menurunkan koefisien aliran permukaan (C), hal menunjukkan bahwa dengan peningkatan luas hutan maka kapasitas infiltrasi 89

16 tanah meningkat dan aliran permukaan menurun. Selanjutnya dengan peningkatan kapasitas infiltrasi maka akan meningkatkan debit minimum, yang selanjutnya debit minimum inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air baku bagi PDAM Kota Bandar Lampung. Seperti telah diuraikan di depan bahwa hutan memiliki lapisan seresah yang relatif tebal dan merupakan penyumbang bahan organik tanah terbesar. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusnaini et al. (2008), bahwa kemampuan tanah untuk meresapkan dan menyimpan air sangat ditentukan oleh kandungan bahan organiknya. Lahan hutan dengan bahan organik yang tinggi mampu menyimpan air lebih banyak apabila dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya seperti kebun campuran atau pertanian lahan kering. Selanjutnya dengan persamaan 31 dilakukan simulasi untuk menduga dampak perubahan penggunaan lahan khususnya perubahan proporsi luas hutan terhadap nilai koefisien aliran permukaan (C) dan perkiraan besarnya nilai air yang hilang serta yang dapat dimanfaatkan. Simulasi dampak perubahan penggunaan luas hutan terhadap nilai C dan nilai air DAS Way Betung disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Simulasi perubahan penggunaan lahan hutan terhadap nilai koefisien aliran permukaan (C) dan pendugaan air yang hilang DAS Way Betung NO Luas Hutan (%) C (%) CH Thn (mm/th ) Air Hilang (Juta m 3 /th) Nilai Air (Milyar/th) Air Manfaat (Juta m 3 /th) Nilai Air (Milyar/th ) , ,3 66,0 108,9 34,9 57, , ,3 58,2 96,1 42,7 70, , ,3 50,5 83,2 50,5 83, , ,3 42,7 70,4 58,2 96, , ,3 34,9 57,6 66,0 108, , ,3 27,1 44,8 73,8 121, , ,3 19,4 32,0 81,5 134, , ,3 11,6 19,1 89,3 147,3 Keterangan : Data disimulasi dari persamaan 31. Asumsi : Nilai air yang dapat dijual 50% Tabel 10 memperlihatkan bahwa peningkatan luas hutan pada suatu DAS mampu menurunkan nilai koefisien aliran permukaan (C) yang pada akhirnya 90

17 dapat meningkatkan jumlah air yang dapat dimanfaatkan. Hal ini disebabkan karena hutan mampu mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah. Dengan demikian, pengembangan sumberdaya air dengan kegiatan rehabilitasi hutan (penghutanan kembali) yang diterapkan pada DAS Way Betung akan mampu meningkatkan ketersediaan air bagi Kota Bandar Lampung. Apabila nilai C dari DAS Way Betung diharapkan < 30%, maka paling tidak luas DAS yang harus dihutankan kembali minimal adalah 28% secara proporsional. Hal ini sesuai dengan pendapat Agus et al. (2002) bahwa hutan merupakan bentang alam (landscape) yang paling aman secara ekologis, karena mampu menjaga ekosistemnya sehingga memiliki fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Analisis selanjutnya memperlihatkan bahwa perubahan penggunaan lahan seperti pada Tabel 7, menyebabkan peningkatan debit maksimum rata-rata harian (Q max) dan menurunkan debit minimum rata-rata harian (Q min) S. Way Betung. Penurunan proporsi luas hutan diduga paling berperan terhadap peningkatan Q max dan penurunan Q min, sesuai dengan nilai korelasi antara luas hutan (%) dengan Qmax dan Qmin (Gambar 17). Peningkatan debit maksimum rata-rata harian (Qmax) S. Way Betung antara lain disebabkan karena menurunnya luas hutan dan meningkatnya luas kebun campuran dan permukiman. Seperti diketahui bahwa hutan memiliki kapasitas infiltrasi lebih besar dibandingkan dengan jenis penggunan lahan lain, sehingga apabila luas hutan berkurang maka kapasitas infiltrasi akan menurun dan aliran permukaan meningkat. Q max (m3/det) y = 0,171x 2-5,639x + 57,28 R² = Proporsi Luas Hutan Q min (m3/det) 1,10 0,90 y = 0,004x 2-0,097x + 1,320 0,70 R² = 1 R 2 =0,98 R 2 =0,98 0, Proporsi Luas Hutan Gambar 17. Korelasi antara luas hutan (%) ( ) dengan debit maksimum dan minimum rata-rata harian S. Way Betung (m 3 /det) 91

18 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handayani, Jayadi, dan Triatmodjo (2005) di DAS Ciliwung Hulu, bahwa penurunan tutupan hutan seluas ha (18,1% luas DAS) tahun 1989 menjadi ha (16,2% luas DAS) tahun 1998 akan meningkatkan debit puncak dari 489,3 m 3 /det menjadi 582,2 m 3 /det (meningkat 18,9%). Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lain berkontribusi sangat besar terhadap peningkatan debit maksimum rata-rata dan volume aliran permukaan. Penurunan debit minimum rata-rata harian (Qmin) sungai Way Betung tidak terlepas dari perubahan penggunan lahan yang terjadi. Peningkatan luas kebun campuran ( ) yang cukup besar menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan kebun campuran berada pada kemiringan lereng % dan masyarakat penggarapnya belum menerapkan tindakan konservasi tanah dan air yang memadai. Kombinasi antara penggunaan lahan kebun campuran dengan lereng yang relatif curam tanpa tindakan konservasi menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Di lain pihak hal ini menyebabkan simpanan air tanah menurun sehingga secara langsung akan menurunkan debit minimum rata-rata harian. Hal ini senada dengan penelitian Agus, Gintings, dan Noordwijk (2002) di Sumberjaya, besarnya aliran permukaan (termasuk debit sungai) ditentukan oleh kondisi topografi, sifat fisik tanah dan kualitas penutupan lahan pada suatu DAS. Selanjutnya, Arsyad dan Rustiadi (2008) menyatakan bahwa dalam konteks pengelolaan DAS, setiap perlakuan terhadap sebidang tanah (lahan) yang dilakukan oleh manusia akan berpengaruh terhadap perilaku air pada lahan tersebut dan di bagian hilirnya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sinukaban (2007), bahwa berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang, sehingga mengakibatkan kekeringan dimusim kemarau dan banjir pada musim penghujan. Dampak perubahan penggunaan lahan (Tabel 7) menyebabkan peningkatan fluktuasi debit rata-rata harian S. Way Betung tahun sehingga secara langsung meningkatkan koefisien regim sungai (KRS) yang merupakan perbandingan antara Qmax dengan Qmin (Gambar 18). Peningkatan KRS diduga 92

19 disebabkan oleh peningkatan kebun campuran dan penurunan luas hutan. Hal tersebut menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran permukaan yang berlebihan dan menurunkan simpanan air tanah. Hasil penelitian Ilyas (2000) menunjukkan bahwa, penurunan luas hutan pada DAS Karangmumus di Kalimantan Timur dari seluas 18% menjadi 10% dapat menyebabkan peningkatan laju puncak banjir sebesar 7,6% dari kondisi semula. Sedangkan Sinukaban, Satjapradja, dan Wastra (2007) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan semak menjadi agroforestry (kebun campuran) di Sub DAS Manting Jawa Timur telah menyebabkan peningkatan koefisien regim sungai (KRS) atau fluktuasi aliran permukaan dari 9,7 pada tahun 1987 menjadi 10,1 pada tahun 1988 dan menjadi 13,1 pada tahun Hal ini disebabkan karena agroforestry atau kebun campuran yang diterapkan menyebabkan sebagian lahan menjadi terbuka, sehingga berdampak pada peningkatan aliran permukaan KRS Th 1999 Th 1999 Th 2006 KRS Gambar 18. Koefisien regim sungai (KRS) S.Way Betung tahun 1991,1999, 2006 Nilai Ekonomi Total (NET) Sumberdaya Air DAS Way Betung Nilai ekonomi total sumberdaya air adalah penggabungan antara nilai total ekonomi air dari setiap pengguna air ditambah nilai total kesediaan membayar (WTP) biaya rehablitasi dari setiap pengguna air. Secara rinci nilai ekonomi total sumberdaya air DAS Way Betung disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 memperlihatkan bahwa, sektor industri AMDK mempunyai potensi pemanfaatan 93

20 air yang paling tinggi di masa yang akan datang. Hal ini antara lain didorong oleh makin sulitnya/makin mahalnya diperoleh air bersih bagi keperluan rumah tangga. Selain itu harga yang relatif tinggi dari produk AMDK juga mendorong investor untuk membuka usaha industri AMDK. Dilain pihak peningkatan populasi penduduk perkotaan juga menyebabkan masyarakat makin sulit mendapatkan air bersih, selain itu adanya pencemaran lingkungan juga akan menyebabkan air bersih sulit diperoreh. Selanjutnya dikatakan oleh Darusman dan Bahruni (2005), sejak PT. Aqua Golden Missisipi Tbk. yang mulai berdiri tahun 80-an, maka industri AMDK telah berkembang dengan pesat di Indonesia. Perkembangan itu terlihat dari pertambahan industri AMDK sebanyak 108 pada tahun 1999 dan meningkat menjadi 250 industri AMDK (130%) pada tahun 2002, atau rata-rata tumbuh industri AMDK sebanyak 47 industri/tahun. Tabel 11. Nilai ekonomi total sumberdaya air DAS Way Betung tahun 2009 (Rp/tahun) No Jenis Penggunaan Nilai Ek. (Rp) Nilai WTP (Rp) Nilai Ek. Total (Rp) %*) 1. PDAM , , ,8 2,5 2. Wisata , , ,9 2,5 3. AMDK , , ,7 0,8 4. Rumah Tangga Hulu , , ,2 1,2 5. Pertanian Sawah Hulu , , ,2 3,8 Jumlah , , ,8 2,2** ) Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) Keterangan : %*) persentase WTP terhadap nilai ekonomi total setiap sektor **) rata-rata Rata-rata persentase nilai kesediaan untuk membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan dan lahan DAS Way Betung dari semua sektor adalah sebesar 2,2 %. Beberapa hasil penelitian yang telah penulis baca selama ini belum ada acuan/pedoman berapa besarnya persentase yang wajar dari nilai kesediaan membayar rehabilitasi terhadap nilai ekonomi total suatu sumberdaya air. Namun apabila persentase kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi ini dibandingkan dengan besarnya pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap suatu barang atau jasa yang dinikmati konsumen sebesar 10%, maka besarnya 94

21 persentase kesediaan membayar (WTP) dari konsumen pemanfaat jasa lingkungan khususnya air dari DAS Way Betung dinilai masih sangat kecil. Untuk mengevaluasi apakah besarnya nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan dan lahan pengguna air DAS Way Betung cukup wajar, berikut ini diuraikan beberapa contoh pembayaran jasa lingkungan (air) yang telah ada di Indonesia : 1) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di Cirebon sebagai pengguna air dari kawasan hutan Gunung Ciremai telah memberikan kompensasi kepada Perum Perhutani dari rata-rata sebesar Rp.320,- Juta/tahun. Tahun 2004 sampai saat ini kompensasi diberikan sebesar Rp.400,- Juta kepada Pemerintah Kabupaten Kuningan sebagai pemilik wilayah. Kemudian dana tersebut dibagi antara Kabupaten Kuningan dan Perum Perhutani dengan persentase 40% untuk Perum Perhutani dan 60% untuk Pemerintah Kabupaten Kuningan (Hamzah, 2005). 2) PDAM Kota Cirebon memanfaatkan air sebanyak 700 liter/detik dari mata air Paniis di Desa Paniis, Kecamatan Pesawahan, Kabupaten Kuningan. Dari pengambilan air tersebut PDAM Cirebon memberikan biaya kompensasi kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp.1,8 Milyar/tahun ditambah pajak sebesar Rp.420; Juta/tahun (Hamzah, 2005). Namun tidak dijelaskan apakah semua dana kompensasi yang diterima dialokasikan oleh pemerintah kabupaten Kuningan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hutan. 3) PT. Krakatau Tirta Industri di Cilegon memanfaatkan air dari sungai Cidanau sebesar 1,2 m 3 /detik untuk PDAM. Selanjutnya PT. Krakatau Tirta Industri memberikan kompensasi untuk biaya pelestarian sumberdaya air Rawa Cidanau (hulu sungai Cidanau) kepada BKSDA Jabar I sebesar antara Rp.210,- Juta Rp. 260,- Juta/tahun. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa sampai saat ini pengaturan besarnya biaya kompensasi pengguna air yang berasal dari kawasan konservasi kepada pengelola kawasan konservasi masih belum ada standarnya. Hal ini tentunya akan menghambat perencanaan pengembangan kawasan konservasi apabila akan dimanfaatkan lebih luas di masa yang akan datang. 95

22 Apabila kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi dapat direalisasikan terutama dari pengguna air PDAM sebesar Rp.958,5 Juta/tahun atau Rp.1,5 Milyar/tahun dari semua pengguna air DAS Way Betung, maka penulis optimis perencanaan pengembangan sumberdaya air di masa datang akan berhasil dengan baik sehingga pemanfaatan sumberdaya air dapat berkelanjutan. Secara rinci nilai penggunaan air DAS Way Betung dan nilai kesediaan membayar biaya rehabilitasi (WTP) disajikan pada uraian berikut ini. Nilai Ekonomi Penggunaan Air DAS Way Betung Nilai ekonomi penggunaan air DAS Way Betung adalah nilai ekonomi air yang digunakan langsung oleh pengguna air, yaitu : (a) konsumen PDAM, (b) pengunjung TWBK, (c) konsumen AMDK, (d) rumah tangga hulu, dan (e) pertanian padi sawah. a. Nilai Ekonomi Air PDAM Kota Bandar Lampung. PDAM merupakan salah satu pengguna air dari DAS Way Betung yang paling dominan, untuk itu nilai ekonomi air yang digunakan oleh PDAM sangat berperan dalam pengembangan sumberdaya air di masa yang akan datang. Pendekatan pendugaan nilai ekonomi air PDAM dihitung berdasarkan air yang digunakan oleh konsumen PDAM (meter air) dan nilai ekonomi air berdasarkan fungsi permintaan air konsumen PDAM. Nilai Ekonomi dengan Pendekatan Konsumsi Air Konsumen PDAM. Sungai Way Betung merupakan sumber air baku utama bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandar Lampung, sehingga peranannya sangat penting bagi Kota Bandar Lampung. Secara rinci sumber air baku PDAM Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 12. Tabel 12, memperlihatkan bahwa sumber air baku PDAM Kota Bandar Lampung yang utama sebesar 450 l/det (74,3%) berasal dari Way Betung, sedangkan sisanya sebanyak 156 l/det (24,7%) berasal dari berbagai sumber mata air. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Way Betung sebagai pemasok air baku bagi PDAM Kota Bandar Lampung. 96

23 Tabel 12. Sumber air baku yang digunakan oleh PDAM Kota Bandar Lampung tahun 2008 No Sumber air Jenis Volume Pengambilan % (l/det) 1 S. Way Betung Air Sungai ,3 2 Way Linti Mata Air 40 6,6 3 Way Gudang Mata Air 8 1,3 4 Way Egaharap Mata Air 5 0,8 5 Batuputih Mata Air 68 11,2 6 Tanjung Aman Mata Air 35 5,8 Jumlah ,0 Sumber: PDAM Kota Bandar Lampung (2008) PDAM Kota Bandar Lampung memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan (kategori pelanggan) antara lain: sosial, niaga, non niaga (rumah tangga), industri dan keperluan khusus. Secara rinci jumlah dan kategori pelanggan PDAM Kota Bandar Lampung disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah pelanggan dan pendapatan PDAM Kota Bandar Lampung tahun 2008 N Kategori Pelanggan Jumlah % Nilai (Rp) % o 1 Sosial a. Umum 187 0, ,2 b.khusus 585 1, ,8 2 Non Niaga a. Rumah Tangga (R1) , ,6 b. Rumah Tangga (R2) , ,1 c. Rumah Tangga (R3) 664 2, ,1 d.instansi Pemerintah 195 0, ,1 3 Niaga a. Niaga Kecil 822 2, ,3 b. Niaga Besar , ,7 4 Industri a. Industri kecil 18 0, ,1 b. Industri besar 15 0, ,4 5 Khusus a. Pelabuhan 1 0, ,0 b. Tangki, dll ,8 Jumlah , ,00 Sumber : PDAM Kota Bandar Lampung (2008) Tabel 13 memperlihatkan bahwa pelanggan terbesar PDAM Kota Bandar Lampung adalah non niaga dengan kategori rumah tangga 88%, diikuti oleh 97

24 pelanggan kategori niaga 8,9%, pelanggan sosial (2,4%) dan sisanya adalah untuk kebutuhan industri dan keperluan khusus. Hal ini menggambarkan bahwa S.Way Betung memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi air bersih bagi penduduk Kota Bandar Lampung. Selanjutnya, Tabel 13 memperlihatkan nilai ekonomi air yang diperoleh PDAM terbesar dari pelanggan rumah tangga (76,7 %) diikuti oleh kategori niaga (14,9 %), sosial sebesar 3,0% dan sisanya 3,3 % terbagi antara industri dan keperluan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan S. Way Betung memiliki peran yang sangat penting untuk menunjang aktivitas perekonomian Kota Bandar Lampung, sehingga pengembangan sumberdaya air DAS Way Betung harus mendapat perhatian yang serius dan segera. Nilai Ekonomi Air Pelanggan PDAM Berdasarkan Pendekatan Fungsi Permintaan. Kebutuhan air rumah tangga pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkat pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, pendidikan dan harga air itu sendiri. Permintaan air (Q) = (m 3 /bulan), dapat diturunkan dengan fungsi permintaan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (X1), tingkat pendapatan (X2), jumlah anggota keluarga (X3), dan harga air (X4). Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat (2002), bahwa kebutuhan air bersih sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi (pendidikan, pendapatan, harga air dan jumlah anggota keluarga). Informasi yang digunakan untuk menduga besarnya konsumsi air bersih rumah tangga merupakan data primer dari 98 responden yang meliputi pelanggan rumah tangga sederhana (R1), rumah tangga menengah (R2) dan rumah tangga mewah (R3), yang ditentukan berdasarkan pada penyebaran tempat tinggal konsumen air PDAM. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa permintaan jumlah air rumah tangga (Q) (m /bulan/rt) 3 98 dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, jumlah anggota keluarga dan harga air, mengikuti persamaan regresi berikut : Q = 1,47-0,009 X1+ 0,343 X2-0, X3 + 0, X4..(32) (R 2 = 82,2%) Q = permintaan air rata-rata rumah tangga perbulan (m /bulan/rt) X1 = pendidikan (th), X2 = jumlah anggota keluarga (jiwa/rt), X3 = pendapatan (Rp/bulan), X4 = harga air (Rp/m 3 ) 3

25 Analisis lebih lanjut dengan regresi bertahap (stepwise regression), menunjukkan bahwa variabel harga air (X4) dan diikuti oleh variabel jumlah anggota keluarga (X2) merupakan variabel yang memiliki nilai korelasi signifikan terhadap besarnya permintaan konsumsi air bersih (Q) rumah tangga perbulan (m 3 /bulan) adalah (Lampiran 38). Nilai ekonomi air pelanggan PDAM disajikan secara rinci pada Tabel 14, yang memperlihatkan bahwa pemakaian air rata-rata bulanan untuk rumah tangga sederhana (R1) dan rumah tangga menengah (R2) ternyata lebih besar dari pemakaian air rata-rata rumah tangga mewah (R3). Hal ini disebabkan karena pada umumnya rumah tangga R1 dan R2 menggunakan air PDAM untuk memenuhi seluruh keperluan rumah tangga mulai dari mandi, cuci, memasak, dan keperluan sanitasi lainnya termasuk menyiram tanaman dan mencuci kendaraan. Sedangkan pada rumah tangga mewah (R3), mereka menggunakan sebagian besar air PDAM hanya untuk mencuci dan mandi, sedangkan untuk keperluan memasak dan minum pada umumnya mereka menggunakan air minum dalam kemasan ukuran 20 liter (galon). Hal ini disebabkan karena rumah tangga mewah (R3) merasa air minum dalam kemasan (galon) memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan air dari PDAM. Tabel 14. Nilai ekonomi air pelanggan PDAM Kota Bandar Lampung tahun 2009 (Rp/tahun) Kategori Jumlah Konsumsi Harga air (Rp) No Rumah RT Rata-rata % Tangga (KK) (m 3 /bln) m >10m Nilai (Rp) 1 R , ,0 2 R , ,6 3 R , ,4 Jumlah ,0 Nilai ekonomi air pelanggan ( x12) Rp Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) Keterangan : R1 : Rumah tangga sederhana, bangunan semi permanen, luas m 2 R2 : Rumah tangga menengah, bangunan permanen, luas m 2 R3 : Rumah tangga mewah, bangunan > 250 m 2, bangunan mewah Nilai ekonomi air PDAM dari pelanggan rumah tangga menengah (R2) sebesar 85,6%, menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggan PDAM adalah 99

26 keluarga menengah (R2), yang ketergantungannya terhadap PDAM sangat tinggi. Hal ini berbeda dengan pelanggan rumah tangga mewah (R3) yang mampu mengakses air bersih dengan membuat sumur bor. Untuk jangka waktu yang panjang, apabila pengambilan air tanah tidak dikendalikan menyebabkan terjadinya ancaman yang lebih besar berupa penurunan muka air tanah (water table) atau potensi terjadinya intrusi air laut ke daratan. Jumlah pelanggan rumah tangga yang dapat dilayani oleh PDAM sekitar 22,2 % dari total rumah tangga yang ada di Kota Bandar Lampung. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga di Bandar Lampung sumber air bersihnya masih mengandalkan sumur dangkal atau sumur bor. Hal demikian untuk perencanaan kota dianggap kurang baik, karena dengan makin berkembangnya aktivitas perkotaan akan menyebabkan kebutuhan air bersih semakin meningkat. Keterbatasan PDAM dalam melayani pelanggan air rumah tangga antara lain disebabkan terbatasnya ketersediaan air baku dari S.Way Betung. Pengambilan air baku PDAM sangat ditentukan oleh debit minimum dari S.Way Betung. Kerusakan DAS Way Betung dalam bentuk perubahan penggunan lahan dari hutan menjadi penggunaan lain (kebun campuran, pertanian lahan kering, semak dan permukiman) menyebabkan penurunan debit minimum S.Way Betung. Implikasi PDAM sebagai pengguna air untuk memasok air bersih Kota Bandar Lampung adalah PDAM harus memiliki kepedulian dalam memperbaiki atau paling tidak mempertahankan kondisi hidrologi DAS Way Betung. Hal ini untuk menjaga ketersediaan air baku bagi PDAM sehingga mampu meningkatkan pelayanan air bersih kepada pelanggannya. Apabila pihak pemerintah (PDAM) tidak mampu sepenuhnya menyediakan air bersih bagi warganya, maka sesuai dengan UU Sumberdaya Air No 7 tahun 2004, pemerintah kota dapat bermitra dengan pihak swasta untuk turut serta dalam penyediaan air bersih. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sanim (2003), bahwa seiring dengan semangat otonomi daerah, maka pemerintah daerah dapat bermitra dengan BUMN/BUMD bahkan dengan badan usaha perorangan (private sector) untuk menyediakan air bersih. Namun dalam menentukan tarif air harus mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan, sehingga diharapkan dimasa 100

27 yang akan datang pemerintah dan mitranya (privat sector) mampu menyediakan air bersih yang efisien dan berkeadilan (equitable) bagi seluruh warganya. b. Nilai Ekonomi Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) Nilai ekonomi wisata dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan harga tiket masuk dan pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost). Nilai ekonomi dengan pendapatan harga tiket masuk dihitung untuk melihat pendapatan yang diperoleh oleh tempat wisata TWBK. Nilai ekonomi dengan pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost) lebih menggambarkan biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh individu untuk dapat menikmati keindahan tempat wisata yang dikunjungi. Nilai Ekonomi Wisata TWBK berdasarkan Harga Tiket Masuk. Nilai ekonomi wisata air mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat pengunjung Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK) yang tidak terbatas pada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Manfaat ekologis seperti keberadaan air (untuk wisata) pada hakekatnya juga manfaat ekonomi, apabila fungsi ekologis terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan atau terjadinya kerugian. Nilai ekonomi tempat wisata menunjukkan biaya korbanan yang harus ditanggung pengunjung jika kawasan wisata air TWBK mengalami kerusakan, sehingga akan mengakibatkan hilangnya daya tarik yang diikuti dengan berkurangnya minat pengunjung untuk berkunjung ke lokasi tersebut. Sebaliknya, nilai wisata air ini akan bertambah seiring banyaknya pengunjung berkunjung ke Taman Wisata Bumi Kedaton, dengan asumsi bahwa potensi daya tarik wisata yang ada tetap dipertahankan. Pendugaan nilai ekonomi TWBK menggunakan pendekatan harga tiket masuk dan jumlah pengunjung. Nilai ekonomi TWBK adalah perkalian antara jumlah kunjungan wisatawan/bulan dikalikan dengan harga tiket masuk. Untuk tahun 2008 jumlah pengunjung orang perbulan dengan rata-rata harga karcis masuk yang dibayarkan Rp ,1 (harga tiket masuk, tiket permainan 101

28 dan biaya parkir) dan dikalikan dengan 12 bulan, diperoleh nilai ekonomi wisata air TWBK sebesar Rp ,1 /tahun (Lampiran 25). Nilai Ekonomi Wisata TWBK berdasarkan Biaya Perjalanan (Travel Cost). Selain nilai ekonomi TWBK dengan pendekatan harga tiket, diperlukan pula pendugaan nilai ekonomi TWBK berdasarkan pada biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh setiap pengunjung. Pengunjung TWBK terbagi menjadi 5 (lima) zona, yaitu : Zona I (Bandar Lampung, dengan jarak < 10 km), Zona II (Pesawaran, dengan jarak km), Zona III (Lampung Selatan, dengan jarak km), Zona IV (Lampung Tengah, dengan jarak km), dan Zona V (Lampung Barat, dengan jarak >200 km). Besarnya biaya perjalanan pengunjung wisata dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel antara lain, jarak tempuh (X1), pendapatan (X2), harga tiket masuk (X3), dan frekuensi kunjungan (X4). Hubungan/korelasi antara biaya perjalanan dengan variable-variabel yang mempengaruhinya dianalisis dengan persamaan regresi berikut : P = (X1) + 0,0110 (X2) + 2,62 (X3) ((X4)..(33) (R 2 =68,9%) dimana : P = Biaya perjalanan (Rp) X1 = Jarak tempuh (km) X2 = Pendapatan (Rp/bulan) X3 = Harga tiket (Rp) X4 = Frekuensi kunjungan (kunjungan/tahun) Analisis regresi bertahap (Stepwise regression) menunjukkan bahwa variabel yang berkorelasi nyata terhadap biaya perjalanan adalah harga tiket masuk (X3) dan frekuensi kunjungan/tahun (X4) (Lampiran 39). Besarnya nilai ekonomi tempat TWBK per tahun berdasarkan biaya perjalanan disajikan pada Tabel 15. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Raharjo (2006), bahwa selain faktor pendapatan terdapat faktor biaya murah (tiket) dan pengalaman individu merupakan faktor yang terkuat dalam menentukan jumlah kunjungan orang ke suatu tempat wisata. 102

29 Tabel 15. Nilai ekonomi TWBK berdasarkan biaya perjalanan tahun 2008 (Rp/tahun) No Zona Biaya perjalanan rata-rata (Rp) Jml % Jml Pengunjung /th Jml biaya (Rp) 1 I (BL) ,4 79 0, ,0 2 II (PSWR) ,0 4 0, ,6 3 III (LS) ,3 7 0, ,9 4 IV (LT) ,0 5 0, ,3 5 V (LB) ,0 3 0, ,6 Jumlah ,5 Sumber : Data primer diolah (2009) Keterangan : BL = Bandar Lampung, PSWR = Pesawaran, LS = Lampung Selatan, LT = Lampung Tengah, dan LB = Lampung Barat Bervariasinya biaya perjalanan ke TWBK dari masing-masing zona antara lain disebabkan oleh karakteristik moda transportasi (kendaraan) yang digunakan untuk menuju tujuan wisata berbeda-beda. Sebagai contoh biaya perjalanan dari zona I ternyata lebih tinggi dari pada dari zona II, hal ini disebabkan karena pengunjung dari zona II pada umumnya menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor), sehingga biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung dari zona tersebut relatif rendah. Sedangkan dari zona I (Bandar Lampung) pada umumnya yang datang berkunjung menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa kendaraan untuk pergi secara rombongan, sehingga hal ini yang diduga menyebabkan biaya perjalanan dari zona I lebih tinggi dari zona II. Nilai ekonomi yang dihasilkan oleh TWBK dengan pendekatan biaya perjalanan sebesar Rp.5,1 Milyar/tahun masih lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai ekonomi wisata yang dihasilkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) Rp.1,2 Milyar/tahun. Widada (2005) menyatakan bahwa nilai ekonomi TNGH dengan pendekatan biaya perjalanan adalah sebesar Rp.1,2 Milyar /tahun, dengan distribusi biaya transportasi sebesar 38%, akomodasi 30%, konsumsi 24% dan biaya lain-lain 9%. Dengan demikian potensi wisata untuk TWBK sangat besar, hal ini juga ditunjang dengan kemudahan akses menuju lokasi wisata dan harga tiket yang relatif terjangkau (murah). Nilai ekonomi TWBK berdasarkan biaya perjalanan sebesar Rp.5,1 Milyar/th nilainya lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai ekonomi 103

30 berdasarkan harga tiket masuk sebesar Rp.1,4 Milyar/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa untuk dapat menikmati pemandangan yang menarik, pengunjung tempat wisata bersedia mengeluarkan uang yang cukup besar. Nilai kesediaan membayar biaya rehabilitasi (WTP) pengunjung TWBK sebasar Rp.131,4 Juta/tahun, nilai tersebut menunjukkan kesediaan pengunjung tempat wisata untuk membayar biaya rehabilitasi agar kondisi tempat wisata dapat dipertahankan seperti pada saat ini. c. Nilai Ekonomi Air dari Pengguna AMDK Kota Bandar Lampung. Konsumsi AMDK masyarakat Kota Bandar Lampung dipengaruhi oleh jumlah anggota rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota rumah tangga cukup bervariasi. Rumah tangga yang diteliti (100) memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 490 orang, sehingga diperoleh ratarata per rumah tangga sebanyak 4,9 orang atau 5 orang (dibulatkan). Apabila setiap satu rumah tangga mengkonsumsi AMDK sebanyak 116,6 liter/bulan atau 3,9 liter/hari, untuk 1 (satu) orang akan mengkonsumsi AMDK sebanyak 0,8 liter/hari. Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka nilai ekonomi AMDK masyarakat Kota Bandar Lampung secara rinci disajikan pada Tabel 16. Nilai ekonomi konsumsi AMDK oleh masyarakat Kota Bandar Lampung adalah perkalian antara jumlah rumah tangga di Kota Bandar Lampung dengan rata-rata konsumsi perbulan dan harga AMDK rata-rata, maka diperoleh nilai ekonomi pengguna AMDK Kota Bandar Lampung sebesar Rp ,- /bulan atau sebesar Rp ,- /tahun. Tabel 16. Nilai ekonomi air oleh pengguna AMDK Kota Bandar tahun 2009 (Rp/tahun) No Nama Dagang AMDK Rata-rata Konsumsi RT (liter/bln) Lampung % Jml RT Jumlah Total (Rp) 1 Grand 116,6 0, ,- 2 Tripanca 116,6 0, ,- 3 Great 116,6 0, , ,- Nilai ekonomi AMDK ( x 12) Rp ,- Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) 104

31 Di Kota Bandar Lampung terdapat 3 (tiga) industri AMDK yang cukup besar, industri tersebut mengambil air baku dari mata air yang berada di dalam DAS Way Betung. Industri AMDK tersebut menggunakan nama dagang Tripanca, Grand dan Great. Seperti kondisi kota-kota pada umumnya selain beredar nama dagang AMDK diatas juga terdapat banyak nama dagang AMDK yang beredar di Kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil penelitian, responden pengguna AMDK dibagi menjadi 2 (dua) yaitu responden yang hanya menggunakan AMDK sebanyak 27% dan responden yang menggunakan AMDK tetapi juga memasak air minum sendiri yaitu sebanyak 73%. Faktor yang mempengaruhi banyaknya air yang diminum setiap rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga, sehingga semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka semakin banyak air minum yang dikonsumsi. Responden yang hanya menggunakan AMDK menghabiskan 8-10 galon perbulan sedangkan responden yang menggunakan AMDK dan memasak air sendiri menghabiskan 5-6 galon perbulan. Secara rinci konsumsi AMDK setiap keluarga disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Konsumsi rata-rata AMDK masyarakat Kota Bandar Lampung (liter/bulan) tahun 2008 No Kriteria Rumah tangga 1 Jumlah responden 100,0 2 Jumlah anggota keluarga RT Responden 490,0 3 Jumlah konsumsi total RT Responden ,2 Konsumsi rata-rata RT (liter/bulan) 116,6 Sumber : Dianalisis dari data primer (2009) Harga AMDK ukuran 240 ml (gelas) ini semua sama dipasaran yaitu seharga Rp.500,- sedangkan untuk kemasan galon terdapat perbedaan harga dengan kisaran antara Rp.6.000,-Rp.8.000,-. Produk AMDK (Great, Grand, dan Tripanca) ini merupakan produk yang tingkat harganya menengah dibandingkan nama dagang lainnya. Air minum isi ulang yang harganya paling murah sekitar Rp.3.000,-/galon dan paling mahal Rp ,-/galon. Namun masyarakat sebagian besar lebih memilih Grand sebagai air minum yang diangga paling baik/higienis.variasi harga produk AMDK yang bahan bakunya berasal dari mata air di kawasan DAS Way Betung ini disajikan pada Tabel

32 Tabel 18. Harga produk AMDK di Kota Bandar Lampung yang bahan bakunya berasal dari DAS Way Betung tahun 2009 No Nama Dagang AMDK Kemasan Harga (Rp) 1 Tripanca 240 ml ml ml Galon/19 Liter Grand 240 ml ml ml Galon/19 Liter Great 240 ml ml ml Galon/19 Liter Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) Secara umum masyarakat Kota Bandar Lampung menggunakan AMDK dengan alasan praktis, sehingga masyarakat tidak perlu lagi repot-repot memasak air karena AMDK ini sudah siap konsumsi. Sedangkan alasan khusus masyarakat memilih merk tertentu karena alasan rasa, higienis serta harga yang lebih murah. Selain itu, masyarakat kota Bandar Lampung menggunakan AMDK lebih dari 1 (satu) nama dagang. Hal ini disebabkan karena mereka beranggapan semua nama dagang AMDK memiliki rasa dan kualitas yang sama/setara, selain itu AMDK juga tersedia di toko-toko disekitar tempat tinggalnya. Secara rinci persentase produk AMDK yang sering digunakan oleh responden disajikan pada Tabel 19 (Lampiran 26). Tabel 19. Persentase produk AMDK yang dikonsumsi masyarakat Kota Bandar Lampung tahun 2009 No Nama produk AMDK Persentase (%) 1 Tripanca 22 2 Grand 35 3 Great 2 4 Nama Dagang Lain (Watershop, Aqua, Amila, Vitatica, dll) 24 5 >1 nama dagang AMDK 17 Total 100 Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) 106

33 Nilai AMDK untuk waktu yang akan datang dapat dipastikan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh harga AMDK yang sangat menarik, contohnya untuk nama dagang 2 tang isi 600 ml harganya Rp.1.000,-, dan nama dagang Aqua dengan isi yang sama harganya Rp.1.200,-. Hal senada dinyatakan oleh Darusman (2005), bahwa sejak PT. Aqua Golden Missisipi memproduksi AMDK dengan nama dagang Aqua tahun 80an sampai sekarang telah muncul berbagai nama dagang AMDK dengan produksi jutaan liter setiap tahunnya. Selanjutnya dikatakan oleh Darusman dan Bahruni (2005), pada tahun 1999 tercatat nama dagang AMDK telah mencapai 108 dan tahun 2002 telah mencapai 250 yang tersebar dalam 18 provinsi di Indonesia dan didominasi oleh provinsi Jawa Barat. AMDK merupakan salah satu industri yang berkembang sangat pesat dan cepat akhir-akhir ini. Diperkirakan lebih dari juta galon atau juta liter Air Minum Botolan (AMB) yang diperkirakan telah dikonsumsi oleh masyarakat Amerika Serikat (USA) pada tahun 1995 (Business Review, 1996). AMDK merupakan air minum yang siap dikonsumsi secara langsung tanpa harus melalui proses pemasakan/perebusan terlebih dahulu. AMDK merupakan air yang dikemas dalam berbagai bentuk kemasan, mulai dari 19 liter (galon), ml/600ml (botol), dan 240ml/220ml (gelas) (Zeofilt, 1998). Perkembangan industri AMDK di Indonesia menunjukan peningkatan yang cukup pesat. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan permintaan AMDK yang meningkat minimal 10 % per tahun. Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka industri ini terus berkembang. Perkembangan ini juga terpacu oleh lingkungan perkotaan yang memburuk. Hal ini diikuti dengan semakin tingginya tingkat pencemaran dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia, sehingga air, udara, bahkan tanah yang bersih sebagai salah satu syarat utama kehidupan yang baik dan sehat terasa semakin sulit dan langka dijumpai. d. Nilai Ekonomi Air untuk Rumah Tangga Hulu. Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk rumah tangga merupakan nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari perkalian jumlah rumah tangga, rata-rata jumlah anggota keluarga, konsumsi rata-rata air rumah tangga perbulan dan harga 107

34 setara PDAM. Penggunaan harga air setara dengan PDAM karena belum adanya penetapan harga air secara khusus untuk beberapa kriteria rumah tangga hulu. Harga setara PDAM yang digunakan adalah untuk kriteria rumah tangga sederhana (R1). Secara rinci nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga hulu disajikan pada Tabel 20 (Lampiran 27). Tabel 20 memperlihatkan rata-rata konsumsi air rumah tangga kawasan hulu DAS Way Betung ternyata jauh lebih tinggi dari konsumsi rata-rata air untuk rumah tangga perkotaan. Hal ini disebabkan karena mereka beranggapan bahwa air yang digunakan oleh mereka berasal dari gunung, dan mereka tidak perlu membayar untuk memanfaatkannya. Sehingga dengan kata lain, air dianggap oleh mereka sebagai barang publik (public goods), artinya air adalah barang yang tidak memiliki kepemilikan dan setiap orang/warga berhak untuk menggunakannya. Tabel 20. Nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu DAS Way Betung tahun 2009 (Rp/tahun) Jml Konsumsi air Harga air setara tarif PDAM (R1) Jml (Rp) No Dusun RT (m 3 / bulan/rt) m 3 >10 m 1 Parendoan I , Parendoan II , Sb. Agung , Tlg. Mulya , Jumlah Nilai ekonomi penggunaan air untuk rumah tangga di hulu (Rp x 12) Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) Anggapan yang demikian menyebabkan mereka tidak memperhatikan/ tidak mengontrol efisiensi penggunaan air untuk keperluan rumah tangga, sehingga terjadi pemborosan pemakaian air. Hal ini dapat dilihat dari disebagian besar bak penampungan air di rumah mereka tidak terdapat alat penutup (kran), sehingga walupun bak penampungan telah penuh tetap saja air mengalir ke bak mereka dan terbuang secara percuma. Hal senada dinyatakan oleh Sanim (2003), bahwa air merupakan kebutuhan dasar manusia, juga sebagai barang publik (public goods) yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons). 108

35 Sehingga air adalah sumberdaya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Selanjutnya dikatakan bahwa jika dipandang air sebagai antropocentrisme maka air dianggap sebagai public goods dan global commons dapat dimanfaatkan secara tidak efisien, boros dan tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan (sustainable) dari keberadaan sumberdaya air tersebut. e. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian Padi Sawah Hulu DAS Way Betung. Pemanfaatan air untuk keperluan pertanian padi sawah di hulu DAS Way Betung belum terlalu banyak, dari keempat dusun yang ada di wilayah hulu pemanfaatan air untuk padi sawah baru mencapai luas 18,5 ha yang digarap oleh 44 orang petani. Hal ini terkait dengan kepemilikan lahan yang relatif sempit, dan mahalnya biaya pengadaan air untuk kegiatan tersebut (Lampiran 28). Untuk menduga besarnya nilai ekonomi pemanfaatan air padi sawah menggunakan pendekatan biaya pengadaan air/ha/musim tanam. Sehingga nilai ekonomi pemanfaatan air untuk pertanian padi sawah adalah nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari luas usaha padi sawah, musim tanam padi, biaya pengadaan air. Komponen biaya pengadaan air meliputi upah harian kerja (jumlah tenaga kerja dan berapa hari kerja), pengadaan pipa/bambu dan biaya pemeliharaan pipa/bambu. Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk pertanian padi sawah disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk padi sawah di DAS Way Betung tahun 2009 (Rp/tahun) No Dusun Jml petani (orang) Luas Sawah (ha) BPA (Rp/ha/ MT) Ratarata MT/th Nilai air (Rp/th) 1 Parendoan I 15 8, , ,- 2 Parendoan II 12 6, , ,- 3 Sumber Agung 5 1, , ,- 4 Talang Mulya 10 3, , ,- Jml 42 18, , ,- Rata-rata 0, ,5 Sumber : Dianalisis dari data primer (2009) Keterangan: BPA= Biaya pengadaan air; MT = Musim Tanam 109

36 Tabel 21 memperlihatkan biaya pengadaan air untuk pertanian padi sawah relatif mahal, yaitu berkisar antara Rp83.542; - Rp ;/ha/MT. Variasi yang demikian besar antar lain karena perbedaan upah tenaga kerja serta pengadaan sarana pengairan berupa bambu yang relatif sulit diperoleh pada beberapa dusun seperti Sumber Agung. Beberapa hal yang menyebabkan dusun Sumber Agung memerlukan biaya pengadaan air yang paling besar, antara lain adalah letak dusun yang dekat dengan perkotaan sehingga tenaga kerja lebih mahal, dan yang kedua di dusun tersebut ketersediaan bambu sebagai salah satu alat penyalur air harus didatangkan dari luar dusun sehingga harganya mahal. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan Pengguna Air DAS Way Betung Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan pengguna air DAS Way Betung berasal dari: (a) Konsumen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), (b) Pengunjung Taman Wisata Bumi Kedaton (TWBK), (c) Konsumen Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), (d) Rumah tangga hulu, dan (e) Pertanian padi sawah. a. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan Konsumen PDAM. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan dari pelanggan rumah tangga secara umum dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan mereka terhadap pasokan air bersih. Tabel 22 memperlihatkan bahwa pelanggan R2 bersedia membayar biaya rehabilitasi (WTP) yang paling besar diikuti oleh pelanggan R1 dan yang paling kecil adalah justru pelanggan R3 (rumah tangga mewah). Hal ini disebabkan tingkat ketergantungan pelanggan rumah tangga mewah (R3) terhadap pasokan air dari PDAM tidak terlalu besar, karena pada umumnya mereka memiliki kemampuan untuk membuat sumur bor, sehingga walaupun air dari PDAM tidak mengalir mereka masih mampu memenuhi kebutuhan airnya sendiri. Sebaliknya pelanggan rumah tangga sederhana (R1) dan rumah tangga menengah (R2), pada umumnya kebutuhan airnya sangat tergantung pada pasokan PDAM. Apabila air dari PDAM tidak mengalir mereka 110

37 umumya membeli air bersih dari penjaja air keliling dengan harga yang relatif mahal, satu hari mereka membutuhkan 4-5 kemasan air (jerigen) ukuran 20 liter (Rp.5.000,-/20 liter) sehingga apabila air PDAM tidak mengalir selama beberapa hari maka mereka akan mengeluarkan uang yang lebih banyak. Kondisi yang demikian menyebabkan rumah tangga R1 dan R2 sangat mendukung dan bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan lebih besar dibanding rumah tangga R3 agar pasokan air PDAM dapat terjamin. Tabel 22. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan pelanggan PDAM tahun 2009 (Rp/tahun) No Kategori Jumlah Rata-rata Nilai Total RT RT (KK) WTP (Rp/bln) WTP (Rp) dibayar (Rp) 1 R , , ,9 2 R , , ,9 3 R , , ,3 Jumlah , ,2 Nilai WTP rehabilitasi ( ,15 x 12) Rp ,8 Sumber: Dianalisis dari data primer (2009) Apabila mekanisme pembayaran WTP pelanggan PDAM sudah dapat diimplementasikan dengan baik, maka akan diperoleh potensi biaya rehabilitasi DAS Way Betung yang relatif besar yaitu Rp ,8/tahun, nilai ini lebih besar dari pada yang diberikan oleh PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di Cirebon sebesar Rp ,-/tahun sebagai wilayah pemanfaat (user) kepada pemerintah Kabupaten Kuningan sebagai wilayah penyedia jasa (provider) (Hamzah, 2005). Namun apabila dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diberikan oleh PDAM Kota Cirebon kepada Kabupaten Kuningan sebesar Rp.1,8 Milyar /tahun, maka nilai potensi biaya rehabilitasi (WTP) dari pelanggan PDAM Kota Bandar Lampung masih jauh lebih kecil. Ketersediaan biaya rehabilitasi ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi kelestarian DAS Way Betung dimasa yang akan datang, sehingga biaya rehabilitasi kawasan hulu dapat terpenuhi, dan pada gilirannya sungai Way Betung dapat diandalkan sebagai pemasok air baku bagi PDAM Kota Bandar Lampung. 111

38 Nilai ekonomi air berdasarkan penerimaan PDAM (meter air) sebesar Rp.19,6 Milyar/tahun, nilai ekonomi air berdasarkan kebutuhan rumah tangga sebesar Rp.37,1 Milyar/tahun dan nilai kesediaan membayar biaya rehabilitasi dari pelanggan air PDAM sebesar Rp.958,5 Juta/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa apabila PDAM mampu memenuhi kebutuhan air pelanggannnya, maka pendapatan akan meningkat mencapai 100% dan pelanggan bersedia membayar biaya rehabilitasi. Rendahnya penerimaan PDAM antara lain disebabkan adanya kebocoran air dalam proses distribusi dan keterbatasan air baku karena makin menurunnya debit minimum terutama pada musim kemarau. b. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan Pengunjung TWBK. Pengetahuan masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya air adalah bagaimana pemahaman mereka terhadap kelestarian hutan sumberdaya air yang dimanfaatkan. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah responden yang mengetahui apabila air yang mengalir di sungai TWBK yang digunakan untuk fasilitas wisata berasal dari kawasan hutan adalah 81,6 % dan 18,7 % responden tidak mengetahui apabila air yang mereka gunakan untuk fasilitas wisata berasal dari kawasan hutan. Alasan mereka tidak mengetahuinya, karena mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap bidang kehutanan, dan juga tidak ada penjelasan dari pihak tempat wisata sumber air yang mereka gunakan untuk fasilitas wisata. Tabel 23. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan pengunjung TWBK tahun 2009 (Rp/kunjungan) No Kesediaan Membayar (Rp) Jumlah Responden Persentase (%) , , , , , , , , , ,0 Sumber : Dianalisis dari data primer (2009). 112

39 Sebagian besar responden juga mengetahui apabila hutan rusak maka akan mempengaruhi fasilitas tempat wisata dan pengunjung, sehingga mereka juga setuju apabila hutan dipelihara untuk menjaga kenyamanan pengunjung. Berdasarkan analisis responden yang mengisi daftar pertanyaan (kuesioner), sejumlah 90 responden (91,8%) menyatakan bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan demi terciptanya hutan lestari. Sebanyak 8 responden (8,2%) menolak membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan dengan alasan bahwa harga karcis yang mereka bayarkan sudah cukup mahal (Tabel 23). Tabel 23 memperlihatkan bahwa pengunjung Taman Wisata Bumi Kedaton memiliki kesediaan membayar dengan persentase tertinggi (28,6%) yaitu sebesar Rp.2.000,-. Sedangkan kesediaan membayar biaya rehabilitasi dengan persentase terendah (1,0%) adalah sebesar Rp.2.500,- Rp.3.500,- dan Rp 6.000,-. Berdasarkan analisis dari Tabel 23 diperoleh rata-rata kesediaan untuk membayar (WTP) biaya rehabilitasi adalah sebesar Rp.2.091,8/kunjungan Kenyataan di atas menunjukkan bahwa pengunjung TWBK bersedia memberikan biaya korbanan sebesar Rp2.091,8/kunjungan agar tempat wisata tetap nyaman dan dapat mempertahankan kondisinya dimasa yang akan datang. c. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan Pengguna AMDK. Nilai kesediaan membayar atau Willingness to Pay (WTP) terhadap biaya rehabilitasi hutan dan lahan DAS Way Betung adalah kesediaan individu untuk membayar suatu kondisi lingkungan atau penilaian suatu sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh, maka jumlah responden yang mengetahui apabila AMDK yang digunakan berasal dari mata air di kawasan hutan adalah 82% dan 18% responden tidak mengetahui apabila AMDKyang mereka gunakan berasal dari kawasan hutan. Alasan mereka tidak mengetahui bahwa AMDK yang digunakan berasal dari kawasan hutan adalah karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang kehutanan dan kurangnya keinginan untuk mengetahui sumber air yang mereka gunakan. Responden yang menyatakan bersedia membayar untuk biaya rehabilitasi lahan dan hutan DAS Way Betung sebanyak 90 responden (90%). Awalnya 113

40 responden belum mengetahui bahwa sumber air AMDK adalah berasal dari DAS Way Betung, namun setelah mendapat penjelasan mereka mengerti dan memahami sehingga bersedia membayar rehabilitasi hutan dan lahan. Responden yang bersedia membayar beralasan melestarikan hutan merupakan tanggung jawab bersama, responden juga mengetahui apabila hutan rusak akan menimbulkan berkurangnya debit air sehingga berakibat produksi AMDK menurun. Responden juga memiliki kekhawatiran tidak dapat mengkonsumsi AMDK terus-menerus. Sebanyak 10 responden (10%) menolak membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan dengan alasan bahwa harga AMDK yang responden beli sudah terlalu mahal dan juga mereka tidak ingin tahu mengenai urusan rehabilitasi hutan dan lahan karena mereka beranggapan urusan rehabilitasi lahan dan hutan merupakan tanggung jawab perusahaan serta pemerintah. Kesediaan untuk membayar (WTP) pengguna AMDK untuk biaya rehabilitasi adalah sebesar Rp ,-/tahun. d. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan Pengguna Air Rumah Tangga Hulu. Secara rinci kesedian membayar biaya rehabilitasi hutan rumah tangga pengguna air di wilayah hulu DAS Way Betung disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 memperlihatkan kesediaan masyarakat yang berada di hulu DAS Way Betung untuk membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan relatif cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kisaran rata-rata yang bersedia mereka bayarkan yaitu antara Rp.1.523,8 - Rp.2.792,5. Kondisi yang demikian menggambarkan bahwa mereka yang tinggal di hulu juga memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan khususnya hutan, yang mereka ketahui merupakan sumber air bagi kehidupannya. Berdasarkan analisis data diperoleh, jumlah reponden yang mengetahui bahwa air yang dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga berasal dari kawasan hutan adalah sebanyak 88 responden (94,6%) dan tidak mengetahui sebanyak 5 responden (5,4%). Alasan mereka mengetahui adalah karena letak antara pemukiman/lahan pertanian dengan kawasan hutan dan DAS Way Betung tidak begitu jauh dan alasan tidak mengetahui karena tidak memiliki pengetahuan terhadap bidang lingkungan dan kehutanan. 114

41 Tabel 24. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan pengguna air rumah tangga hulu tahun 2009 (Rp/tahun) No Dusun Jml RT Rata rata WTP (Rp/bln) 115 Nilai WTP (Rp) Nilai dibayar (%) Total WTP (Rp) 1 Parendoan I , ,0 75, ,- 2 Pardendoan II , ,4 81, ,- 3 Sumber Agung , ,9 71, ,- 4 Talang Mulya , ,0 61, ,- Jumlah ,- Nilai WTP rumah tangga hulu (Rp ,- x 12) ,- Sumber : Dianalisis dari data primer (2009) Sebagian besar responden juga mengetahui apabila hutan rusak maka akan menimbulkan berkurangnya debit air, sehingga mereka juga setuju apabila hutan dipelihara untuk menjaga kelancaran debit air. Analisis selanjutnya sejumlah 66 responden (70,9%) menyatakan bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan 21 responden (29,0%) menolak membayar biaya rehabilitasi hutan. Alasan responden yang tidak bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan adalah mereka hanya memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan masalah rehabilitasi merupakan tanggung jawab pemerintah/kehutanan. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi rata-rata sebesar Rp.2.036,5/bulan/RT, merupakan indikasi awal dari potensi pemanfaat air untuk pembiayaan rehabilitasi hutan dan lahan. Nilai kesediaan membayar biaya rehabilitasi ini masih relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai ekonomi air di Sub DAS Konto dan Sub DAS Cisarea sebesar Rp ,7/orang/bulan dan Rp ,1/orang/bulan (Ginoga et al., 2005). e. Nilai Kesediaan Membayar (WTP) Biaya Rehabilitasi Hutan dari Petani Padi Sawah Berdasarkan analisis data, menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya air atau pengetahuan mereka terhadap kelestarian hutan dan kelancaran sumberdaya air yang dimanfaatkan relatif cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari seluruh responden sejumlah 42 orang (100%) mengetahui apabila air yang dimanfaatkan untuk keperluan pertanian berasal dari kawasan hutan. Alasan mereka mengetahui adalah karena letak antara lahan pertanian dengan kawasan hutan dan DAS Way Betung tidak jauh, sedangkan air

42 yang digunakan untuk pertanian/irigasi berasal dari gunung. Sebagian responden juga mengetahui apabila hutan rusak maka akan menimbulkan berkurangnya debit air, sehingga mereka setuju apabila hutan harus dipelihara untuk menjaga kelancaran debit air. Berdasarkan hasil analisis, sebanyak 24 responden (57,1%) menyatakan bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan demi kelancaran air untuk mengairi padi sawah. Sebanyak 18 responden (42,9%) menolak membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan dengan alasan dana/uang yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan masalah rehabilitasi hutan merupakan tanggungjawab pihak kehutanan atau pemerintah. Secara rinci kesedian membayar (WTP) petani padi untuk membayar biaya rehabilitasi disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 terlihat bahwa kesedian untuk membayar biaya rehabilitasi hutan dan lahan pengguna air untuk padi sawah berkisar antara Rp.1.400,- sampai Rp.4.400,-. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian terhadap kelestarian sumber daya hutan, selain itu juga menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui apabila mereka memelihara hutan maka air akan tetap tersedia untuk kegiatan pertanian padi sawah. Tabel 25. Nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi hutan petani padi sawah tahun 2009 (Rp/tahun) Jml Rata-rata Total Nilai WTP Nilai WTP petani No Dusun WTP (Rp) Dibayar (Rp/th) (orang) (Rp) (%) 1 Parendoan I , ,0 53, ,- 2 Parendoan II , ,9 58, ,- 3 Sb.Agung , ,0 100, ,- 4 Talang Mulya , ,0 40, ,- Jml , , ,1 Nilai WTP biaya rehabilitasi dari petani padai sawah ,2 Sumber : Dianalisis dari data primer (2009) Analisis Permintaan dan Penawaran Harga Air PDAM Kota Bandar Lampung Berdasarkan analisis permintaan dan penawaran terhadap harga air PDAM diperoleh harga keseimbangan (keekonomian) tanpa biaya rehabilitasi adalah 116

43 sebesar Rp.4.257,7/m 3, dan harga keseimbangan (keekonomian) setelah ditambahkan biaya rehabilitasi adalah sebesar Rp.4.354,6/m Analisis permintaan dan penawaran harga air PDAM pada penelitian ini hanya dilakukan pada pengguna air rumah tangga, hal ini mengingat keterbatasan data series yang tersedia (Lampiran 28). Harga Keekonomian (Harga Pasar) Air PDAM Kota Bandar Lampung Nilai keekonomian harga air (harga pasar) terhadap suatu komoditas yang diperjualbelikan ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditas bersangkutan, demikian halnya dengan harga air yang diharapkan oleh PDAM berdasarkan pada prinsip harga pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis terhadap permintaan dan penawaran pada komoditas bersangkutan, dalam penelitian ini adalah harga air PDAM Kota Bandar Lampung. Untuk itu perlu dibangun kurva permintaan air dan kurva penawaran air dari PDAM Kota Bandar Lampung. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sugiarto et al.,2002), salah satu metode untuk mengetahui keseimbangan harga (Price equilibrium) antara suatu komoditas adalah dengan cara grafik. 3 Kurva Permintaan. Kurva permintaan pada penelitian ini dibangun dari perilaku konsumen terhadap harga air yang dibebankan kepada konsumen oleh PDAM. Untuk membangun kurva permintaan, data yang digunakan adalah besarnya penggunaan/konsumsi air (m 3 ) dan biaya yang harus dibayarkan oleh konsumen (Rp) dalam bentuk tagihan air PDAM. Data ini diperoleh dari PDAM Kota Bandar Lampung. Untuk memperoleh persamaan regresi, maka data dianalisis dengan menggunakan program Minitab Release 15. Prosedur membangun kurva permintaan air konsumen seperti disajikan pada Lampiran 13. Berdasarkan analisis data maka diperoleh persamaan garis untuk kurva permintaan dari konsumen pengguna air PDAM adalah sebagai berikut: P = ,0775 Qd (33) (R 2 = 95%) P = Harga air (Rp/m 3 ) dan Qd = jumlah air yang diminta (m 3 ) 117

44 Secara grafis kurva permintaan harga air konsumen PDAM disajikan Gambar 19. Harga air (Rp/m 3 ) y = -0,7775x R² = 0, Permintaan air (m 3 ) Gambar 19. Kurva permintaan konsumen PDAM terhadap harga air Kota Bandar Lampung Kurva Penawaran. Kurva penawaran harga air yang dibangun dalam penelitian ini adalah penawaran harga air yang dibebankan kepada konsumen, merupakan biaya variabel bulanan (Rp) yang dikeluarkan oleh PDAM untuk memproduksi sejumlah air (m 3 ). Untuk memperoleh persamaan regresi, maka data dianalisis dengan menggunakan program Minitab Release 15. Prosedur membangun kurva penawaran air konsumen seperti disajikan pada Lampiran 13. Berdasarkan analisis data maka diperoleh persamaan garis untuk kurva penawaran dari produsen (PDAM) adalah sebagai berikut: P = ,2 Qs (34) (R 2 = 86,1%) P= Harga air (Rp/m 3 ) dan Qs = jumlah air yang ditawarkan (m 3 ) Secara grafis kurva penawaran harga air PDAM disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan pada persamaan dari kurva permintaan dan kuva penawaran (Persamaan 33 dan 34), maka dapat dihitung harga keseimbangan air yang sesuai dengan harga pasar, yaitu sebagai berikut: Q demand = Q suplay atau P demand = P suplay 118

45 4271 0,0775 Qd = ,2 Qs (35) Pe = 4.254,7 (Rp), (Pe = Price equilibrium) Qe = 211,1 (m 3 ) (Qe = Quantity equilibrium) Harga air (Rp/m 3 ) y = 1235,2x R² = 0, Produksi Air (m 3 ) Gambar 20. Kurva penawaran produksi PDAM tarhadap harga air Kota Bandar Lampung Harga air keseimbangan (Pe) (Rp/m 3 ) yang tercapai berdasarkan pada penggabungan kurva permintaan dan penawaran adalah sebesar Rp.4.257,7 dengan tingkat konsumsi keseimbangan (Qe) sebesar 211,1 m 3. Harga tersebut menggambarkan harga keekonomian yang diharapkan diterima oleh PDAM. Namun besaran harga tersebut belum menambahkan biaya rehabilitasi yang harus ditanggung oleh konsumen. Harga keekonomian air PDAM sebesar Rp.4.257,7/m 3 nampaknya tidak terlalu berbeda (tidak signifikan) dengan harga tertinggi yang diharapkan diterima oleh PDAM dari pelanggannya dengan kategori rumah tangga mewah (R3), yaitu sebesar Rp.4.200,-/m 3 Hal ini menunjukkan bahwa harga yang air PDAM yang diterapkan sekarang sudah mendekati harga keekonomian berdasarkan pada biaya produksi yang dikeluarkan oleh PDAM. Harga Keekonomian Air PDAM dengan Menambahkan Biaya Rehabilitasi Hutan Untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan pengembangan yang direncanakan dibutuhkan biaya. Salah satu sumber 119

46 pembiayaan yang diharapkan adalah dari konsumen air PDAM. Besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen PDAM selain harga air yang telah ditetapkan adalah berdasarkan kesediaan membayar biaya rehabilitasi (WTP). Besarnya tambahan biaya dihitung dengan nilai rata-rata tertimbang kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi dibagi dengan konsumsi rata-rata rumah tangga dari Tabel 14, sehingga diperoleh biaya rehabilitasi sebesar Rp.100,5/m 3. Kurva Permintaan dengan Tambahan Biaya Rehabilitasi (WTP). Untuk membangun kurva permintaan yang telah menambahkan biaya rehabilitasi hutan. Data yang digunakan adalah besarnya penggunaan/konsumsi air (m 3 ) dan biaya yang harus dibayarkan oleh konsumen (Rp) dalam bentuk tagihan air oleh PDAM ditambahkan dengan kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi. Untuk memperoleh persamaan regresi, maka data dianalisis dengan menggunakan program Minitab Release 15. Harga air (m3) y = -0,0775x R² = 0, Permintaan air (Rp/m3) Gambar 21. Kurva permintaan air konsumen PDAM setelah ditambahkan biaya rehabilitasi Berdasarkan analisis data maka diperoleh persamaan garis untuk kurva permintaan dari konsumen pengguna air PDAM setelah ditambahkan biaya rehabilitasi adalah sebagai berikut: 120

47 Pr = ,0775 Qds..(36) (R 2 = 99,5%) 3 Pr = Harga air+biaya rehabilitasi (Rp/m ), dan 3 Qds = jumlah air yang diminta (m ) Secara grafis kurva permintaan harga air konsumen PDAM disajikan Gambar 21. Kurva Penawaran dengan Biaya Rehabilitasi. Berdasarkan asumsi biaya produksi tidak mengalami perubahan, maka harga air yang diproduksi PDAM juga tidak mengalami perubahan. Sehingga persamaan kurva penawaran tetap menggunakan yang telah dihitung diatas yaitu: P = ,2 Qs (37) (R 2 = 86,1%) P= Harga air (Rp/m 3 ) dan Qs = jumlah air yang ditawarkan (m 3 ) Berdasarkan pada persamaan dari kurva permintaan yang telah ditambahkan biaya rehabilitasi dan kurva penawaran (Persamaan 36 dan 37), maka dapat dihitung harga keseimbangan air yang sesuai dengan prinsip pasar, yaitu sebagai berikut: Q demand (r) = Q suplay atau P demand = P suplay ,0775 Qds = ,2 Qs Pe(r) = 4.354,6 (Rp/m 3 ) Qe = 211,1 (m ) 3 Harga air keseimbangan (Rp/m 3 ) yang tercapai berdasarkan pada penggabungan kurva permintaan dan penawaran setelah memperhitungkan biaya rehabilitasi hutan dan lahan adalah sebesar Rp.4.354,6/m 3 dengan tingkat konsumsi sebesar 211,1 m 3. Apabila dibandingkan antara besarnya harga air PDAM dengan memperhitungkan biaya rehabilitasi hutan dan lahan (Rp.4.354,6) dengan harga keekonomian air PDAM tanpa memperhitungakan biaya rehabilitasi (Rp.4.257,7) maka terlihat bahwa akan terjadi kenaikan harga sebesar 2,3%. Sedangkan apabila dibandingkan dengan harga air PDAM untuk tarif rumah tangga mewah (R3) sebesar Rp.4.200,- maka harga air PDAM dengan biaya rehabilitasi mengalami kenaikan sebesar 2,4%. 121

48 Peningkatan harga air PDAM setelah memperhitungkan biaya rehabilitasi hutan dan lahan kemungkinan akan menyebabkan penurunan permintaan air. Hal ini sesuai dengan pendapat (Putri et al., 2007), bahwa apabila harga air rendah dengan tingkat konsumsi tinggi, maka jika terjadi peningkatan harga sedikit saja akan menyebabkan jumlah permintaan air berkurang banyak. Sebaliknya apabila harga tinggi dan konsumsi rendah, maka bila terjadi kenaikan harga akan memberikan efek penurunan permintaan sedikit saja. Hal ini antara lain karena kurva permintaan lebih curam pada harga lebih tinggi. Sanim (2011), menyatakan bahwa peningkatan kebutuhan air diperkotaan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas perekonomian dan laju urbanisasi, untuk itu walaupun harga air bersih terus meningkat maka permintaannya tidak akan menurun secara drastis. Analisis Besarnya Erosi Setiap Skenario Pengembangan Besarnya erosi pada skenario-3, skenario-4 dan skenario-5 lebih rendah dari erosi yang diperbolehkan (Tolerable Soil Loss/TSL), sedangkan skenario-2 erosinya lebih tinggi dari TSL (Tabel 26). Tabel 26. Pendugaan erosi setiap skenario pengembangan DAS Way Betung (ton/ha/th) No Skenario Pengembangan Erosi rata-rata (ton/ha/th) TSL (ton/ha/th) 1 Skenario-1 (Existing) 56,1 37,4 2 Skenario-2 39,1 3 Skenario-3 21,6 4 Skenario-4 29,4 5 Skenario-5 19,8 Sumber : Dianalisis dari data landuse, tanah dan curah hujan (2009) Hal ini disebabkan skenario-2 memiliki nilai CP (faktor tanaman dan pengelolaan lahan) tertimbang lebih besar (0,16) apabila dibandingkan dengan nilai CP skenario-3, skenario-4 dan skenario-5. Walaupun luas hutan pada skenario-2 telah mencapai 30% dari luas DAS, namun nilai CP masih cukup besar. Nilai CP tersebut disumbangkan oleh luasan kebun campuran 1.543,4 ha (29,3%) dan semak belukar 1.156,2 ha (21,9%) sehingga hal ini yang menyebabkan erosi yang dihasilkan lebih besar dari TSL. Nilai faktor tanaman 122

49 dan tindakan konservasi (CP) dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan dan tindakan konservasi. Apabila nilai CP suatu jenis penggunaan lahan kecil maka nilai erosi yang dihasilkan juga akan kecil, demikian pula sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai pendugaan erosi antara lain: curah hujan (R), jenis tanah (K), panjang dan kemiringan lereng (LS), vegetasi dan pengelolaan lahan (CP) (Arsyad, 2006). Pada setiap skenario pengembangan faktor R, K, LS, nilainya relatif tetap, sedangkan faktor yang berubah adalah nilai CP. Perubahan luas penggunaan lahan yang disertai tindakan pengelolaan lahan setiap skenario pengembangan akan menyebabkan perubahan nilai CP, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi besarnya nilai erosi. Perubahan nilai faktor CP setiap skenario pengembangan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Nilai faktor CP tertimbang setiap skenario pengembangan DAS Way Betung No Penggunaan lahan Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 *) Skenario-5**) Luas (Ha) CP Luas (Ha) CP Luas (Ha) CP Luas (Ha) CP Luas (Ha) CP 1 Hutan 377,1 0, ,0 0, ,5 0, ,0 0, ,5 0,005 2 Kb.campuran 2.744,3 0, ,4 0, ,9 0,2 154,.4 0, ,9 0,2 3 Semak belukar 1.156,2 0, ,2 0,3 523,7 0, ,2 0,3 523,7 0,3 4 Pert. Lh.kering 322,5 0,4 322,5 0,4 161,0 0,4 322,5 0,3 161,0 0,06 5 Permukimn/ltb 358,7 0,2 358,7 0,2 313,4 0,2 358,7 0,2 313,4 0,2 6 Lain-Lain ***) 301,2 301,2 301,2 301,2 301,2 Jumlah 5.260, , , , ,0 CP tertimbang 0,21 0,16 0,11 0,10 0,096 Erosi (ton/ha/th) 58,1 39,1 21,6 29,4 19,8 Keterangan: * ) Skenario-4, Kebun campuran + alley croping, ) ** Skenario-5, pertanian lahan kering +alley croping ***) Tidak teridentifikasi (awan) Apabila hanya berlandaskan pada kriteria erosi saja, maka skenario-5 yang kemudian diikuti skenario-3 adalah skenario pengembangan yang terbaik. Skenario-5 dan skenario-3 mampu menurunkan erosi hingga lebih rendah dari TSL dan bahkan lebih rendah dari skenario-4, namun pelaksanaannya akan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Hal ini disebabkan karena apabila skenario-3 dan skenario-5 diimplementasikan maka harus mengeluarkan peserta HKm (490,2 ha) dari kawasan hutan. Kondisi demikian disebabkan karena walaupun kegiatan HKm tidak diperpanjang namun pada kenyataannnya petani pesertanya tetap melakukan penggarapan dalam lokasi tersebut. 123

50 Berdasarkan pertimbangan erosi dan sosial, maka pengembangan sumberdaya air berdasarkan skenario-4 (30 % hutan + alley cropping pada kebun campuran) adalah yang paling baik untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena skenario-4 mampu menurunkan erosi lebih kecil dari TSL, selain itu pemerintah tidak perlu memindahkan petani HKm yang sudah ada (tidak menimbulkan potensi konflik), namun hanya perlu memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan mereka terhadap penerapan tindakan konservasi tanah. Secara ekologis (parameter erosi) dan sosiologis skenario-4 cukup baik untuk diterapkan di kawasan DAS Way Betung dari pada skenario pengembangan yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marwah et al. (2008), bahwa kebun hutan (agroforestry) tradisional yang dikombinasi dengan tanaman perkebunan, kehutanan dan tanaman pakan ternak mampu menekan erosi hingga dibawah TSL. Pendugaan besarnya nilai erosi setiap skenario pengembangan juga akan digunakan sebagai input data dalam analisis program tujuan ganda. Analisis program tujuan ganda bertujuan menentukan skenario pengembangan terbaik dalam pengembangan sumberdaya air DAS Way Betung. Secara rinci pendugaan erosi pada setiap skenario disajikan Lampiran 30, dan perubahan luas setiap jenis penggunan lahan dan tindakan pengelolaan lahan untuk setiap skenario disajikan pada Lampiran 31. Analisis Fluktuasi Aliran Permukaan Setiap Skenario Pengembangan Skenario-4 merupakan pengembangan sumberdaya air yang terbaik dibandingkan dengan skenario yang lainnya. Skenario-4 mampu menurunkan fluktuasi aliran permukaan bulanan dari 64,7 pada skenario-1 menjadi 30,9, serta meningkatkan debit minimum dari 1,7 m 3 /det menjadi 2,7 m 3 /det. Skenario-3 dan skenario-5 walaupun mampu meningkatkan debit minimum dari 1,7 m 3 /det menjadi 3,5 m 3 /det, namun fluktuasi debit yang terjadi masih lebih besar dari skenario-4 yaitu 32,1 (Tabel 28). Selain itu, skenario-3 dan skenario-5 apabila diimplementasikan akan menimbulkan potensi konflik dengan petani HKm. Hal ini disebabkan karena penerapan skenario tersebut akan mengusir kegiatan Hkm yang ada dalam kawasan hutan. Pendugaan volume aliran permukaan bulanan dan 124

51 rekapitulasinya pada setiap skenario disajikan pada Lampiran 32 dan 33. Validasi model SCS disajikan pada Lampiran 45. Tabel 28. Fluktuasi aliran permukaan setiap skenario pengembangan DAS Way Betung tahun 2009 No Skenario Qmax Ratio Pengembangan (m 3 /det) Qmin 3 (m /det) Qmax/Qmin 1 Skenario-1 108,9 1,7 64,7 2 Skenario-2 82,4 2,6 31,7 3 Skenario-3 112,6 3,5 32,1 4 Skenario-4 82,1 2,7 30,9 5 Skenario-5 112,5 3,5 32,1 Sumber: Dianalisis dari data hujan, penggunaan lahan dan tanah (2009) Besarnya nilai pendugaan aliran permukaan (metode SCS) sangat ditentukan perubahan besarnya nilai bilangan kurva (Curve Number) dari setiap jenis penggunaan lahan pada masing-masing skenario pengembangan atau sering disebut CN (Tabel 29). Tabel 29. Nilai bilangan kurva (CN) setiap skenario pengembangan DAS Way Betung No Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 *) Skenario-5**) Penggunaan Lahan Luas Luas Luas Luas Luas CN CN CN CN CN (ha) (ha) (ha) (ha) (ha) 1 Hutan 377,1 55, ,0 55, ,5 55, ,0 55, ,5 55,3 2 Kb. campuran 2.744,3 67, ,4 67, ,9 67, ,4 62, ,9 67,9 3 Semak belukar 1.156,2 63, ,2 63,3 523,7 63, ,2 63,3 523,7 63,3 4 Pert. Lhn.kering 322,5 78,8 322,5 78,8 161,0 78,8 322,5 78,8 161,0 75,7 5 Permukiman/ltb 358,7 74,2 358,7 74,2 313,4 74,2 358,7 74,2 313,4 74,2 6 Lain-Lain ***) 301,2 301,2 301,2 301,2 301,2 Jumlah 5.260, , , , ,0 CN tertimbang 63,2 60,3 60,0 58,7 59,9 Keterangan : Nilai CN kondisi rata-rata (II) Lhn. Kering *) = Lahan kering + Alley Cropping Kb.Campuran*) = Kebun campuran+ Alley Cropping Tabel 29 memperlihatkan bahwa, nilai faktor CN rata-rata tertimbang pengembangan skenario-4 adalah yang terendah. Bilangan kurva adalah suatu bilangan yang menggambarkan pengaruh bersama tanah, keadaan hidrologi dan kondisi tanah sebelunya yang menggambarkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (hujan). Apabila terjadi perubahan proporsi setiap penggunaan lahan pada suatu DAS akan menentukan besarnya nilai CN, dan selanjutnya akan mempengaruhi besarnya volume aliran permukaan. Hal sesuai dengan pendapat 125

52 Arsyad (2006), bahwa tipe tanah, penggunaan tanah, dan kondisi hidrologi penutup tanah adalah sifat-sifat daerah aliran yang mempunyai pengaruh paling penting dalam pendugaan volume aliran permukaan. Secara grafis fluktuasi aliran permukaan bulanan setiap skenario disajikan pada Gambar 22. Fluktuasi aliran permukaan bulanan menggambarkan respons DAS terhadap masukan hujan, pada umumnya debit maksimum terjadi pada bulan-bulan basah, yaitu bulan Oktober-Februari, sedangkan debit minimun terjadi pada bulan-bulan kering yaitu bulan Maret-September. 200,0 180,0 160,0 140,0 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 Jul Aug Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Skenario-1 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 Skenario-5 Gambar 22. Fluktuasi aliran permukaan bulanan sungai Way Betung setiap skenario pengembangan (m 3 /det) Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumberdaya air DAS Way Betung skenario-4 memberikan hasil yang baik terhadap hasil air DAS Way Betung. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya debit minimal dan menurunnya fluktuasi debit bulanan. Pertimbangan Sosial (Social Acceptability) Pengembangan Alternatif Salah satu indikator pembangunan berkelanjutan adalah adanya penerimaan secara sosial oleh masyarakat (Social acceptability) terhadap rencana kegiatan yang akan diterapkan. Pada penelitian ini sosial akseptabilitas rencana pengembangan DAS Way Betung dapat dilihat dari kesediaan setiap pengguna air 126

53 dalam berkontribusi untuk membayar biaya rehabilitasi. Hal ini digambarkan oleh persentase pengguna air yang bersedia membayar biaya rehabilitasi hutan untuk menerapkan skenario pengembangan (Tabel 30). Tabel 30. Kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi pengguna air DAS Way Betung (%) No Jumlah Kesediaan Membayar Rata-rata WTP Responden Bayar (%) Tdk Bayar (%) (Rp/bulan) 1 Pengguna PDAM (91,8) 8(8,2) Pengunjung Wisata 98 87(88,7) 11(11,3) 2.091*) 3 Pengguna AMDK (82,0) 18(18,0) Rmh. Tangga Hulu 93 66(70,1) 27(29,9) Pert. Sawah Hulu 42 25(59,5) 18(40,5) 3.245**) Sumber : Dianalisis dari data primer (2009). Keterangan *) Setiap kunjungan, **) Setiap musim tanam Tabel 30 memperlihatkan bahwa 60%-90% penggunan air bersedia membayar biaya rehabilitasi. Responden pengguna air yang tidak bersedia membayar pada umumnya beralasan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan adalah tanggung jawab pemerintah, sedangkan responden yang bersedia membayar biaya rehabilitasi pada umumnya mereka beranggapan bahwa apabila kondisi hutan bagus maka akan menjamin ketersediaan air bagi mereka. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 6 tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, dinyatakan bahwa biaya rehabilitasi DAS dapat diambil dari jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi, termasuk didalamnya adalah dari pemanfaatan air (Dephut, 2007) Analisis Skenario dengan Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming) Hasil analisis skenario pengembangan sumberdaya air DAS Way Betung menggunakan program tujuan ganda (Multiple Goal Programming) disajikan secara lengkap pada Lampiran 35. Hasil analisis memperlihatkan bahwa skenario- 4 merupakan skenario pengembangan terbaik untuk mencapai sumberdaya air berkelanjutan. Hal ini terlihat dari nilai fungsi tujuan (Objective Function Value) X4 dalam analisis ini mewakili skenario-4 adalah 1,0 (satu). Hal ini menunjukkan bahwa skenario-4 adalah yang terbaik dibandingkan dengan skenario lainnya. Berdasarkan nilai kisaran pada sisi kanan (Righthand Side 127

54 Range) terlihat bahwa biaya rehabilitasi dapat meningkat hingga tidak terbatas (infinity) dan biaya rehabilitasi hanya boleh turun (berkurang) menjadi Rp 958 juta. Untuk fluktuasi volume aliran permukaan tidak boleh meningkat namun diperbolehkan menurun hingga tidak terbatas (infinity), sedangkan untuk erosi masih diperkenankan meningkat hingga 7,9 ton/ha/th dan penurunannya tidak terbatas (infinity) Implementasi Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan Berdasarkan nilai kesediaan membayar (WTP) biaya rehabilitasi yang dapat dari semua sektor pengguna air dari DAS Way Betung (Tabel 25), jumlah dana yang tersedia rehabilitasi hutan dan lahan untuk model-a adalah Rp ,-/tahun, untuk model-b sebesar Rp ,-/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan waktu ketercapaian rehabilitasi hutan (tahun) (Lampiran 36), diperoleh bahwa setiap skenario pengembangan membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk menyelesaikan kegiatan rehabilitasinya sehingga diasumsikan sumberdaya air DAS Way Betung akan berkelanjutan (sustainable). Secara rinci hasil perhitungan waktu ketercapaian keberlanjutan sumberdaya air DAS Way Betung disajikan pada Tabel 31. Tabel 31. Waktu ketercapaian keberlanjutan setiap skenario pengembangan DAS Way Betung (tahun) No. Skenario Pengembangan Waktu Ketercapaian Keberlanjutan SDA DAS Way Betung (Tahun) Biaya-A Biaya-B 1 Skenario-1 Unsustainable*) Unsustainable*) 2 Skenario-2 12,0 7,0 3 Skenario-3 22,0 13,0 4 Skenario-4 17,0 10,0 5 Skenario-5 23,0 14,0 Sumber : Data dianalisis dari ketersediaan biaya rehabilitasi (2009) Keterangan : *) tidak tersedianya biaya rehabilitasi Tabel 31 terlihat bahwa implementasi pengembangan sumberdaya air berkelanjutan DAS Way Betung dengan menggunakan skenario-2 memiliki waktu ketercapaian yang paling singkat, yaitu 7 tahun (model-b) dan 12 tahun (model-a). Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, walaupun implementasi 128

55 skenario membutuhkan waktu yang lebih singkat, namun ternyata implementasi skenario-2 belum mampu menurunkan erosi yang terjadi hingga dibawah erosi yang dapat ditoleransi (TSL). Selain itu, skenario-2 memiliki nilai fluktuasi debit yang lebih besar dari skenario-4. Implementasi pengembangan sumberdaya air berkelanjutan DAS Way Betung dengan skenario-3 dan skenario-5, membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, yaitu berkisar antara tahun dengan skema pembiayaan menggunakan model-b dan antara tahun dengan skema pembiayaan model- A. Skenario-3 dan skenario-5 telah mampu menurunkan erosi hingga dibawah erosi yang dapat ditoleransi (TSL) (Tabel 26), serta mampu menurunkan fluktuasi aliran permukaan bulanan hingga mendekati nilai yang diharapkan (Tabel 28). Namun demikian, untuk mengimplementasikan skenario-3 dan skenario-5, pemerintah atau siapa saja yang nantinya akan ditunjuk sebagai pengelola akan mendapat kesulitan. Hal ini antara lain disebabkan karena: (1) untuk mengimplementasikan skenario-3 dan skenario-5 (semua kawasan hutan harus dihutankan kembali), maka pemerintah/pengelola harus mengalokasikan dana relokasi kegiatan HKm yang telah ada di dalam kawasan hutan (2) akan terjadi konflik sosial dengan masyarakat sekitar hutan karena mereka tidak diijinkan untuk masuk dalam kawasan hutan kembali, dan (3) keberlanjutan/keberhasilan kegiatan rehabilitasi akan sulit dicapai karena tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan secar partisipatif. Implementasi pengembangan sumberdaya air berkelanjutan DAS Way Betung dengan skenario-4 dinilai merupakan alternatif pengembangan yang paling baik. Beberapa hal yang mendasari pilihan terhadap implementasi skenario-4, antara lain: (1) implementasi skenario-4 mampu menurunkan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (TSL) serta mampu menurunkan fluktuasi aliran permukaan bulanan sesuai yang diharapkan (Tabel 28 dan Tabel 30); (2) waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan rehabilitasi hutan lebih singkat apabila dibandingkan dengan alternatif pengembangan skenario-3 dan skenario-5; (3) kegiatan HKm yang sudah ada tetap dapat diakomodir dengan menambahkan agroteknologi yang sesuai dengan kondisi petani setempat, dan (4) keberlanjutan/keberhasilan kegiatan rehabilitasi akan 129

56 lebih baik karena melibatkan masyarakat (petani HKm) secara partisipatif. Secara grafis pencapaian waktu keberlanjutan disajikan pada Gambar ,0 20,0 Tahun 15,0 10,0 5,0 Biaya-A Biaya-B 0,0 Skenario-2 Skenario-3 Skenario-4 Skenario-5 Alternatif Pengembangan Gambar 23. Waktu ketercapaian keberlanjutan DAS Way Betung masing-masing skenario (tahun) Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumberdaya air berkelanjutan skenario-4 (30% DAS berupa hutan + agroteknologi alley croping) merupakan pengembangan yang terbaik diantara skenario lainnya. Pengambilan Keputusan Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan DAS Way Betung Berdasarkan ketersediaan dana rehabilitasi (WTP) yang dihimpun dari semua sektor pengguna air DAS Way Betung (Tabel 25), jumlah dana yang tersedia untuk rehabilitasi hutan dan lahan dengan skema pembiayaan model-a sebesar Rp ,-/tahun (hanya pengguna PDAM) dan dengan skema pembiayaan model-b sebesar Rp ,-/tahun (semua pengguna air). Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan, waktu (tahun) yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan setiap skenario pengembangan hingga tercapai sumberdaya air yang berkelanjutan (sustainable) adalah berbeda-beda. Analisis lebih lanjut berdasarkan perhitungan debit minimal yang dihasilkan masing-masing skenario, menunjukkan bahwa skenario-4 mampu meningkatkan ketersediaan air bagi pelanggan PDAM hingga mencapai 35,6%. 130

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan mahkluk hidup lainnya di muka bumi. Berdasarkan UU Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan asset multi guna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa lingkungan.

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Iklim Berdasarkan data curah hujan selam 20 (dua puluh) tahun terakhir menunjukkan bahwa bulan basah terjadi dari bulan Oktober-Mei serta bulan lembab dan kering terjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 44 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Paninggahan Berdasarkan analisis penggunaan lahan tahun 1984, 1992, 22 dan 27 diketahui bahwa penurunan luas lahan terjadi pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan sumber air yang dapat dipakai untuk keperluan makhluk hidup. Dalam siklus tersebut, secara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang meliputi area tangkapan (catchment area) seluas 142,11 Km2 atau 14.211 Ha (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 LAMPIRAN 49 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990 50 Lampiran 2. Peta Penutupan Lahan tahun 2001 51 Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 52 53 Lampiran 4. Penampakan citra landsat untuk masing-masing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai Dalam konteksnya sebagai sistem hidrologi, Daerah Aliran Sungai didefinisikan sebagai kawasan yang terletak di atas suatu titik pada suatu sungai yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Biru terletak di Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Kecamatan Purwantoro dan Kecamatan Bulukerto. Lokasinya terletak di bagian lereng

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Solehudin, 2015 Kajian Tingkat Bahaya Erosi Permukaandi Sub Daerah Aliran Sungai Cirompang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah manusia yang menghuni permukaan bumi kian hari kian meningkat, tetapi kondisi tersebut berlaku sebaliknya dengan habitat hidup manusia, yaitu lahan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun ,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun , HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di DAS Ciliwung hulu tahun 1990 1996, perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu penyebab yang meningkatkan debit puncak dari 280 m 3 /det menjadi 383

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas

BAB I PENDAHULUAN. Muka bumi yang luasnya ± juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muka bumi yang luasnya ± 510.073 juta Km 2 ditutupi oleh daratan seluas 148.94 juta Km 2 (29.2%) dan lautan 361.132 juta Km 2 (70.8%), sehingga dapat dikatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1)

BAB I PENDAHULUAN. 9 Tubuh Air Jumlah Sumber : Risdiyanto dkk. (2009, hlm.1) A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Cisangkuy merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu yang terletak di Kabupaten Bandung, Sub DAS ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Perencanaan Pengelompokan Area Kelurahan Kedung Lumbu memiliki luasan wilayah sebesar 55 Ha. Secara administratif kelurahan terbagi dalam 7 wilayah Rukun Warga (RW) yang

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Spectra Nomor 11 Volume VI Januari 008: 8-1 KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Ibnu Hidayat P.J. Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya Alam dan Lingkungan (SDAL) sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila dilakukan secara berlebihan dan tidak

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bekasi, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang terletak di sebelah timur Jakarta. Batas administratif Kota bekasi yaitu: sebelah barat adalah Jakarta, Kabupaten

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI Metode Mann-Kendall merupakan salah satu model statistik yang banyak digunakan dalam analisis perhitungan pola kecenderungan (trend) dari parameter alam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN AIR DOMESTIK PENDUDUK DESA GIRIMOYO, KECAMATAN KARANGPLOSO, KABUPATEN MALANG

KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN AIR DOMESTIK PENDUDUK DESA GIRIMOYO, KECAMATAN KARANGPLOSO, KABUPATEN MALANG KEBUTUHAN DAN KETERSEDIAAN AIR DOMESTIK PENDUDUK DESA GIRIMOYO, KECAMATAN KARANGPLOSO, KABUPATEN MALANG Nelya Eka Susanti, Akhmad Faruq Hamdani Universitas Kanjuruhan Malang nelyaeka@unikama.ac.id, hamdani_af@ymail.com

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 160 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian sebelumnya telah dibahas berbagai temuan yang diperoleh dari penelitian. Pada bagian akhir ini selanjutnya akan dibahas mengenai kesimpulan yang didapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan dan mahluk termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daur hidrologi merupakan perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut, air tersebut akan tertahan (sementara)

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam (SDA) merupakan unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan. SDA merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu. 25 IV. KONDISI UMUM 4.1 Letak dan luas DAS Cisadane segmen Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane secara keseluruhan terletak antara 106º17-107º BT dan 6º02-6º54 LS. DAS Cisadane segmen hulu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan No Makalah : 1.17 EROSI LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN HUJAN DAN DAMPAKNYA PADA UMUR WADUK WAY JEPARA Dyah I. Kusumastuti 1), Nengah Sudiane 2), Yudha Mediawan 3) 1) Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 45 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Lokasi Administrasi Secara geografis, Kabupaten Garut meliputi luasan 306.519 ha yang terletak diantara 6 57 34-7 44 57 Lintang Selatan dan 107 24 3-108 24 34 Bujur Timur.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sendiri masuk dalam Tahura WAR. Wilayah Tahura Wan Abdul

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. sendiri masuk dalam Tahura WAR. Wilayah Tahura Wan Abdul 28 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik Wilayah 1. Letak dan Luas Sumber Agung adalah salah satu Kelurahan yang ada di Kecamatan Kemiling Kota Madya Bandar Lampung. Kelurahan Sumber Agung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intensitas kegiatan manusia saat ini terus meningkat dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun pemanfaatan sumberdaya alam ini khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Irigasi pada hakekatnya merupakan upaya pemberian air pada tanaman sebanyak keperluan untuk tumbuh dan berkembang. Tanaman apabila kekurangan air akan menderit (stress)

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air (SDA) bertujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Curah Hujan Data curah hujan sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama dalam menghitung debit aliran. Hal tersebut disebabkan karena data debit aliran untuk

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA Hendra Kurniawan 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Kondisi Geofisik 1. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas

Lebih terperinci

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A)

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A) STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A) Yedida Yosananto 1, Rini Ratnayanti 2 1 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Nasional,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO

LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO LAPORAN EVALUASI AWAL BENCANA TANAH LONGSOR DESA BANARAN, KECAMATAN PULUNG, KABUPATEN PONOROGO 1. Gambaran Umum a) Secara geografi Desa Banaran, Kecamatan Pulung terletak di lereng Gunung Wilis sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN 6.1. Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT Analisis sensitivitas dan ketidakpastian (uncertainty) dalam proses kalibrasi model SWAT adalah tahapan yang paling penting. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam esensial, yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan air, maka bumi menjadi planet dalam tata surya yang memiliki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik Wilayah 1. Letak dan Luas Kelurahan Sumber Agung secara Administratif masuk dalam Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung. Letak Kelurahan Sumber

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS yang memiliki posisi penting di Pulau Jawa serta sumber daya alam bagi kegiatan sosial-ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penggunaan Lahan Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal Hasil interpretasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR 2009, Kecamatan Babakan Madang memiliki 9 tipe penggunaan

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN Oleh Yudo Asmoro, 0606071922 Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk melihat pengaruh fisik dan sosial dalam mempengaruhi suatu daerah aliran sungai.

Lebih terperinci